Monday, May 28, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 8

“Ruang Kanak-Kanak?” tanya Charlie.

“Ya, kita akan ke sana.”

“Tempat apa itu?”


“Itu adalah tempat tidurku sewaktu masih kecil. Di sana banyak mainannya. Engkau pasti akan senang.”

“Sungguh?” tanya Charlie tak percaya.

“Benar. Percayalah padaku. Engkau akan gembira,” kata Snow Angel meyakinkan Charlie.

Snow Angel sengaja meminta Nanny untuk menyiapkan makan pagi di Ruang Kanak-Kanak yang terletak di ujung lorong ini karena ia ingin membawa Charlie ke ruang tersebut untuk bermain.

Di ruang itu banyak mainan-mainan baik miliknya maupun milik kedua kakanya sewaktu mereka masih kecil. Ia ingin membuat Charlie gembira dengan mainan-mainan tersebut. Ia tahu Charlie juga mempunyai mainan. Tapi ia tidak yakin anak itu memiliki mainan sebanyak yang ada di ruangan itu.

Walaupun Boudini’s Theatre cukup terkenal, namun sebagian besar dari penghasilan teater itu digunakan untuk meluaskan usahan teater tersebut dan Snow Angel tahu itu. Karena itulah ia mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak. Ia ingin Charlie gembira dapat bermain sepuas hatinya di sana.

“Banyak sekali mainannya!” seru anak itu kegirangan melihat mainan yang terdapat di Ruang Kanak-Kanak.

“Engkau boleh bermain dengan mainan-mainan itu sepuas hatimu.”

“Sungguh?” tanya Charlie tak percaya.

Snow Angel menganggukan kepalanya yang segera disambut anak itu dengan berlari ke lemari tempat mainan-mainan itu tersimpan. Dengan hati-hati dikeluarkannya mainan-mainan tua itu bagi Charlie.

Charlie menerima mainan demi mainan yang diulurkan gadis itu kepadanya. Ia merasa gembira sekali dapat bermain dengan mainan-mainan yang dikaguminya itu. Begitu banyaknya mainan di ruang itu sehingga membuatnya bingung memilih mainan yang akan dimainkannya.

Seandainya anak seorang bangsawan yang kini berada di ruang itu bersama gadis itu, anak itu tidak akan sekagum Charlie. Bagi Charlie ini pertama kalinya ia melihat begitu banyak mainan dan mainan yang bagus-bagus seperti yang ada di ruang ini. Tetapi seorang anak bangsawan, mungkin akan mengejek mainan-mainan itu.

Mainan-mainan yang ada di ruang ini bukanlah mainan terbaru melainkan mainan tua yang dulu dimainkan oleh ketiga kakak beradik itu sewaktu mereka masih kecil.

Kesemua mainan itu dirawat dengan baik sehingga masih bisa digunakan oleh Charlie walau telah bertahun-tahun berada di ruangan ini. Bahkan kuda-kudaan kayu yang dulu merupakan mainan kesayangan Frederick masih kuat menahan berat Charlie.

Sejak kecil mereka bertiga dididik oleh kedua orang tua mereka untuk selalu menyayangi benda-benda milik mereka dan merawatnya dengan baik dan ajaran itu telah melekat di hati mereka sejak kecil hingga kini. Maka tidaklah mengherankan melihat mainan-mainan bayi pun masih tersimpan dalam keadaan baik di sini.

Snow Angel memandang sekeliling Ruang Kanak-Kanak. Ruangan tempat ia dirawat oleh Nanny sewaktu masih kecil ini, masih tetap seperti dulu. Tak ada yang berubah pada ruangan ini. Tempat tidurnya sewaktu kecil masih berada di tempatnya, di dekat jendela. Meja tempat ia dulu belajar pun masih tetap berada di tengah ruangan ini.

Kerinduan muncul di hatinya, ia rindu berada di ruang yang banyak menyimpan kenangan masa kecilnya yang bahagia. Sudah lama ia tidak ke ruangan ini sejak ia diminta oleh ibunya untuk menemani anak teman Earl dan Countess yang kebetulan diajak serta oleh orang tuanya ke Troglodyte Oinos. Dan itupun sekitar enam tahun yang lampau.

Snow Angel masih dapat mengingat jelas kenakalan dan kesombongan anak yang bernama Neil itu. Saat itu anak itu baru berusia enam tahun, tapi ia sudah amat sombong. Anak itu mengejek mainan-mainan yang ada di ruang ini.

“Mainan apa ini! Mainan setua ini tidak seharusnya berada di sini, seharusnya dibuang saja. Aku tidak mau bermain bermain dengan barang-barang rongsokan ini,” kata Neil waktu itu.

Saat itu Snow Angel merasa lega kedua kakaknya sedang pergi sehingga tidak mendengar ejekan Neil. Ia yakin kedua kakaknya akan marah besar bila mendengar ejekan anak ini sebab mereka amat sayang pada mainan yang ada di ruangan ini.

Waktu Snow Angel masih kecil, kedua kakaknya setiap hari menemaninya bermain di ruangan ini sambil memuji-muji mainan mereka masing-masing. Ia tidak pernah bosan mendengar mereka memuji-muji mainan mereka.

Setiap saat mereka menemani Snow Angel kecil bermain di ruangan ini walaupun sudah bukan saatnya lagi bagi mereka berdua untuk bermain.

Vladimer pernah menggoda mereka berdua saat melihat mereka bermain dengan si kecil Angella.

“Kalian ingin menjadi bayi lagi, ya? Tiap hari bermain-main saja dengan si kecil ini,” katanya sambil menunjuk Angella yang duduk di pangkuan Frederick.

Angella yang saat itu masih berusia satu tahun tidak mengerti apa-apa. Ia menggapai-gapaikan tangan mungilnya hendak meraih jari telunjuk Vladimer yang diarahkan padanya sambil tertawa-tawa riang menyebut namanya.

“Rupanya anak ini ingin bermain denganmu, Vladimer,” kata Frederick mengacuhkan godaan Vladimer.

Vladimer segera membungkukkan badannya dan menangkap tangan kecil yang menggapai-gapai itu. Oscar yang juga berada di ruangan itu tertawa melihat Vladimer bermain dengan Angella kecil.

“Kau sendiri juga senang bermain dengan Angella, bukan?”

“Ya, kuakui itu. Anak ini manis sekali. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin bercanda dengannya,” jawab Vladimer.

“Kau benar. Aku iri sekali pada Oscar, ia masih dapat bermain dengan Angella sepuas hatinya. Sedangkan aku, kau tahu bukan? Aku tidak dapat bermain terus menerus dengan anak ini. Aku harus belajar, harus menemani Papa Mama ke pertemuan, dan benyak lagi keharusan yang kulakukan. Aku ingin sekali menjadi anak kecil lagi agar dapat bermain dengan Angella sepuas hatiku seperti Oscar,” keluh Frederick.

“Sabar, Frederick. Sabar… Usiamu yang sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan anak kecil lagi. Jadi keharusan itu sudah menjadi kewajibanmu,” kata Vladimer menenangkan Frederick.

“Aku tahu itu. Kadang kala aku merasa sedih Angella lahir saat aku menginjak usia dewasa.”

“Frederick!” pekik terkejut Vladimer, “Bibi Stefanie pasti sedih bila mendengar ucapanmu itu.”

“Maafkan aku. Aku hanya cemburu pada Oscar. Dulu waktu Oscar lahir, aku masih berusia lima tahun jadi aku masih dapat bermain-main dengannya.”
v
“Dulu aku selalu merasa senang bila Frederick berada di Ruang Kanak – Kanak ini, tetapi sekarang aku lebih senang bila Frederick tidak ada di ruangan ini. Sebab bila ia ada di sini maka ia tidak memberiku kesempatan untuk bermain dengan Angella,” sahut Oscar.

“Itu adil. Engkau setiap hari berada di sini sehingga dapat bermain-main dengan Angella sepanjang waktu sedangkan aku tidak setiap hari memiliki waktu luang untuk bermain-main dengannya. Kau tahu itu bukan?” balas Frederick tak mau kalah.

“Ya, aku memang tahu itu. Tapi aku tetap merasa tidak sengang bila engkau berada di sini, engkau selalu mendominasi Angella. Engkau tahu, Frederick? Engkau kekanak-kanakan,” balas Oscar tak mau kalah juga.

“Tidak, aku tidak kekanak-kanakan. Aku hanya sayang pada Angella. Betulkan, Angella?” elak Frederick sambil menimang-nimang adik bungsunya dan sesekali bercanda dengannya.

“Itu kekanak-kanakan namanya. Bukan sayang,” kata Oscar menanggapi tindakan Frederick.

“Tidak! Aku tidak kekanak-kanakan!”

“Sudah … Sudah … Jangan bertengkar lagi,” sela Vladimer di tengah pertengkaran kedua bersaudara itu.

Vladimer tahu Frederick dan Oscar selalu hidup rukun. Mereka jarang bertengkar. Keduanya selalu berbagi, saling mengalah, dan mengasihi. Namun jika mereka bertengkar, akan sulit mendamaikan mereka. Bahkan bisa berhari-hari lamanya mereka bertengkar dan saling tak berbicara. Karena itu ia lekas menghentikan pertengkaran mereka selagi mereka baru mulai bertengkar.

“Seharusnya kalian jangan bertengkar. Kalian seharusnya senang mempunyai saudara. Tidak sepertiku yang anak tunggal.”

Frederick dan Oscar segera menghentikan pertengkaran mereka dan menatap Vladimer.

“Jangan bersedih hanya karena tak mempunyai saudara. Aku akan menjadi kakakmu,” kata Frederick membesarkan hati Vladimer.

“Dan aku menjadi adikmu,” tambah Oscar.

“Kalian memang sudah kuanggap sebagai saudaraku.”

“Lalu bagaimana dengan Angella?” tanya Frederick dan Oscar serempak.

“Tentu saja bayi manis ini juga kuanggap sebagai adik perempuanku,” jawab Vladimer sambil mengangkat Angella dari pangkuan Frederick.

Snow Angel memandang Charlie yang duduk di lantai sambil bermain. Tak bosan-bosannya ia mengagumi mainan yang di hadapannya itu. Anak itu tampak gembira sekali. Perlahan-lahan didekatinya anak itu, “Charlie, tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Saya akan pergi sebentar.”

Charlie mengangguk mendengar kata-kata Snow Angel. Segera ia tenggelam lagi ke dalam keasyikannya bermain.

Snow Angel meninggalkan Charlie yang masih sibuk bermain itu dan bergegas menuju kamarnya. Ia meraih pena yang semalam digunakannya untuk menulis surat kepada Nenek Charlie dan mulai menulis surat kepada Mr. dan Mrs. Boudini untuk mengabarkan keberadaan Charlie.

Tak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya dengan membawa dua pucuk surat. Di Ruang Kanak – Kanak, ia melihat Charlie masih asyik bermain. Semula ia hanya ingin mengamati Charlie yang sibuk dengan mainan-mainan di sekelilingnya, namun karena Charlie memintanya untuk bermain bersamanya maka ia turut bermain pula.

Mereka begitu sibuknya bermain, bercanda hingga tak menyadari keadaan sekelilingnya. Mereka sama-sama terkejut ketika Nanny memanggil mereka berdua.

“Oh … kau, Nanny. Kau membuatku terkejut. Ada apa?”

“Hidangan sudah tersedia. Anda bisa makan sekarang.”

“Terima kasih, Nanny,” katanya sembari mengajak Charlie ke meja tempat Nanny menyipkan makan pagi mereka, “Nanny, tolong kauminta Thompson untuk mengirimkan kedua surat ini.”

“Untuk siapa saja, Tuan Puteri?” tanya Nanny ingin tahu.

“Alamatnya sudah kutulis pada surat itu. Thompson pasti tahu,” jawabnya.

Nanny membaca alamat masing-masing surat dan kemudian memandang heran pada Snow Angel, “Untuk Mrs. Dellas… ibu Jenny?”

“Berikan saja pada Thompson agar dapat segera sampai pada yang bersangkutan,” tegas Snow angel.

“Baik, Tuan Puteri,” begitu Nanny pergi, Snow Angel membantu Charlie duduk di kursi di depan meja tempat Nanny meletakkan makan pagi mereka dan membantu Charlie mengambil hidangan. Snow Angel bergembira melihat nafsu makan anak itu yang cukup besar dari perkiraannya semula.

Setelah makan, Charlie hendak bermain lagi tapi ditahan oleh Snow Angel. Menurutnya, tidak baik bermain setelah makan. Persis seperti yang biasa Nanny ajarkan padanya sewaktu ia kecil.

Charlie cemberut ketika dilarang bermain, namun ia gembira lagi ketika gadis itu berjanji akan memperbolehkan Charlie bermain lagi kapan pun juga di sini, di Ruang Kanak-Kanak ini.

Dibawanya anak itu kembali ke kamarnya. Sepanjang jalan, Charlie memastikan janji Snow Angel dengan berulang kali bertanya kesungguhan janji Snow Angel padanya. Berulang kali pula gadis itu meyakinkan anak itu bahwa ia bersungguh-sungguh dengan janjinya yang tadi itu.

“Charlie, engkau mau kuberi hadiah?”

“Mau!” seru Charlie kegirangan, "Mana?”

“Sebentar,” jawab Snow Angel sambil membuka kotak yang berisi pakaian untuk Charlie yang kemarin dibelinya dari Shawky Market. “Ini. Engkau suka?” Ditunjukannya baju itu satu per satu pada Charlie yang tampak gembira sekali. Dengan hati-hati dicobakannya baju itu satu per satu pada Charlie dan ia bersyukur baju-baju tersebut semuanya cocok pada tubuh Charlie, tidak ada yang kekecilan maupun kebesaran.

“Bila aku pulang dengan memakai baju ini, Ayah dan Ibu pasti terkejut melihatku,” katanya sambil berputar-putar di depan cermin yang memantulkan bayangannya sendiri.

Snow Angel tertawa melihat ulah Charlie itu, "Tentu saja, engkau tampak semakin tampan dengan baju itu. Engkau boleh memakai pakaian itu saat pulang nanti.”

“Sungguh?” tanya Charlie memastikan kata-kata Snow Angel.

“Sungguh. Baju itu milikmu.”

“Milikku?”

“Iya. Bukankah tadi aku mengatakan akan memberimu hadiah? Itulah hadiahku untukmu.”

“Baju-baju ini?” tanya Charlie meyakinkan dirinya untuk kesekian kalinya.

Melihat Snow Angel menganggukan kepalanya, Charlie melompat-lompat gembira hingga membuat Snow Angel kewalahan. Ia berusaha keras mendiamkan anak itu, namun Charlie tetap saja tidak mau berhenti. Hingga pada akhirnya ia berkata,

“Charlie, bila engkau tidak bisa diam, aku tidak akan mengantarmu ke Ruang Kanak-Kanak untuk bermain lagi.”

Mendengar ancaman itu, Charlie seketika itu juga berhenti melompat-lompat dan mendekati Snow Angel, “Kita akan bermain di Ruang Kanak-Kanak lagi?”

“Tentu, bila engkau dapat diam. Tetapi bila engkau tidak dapat diam, maka kita tidak jadi ke Ruang Kanak-Kanak.”

“Baiklah, aku akan diam. Aku janji!” kata Charlie bersungguh-sungguh. Kemudian ia duduk di lantai, menunggu Snow Angel yang memasukkan baju-baju itu kembali ke kotaknya. Baju yang dikenakan Charlie sewaktu datang ke Troglodyte Oinos dibungkus tersendiri. Kotak-kotak yang lain diambilnya dari bawah meja rias kemudian ditumpuk jadi satu dengan kotak yang tadi dibukanya dan bungkusan yang berisi baju Charlie di atas meja rias.

Setelah selesai dengan segala kesibukannya, ia mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak lagi. Di sana, segala sesuatunya telah dibereskan termasuk mainan-mainan yang dikeluarkan oleh Snow Angel untuk Charlie.

Ia meminta Charlie memilih mainan dan mengeluarkannya dari lemari. Snow Angel menemani Charlie bermain di ruangan itu sambil menanti Nanny. Sesekali ia bercerita tentang mainan-mainan tersebut pada Charlie. Dari seluruh mainan-mainan itu. Charlie paling menyukai orang-orangan dari kayu yang berbaju prajurit.

Mainan itu diberikan oleh orang tua Snow Angel sebagai hadiah ulang tahun kakak keduanya yang ke lima. Orang-orangan dari kayu yang seluruhnya berjumlah sepuluh butir itu dulu pernah menjadi mainan kesayangan Oscar. Namun hal ini tidak dapat bertahan lama, ketika Oscar mendapat mainan baru pada hari Natal, ia melupakan orang-orangan tersebut.

Charlie bermain perang-perangan dengan orang-orangan tersebut. Selain itu kereta kayu dan berbagai macam mainan yang ada digunakannya pula daalam perangnya. Snow Angel-pun tak mau berpangku tangan melihat peperangan Charlie. Berulang kali ia ikut ambil andil dalam perang itu. Charlie tidak mengeluh ketika gadis itu ikut mengambil peran dalam perangnya, ia senang ketika Snow Angel turun tangan dalam peperangannya.

Sungguh tak disangka, walaupun Snow Angel seorang gadis, namun ia pandai menyusun strategi perang. Charlie yang melihat hal ini tak mau kalah, ia turut menyusun strategi-strategi perang untuk melawan musuhnya. Perang besar pun tak terelakkan. Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dor… dor … dor…! Jatuh lagi seorang korban. Keluhan sedih pihak yang kalah terdengan mengiringi tawa senang pihak yang menang.

Keduanya saling memberi perlawanan sengit tanpa menghiraukan sekelilingnya. Mereka sama-sama tak mau menjadi pihak yang kalah. Satu sama lain berusaha menghancurkan “musuh”-nya. Mereka sangat sibuk memusatkan pikiran pada “peperangan” mereka. Benar-benar “pertempuran” yang seru!

Mereka bermain tanpa menyadari matahari yang semakin tinggi. Ketika matahari mulai memasuki ruangan itu, mereka baru menyadari hari yang mulai siang, “Hari sudah siang. Sebaiknya aku mengantarkanmu pulan sekarang.”

“Sekarang? Tapi saya tidak ingin pulang sekarang, saya ingin bermain.” Charlie mengeluh sedih.

Snow Angel memahami perasaan Charlie. Ia tersenyum lembut padanya dan berkata dengan sabar untuk memberi pengertian padanya, “Aku rasa aku telah mengatakan padamu bahwa engkau boleh bermain di sini sepuas hatimu kapanpun kau mau. Engkau boleh datang lagi ke mari dengan syarat atas ijin Mr. dan Mrs. Boudini. Sekarang engkau lebih baik pulang, jangan membuat mereka semakin cemas.”

“Tapi Anda sudah memberi tahu mereka kalau saya berada di sini bersama Anda,” kata Charlie mengingatkan, “Mereka pasti tidak cemas lagi. Mereka pasti mengijinkan saya bermain lebih lama lagi di sini. Percayalah!”

“Hal itu mungkin juga. Tetapi aku belum tentu mengijinkanmu bermain di sini.”

“Anda tidak mengijinkanku? Tapi tadi Anda bilang…,” kata Charlie panik.

Snow Angel terkejut melihat reaksi Charlie. Ia tidak bermaksud membuat Charlie kecewa, ia hanya main-main saja sewaktu mengucapkan kalimat itu. Ia merasa bersalah karenanya.

“Maafkan aku. Aku hanya main-main tadi. Aku sama sekali tidak bermaksud melarangmu. Engkau boleh bermain di sini kapan pun engkau mau. Tapi untuk hari ini bermainnya cukup sampai di sini saja, besok datanglah lagi. Mereka pasti sedang menunggu kedatanganmu sekarang.”

“Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Tapi besok aku akan kemari lagi,” akhirnya Charlie menyetujui gadis itu.

Snow Angel merasa lega karena pada akhirnya ia bisa meyakinkan Charlie untuk pulang. Ia meminta Charlie menunggunya sebentar. Setelah itu ia segera meninggalkan ruangan itu.

Ia melihat Nanny berjalan mendekat.

“Tolong jaga anak itu, Nanny!” katanya ketika Nanny sudah dekat.

“Anda hendak pergi ke mana?” tanya Nanny.

“Aku akan mengantar anak itu pulang,” jawab Snow Angel.

“Tapi Thompson belum kembali, Tuan Puteri,” kata Nanny memberi tahu, “Atau begini saja, saya akan memanggil sebuah kereta kuda untuk Anda.”

“Terima kasih atas sarannya, Nanny. Tapi sebenarnya hal itu tidak perlu karena aku sendiri yang akan mengantar anak itu.”

“Sendirian!” pekik Nanny, “Tapi…, Tuan Puteri, berbahaya bila Anda pergi sendirian dan juga bagaimana bila kakak-kakak Anda tahu? Apa yang harus saya katakan?”

“Karena itu, Nanny, jangan biarkan mereka mengetahui hal ini. Berjanjilah kepadaku, engkau akan membuat hal ini menjadi rahasia di antara kita berdua,” kata Snow Angel setengah memaksa setengah memohon.

Nanny kebingungan. Ia harus memilih membiarkan gadis itu pergi sendirian untuk mengantar anak yang tak dikenalnya itu atau tidak. Sungguh suatu pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin menuruti segala keinginan anak kesayanganya itu. Tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua.

Nanny benar-benar dibuat bingung karenanya. Snow Angel yang mengetahui kebingungan Nanny, terus menerus membujuk Nanny. Berkali-kali ia berusaha meyakinkan Nanny kalau ia akan baik-baik saja walau pergi sendirian.

Siapa yang tahan dibujuk gadis semanis Angella? Nanny? Tentu saja Nanny tidak akan tahan mendengar bujukan gadis itu, ia begitu menyayangi gadis itu.

Semula Nanny hendak menyertainya, namun Snow Angel melarangnya. Ia mengingatkan Nanny pada tugasnya mengelabuhi kakak-kakaknya bila mereka menayakan dirinya. Dengan terpaksa Nanny membatalkan niatnya.

“Anda sangat memperhatikan anak itu,” komentar Nanny, “Sebenarnya, siapa dia?”

“Rahasia,” kata Snow Angel sambil bergegas menuju kamarnya.

Tak lama kemudian Snow Angel sudah keluar dari kamarnya dengan membawa tumpukan kotak yang diletakkannya di meja rias tadi. Diletakkannya kotak-kotak itu di depan kamarnya kemudian ia menuju Ruang Kanak-Kanak.

Seperti biasanya, Nanny duduk di kursi goyang kesayangannya di depan jendela sambil mengawasi Charlie. Kursi yang disediakan khusus untuk Nanny itu diletakkan di depan jendela atas permintaan Nanny sendiri.

“Anda akan mengantarnya sekarang?” tanya Nanny melihat kedatangan Snow Angel.

“Ya, Nanny. Aku tidak ingin membuat orang tua anak ini semakin cemas,” jawabnya. “Ayo kembalikan mainan-mainan itu pada tempatnya,” katanya pada Charlie.

“Jangan, Tuan Puteri! Antarkan saja anak itu, mainan itu biar saya yang mengembalikannya,” kata Nanny, “Hari sudah siang. Jangan membiarkan orang tua anak itu menunggu lebih lama lagi. Di samping itu Anda harus buru-buru, jangan sampai kakak-kakak Anda tiba sebelum Anda.”

“Kau benar, Nanny. Aku memang harus buru-buru, jangan sampai mereka tiba lebih dulu. Terima kasih, Nanny.” Kemudian ia berpaling pada Charlie, “Mari kita pulang sekarang. Sebelumnya ucapkan selamat tinggal dulu pada Nanny.”

Mereka berpamitan pada Nanny dan kemudian meninggalkan Nanny sendirian. Mereka berjalan meyusuri koridor dan berhenti sebentar di depan kamar Snow Angel untuk mengambil kotak-kotak yang ada di depan kamar. Charlie membantunya membawa barang-barang itu, ia membawa bungkusan yang berisi bajunya. Sisanya dibawa oleh Snow Angel.

Charlie tampak senang sekali ketika mereka tiba di kandang kuda. Penjaga kuda segera memasang pelana pada seekor kuda ketika melihat Tuan Puteri mereka datang. Penjaga kuda itu menaikkan Charlie di depan pelana atas perintah Snow Angel. Mereka memperingati untuk berhati-hati sebab ini pertama kalinya Snow Angel berkuda dengan membawa seorang anak.

Sebenarnya Snow Angel sendiri merasa ragu-ragu pada kemampuan berkudanya dengan membawa Charlie. Ini pertama kalinya ia berkuda dengan membawa seorang anak, namun ia tidak mau menyerah pada keragu-raguannya. Ia yakin ia dapat melakukannya bila ia berhati-hati.

“Kau takut?” tanyanya ketika mereka mulai meninggalkan Troglodyte Oinos.

Sebagai jawaban, Charlie menggelengkan kepalanya. Berlainan sekali dengan Snow Angel. Sewaktu ia diajak naik kuda untuk pertama kalinya, ia menangis ketakutan sampai kedua kakaknya kewalahan membujuknya agar berhenti menangis. Saat itu usianya lebih muda daripada Charlie.

“Jangan takut! Aku ada di sini, nanti aku akan memegangimu agar kamu tidak jatuh,” bujuk Frederick.

Angella menolak tangan Frederick yang terulur padanya dan mempererat pegangannya pada gendongan Oscar sambil terus menangis. Oscar membelai-belai rambut adiknya, “Jangan menangis! Jangan takut, Oscar juga akan menjagamu. Frederick pandai berkuda, kamu pasti tidak akan jatuh.”

“Kalau Tuan Puteri tidak mau, jangan dipaksakan,” tegur Nanny yang mengawasi mereka sejak tadi.

“Tidak apa-apa, Nanny. Kalau ia tidak dibiasakan sejak sekarang, nanti ia akan takut kuda untuk selama-lamanya,” bantah Frederick.

“Ya, itu betul, Nanny. Seorang putri bangsawan harus bisa berkuda,” tambah Oscar mantap.

“Kalau begitu terserah kalian tapi jangan sampai Tuan Puteri jatuh,” kata Nanny.

“Jangan khawatir, Nanny. Kami juga tidak ingin Angella jatuh,” kata mereka serempak.

“Ayo, Angella duduk di depanku. Aku akan mengajakmu jalan-jalan mengelilingi rumah ini,” bujuk Frederick sambil menarik tubuh Angella dari gendongan Oscar.

“Tidak apa-apa, Angella. Kamu tidak akan jatuh. Aku akan ikut jalan-jalan juga. Jangan takut, ya?” Oscar ikut membujuk Angella sambil melepaskan tangan adiknya yang melingkari lehernya, “Kasihan Frederick yang sudah dari tadi duduk di atas kuda.”

Tiba-tiba Frederick dan Oscar berseru serempak melihat Vladimer datang mendekat, “Jangan membela Angella lagi!”

Vladimer terkejut mendengar teriakan mereka itu. Ia segera mengerti masalahnya ketika melihat Angella menangis di gendongan Oscar sedangkan kedua kakaknya sibuk melepaskan gendongannya sambil terus membujuk Angella. Yang satu melepaskan tangan Angella, yang satunya lagi menarik tubuh Angella dari atas kuda.

“Jangan khawatir! Untuk kali ini aku setuju dengan kalian. Angella tidak boleh takut pada kuda, ia harus belajar berkuda. Kelak bila ia sudah bisa, kita tidak lagi bertiga bila berjalan-jalan, melainkan berempat. Pasti akan sangat menyenangkan!” kata Vladimer menyetujui tindakan mereka.

Angella yang berharap Vladimer membelanya lagi, menangis semakin keras ketika mendengar Vladimer menyatakan persetujuannya atas tindakan kakak-kakaknya. Angella merasa sedih. Vladimer yang selalu membelanya, kini tidak mau membelanya.

Akhirnya Angella berhasil didudukkan di depan Frederick dengan sedikit paksaan dan bujukan. Angella menangis ketakutan walau badannya sudah dipegangi Frederick. Ia meminta tolong pada Nanny, namun karena Nanny sudh berjanji akan membiarkan mereka, maka ia diam saja. Angella menangis terus sambil memeluk erat-erat tangan kanan Frederick yang melingkari badannya.

Berkat kesabaran kedua kakaknya dan Vladimer, ketakutan Angella pada kuda hilang. Ia mulai meyukai kuda. Berkat mereka pula ia dapat berkuda. Sejak saat itulah ia sering diajak bepergian oleh mereka.

Snow Angel dan Charlemagne akhirnya tiba di lapangan rumput tempat tenda ‘Boudini’s Theatre’ berdiri. Charlie berteriak-teriak memanggil kedua orang tua baptisnya dari atas kuda ketika mereka semakin mendekat.

Dari sebuh kereta yang bertuliskan ‘Boudini’s Theatre’ muncul dua orang yang sudah cukup umur. Merekalah Mr. dan Mrs. Boudini. Mrs. Boudini bertubuh gemuk, rambutnya yang mulai memutih itu disanggul rapi, wajahnya senantiasa menunjukkan keramahan. Mr. Boudini bertubuh tegap, wajahnya tampak menyeramkan dengan jenggot yang dipeliharanya itu. Namun sebenarnya ia tidak segalak yang terlihat, ia penuh keramahan seperti istrinya.

Snow Angel turun dari kuda dan mengambil alih kotak-kotak yang dipegang Charlie di depannya. Setelah meletakkannya di tanah, ia membantu Charlie turun dari kuda. Mr. Boudini mengambil alih kudanya dan mengikatkannya paa sebuah tiang.

“Ibu! Ibu!” teriak Charlie sambil berlari mendekati Mrs. Boudini.

Mrs. Boudini memeluk Charlie. “Ke mana saja engkau? Ibu mencemaskanmu ketika mengetahui engkau pergi tanpa pamit,” katanya lega.

“Maafkan aku, Ibu. Tadi aku pergi ke rumah Tuan Puteri. Aku berjanji tidak akan pergi tanpa pamit lagi,” kata Charlie menyesal. “Lihat, Bu! Tuan Puteri memberiku pakaian ini.”

Mrs. Boudini tengah mengamati baju baru Charlemagne yang diberi Snow Angel ketika Mr. Boudini tiba-tiba berbicara, “Charlie, pergilah bermain!”

“Baik,” Charlie berlari mendekati sekelompok anak yang bermain di lapangan itu.

Setelah kepergian Charlie, Mrs. Boudini mengajak Snow Angel masuk ke sebuah tenda yang cukup besar. Snow Angel memberikan kotak-kotak yang dibawanya kepada Mrs. Boudini.

“Kami telah menerima surat Anda. Thompson yang mengantarkannya,” kata Mr. Boudini.

“Anda tentunya telah mengetahui tujuan saya datang kemari,” kata Snow Angel langsung menuju pokok permasalahan.

“Maafkan kami, Tuan Puteri. Kami tidak sanggup mengatakan padanya bahwa kami bukan orang tua kandungnya,” kata Mrs. Boudini.

“Anda berdua tidak perlu meminta maaf. Saya rasa sayalah yang terlalu egois. Saya meminta bantuan Anda untuk merawatnya tanpa memikirkan perasaan Anda berdua.”

“Anda tidak perlu cemas, Tuan Puteri. Kami menyayanginya seperti menyayangi anak kandung kami. Kami merasa senang dapat merawat anak sebaik Charlie,” kata Mr. Boudini.

“Di situlah letak permasalahannya. Seharusnya saya tahu Anda tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya padanya karena Anda menyayanginya. Tapi saya masih terlalu muda saat itu sehingga saya tidak mampu berpikir lebih jauh. Maafkan saya karena waktu itu saya terlalu egois, memaksa anda berdua mengatakan yang sebenarnya pada anak itu.”

“Sekarang saya ingin secara perlahan-lahan mengatakan segala kebenaran yang menyangkut dirinya pada Charlie. Anda berdua tidak berkeberatan, bukan? Dalam waktu dekat ini saya akan mengajaknya menemui neneknya.”

“Kami tidak keberatan sama sekali, Tuan Puteri. Cepat atau lambat Charlie pasti tahu segala sesuatunya. Kami menyadari hal itu. Kami tidak dapat terus membohongi anak itu seumur hidup,” kata Mr. Boudini.

“Terima kasih atas pengertian Anda berdua.”

------0-----



Sementara itu di suatu desa kecil, beberapa mil dari Troglodyte Oinos, seorang wanita tua yang sedang duduk termenung di depan rumahnya, dikejutkan suara orang yang memanggilnya.

“Mengapa Anda termenung di sini, Mrs. Dellas?”

“Tidak ada apa-apa. Mengapa kau ada di sini, Thompson?”

“Tuan Puteri meminta saya mengantar surat ini pada Anda,” kata Thompson.

Mrs. Dellas mengambil surat itu dari Thompson, “Mengapa Tuan Puteri mengirim surat? Apakah ada kabar mengenai cucuku?”

“Mengapa Anda tidak membaca surat itu agar Anda tahu tujuan Tuan Puteri mengirim surat,” usul Thompson.

Mrs. Dellas membuka surat itu dan mulai membacanya. Tangannya tampak gemetar membayangkan isi surat itu. Tiap-tiap kata membuat hatinya semakin berdebar karena senang. Isi surat itu pendek namun dapat membuatnya melupakan semua kesedihannya.

Mrs. Dellas, saya mempunyai kabar gembira bagi Anda sekeluarga. Cucu Anda, Charlemagne ada di kota ini. Dalam waktu dekat, saya akan membawanya mengunjungi Anda sekeluarga.

“Cucuku ada di sana, Thompson. Dan Tuan Puteri akan membawanya kemari dalam waktu dekat,” Mrs. Dellas menerangkan isi surat tersebut pada Thompson dengan gembira, “Aku akan memberi tahu Jenny.”

“Saya permisi dulu, saya harus segera kembali,” kata Thompson.

“Masuklah dulu untuk beristirahat. Anda baru menempuh perjalanan jauh.”

“Terima kasih, tetapi saya harus buru-buru. Tuan Puteri mungkin memerlukan saya.”

“Kalau begitu halnya, silakan.”

Mrs. Dellas masuk ke dalam rumahnya setelah kepergian Thompson. Ia duduk mendekati putrinya yang duduk di atas tempat tidur. Pandangan matanya tampak kosong. “Anakmu ada di sana, Jenny. Tuan Puteri akan membawanya berkunjung kemari,” katanya mencoba memberi tahunya.

Wanita muda itu diam saja. Hati Mrs. Dellas terasa pilu melihat putrinya itu. “Mengapa engkau diam saja, anakku? Bergembiralah karena engkau akan bertemu anakmu.” Wanita itu memalingkan wajahnya kepada ibunya dan mulai bertingkah seperti anak kecil.

“Semoga Charlemagne dapat membuatmu pulih,” harap sang Ibu melihat tingkah putrinya.



*****Lanjut ke chapter 9

No comments:

Post a Comment