Monday, May 28, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 7

Matahari bersinar lembut menyibakkan kabut tipis di dalam hutan sekeliling Troglodyte Oinos. Daun - daun meneteskan embun pagi yang berkilau-kilauan tertimpa sinar mentari pagi. Udara pagi yang dingin tak menyurutkan keinginan Snow Angel untuk berjalan-jalan di hutan itu.

Kakinya terus melangkah makin dalam ke hutan itu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk mengamati alam sekitarnya. Senandung kicau burung pagi menghilangkan kegundahan hatinya. Bibirnya bersenandung kecil mengikuti nyanyian burung-burung pagi.

Ketika matahari mulai melenyapkan kabut tipis hutan itu, ia berbalik pulang. Belum jauh ia berjalan kembali ke rumahnya tatkala ia melihat semak-semak di depannya bergoyang-goyang dan kemudian muncul sesosok anak kecil.

“Hai,” sapanya.

Anak yang disapanya itu berlari keluar dari semak-semak tempatnya semula menuju ke arahnya. “Hai,” balas anak itu.

“Kenalkan namaku Charlemagne, tapi semua orang memanggilku Charlie,” katanya sambil mengulurkan tangannya pada Snow Angel.

Snow Angel terhenyak mendengar nama anak itu. Bukan main senangnya hatinya melihat anak itu. Tak disangkanya ia akan bertemu dengannya secepat ini. Ia tadinya berencana akan menemuinya serta Mr dan Mrs. Boudini sore ini di Boudini’s Theatre tapi nyatanya ia bertemu dengan Charlemagne sekarang secara kebetulan di hutan sekeliling rumahnya.

Snow Angel menyambut tangan kecil itu. “Saya Angella, orang-orang memanggilku Snow Angel,” katanya memperkenalkan diri.

“Anda Snow Angel yang terkenal itu ya!?” seru Charlemagne.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Snow Angel terheran-heran.

“Kemarin waktu kami baru tiba, saya mendengar banyak orang yang membicarakan Anda. Kata mereka Anda cantik sekali seperti bidadari tapi saya tak percaya. Makanya pagi ini saya sengaja datang kemari dan berharap dapat bertemu Anda.”

“Sekarang saya percaya pada perkataan mereka. Anda memang seperti malaikat yang sering Ibu ceritakan padaku. Sayang mereka salah dalam satu hal, mereka mengatakan Anda dingin. Tetapi saya melihat Anda tidak dingin, buktinya tangan Anda hangat,” jelas Charlemagne panjang lebar.

Snow Angel tersenyum melihat anak itu bercerita panjang lebar seperti tak ada habis-habisnya. Diam-diam ia mengagumi keberanian dan kecerdasan Charlemagne.

Tidaklah mengherankan baginya melihat keberanian dan kecerdasan anak yang baru berusia empat tahun itu. Sejak bayi, Charlemagne sudah tinggal dalam lingkungan teater. Justru akan membuatnya heran bila seseorang yang tinggal dalam lingkungan teater menjadi penakut.

Namun ia tetap mengagumi keberanian Charlemagne yang berani datang sendirian ke Troglodyte Oinos yang letaknya agak terpencil dari desa terdekat sepagi ini.

Suasana sekitar Troglodyte Oinos memang terkesan menyeramkan. Rumah ini dikelilingi oleh hutan yang sekaligus menjadi “tembok pembatas” antara rumah ini dengan desa terdekat.

Namun, hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri dari rumah ini. Rumah yang dikelilingi hutan ini bagaikan gua tempat tinggal manusia purba di tengah hutan pada masa purba.

Rumah ini dibangun oleh kakek moyangnya. Kakek moyangnya itu senang akan kesunyian, karena itulah ia mendirikan rumah yang dikelilingi hutan.

Ia juga memberi nuansa Yunani Kuno pada rumah itu karena kakek moyangnya mengagumi budaya Yunani Kuno antara lain memberi nama yang berasal dari Bahasa Yunani bagi rumah yang didirikannya itu.

Sewaktu orang-orang mendengar kakek moyangnya itu akan mendirikan rumah di tengah hutan, banyak dari mereka yang menganggapnya aneh. Tak sedikit teman-teman kakeknya itu yang menggodanya sewaktu pembangunan rumah itu mulai dilaksanakan.

Tetapi rupanya jerih payah kakek moyangnya dalam mendirikan rumah di tengah hutan itu tidak sia-sia. Terbukti sejak didirikannya Troglodyte Oinos, tidak ada seorang pun dari teman-teman kakeknya yang mengejek rumah itu.

Banyak di antara mereka yang mengagumi rumah ini. Beberapa di antara mereka memberi nama ‘Heaven in The Middle of The Jungle’ pada Troglodyte Oinos karena keindahan rumah ini.

Rumah yang dikelilingi hutan ini memang indah. Bangunan utamanya dikelilingi kebun yang cantik dengan sebuah kolam air mancur indah yang juga turut menghiasinya di tengah jalan menuju rumah ini.

Pada bagian dalam rumah ini banyak sekali ukiran-ukiran yang bernuansa Yunani Kuno. Tidak sedikit pula patung dewa-dewi Yunani Kuno yang terdapat di dalam rumah ini. Kesemuanya itu menambah indahnya rumah ini.

Saat itu Troglodyte Oinos banyak dibicarakan orang, sebab kakeknya itu merupakan satu-satunya bangsawan yang mendirikan rumah di tengah hutan. Namun tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengagumi keindahan Troglodyte Oinos.

Kakek moyangnya itu memiliki keahlian sebagai seorang arsitektur. Ia-lah yang merancang pembuatan Troglodyte Oinos dan bagian-bagian dalam rumah ini. Kakeknya itu merancang sedemikian rupa sehingga siapa pun yang tinggal di rumah ini tidak akan merasa bosan ataupun terpencil walaupun dikelilingi hutan.

Semua anak-cucunya tidak ada yang mengeluh karena tinggal di rumah yang dikelilingi hutan. Pelayan-pelayan pun tidak ada yang merasa terpencil. Semua merasa senang tinggal di rumah yang dibangun kakek moyangnya itu.

“Bagaimana kabar Mr dan Mrs. Boudini? Apakah mereka tahu engkau kemari?”

“Mereka baik-baik saja,” jawabnya lalu ia meneruskan dengan nada bersalah, “Mereka tidak mengetahui kepergianku kemari.”

“Seharusnya engkau memberitahu mereka tentang kepergianmu ini juga engkau seharusnya tidak pergi sendirian kemari. Engkau telah membuat Mr dan Mrs. Boudini cemas,” nasehat Snow Angel.

“Saya tahu. Saya meyesal tak memberitahu ayah ibu bahwa saya akan pergi ke sini, pasti sekarang mereka cemas akan keadaanku. Saya berjanji pada Anda tidak akan mengulanginya lagi dan juga saya berjanji akan meminta maaf pada ayah ibu.”

“Saya senang engkau menyesali tindakanmu itu. Tapi jangan hanya berjanji padaku bahwa engkau tidak akan mengulanginya lagi. Engkau juga harus berjanji pada mereka.”

“Saya mengerti.”

“Nah, Charlie. Tadi engkau mengatakan engkau ingin bertemu denganku, bukan?” Charlemagne mengangguk kemudian Snow Angel meneruskan, “Sekarang saya ingin mengundangku ke rumahku. Kau mau?”

“Mau!” seru Charlie girang, “Tapi…”

“Soal orang tua baptismu jangan khawatir. Akan kukirimkan seseorang untuk memberitahu mereka kalau engkau ada bersamaku.”

“Orang tua baptis? Saya tidak mempunyai orang tua baptis,” kata Charlemagne membenarkan ucapannya.

Snow Angel termangu-mangu mendengar ucapan Charlie. Ia merasa ada sesuatu yang salah sepanjang yang diketahui anak ini. Ia memutuskan tidak bertanya lebih jauh tentang itu kepada Charlie sebelum menanyakannya lebih dahulu kepada Mr dan Mrs. Boudini.

“Maaf. Maksudku, saya akan mengirim seseorang untuk memberitahu ayah ibumu bahwa engkau ada bersamaku di sini sehingga mereka tidak cemas sementara engkau kuundang ke rumahku. Bagaimana engkau setuju?” ulang Snow Angel.

“Setuju!” seru anak itu kembali sambil menarik tangan Snow Angel.

Snow Angel tersenyum melihat kegirangan anak itu. Sepanjang jalan anak itu bercerita tentang teman-temannya di Boudini’s Theatre, tentang pertunjukan-pertunjukan Boudini’s Thetre, tempat-tempat yang dikunjunginya dan berbagai hal yang telah dialaminya.

Sambil bercerita, Charlie sesekali melucu dengan menirukan tingkah teman-temannya yang membuat Snow Angel yang jarang tertawa itu mau tak mau tertawa melihatnya.

Mereka terus berjalan mendekati Troglodyte Oinos. Ketika kolam air mancur di depan Troglodyte Oinos mulai tampak jelas, Charlie berseru kegirangan dan berlari mendekati kolam itu.

“Charlie, jangan berlari! Nanti jatuh,” seru Snow Angel mencegah Charlie. Namun Charlie terus berlari mendekati kolam itu. Snow Angel mempercepat langkahnya mendekati Charlie.

Ketika ia tiba di sisinya, Charlie langsung berseru,” Ini rumah Anda? Indah sekali!”

“Kau suka?” tanya Snow Angel.

“Ya,” jawabnya, “Apa nama rumah ini?”

“Troglodyte Oinos.”

“Trog… Troglog … Ah, bukan itu. Apa namanya?” kata Charlie sebal.

Snow Angel tertawa melihat kesebalan Charlie hanya karena tak dapat mengucapkan nama rumah ini dengan tepat.

“Troglodyte Oinos,” ulang Snow Angel.

“Sulit sekali mengucapkan nama rumah ini,” keluh Charlie.

“Tentu saja sulit. Sebab nama rumah ini dari Bahasa Yunani,” kata Snow Angel membesarkan hati anak itu.

“Bahasa Yunani?” ulang Charlie.

Snow Angel menganggukan kepalanya.

“Pantas namanya sulit kuucapkan dan terdengar aneh,” kata Charlie, “Apa artinya?”

“Troglodyte berarti ‘seorang memasuki gua’ sedangkan Oinos artinya ‘rumah’. Jadi arti Troglodyte Oinos adalah ‘rumah manusia gua,” jelas Snow Angel.

“Rumah manusia gua? Aneh sekali!”

“Menurutku tidak.”

“Mengapa?”

“Karena nama itu tepat dengan suasana di sekitar rumah ini yang dikelilingi hutan. Seperti gua tempat tinggal manusia purba yang letaknya di tengah hutan.”

“Aku tak mengerti,” kata Charlie.

“Kelak engkau akan mengerti.”

Charlie kemudian sibuk memperhatikan kolam di depannya itu sementara Snow Angel duduk di tepi kolam sambil memperhatikan Charlie tanpa menyadari sepasang mata yang sedang mengamati mereka.

Rupanya tidak hanya mereka berdua saja yang berada di sekeliling kolam itu. Agak jauh dari kolam itu di balik sebuah pohon seorang laki-laki mengawasi mereka dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Vladimer.

Seperti halnya mereka berdua, ia baru saja dari berjalan-jalan di hutan sekeliling Troglodyte Oinos. Semula ia akan berjalan terus masuk ke dalam hutan itu, tapi ia tiba-tiba mendengar suara seruan. Segera ia mendekati asal seruan tersebut dan mendapati Angella bercakap-cakap dengan anak kecil. Ia memandang takjub pemandangan di depannya itu. Ia merasa sukar mempercayai apa yang dilihat matanya itu.

Sukar dipercaya memang melihat gadis itu tertawa riang. Gadis itu terkenal sedemikian dinginnya sehingga orang-orang percaya sukar membuatnya tertawa bahkan sebagian dari mereka percaya gadis itu tidak dapat tertawa riang.

Namun apa yang dilihatnya kini benar-benar berbeda dengan pendapat orang mengenai gadis itu. Ia melihat dan mendengar sendiri Angella bercanda dengan anak kecil itu.

“Siapa mereka?” tanya Charlie sambil menunjuk patung dewa-dewi Yunani yang menghiasi kolam itu.

“Mereka adalah dewa-dewi Yunani Kuno,” jawab Snow Angel.

“Ini siapa?” tanyanya sambil menunjuk sebuah patung.

“Itu dewa Apollo, putra dewa Zeus. Ia itu dewa kesusastraan sedangkan ayahnya adalah raja segala dewa. Ini patungnya,” kata Snow Angel menunjuk patung yang lain.

“Hebat sekali! Saya juga mau menjadi raja para dewa.”

“Tetapi menjadi raja para dewa itu berat sekali.”

“Berat?”

“Ya, engkau akan mempunyai banyak tugas. Engkau harus berbuat ini… berbuat itu. Pokoknya banyak sekali sehingga engkau tidak punya waktu untuk bermain.”

Charlie termenung murung dan berkata, “Saya tidak lagi berniat ingin menjadi raja para dewa. Kasihan Dewa Zeus. Ia tidak bisa bermain-main seperti saya. Pasti sekarang ia repot sekali, ya?”

Snow Angel tersenyum geli melihat keluguan Charlie.

“Mamanya Dewa Apollo mana?” tanya Charlie sambil memandangi patung-patung itu satu per satu.

“Ini. Namanya Dewi Hera,” tunjuk gadis itu.

“Lalu yang lainnya ini siapa?” tanya Charlie ingin tahu.

“Yang ini putri Dewa Zeus, Dewi Athena. Di sisi kirinya itu adalah Dewi Aphrodite. Lalu yang memegang tombak berujung tiga itu Dewa Poseidon.”

“Mereka tentu hebat-hebat,” seru Charlie kagum.

“Benar, mereka semuanya hebat. Tetapi dewa-dewi Yunani Kuno itu banyak sekali, tidak hanya mereka ini.”

“Benarkah? Maukah Anda memberi tahuku?”

“Tentu, tetapi tidak sekarang. Sekarang kita masuk dulu dan makan pagi. Engkau belum makan pagi, bukan?”

Charlie mengangguk membenarkan Snow Angel.

”Anda berjanji akan menceritakan tentang dewa-dewi itu pada saya?” mohon Charlie.

“Ya, saya berjanji akan menceritakannya padamu, anak manis,” tegas Snow Angel, “Sekarang mari kita masuk.”

Dibimbingnya anak itu meninggalkan kolam air mancur yang sejak tadi dikaguminya itu, langsung menuju ke kamarnya.

Ketika ia masuk ke kamarnya, ia mendapati Nanny sedang merapikan kamarnya.

Nanny terkejut melihat kedatangannya bersama seorang anak laki-laki. Ia baru saja hendak bertanya mengenai anak itu ketika Snow Angel berkata:

“Nanny, saya ingin makan pagi bersama anak ini di Ruang Kanak-Kanak.”

Snow Angel tidak ingin memberi penjelasan kepada Nanny mengenai anak yang dibawanya itu. Segera, setelah menyampaikan pesannya pada Nanny, ia meninggalkan kamarnya dan mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak.

Nanny memaklumi sikap gadis itu yang tak ingin memberi penjelasan mengenai anak yang dibawanya serta dari berjalan-jalan di sekitar Troglodyte Oinos.

“Mungkin Tuan Puteri tidak tahu siapa anak itu sehingga ia tidak berkata apa-apa mengenai anak laki-laki itu,” pikir Nanny sambil mengawasi sosok mereka berdua yang menghilang di balik pintu, “Tapi siapakah anak itu? Dari mana Tuan Puteri menemukan anak itu? Mengapa sepagi ini anak itu berada di hutan sekitar rumah ini?”

Nanny terus berpikir berusaha menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya. Tetapi ia tetap tidak dapat menjawabnya. Ia merasa kecewa tidak dapat menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dengan segera ditepisnya perasaan itu dan ia mulai menyelesaikan tugasnya merapikan kamar Snow Angel. Selesai merapikan kamar gadis itu, ia bergegas ke dapur hendak mengambilkan sarapan pagi bagi Snow Angel dan anak itu.

Juru masak yang melihat Nanny menyiapkan sarapan pagi untuk dua orang, bertanya heran:

“Untuk siapa saja Anda menyiapkan sarapan pagi itu, Nanny?”

“Untuk Tuan Puteri dan seorang anak kecil yang dibawanya,” jawab Nanny.

“Anak kecil?” tanya pelayan lain yang mendengar jawaban Nanny.

“Ya. Tadi Tuan Puteri membawa seorang anak laki-laki sepulang berjalan-jalan di hutan sekitar rumah ini,” ulang Nanny.

“Siapa anak itu? Di mana Tuan Puteri menemukannya dan juga mengapa anak itu berada di hutan sekitar rumah ini sepagi ini?” tanya juru masak.

“Saya tidak tahu. Pertanyaan itu tadi jega muncul dalam benak saya, tapi saya tidak mampu menjawabnya. Tuan Puteri juga tidak berkata apa pun mengenai anak itu. Mungkin tadi Tuan Puteri tidak sengaja melihat anak itu di hutan dan kemudian dibawanya anak itu kemari,” ujar Nanny.

“Ya. Itu mungkin saja,” kata pelayan tadi menyetujui ucapan Nanny kemudian ia meninggalkan Nanny dan juru masak itu berdua sebab masih ada tugas yang harus diselesaikannya.

“Di mana orang tua anak itu? Mengapa mereka membiarkan anak itu berada di sekitar sini sepagi ini?” tanya juru masak tak mengerti.

Nanny mengakui kebenaran ucapan juru masak itu. Walaupun hutan di sekitar Troglodyte Oinos bukanlah hutan angker, tetapi tetap saja berbahaya bagi seorang anak kecil untuk berada sendirian di sana pada pagi hari.

“Saya tidak tahu,” jawab Nanny sambil mengangkat bahunya, “Tapi sepertinya anak itu bukan anak terlantar, pakaian anak itu cukup baik. Anak itu juga tampak sehat.”

“Saya rasa ada baiknya bila Anda membawakan segelas susu segar bagi anak itu,” usul juru masak.

“Ya, Anda benar. Anak itu pasti senang sekali,” kata Nanny menyetujui usul juru masak itu.

Juru masak menyiapkan segelas susu kemudian memberikannya kepada Nanny.

“Bagaimana rupa anak itu?”

“Anak itu lucu dan cukup tampan. Tapi menurut saya, tak selucu dan setampan Tuan Muda Frederick dan Tuan Muda Oscar sewaktu kecil. Rambut anak itu warnanya hitam seperti rambut Tuan Muda Frederick, matanya juga berwarna hitam.”

Juru masak tertawa mendengar ucapan Nanny. “Tentu saja Anda menganggap Tuan Muda lebih lucu dan tampan dari anak itu sebab Anda lebih menyayangi Tuan Muda berdua.”

“Sudahlah. Saya permisi dulu. Saya akan mengantarkan sarapan ini bagi mereka berdua,” kata Nanny sambil mengangkat nampan berisi makanan itu dan bergegas menuju Ruang Kanak-Kanak.

Ketika hampir tiba di Ruang Kanak-Kanak, didengarnya suara canda tawa mereka berdua. Nanny tersenyum bahagia mendengarnya.

Perlahan-lahan dibukanya pintu Ruang Kanak-Kanak itu. Dilihatnya anak asuhnya itu sedang bermain dengan anak itu. Mereka tampak gembira sekali bermain di Ruang Kanak-Kanak itu. Hampir semua mainan yang dulu merupakan milik kakak-kakak Snow Angel dikeluarkan oleh gadis itu untuk dipakai bermain oleh anak itu.

Nanny terharu melihat kebahagiaan anak asuhnya itu, sudah lama ia tak melihat gadis itu sebahagia kini, walaupun gadis itu sering bermain bersama anak-anak Panti Asuhan Gabriel.

Dengan hati-hati ditatanya makanan yang dibawanya itu agar tidak menganggu mereka berdua, di meja yang terletak di tengah ruangan itu.

Nanny tidak ingin mengganggu mereka tapi ia tahu ia harus memberi tahu mereka bahwa makanan telah siap. Dengan enggan Nanny memanggil anak asuhnya itu.

Snow Angel memalingkan kepalanya mendengar panggilan Nanny. Ia segera bangkit dan meminta Nanny untuk mengirimkan kedua pucuk surat yang dibawanya.

Nanny menerima surat-surat itu dan bergegas meminta Thompson untuk mengirimkan kedua pucuk surat itu.

“Thompson, apakah engkau sedang sibuk?”

“Tidak, Nanny. Seperti yang Anda lihat, saya sedang bercanda dengan kuda-kuda ini,” jawab Thompson, “Ada keperluan apa sehingga Anda mencariku, Nanny?”

“Tuan Puteri meminta Anda untuk mengirimkan kedua pucuk surat ini,” jawab Nanny sambil menyerahkan kedua pucuk surat yang diterimanya dari Snow Angel itu kepada Thompson.

Thompson mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Nanny dan membaca alamat surat itu. Ia mengangguk tanda mengerti dan berkata, “Saya mengerti, Nanny. Akan segera saya kirimkan surat-surat ini.”

Nanny meninggalkan Thompson yang sedang mempersiapkan kuda. Tanpa terburu-buru ia kembali ke Ruang Kanak-Kanak. Nanny terkejut mendapati Lady Stefanie sedang menangis terharu di depan pintu Ruang Kanak-Kanak.

“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Nanny cemas.

“Oh, Nanny… Tak kaudengarkah itu. Sudah lama sekali aku tak mendengar suara tawa anak itu,” jawab Countess terharu.

“Ya, memang telah lama Tuan Puteri tidak tertawa seriang ini.”

“Siapakah anak kecil yang bersamanya itu, Nanny? Aku juga mendengar suara anak kecil yang berasal dari Ruang Kanak-Kanak ini.”

“Saya juga tidak tahu. Tadi Tuan Puteri membawa serta anak itu bersamanya sepulang berjalan-jalan di hutan. Sepertinya anak itulah yang membuat Tuan Puteri bahagia.”

“Mungkin juga, Nanny.”

Tiba-tiba Nanny terpekik pelan, “Mengapa Anda berada di sini, Yang Mulia? Bukankah seharusnya Anda beristirahat di kamar, Anda baru saja sembuh dari sakit.”

“Aku tahu hal itu, Nanny. Tadi sewaktu aku baru kembali dari Ruang Makan dan hendak menuju kamar, saya mendengar suara tawa yang berasal dari ruangan ini. Karena tertarik mendengarnya, maka saya ke mari dan menyadari tawa itu tak lain adalah tawa anakku,” cerita Countess, “Tawa yang selama ini kurindu-rindukan.”

“Nanny, sebaiknya kita biarkan saja mereka berdua. Aku tidak ingin menganggu kebahagiaan mereka berdua.”

“Anda benar, Yang Mulia. Mari saya antarkan Anda ke kamar Anda.”



*****Lanjut ke chapter 8

No comments:

Post a Comment