Saturday, May 26, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 6

Di kamar, Nanny telah memasang beberapa lilin dan menyiapkan sebuah bak mandi baginya. Tanpa mengatakan apa-apa, ia segera membantu Snow Angel melepaskan pakaiannya. Snow Angel segera masuk ke bak dan membasuh badannya dengan air hangat di bak itu.

Snow Angel merasa segar kembali setelah selesai mandi, ketika ia melihat Nanny hendak meraih sebuah gaun malam, lekas-lekas ia mencegah:

“Jangan, Nanny! Ambilkan saja sebuah gaun tidur untukku!”

Kening Nanny mengkerut heran mendengarnya, namun ia tetap meraih sebuah gaun tidur bagi Snow Angel sesuai dengan permintaannya.

Gaun tidur yang diambil Nanny untuk Snow Angel itu berwarna ungu muda yang tampak manis dengan lengannya yang panjang dan renda yang berwarna hijau cerah di bagian leher.

Snow Angel mengerti keheranan Nanny saat ia membantunya mengenakan gaun tidur itu. Ia tidak ingin membuat wanita yang disayanginya itu bingung, maka ia menjelaskan:

“Malam ini aku ingin makan di kamar. Tolong katakan hal ini pada Frederick dan Oscar, Nanny. Aku merasa letih dan ingin lekas beristirahat.”

Nanny mengangguk mengerti, sambil menyisiri rambut Snow Angel yang telah diuraikannya kembali itu, ia bertanya:

“Anda akan makan malam sekarang atau nanti, Tuan Puteri?”

“Nanti saja, Nanny. Bukankan tak lama lagi tiba waktunya untuk makan malam ?”

“Kalau begitu saya akan mengambilkan teh untuk Andda, Tuan Puteri. Tadi sore Anda tidak makan atau minum apapun.”

Snow Angel mengangguk perlahan. Saat ini ia memang haus dan lelah. Tapi ia tidak begitu merasa lapar. Dibiarkannya Nanny keluar kamarnya untuk mengambilkan secangkir teh baginya.

Kini ia sendirian di kamarnya yang besar itu, dipandanginya kotak-kotak yang berisi barang-barang yang tadi dibelinya dari Shawky Market untuk Charlemagne serta Mr dan Mrs Boudini yang berada di dekat kaki meja riasnya yang terbuat dari kayu mahony yang diukir dengan indahnya.

Kemudian ia melangkahkan kakinya ke serambi kamarnya. Angin malam yang bertiup menembus gaun tidurnya yang tipis membuat kulitnya kedinginan. Tetapi ia tidak menghiraukannya, saat ini pikirannya melayang jauh memikirkan banyak hal. Pandangan matanya menerawang jauh ke depan menembus kegelapan malam.

Sebuah gagasan muncul dalam benaknya tepat ketika Nanny masuk ke kamarnya kembali dengan membawa sebuah nampan di tangannya.

Nanny terpekik kaget melihatnya berdiri di serambi dengan hanya mengenakan gaun tidurnya yang tipis membuyarkan lamunannya:

“Ya ampun, Tuan Puteri! Apa yang Anda lakukan? Anda bisa jatuh sakit bila berdiri di sana terus-terusan tanpa mengenakan mantel.”

Nanny meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja rias, lalu mendekati Snow Angel yang masih agak terkejut. Ia membimbing Snow Angel masuk dan kemudian menutup jendela yang menuju ke serambi.

Tirai-tirai jendela itu yang menyentuh lantai dibiarkannya terbuka agar sinar bulan dapat masuk ke kamar ini. Snow Angel masih belum pulih dari keterkejutannya sehingga ia diam saja.

“Mengapa Anda tadi berdiri di luar tanpa mengenakan mantel, Tuan Puteri? Walaupun sekarang sudah menjelang musim semi, tetapi angin dingin yang bertiup dapat membuat Anda sakit,” nasihat Nanny lembut sambil menuangkan teh dan menyodorkannya kepada Snow Angel.

“Minumlah teh hangat ini, Tuan Puteri agar badan Anda menjadi hangat dan tidak sampai jatuh sakit setelah berdiri di serambi tadi.”

Snow Angel menerima teh itu dari tangan Nanny dan meminum beberapa teguk sebelum menyerahkannya kembali itu kepada Nanny.

“Terima kasih, Nanny. Sudahkan kau sampaikan pesanku kepada Frederick dan Oscar?”

“Sudah, Tuan Puteri. Mereka juga berpesan kepada saya untuk menyampaikan kepada Anda agar Anda segera tidur dengan nyenyak.”

Snow Angel tersenyum ragu-ragu dalam hati mendengar pesan kakak-kakaknya itu, ia ragu apakah ia sanggup tidur dengan nyenyak malam ini. Ia merasa terlalu gembira untuk tidur nyenyak. Namun ia menahan perasaannya itu dengan berkata:

“Dapatkah engkau mengambilkan beberapa helai kertas dan pena untukku, Nanny?”

Nanny terkejut mendengar permintaan Snow Angel, ia tidak menduga gadis ini akan memintanya mengambil beberapa kertas dan pena baginya. Ia berharap gadis ini lekas tidur seperti yang dipesankan kakak-kakaknya, sebab gadis ini tampak lelah walaupun Snow Angel tidak mengakuinya.

“Tentu saja, Tuan Puteri. Tetapi untuk apa, Tuan Puteri?” tanya Nanny ingin tahu.

“Ambilkan saja untukku, Nanny. Ambilkan dari ruang perpustakaan. Kau tahu tempatnya bukan?” kata Snow Angel menegaskan permintaannya.

“Ya, saya tahu tempatnya. Tapi …” jawab Nanny ragu-ragu.

“Ayolah, Nanny. Ambilkan untukku,” desak Snow Angel setengah memohon.

Mendengar desakan Snow Angel yang memohon itu, hati Nanny tergerak. Ia bingung tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya, menuruti Snow Angel atau menyuruhnya beristirahat. Saat ini ia menginginkan Snow Angel beristirahat, namun hati kecilnya juga memintanya untuk menuruti permintaan Snow Angel.

Snow Angel memperhatikan Nanny yang kebingungan itu. Ia ingin memberi waktu kepada Nanny untuk berpikir sebelum mengambil keputusan. Ia tidak akan memaksa pengasuhnya itu.

Bila pengasuhnya itu menolak dan memintanya untuk tidur, maka ia akan pura-pura tidur. Lalu setelah Nanny meninggalkan kamarnya, ia akan pergi diam-diam ke ruang perpustakaan untuk mengambil beberapa helai kertas dan pena.

Snow Angel hanya dapat diam – memandang Nanny sambil berharap Nanny mau mengambilkan apa yang diinginkannya saat ini. Ia sama sekali tak sadar kalau Nanny tergerak hatinya saat memandang wajahnya yang penuh harapan itu.

Ia merasa putus asa, “Nanny akan menyuruhku tidur dan tidak akan mengambilkannya untukku,” pikirnya.

Snow Angel bukanlah gadis yang suka main perintah pada orang lain. Kalaupun ia memberi perintah, biasanya perintahnya itu lebih halus kata-katanya sehingga lebih terasa sebagai permintaan bukan perintah.

Mungkin itulah sebabnya mengapa tiap ia memberi perintah, orang lain pasti melakukannya dengan sepenuh hati. Walau mula-mula mereka ragu-ragu, seperti Nanny saat ini. Wanita tua ini ragu-ragu tetapi akhirnya ia berkata:

“Baiklah, Tuan Puteri. Akan saya ambilkan.”

Snow Angel tersenyum puas mendengarnya. Dipandanginya sosok Nanny yang berjalan ke pintu kamarnya kemudian menghilang di balik pintu itu. Ia tahu sekali Nanny jarang menolak permintaannya, Nanny selalu berusaha menuruti permintaannya sejak ia masih kecil.

Sambil duduk di kursi depan perapian kamarnya, ia mulai merangkai kata-kata yang akan ditulisnya pada kertas itu nanti. Pada kertas-kertas itu akan ditulisnya sebuah surat yang mengabarkan kedatangan Charlemagne kepada nenek serta ibunya. Ia yakin nenek Charlemagne akan senang mendengar berita ini, tetapi entah sang ibu akan senang atau tidak.

Ia bimbang sebaiknya memberitakan kabar ini pada mereka atau tidak, dipikirkannya kembali gagasan ini masak-masak. Ia tidak ingin membuat mereka gusar terutama Ibu Charlemagne walau ia tahu Nenek Charlemagne pasti gembira mendengar kabar ini.

Tapi merupakan suatu kesalahan besar bila tidak memberitahu mereka kabar ini atau setidak-tidaknya memberitahukan kedatangan Charlemagne ini kepada neneknya. “Ya, aku akan memberitahukan kabar ini kepada nenek Charlemagne dulu baru kemudian ibunya,” gumamnya sendiri.

Ia memandang pintu menanti kedatangan Nanny. Lama ia memandang pintu itu menanti Nanny, ia mulai berpikir apa yang sedang dilakukan Nanny sehingga tidak segera muncul-muncul.

Sesaat kemudian terdengar langkah-langkah kaki di koridor depan kamarnya. Langkah-langkah kaki itu bukan langkah-langkah ringan seorang wanita seperti yang diharapkannya, melainkan langkah-langkah berat seorang pria yang dikenalnya dengan baik sebagai langkah Frederick.

Frederick terus berjalan melewati kamarnya sendiri dan berhenti di depan pintu kamar Snow Angel. Snow Angel menjadi kesal mendengar kakaknya yang mengetuk pintu bukan Nanny seperti yang sedang diharapkannya.

Ia tidak ingin mendengar ceramah Frederick untuk malam ini. Ia ingin segera lekas menulis surat bagi nenek dan ibu Charlemagne.

“Masuk!” serunya dingin menandakan kekesalan hatinya.

Ia memandang kesal pada Frederick yang berjalan ke arahnya. Di tangannya, ia memegang beberapa helai kertas dan sebuah pena seperti yang sedang diinginkannya saat ini.

Tiba-tiba muncul prasangka buruk dalam hatinya, muncul perasaan bahwa Frederick telah mengetahui semua yang dilakukannya selama ia pergi tadi dari Nanny. Ia menyesal tidak meminta Nanny untuk merahasiakan segala tindakannya tadi kepada Frederick dan Oscar.

Dilihatnya raut wajah Frederick yang aneh yang nampak seperti menahan perasaan entah perasaan apa.

Ia akan memarahiku, pikir Snow Angel kesal.

Frederick berjalan hingga sampai di samping adiknya. Ditatapnya lekat-lekat wajah adiknya seolah tak ingin membiarkan Snow Angel kabur. Ia mengangkat barang yang dibawanya dan melambai-lambaikan barang itu sambil berkata:

“Kata Nanny, kau meminta kertas dan pena ini. Boleh aku tahu untuk apa kertas dan pena ini?”

“Menulis,” jawab Snow Angel singkat.

Frederick menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban adiknya. “Ya, aku tahu bila seseorang membutuhkan pena dan kertas, ia pasti akan menulis. Yang kuingin tahu darimu adalah kau ingin menulis apa pada kertas ini?”

“Kau tak perlu tahu,” jawab Snow Angel dingin.

Frederick tersenyum lembut pada adiknya, diletakkannya kertas-kertas dan pena itu di pangkuan Snow Angel. Lalu ia duduk di atas lantai yang berpermadani itu di samping adiknya sambil tetap memandangi wajah adiknya.

“Kau akan menulis surat?” tanyanya hati-hati.

Snow Angel diam tidak menanggapi pertanyaan Frederick. Ia memandang ke depan ke perapian yang tak menyala itu. Pandangan matanya menerawang di keremangan kamarnya terus menembus ke dalam kegelapan perapian itu.

Sesaat kemudian terasa tangannya ditepuk-tepuk lembut penuh kasih sayang oleh Frederick. Ia diam tak bereaksi – tetap memandang ke depan.

“Kenapa tak kau katakan kepadaku saja?” tanya Frederick lembut.

Snow Angel langsung menoleh – menatap wajah Frederick mendengar pertanyaan Frederick itu. “Kepadamu?”

“Aku tahu. Aku tahu semuanya…”

“Dari Nanny?” potong Snow Angel tajam.

“Ya,” kata Frederick menganggukan kepalanya, “Nanny mengatakan kalau kalian pergi ke Panti Asuhan Gabriel sebelum berbelanja.”

“Lalu?” potong Snow Angel lagi sambil memincingkan matanya hendak menyelidiki apa saja yang diketahui Frederick.

“Lalu aku mengambil kesimpulan kalau kau akan meminta kepada Papa untuk membantu Panti Asuhan Gabriel itu saat Nanny muncul ke Ruang Perpustakaan hendak mengambilkanmu kertas dan pena.”

“Oh ya,” kata Snow Angel sinis.

Frederick menghela napas dalam-dalam dan menepuk tangan adiknya lagi. “Nanny juga bercerita kepadaku tentang keadaan panti itu. Dan kau tahu kalau selama Papa pergi, akulah yang mengurus segala-galanya. Lagipula aku tak pernah menolak permintaanmu, bukan?”

Snow Angel pandangan matanya ke perapian lagi. Dibiarkannya tangan Frederick memegang tangannya. Ia merasa lega Nanny tak menceritakan kepada kakak-kakaknya bahwa tadi ia pergi berbelanja sendiri, dan kini Frederick menduga ia akan menulis surat pada Earl, ayah mereka.

Tapi ia juga cemas memikirkan ia terpaksa harus berbohong pada Frederick. Ia tidak ingin membohongi kakaknya.

Frederick diam memandang adiknya. Ia berusaha membaca perasaan adiknya, berusaha mengerti apa yang sedang dipikirkan adiknya itu.

Sesaat suasana menjadi hening dalam kamar itu, sebelum pada akhirnya Frederick berkata:

“Aku tahu kau marah padaku atas kelakuan kami sewaktu engkau tiba tadi sehingga engkau tidak mau menceritakannya kepadaku.”

Frederick diam sejenak untuk mengetahui reaksi Snow Angel. Adiknya diam saja – tak bereaksi apa pun, maka ia menduga tebakannya tepat. “Maafkan kami, Snow Angel. Kau tahu kami tadi berbuat begitu karena kami mengkhawatirkan dirimu. Kami tak bermaksud menyalahkanmu, kami hanya cemas menunggumu,” lanjutnya.

Snow Angel merasa sedih mendengar kata-kata Frederick yang terasa memohon itu. Dipandanginya wajah kakaknya dengan pandangan mengiba. “Tak ada suatu pun yang perlu dimaafkan. Kalian tak perlu minta maaf padaku. Aku sendiri juga bersalah dalam hal ini, aku membuat kalian cemas. Lagipula aku tidak sedang marah pada kalian.”

“Kau tahu aku tidak pernah marah pada kalian. Aku tahu kalian berbuat seperti itu karena sayang padaku dan tak ingin sesuatu yang tak diharapkan terjadi padaku. Tapi, Freddy, tak dapatkah kau dan Oscar berhenti memikirkanku atau setidak-tidaknya pikirkan juga diri kalian.”

Frederick terkejut mendengar kalimat terakhir adiknya. Ia terpekik kaget, “Apa maksudmu berbicara begitu? Kau itu …”

Frederick tidak dapat melanjutkan kata-katanya, jari-jari adiknya menahan kata-katanya di mulutnya.

“Oh … Freddy jangan marah. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku tahu kau akan selalu memikirkanku karena aku adikmu. Maksudku tak pernahkah kau dan Oscar berpikir tentang masa depan kalian.”

Frederick mengangkat tangan adiknya dari mulutnya dan menggenggamnya. “Aku tiap hari selalu berpikir tentang itu. Tiap hari aku berpikir mengenai masa depanmu dengan seorang pria yang tampan dan gagah seperti Vladimer, misalnya,” kata Frederick. Mata Frederick bersinar-sinar membayangkan hal itu, secercah senyum bahagia tersungging di bibirnya.

Tak disadarinya perubahan muka adknya yang kini menjadi kaku dan tegang. Adiknya itu tak pernah sekalipun memikirkan masa depan khususnya yang menyangkut pernikahan bagi dirinya. Ia senantiasa memikirkan kakak-kakaknya.

“Freddy, bukan masa depanku yang kumaksudkan,” sahutnya kaku, “Yang aku maksudkan masa depanmu dan Oscar. Tidak sadarkah engkau, kau ini semakin tua bukan semakin muda begitu juga Oscar. Tahun ini saja umurmu sudah 33 tahun dan Oscar 28 tahun, tetapi kalian tidak …”

“Berhenti! Aku tahu kelanjutannya, tidak perlu dilanjutkan. Mama Papa sudah sering mengatakannya,” potong Frederick cepat-cepat sebelum adiknya menyelesaikan kalimatnya.

Ia merasa bosan mendengar kalimat-kalimat yang bernada hampir sama dengan kalimat adiknya. Memang sudah sering kedua orang tuanya memberi nasehat padanya mengenai usianya yang semakin tua tetapi belum menikah padahal ialah yang kelak diharapkan untuk menggantikan ayahnya.

Snow Angel tertegun mendengar kata-kata kakaknya itu, tak pernah dikiranya orang tuanya sudah sering mengucapkan hal itu pada kedua kakaknya juga, sebab selama ini tak pernah sekalipun mereka berbicara tentang hal tersebut di depan matanya.

Selama ini ia selalu mengira bahwa kedua orang tuanya merasa bahwa kedua kakaknya itu sudah mengerti akan hal itu sehingga tak perlu mereka memperingati kedua kakak-kakaknya itu.

“Mama Papa?”

“Ya.”

“Kapan? Mengapa aku tidak tahu?” tanya Snow Angel heran.

“Mereka membicarakannya padaku dan Oscar bila kau tak ada.”

“Mengapa mereka tak membicarakannya selagi aku ada?”

“Karena permintaanku.”

“Permintaanmu?” ulang Snow Angel.

“Ya.” Frederick menganggguk membenarkan pernyataan tadi.

“Mengapa?”

“Karena aku tidak ingin engkau memikirkannya juga. Tapi sungguh tak kusangka ternyata engkau juga memikirkannya, selama ini kau tampak selalu acuh. Kau ini memang sulit ditebak,” jawab Frederick menggoda adiknya.

“Karena aku juga telah ikut memikirkannya, maka maukah engkau mulai sekarang memikirkan hal ini juga?”

“Tidak,” jawabnya tegas.

“Mengapa?” tanya Snow Angel berusaha memahami jalan pikiran kakaknya.

“Karena janji,” jawab Frederick singkat tak mau menjelaskan lebih lanjut. Namun hal ini membuat adiknya semakin ingin mengetahui jalan pikiran Frederick yang tak mau memikirkan masa depannya sendiri. “Janji apa?” desak Snow Angel.

Frederick menggelengkan kepalanya menolak menjawab pertanyaan adiknya. Ia memandang wajah adiknya dalam keremangan cahaya lilin di ruangan itu. Wajah adiknya menyorotkan keinginan agar pertanyaannya dijawab dengan jujur.

Hati Frederick terombang-ambing antara keinginan menolak pertanyaan itu dan keinginan untuk mengabulkan keinginan adiknya.

Bukan hanya sekali ini saja ia bimbang karena adiknya yang satu ini. Acap kali apa yang dianggapnya paling baik bagi Snow Angel bertentangan dengan keinginan adiknya itu. Dan biasanya pada akhirnya ia mengalah pada keinginan adiknya.

“Karena janjiku pada diriku sendiri,” jawab Frederick pada akhirnya,” Janjiku sewaktu engkau lahir.”

“Aku?” kata Snow Angel tak mengerti.

“Waktu engkau lahir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu. Bahkan …,” jelasnya, “Bahkan … aku berjanji untuk tidak memikirkan kepentingan diriku sendiri sampai engkau benar-benar mandiri.”

“Aku sekarang telah dewasa, bukan? Kurasa sekarang engkau dapat mulai memikirkan dirimu sendiri.”

“Tidak, aku masih belum dapat melakukannya,” bantah Frederick.

“Mengapa?” tuntut Snow Angel.

“Di usiamu yang sekarang ini, engkau memang telah dewasa. Tapi aku masih menganggap kedewasaanmu itu belum cukup matang untuk membuatku berhenti mencemaskanmu.”

“Apa yang masih kurang pada diriku sehingga kau masih belum dapat berhenti mencemaskanku?”

“Pendamping! Sampai saat itu tiba, aku tidak dapat berhenti. Aku baru rela berhenti mencemaskanmu bila engkau telah berada di tangan orang yang tepat.”

“Freddy, kurasa selama ini aku sudah punya pendamping seperti yang kaukatakan. Selama ini kau dan Oscar selalu mendampingiku ke mana pun aku pergi.”

“Sudahlah, jangan membujukku terus menerus. Sekarang, engkau mau mengatakan permintaanmu pada Papa?”

“Entahlah.”

“Mengapa…,” kata Frederick terhenti oleh suara ketukan pintu. “Kurasa Nanny yang datang.”

Frederick bangkit kemudian meminta penegasan dari adiknya, “Berjanjilah bahwa kau akan menceritakannya padaku.”

Snow Angel memikirkannya apa yang harus dilakukan agar rahasia tetap menjadi rahasia. Setelah menimbang masak-masak jawaban yang akan diutarakannya, ia akhirnya menganggukan kepala.

Frederick tersenyum puas melihatnya, “Bila demikian halnya, engkau sudah tidak memerlukan kertas-kertas itu lagi.”

“Tidak, biarkan saja barang-barang ini tetap di sini,” sahutnya.

Setelah mencium pipi adiknya dan mengucapkan selamat malam, Frederick meninggalkan adiknya yang kini ditemani Nanny.

“Silakan makan, Tuan Puteri! Makanan telah saya siapkan.”

Gadis itu bangkit kemudian meletakkan barang-barang di pangkuannya itu di meja rias. Nafsu makannya hilang setelah percakapannya dengan kakaknya tadi. Namun demi menyenangkan hati wanita tua itu, ia memakan makanan itu.

Nanny segera membawa makanan-makanan itu ke dapur setelah Snow Angel menyelesaikan makan malamnya.

Kini Snow Angel sendirian di kamarnya. Ia duduk di depan meja rias dan mulai menulis surat bagi Mrs. Dellas, nenek Charlemagne. Disimpannya surat itu di laci meja tersebut kemudian ia berbaring di tempat tidurnya.



*****Lanjut ke chapter 7

No comments:

Post a Comment