Thursday, May 24, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 4

Setelah berpamitan kepada Thompson, mereka berdua berjalan lagi ke Gereja St. Augustine. Suasana di dalam gereja itu sangat sunyi. Tak seorangpun tampak di sana. Mereka berdua berlutut di depan altar dan berdoa.

Nanny berdiri menuju altar dan mengambil jambangan bunga yang ada di atas meja lalu membantu Snow Angel menata bunga di jambangan itu.

Saat Nanny meletakkan kembali jambangan yang baru saja mereka tata itu di atas meja, terdengar suara pintu gereja berderit terbuka dan tampak seorang pendeta yang telah tua tersenyum berjalan ke arah mereka berdua.

“Tuhan memberkati Anda berdua.” Kalimat ini selalu dilontarkan pendeta tua itu sebagai salam pada mereka berdua.

“Terima kasih Anda berdua sudi meletakkan bunga-bunga yang indah itu di jambangan bunga yang sudah tua di atas altar itu.”

“Tidak apa-apa, Pendeta. Kami merasa itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai anggota gereja,” kata Snow Angel datar.

“Andaikan semua orang di dunia ini sebaik Anda, pasti dunia akan tentram dan damai,” kata Pendeta Paul tersenyum.

“Ceritakanlah mengenai keadaan gereja akhir-akhir ini, Pendeta!” kata Nanny.

Mereka bertiga kemudian duduk di kursi yang disediakan bagi para jemaat gereja. Snow Angel diam mendengarkan percakapan Pendeta dengan Nanny. Snow Angel berpendapat bahwa kedua orang ini cocok satu sama lain.

Pendeta Paul dan Nanny sama-sama senang bercerita, acapkali mereka bercerita hingga lupa waktu. Namun Snow Angel membiarkan hal itu sebab ia sendiri senang mendengarkan pembicaraan mereka berdua.

Sekali waktu mereka saling bercerita mengenai masa lalu mereka masing-masing, lain waktu tentang jemaat gereja atau penduduk setempat atau hal-hal lain yang menarik yang terjadi di sekitar mereka.

Mereka berdua selalu berbicara tiada putus-putusnya, seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Selalu saja ada yang mereka bicarakan.

Belum sampai sepuluh menit Snow Angel mendengar kedua orang itu bercerita ketika terdengar suara pintu berderit kembali. Mereka bertiga segera memalingkan kepala dan melihat kepada dua sosok wanita yang mengenakan pakaian biarawati muncul dari balik pintu yang dibuka itu.

Menilik pakaiannya, Snow Angel langsung tahu siapa kedua orang itu. Mereka tak lain adalah Miss Lyne dan Miss Mary.

Wajah Miss Lyne dan Miss Mary tampak berseri-seri bahagia ketika mendekati mereka.

“Mengapa kalian tampak gembira sekali?” tanya Pendeta Paul ingin tahu.

“Oh … Pendeta. Dapatkah Anda membayangkan betapa gembiranya hati saya ini. Lizt baru saja pergi dibawa ayahnya,” kata Miss Mary gembira.

“Ayahnya?” tanya Pendeta Paul.

“Betul, Pendeta. Tadi datang seorang pria yang mengaku sebagai ayah Lizt, ia kemari hendak mengambil Lizt yang ditinggalkannya di depan pintu gereja sembilan tahun yang lalu. Ia juga berkata akan segera membawa Lizt ke dokter,” Miss Lyne menjelaskan.

“Tuhan memang Maha Baik. Akhirnya Lizt yang malang dapat berjumpa kembali dengan ayahnya,” Pendeta Paul turut bergembira.

Mereka berempat terlalu gembira untuk menyadari ekspresi wajah Snow Angel yang kaku dan dingin.

Snow Angel turut merasa senang mengetahui Lizt telah berkumpul kembali dengan ayahnya.

Tapi ia juga merasa benci pada ayah Lizt yang selama sembilan tahun setelah meninggalkan Lizt di depan pintu gereja, tidak pernah menghubungi panti asuhan untuk mengetahui keadaan anaknya kini tiba-tiba muncul hanya untuk mengambil anaknya.

Ia tidak habis mengerti mengapa pria tersebut bisa berbuat begitu kejam pada anak kandungnya sendiri. Meninggalkannya di depan pintu gereja lalu kembali lagi hanya untuk mengambilnya.

Mengambilnya kembali setelah selama sembilan tahun tidak pernah mengasuh dan merawatnya, tidak pernah peduli pada keadaan putrinya.

Setelah meninggalkannya di depan pintu gereja saat di mana anak itu membutuhkan kasih sayang, saat gadis itu masih berumur dua tahun.

Entah berapa lamanya ia berpikir, entah berapa lamanya pula keempat orang itu bercakap-cakap dengan gembira. Yang pasti mereka berlima terkejut saat mendengar suara pintu gereja berderit dan muncul anak-anak dari Panti Asuhan Gabriel.

Mereka langsung menghambur mengelilingi kelima orang yang masih belum pulih dari keterkejutannya itu.

Seorang anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun berjalan mendekati Snow Angel dan langsung duduk di pangkuannya kemudian memeluknya.

Snow Angel balas memeluk bocah di pangkuannya itu dan bertanya lembut:

“Ada apa, Max?”

Max sudah tinggal di panti asuhan ini sejak bayi. Tiada orang yang tahu asal-usulnya, bocah ini ditemukan di tepi jalan oleh Pendeta Paul kemudian olehnya bayi itu dibawanya ke Panti Asuhan Gebriel dan diberi nama Max.

Max seperti halnya anak-anak panti yang lain sayang sekali pada Snow Angel, bahkan bocah ini sudah menganggapnya sebagai ibunya, ia memanggil ‘Mom’ pada Snow Angel. “Saya rindu sekali pada Anda, Mom,” katanya. “Maukah Anda membacakan sebuah buku untukku?”

“Kami juga!” seru anak-anak yang lain.

“Tentu saja saya mau membacakan sebuah buku bagi kalian semua, anak manis, sepuluh pun saya mau. Mari ikut saya,” kata Snow Angel tersenyum lembut pada anak-anak itu.

Snow Angel menganggukan kepala kepada keempat orang yang lebih tua darinya itu mohon diri meninggalkan gereja. Ia berjalan keluar menggendong Max diiringi anak-anak yang lain.

Keempat orang yang ada di dalam gereja itu memandangi kepergiannya diiringi anak-anak dengan tersenyum. Mereka semua terutama Nanny tahu gadis itu selalu bersikap dingin terhadap siapa saja kecuali anak-anak.

Gadis itu selalu bersikap ramah dan lemah lembut kepada anak-anak. Kepada orang dewasa, ia bersikap dingin dan acuh.

Mereka berempat kemudian meninggalkan gereja dan mendapati Snow Angel duduk di sebuah bangku di bawah sebatang pohon dikelilingi anak-anak yang memperhatikan cerita gadis itu.

Mereka berempat kemudian segera bergabung dengan gerombolan anak-anak yang sedang bergembira itu. Mereka semua bergembira ria hingga hari sore. Seperti biasanya, menjelang waktu minum teh, Snow Angel dan Nanny segera berpamitan pulang.

Di tengah perjalanan Nanny berkata, “Kelihatannya tadi Anda tidak begitu gembira sewaktu mengetahui Ayah Lizt mengambil Lizt kembali.”

“Aku hanya tidak senang dengan tindakannya meninggalkan Lizt di depan pintu gereja saat anak itu baru berusia dua tahun, kemudian mengambilnya kembali setelah anak itu sudah besar,” kata Snow Angel tajam.

“Saya sendiri juga kurang menyetujui tindakan Ayah Lizt itu. Namun setelah saya pikirkan kembali, saya merasa tindakannya itu tepat. Entah bagaimana keadaan Lizt sekarang seandainya ayahnya tidak meninggalkannya di depan pintu gereja setelah kematian istrinya,” kata Nanny mencoba memberi pengertian pada Snow Angel.

“Saya rasa ayah Lizt meninggalkannya di depan pintu gereja karena merasa tak sanggup merawat anak sekecil itu, dan sekarang ia mengambilnya karena merasa bertanggung jawab pada diri Lizt.”

Snow Angel tak memperhatikan ucapan Nanny. Saat ini matanya terpaku pada lapangan rumput yang ada di sisi kanan kereta.

Di tengah-tengah lapangan itu tampak sebuah tenda besar yang sedang didirikan oleh beberapa pria dan beberapa kereta serta sekelompok orang yang terlihat sibuk pula dan beberapa anak kecil yang sedang bermain.

Hatinya tersentak gembira melihat sederetan huruf pada sebuah kereta yang paling besar yang membentuk kalimat “Boudini’s Theatre.”

BOUDINI! Jadi keluarga Boudini akan mengadakan pertunjukkan di sini. Charlemagne… Charlemagne… akhirnya aku akan bertemu denganmu kembali. Oh Jenny… tahukah kau anakmu ada di sini sekarang, pikirnya gembira.

Ia begitu gembira membayangkan akan berjumpa kembali dengan Charlemagne, putra Jenny dan memperhatikan sekelompok anak kecil yang sedang bermain di lapangan rumput itu mencari Charlemagne hingga tidak mendengar segala cerita Nanny.

“Boudini’s Theatre” milik keluarga Boudini merupakan teater keliling yang terkenal di mana-mana. Walaupun sedikit jumlah aktris yang dimilikinya, namun teater ini mampu menampilkan pertunjukan-pertunjukan yang baik dan bersaing dengan teater-teater besar lainnya. Teater yang tak pernah menetap lebih dari tiga bulan di suatu tempat ini selalu dibanjiri pengunjung.

Tiba-tiba muncul suatu gagasan dalam benak Snow Angel untuk menghentikan kereta dan mengunjungi Charlemagne hari ini juga saat kereta itu mulai menjauhi lapangan rumput tadi. Namun diurungkannya niat itu karena ia tahu mereka sangat sibuk saat ini, sibuk mempersiapkan panggung pertunjukan mereka.

Lalu muncul gagasan lain dalam benaknya, ia berkata tegas:

“Nanny, mintalah pada Thompson untuk mengantar kita ke Guest Mess!”

Wanita tua itu terheran-heran dengan permintaan anak asuhnya itu. Namun ia tetap melakukan apa yang diperintahkan padanya itu.

Ia melongokkan kepalanya melalui jendela dan berseru kepada Thompson, “Antarkan kami ke Guest Mess, Thompson!”

“Baik,” seru Thompson pula.

Kemudian Nanny memandang heran pada Snow Angel.

Mengerti arti pandangan itu, maka Snow Angel menjelaskan, “Aku ingin menghabiskan waktu minum teh sore ini di luar rumah.”

Nanny mengangguk mendengarnya. Saat ini memang sudah hampir tiba waktunya untuk minum teh dan Guest Mess merupakan sebuah kedai minum yang setiap harinya menyediakan acara minum teh di sore hari seperti ini.

Kereta membelok di tikungan dekat lapangan rumput tadi menuju ke Guest Mess yang letaknya di pusat kota kecil ini. Dengan segera mereka tiba di sana. Begitu turun dari kereta, Snow Angel berkata:

“Nanny! Engkau, Thompson dan dua penjaga kuda itu pergilah menghabiskan waktu minum teh ini di Guest Mess.”

“Anda akan ke mana, Tuan Puteri?”

“Aku akan berbelanja di Shawky Market.”

“Biarlah saya menemani Anda berbelanja, Tuan Puteri.”

“Tidak, Nanny. Pergilah bersama mereka. Aku ingin berbelanja sendiri. Bila kalian sudah selesai, kalian pergilah ke Shawky Market untuk membantu membawa belanjaanku,” tukas Snow Angel tegas.

Walaupun Nanny selalu menuruti permintaannya, namun kali ini ia bersikeras untuk menemaninya. Selain karena bahaya bila seorang gadis apalagi yang semuda dan secantik Snow Angel berbelanja sendirian, juga dikarenakan ini pertama kalinya gadis itu pergi berbelanja sendirian.

Biasanya kedua kakaknya selalu menemaninya, dan bila mereka tidak dapat menemaninya, mereka akan memaksa Snow Angel agar mau ditemani Countess atau Nanny.

“Pergilah, Nanny!” kata Snow Angel memaksa.

Ia menyerahkan beberapa lembar uang kepada Nanny untuk membayar nanti kemudian berjalan berbalik menuju Shawky Market meninggalkan mereka yang terkejut dengan tindakannya.

“Entah apa kata Tuan Muda Frederick dan Oscar nanti,” kata Thompson memandangi sosok Snow Angel yang berjalan semakin jauh kemudian berbelok masuk ke Shawky Market.

“Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dikatakan kedua Tuan Muda kelak bila mengetahui hal ini. Tapi bila kita tidak menuruti perintah Tuan Puteri, ia akan marah,” kata Nanny kebingungan.

“Entahlah Thompson... Aku sendiri bingung apa yang harus kita lakukan sekarang. Mungkin lebih baik bila kita turuti saja perintah Tuan Puteri dan kemudian merahasiakan hal ini dari kedua Tuan Muda.”

“Mungkin kau benar, Nanny,” kata mereka serempak.

Mereka kemudian masuk ke Guest Mess untuk menghabiskan waktu minum teh di sana seperti yang diperintahkan Snow Angel. Mereka makan dengan tergesa-gesa karena khawatir akan keadaan Tuan Puteri mereka.

-----0-----


Setelah meninggalkan keempat pelayannya, Snow Angel bergegas menuju Shawky Market. Toko yang besar itu menjual berbagai macam barang, di sana ia bermaksud membeli sejumlah barang bagi keluarga Boudini dan terutama Charlemagne.

Ia tidak ingin keempat pelayannya mengetahui barang-barang yang akan dibelinya dan untuk siapa ia membeli barang-barang tersebut, maka ia sengaja menyuruh mereka minum-minum di Guest Mess sementara ia berbelanja.

Sepanjang jalan orang-orang memandangnya seakan-akan melihat sesuatu yang begitu indah dan menakjubkan. Beberapa pria mencoba bersikap kurang ajar padanya. Namun belum sempat mereka melakukannya, mereka sudah langsung mundur melihat tatapannya yang tajam dan dingin.

Begitulah gadis itu, banyak dikagumi orang karena kecantikkannya, sekaligus disegani orang karena kedinginan hati dan sikapnya seperti yang dikatakan keluarganya.

Saat itu mereka dalam perjalanan pulang setelah menghadiri pesta di rumah Lord Herald, saat yang pertama kalinya bagi Snow Angel untuk menghadiri pesta perjamuan makan malam.

Dalam pesta perjamuan itu, ia dikelilingi banyak laki-laki yang mengagumi kecantikkannya, namun ia bersikap dingin pada mereka. Hal tersebut membuat tamu-tamu yang lain heran, sebab tidak biasanya seorang gadis yang secantik dan semuda ia yang saat itu baru berusia empat belas tahun bersikap dingin kepada laki-laki yang mengaguminya.

Kebanyakkan gadis-gadis yang cantik akan senang bila ada pria yang mengaguminya, tapi hal ini rupanya tidak berlaku bagi Snow Angel. Ia bersikap acuh pada pujian-pujian yang ditujukan baginya.

Sejak saat itu ia menjadi terkenal akan kecantikkannya dan kedinginan hatinya dan sejak saat itu pula banyak laki-laki yang berusaha melelehkan kedinginan hati dan sikapnya.

“Mengapa engkau tadi bersikap begitu dingin, Nak?” tanya Countess lembut pada Snow Angel.

Snow Angel menjawab singkat, “Tidak apa-apa, Mama.”

Countess menghela napas mendengar jawaban putri satu-satunya itu. Ia berusaha menasehati putrinya dengan lembut agar tidak bersikap begitu dingin.

Selama ini Countess tak pernah memarahi anak-anaknya, ia selalu berusaha bersikap lembut dalam menghadapi tingkah laku putra-putrinya.

Ia tahu kemarahan tidak akan menghasilkan apa-apa, demikian pula Earl of Tritonville yang juga selalu bersikap lembut namun tegas dalam menghadapi putra-putrinya. Inilah yang menyebabkan mereka begitu disayang oleh anak-anak mereka.

“Kelak engkau tak boleh bersikap begitu dingin lagi kepada mereka,” nasehat Earl.

“Saya mengerti, Papa. Namun saya tak menyukai cara mereka dalam mendekati saya,” kata Snow Angel hati-hati, ia tak ingin membuat kedua orang tuanya marah. “Maafkan saya, Papa. Saya benar-benar tak menyukai cara mereka.”

“Tahukah engkau, Angella? Teman-temanku tadi banyak yang mengatakan kalau engkau benar-benar cantik bahkan kata mereka engkau gadis tercantik yang pernah mereka jumpai, juga gadis yang paling dingin yang pernah mereka jumpai,” Frederick menimpali.

“Kurasa nama ‘Angella’ kurang tepat baginya. Mungkin lebih tepat ‘Snow Angel’,” usul Oscar.

“Mengapa engkau berkata begitu, Oscar?” tanya Earl.

“Karena ‘Snow Angel’ lebih tepat untuk menggambarkan pribadi Angella, Papa. Nama …”

“Aku mengerti maksudmu, Oscar! ‘Snow’ menggambarkan kedinginannya dan ‘Angel’ menggambarkan kecantikkannya. Betul, bukan?” potong Frederick. “Aku setuju sekali denganmu. ‘Snow Angel’ memang lebih tepat daripada ‘Angella’. Bagaimana pendapat Papa Mama?”

“Ya … ya … nama itu lebih tepat baginya,” Earl tersenyum menyetujui usul kedua putranya akan nama baru putrinya, Angella. “Bagaimana denganmu, Stefanie?”

“Aku juga setuju dengan kalian, tapi kita tak boleh memanggilnya begitu bila ia tak menyetujuinya,” jawab Countess.

“Kau setuju, Angella?” tanya Frederick dan Oscar serempak.

“Terserah,” jawab Angella dingin.

Rupa-rupanya semua orang kecuali Nanny menyetujui nama barunya yang diusulkan Frederick dan Oscar.

Dan sejak saat itu nama ‘Angella’ digantikan ‘Snow Angel’ dengan cepatnya, secepat melambungnya ketenaran akan kecantikkan dan kedinginan hatinya di mata semua orang, baik kaya maupun miskin, secepat bertambahnya wanita yang iri dan cemburu baik karena kecantikkannya maupun karena perhatian kedua kakaknya yang sangat besar kepada dirinya.

Banyak wanita yang berusaha merebut perhatian kedua kakaknya. Tapi mereka sulit sekali mendapatkannya karena kedua kakaknya hanya memperhatikan Angella.

Mereka harus bersaing dengan Angella untuk dapat mengalihkan perhatian kedua pria itu dari adiknya, Angella.

Dalam setiap kesempatan, mereka selalu berusaha menyaingi kecantikkan Angella. Mereka selalu berusaha tampil lebih menarik daripada Angella dengan gaun-gaun mereka yang mahal.

Tetapi mereka tetap tidak dapat merebut perhatian Frederick maupun Oscar. Kedua pria itu tetap tidak melihat kepada wanita yang lain selain adik mereka.

Hal ini membuat banyak orang kagum pada rasa sayang kedua kakak Angella pada dirinya. Bahkan ada yang pernah menggoda mereka karena rasa sayang mereka yang sangat besar pada diri Angella.

“Kalian sangat menyayangi Angella sehingga tidak melihat wanita lain. Kalian seperti suami yang sangat mencintai istrinya,” kata orang itu.

Frederick dan Oscar tersenyum mendengarnya, mereka menyahut serempat, “Kami memang ingin mempunyai istri yang sangat cantik seperti Angella. Namun sayang di dunia ini tidak ada orang yang sanggup menyaingi kecantikkannya dan kedinginan hatinya.”

Demikian pula mereka yang mengejar Angella, harus bisa menghadapi kedua kakak Angella yang menjaganya dengan ketat. Kedua kakaknya itu selalu terlihat di sisinya kemanapun gadis itu pergi.

Setibanya di Shawky Market, ia disambut oleh seorang wanita setengah baya yang tidak lain adalah istri pemilik Shawky Market.

Wanita itu memandang heran padanya karena melihatnya datang sendirian tanpa kedua kakaknya ataupun pengawal seperti biasanya. Beberapa orang yang ada di Shawky Market juga memandang heran padanya.

Snow Angel tak mempedulikan pandangan orang-orang yang ada di sana pada dirinya.

“Selamat datang di Shawky Market, Miss. Adakah yang dapat saya lakukan untuk Anda?” wanita itu menyambut kedatangannya dengan ramah.

“Saya ingin mencari beberapa baju,” jawabnya.

Shawky Market merupakan toko pakaian yang paling baik di tempat ini. Di dalam toko yang cukup luas ini, pakaian-pakaiannya diatur sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat dengan mudah menemukan baju yang dicarinya.

Pakaian-pakaiannya diatur menurut tingkat usia, pakaian bagi anak-anak dipisahkan dengan pakaian orang dewasa dengan pakaian bayi.

“Silakan sebelah sini,” kata wanita itu sambil menunjukkan tempat baju-baju bagi gadis seusianya.

“Tidak, saya tidak memerlukan baju bagi saya. Saya mencari baju bagi anak yang berusia empat tahun dan baju bagi orang yang berusia sekitar lima puluhan,” terang Snow Angel.

“Di sebelah sini baju untuk anak berusia sekitar empat tahun,” kata wanita itu menunjuk tempat yang lain.

Snow Angel dengan sibuknya memilih-milih baju dengan dibantu wanita itu. Wanita itu melayaninya dengan cepat. Ia menunjukkan pakaian-pakaian yang baru saja datang kepada Snow Angel.

Snow Angel berbelanja dengan cepat. Ia tahu pelayannya tidak mungkin berlama-lama berada di Geust Mess karena mereka pasti mengkhawatirkan dirinya. Ia membeli beberapa potong baju bagi Charlemagne, serta Mr dan Mrs Boudini.

Tanpa mempedulikan keheranan wanita tadi serta beberapa orang yang memperhatikan barang-barang yang dibelinya, ia terus memilih belanjaannya.

Tepat seperti dugaannya, Nanny masuk ke Shawky Market bersama Thompson saat ia membayar rekening atas barang-barang belanjaannya yang telah dibungkus rapi oleh wanita yang menyambutnya saat ia masuk toko tadi.

“Untunglah aku berbelanja dengan cepat,” pikirnya lantas meminta kepada mereka berdua untuk membantu membawakan belanjaannya yang tak seberapa banyak itu ke dalam kereta.

Dalam perjalanan pulang, Nanny ingin sekali bertanya apa isi dari tiga kotak berukuran sedang yang dibeli Snow Angel dari Shawky Market. Namun ia menahan keinginan hatinya untuk bertanya itu. Ia tahu Snow Angel tak akan memberitahunya apa isi kotak itu.

Snow Angel tahu Nanny ingin sekali tahu apa isi kotak-kotak yang berasal dari Shawky Market itu. Karena ia tidak ingin memberi tahu apapun mengenai isi kotak itu pada siapapun, maka ia membiarkan keingintahuan Nanny itu terus membumbung. Ia tahu Nanny tidak akan berani membuka kotak itu tanpa seijinnya.

Ketika kereta berhenti di depan pintu Troglodyte Oinos, Snow Angel memberi perintah lagi pada mereka berempat untuk langsung menuju ke belakang dan membawa kotak-kotak yang berisi barang belanjaannya itu langsung ke kamarnya melalui pintu belakang.

Dan kepada Nanny ditekankannya agar meletakkan kotak-kotak itu di bawah meja rias di dekat jendela menuju serambi dan tidak membukanya. Ia memperhatikan kereta itu berlalu hingga membelok menuju ke belakang rumah kemudian ia membuka pintu.

Ia tahu ia akan menghadapi sejumlah pertanyaan dari kedua kakaknya karena berpergian keluar rumah hingga matahari mulai terbenam di sebelah barat. Ia tak ingin melibatkan Nanny, maka tadi ia sengaja memerintahkan Nanny untuk membawakan kotak-kotak yang berisi belanjaannya langsung ke kamarnya melalui pintu belakang.



*****Lanjut ke chapter 5

No comments:

Post a Comment