Wednesday, May 23, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 3

Setelah mencium mencium kedua pipi Countess kemudian Snow Angel pergi bergegas menuju kamarnya. Ia berencana akan pergi ke gereja di pemukiman penduduk terdekat. Sesampainya di kamar, dilihatnya Nanny sedang menanti kedatangannya.

“Tuan Puteri, apakah kita akan berangkat sekarang?”

“Tidak, Nanny. Aku ingin memetik bunga dulu baru kemudian kita berangkat.”

“Bunga?” tanya Nanny keheranan.

“Ya, Nanny. Bunga-bunga yang ada di taman sedang bermekaran semua. Dan kurasa alangkah baiknya bila kita membawanya serta untuk diletakkan di gereja.”

“Anda benar, Tuan Puteri. Mengapa hal ini tak terpikirkan oleh saya sebelumnya,” keluh Nanny.

Snow Angel diam tak menanggapinya. Ia terbayang masa lampau saat untuk pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di gereja yang keadaannya sama sekali jauh dengan gereja keluarganya yang letaknya di samping kiri rumah ini.

Gereja yang bernama Saint Augustine itu keadaannya benar-benar tragis. Pendeta di gereja itu sudah tua sekali, lebih tua beberapa tahun dari Nanny.

Gereja yang sudah tua itu menimbulkan kesan yang menakutkan karena di sana sini tumbuh tumbuhan liar. Demikian pula keadaan di dalamnya yang tampak suram.

Walaupun begitu di sana selalu terdengar tawa anak-anak yang berasal dari Panti Asuhan Gabriel di samping gereja itu. Keadaan panti asuhan itu juga tak kalah menyedihkannya dari gereja itu.

Snow Angel tahu jemaat gereja itu bukanlah orang yang berkelimpahan seperti dirinya, melainkan mereka yang hidupnya pas-pasan saja. Karena itu ia kemudian meminta ayahnya untuk memperbaiki gereja berikut panti asuhan itu.

Dan kini kedua bangunan itu tampak jauh lebih baik daripada empat tahun lalu saat ia pertama kali mengijakkan kakinya di sana untuk menyelesaikan suatu urusan penting. Sejak saat itu Snow Angel sering mengunjungi panti asuhan itu dengan Nanny.

Nanny mengambilkan topi bagi Snow Angel untuk menahan sengatan sinar matahari pada kulitnya. Kemudian berdua mereka memetik bunga di taman bunga. Setelah keranjang bunganya penuh dengan bunga barulah mereka berhenti memetik bunga.

Nanny menuju ke belakang rumah untuk memanggil kereta kuda milik keluarga ini sementara Snow Angel menanti di tepi kolam.

Tak lama kemudian Nanny kembali bersama kereta kuda yang nantinya akan membawa mereka ke panti asuhan itu. Kereta kuda itu ditarik empat ekor kuda yang lincah.

Seorang kusir kuda yang sudah setengah baya yang rambutnya mulai memutih duduk di depan kereta untuk mengendalikan keempat ekor kuda itu yang meringkik seakan mengungkapkan kegembiraannya karena akan berjalan-jalan setelah seharian berada di kandangnya.

Kusir yang biasa dipanggil Thompson ini sudah bekerja puluhan tahun di sini. Thompson tidak memiliki putra sedangkan istrinya sudah meninggal bertahun-tahun lalu jauh sebelum Snow Angel lahir. Istri Thompson yang sudah meninggal itu disemayamkan dekat Gereja St. Augustine dan dari Thompsonlah Snow Angel mengetahui keberadaan gereja ini.

Nanny meraih keranjang bunga yang dipegang Snow Angel dan dua penjaga kuda yang tiba-tiba muncul dari belakang kereta kuda membantunya dan Nanny naik ke kereta. Sesaat kemudian mereka meninggalkan Troglodyte Oinos menuju Panti Asuhan Gabriel.

Sepanjang jalan Snow Angel melayangkan pandangan matanya ke jalanan yang dilaluinya sambil mendengarkan Nanny yang sibuk bercerita. Lima belas menit kemudian mereka tiba di Panti Asuhan Gabriel. Dua orang penjaga kuda yang tadi membantu mereka naik, kembali membantu mereka turun.

Kaki Snow Angel baru saja menyentuh tanah saat terdengar seruan gembira anak-anak panti asuhan yang menanti kedatangannya. Tak lama kemudian anak-anak berhamburan menghampirinya dari segala penjuru seakan-akan mereka muncul tiba-tiba untuk menyerbu sasarannya.

Nanny tersenyum gembira menyambut anak-anak itu. Yang putri sibuk mengamati bunga-bunga yang ada di keranjang bunga Snow Angel, sedangkan yang putra sibuk mengelus kuda yang menarik kereta yang tadi ditumpangi Snow Angel sambil mengagumi kuda-kuda beserta kereta itu.

Dari dalam rumah muncul dua orang wanita yang mengenakan pakaian biarawati yang berwarna hitam. Yang seorang tampak tua dan yang satunya tampak masih muda.

Kedua biarawati inilah yang menjaga dan mengepalai panti asuhan ini. Keduanya tersenyum menyambut kedatangan Snow Angel. “Apa kabar, Miss Gazetta?” tanya Miss Lyne, biarawati yang sudah tua itu begitu Snow Angel mendekat.

Kedua suster ini tidak tahu bahwa ia adalah putri Earl of Tritonville. Snow Angel sengaja menyembunyikan hal ini karena ia merasa lebih baik bila kedua suster ini, Miss Lyne dan Miss Mary juga pendeta Gereja St. Augustine, Mr. Paul tidak mengetahui bahwa ia adalah putri Earl of Tritonville.

Nanny hanya tahu anak asuhnya itu ingin menyembunyikan identitasnya dan Nanny tidak pernah curiga akan maksud lain di balik penyembunyian identitas itu.

“Baik-baik saja. Terima kasih. Bagaimana dengan kalian?” tanya Snow Angel.

“Kami semua baik-baik saja kecuali Lizt,” jawab Miss Lyne.

“Lizt!? Ada apa dengannya?” tanya Snow Angel terkejut.

Setahu Snow Angel ibu Lizt meninggal saat ia baru berusia dua tahun, sedangkan ayahnya hilang tak tentu rimbanya sejak meninggalkan Lizt yang fisiknya lemah seperti ibunya di depan pintu Gereja St. Augustine, sembilan tahun yang lalu.

Menurut penduduk sekitar, ayah Lizt meninggalkannya di depan pintu gereja karena merasa tak mampu merawatnya. Harta benda ayahnya habis untuk membiayai pengobatan istrinya yang sakit berbulan-bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal.

Gadis kecil yang malang itu juga sering sakit-sakitan seperti ibunya, namun beberapa tahun belakangan ini keadaan gadis ini tidak selemah dulu. Ia jarang sakit, bahkan dalam dua bulan terakhir ini ia tidak sakit sama sekali. Karena itulah Snow Angel terkejut mendengar berita ini.

“Mari masuk, Miss Gazetta. Akan kami ceritakan segala-galanya di dalam,” kata Miss Lyne.

Snow Angel dibawa masuk ke dalam panti asuhan itu. Panti asuhan ini memiliki banyak kamar yang di tiap-tiap kamarnya terdapat banyak tempat tidur. Di panti asuhan ini juga terdapat sebuah dapur yang cukup besar dan ruang makan yang besar pula dan tentu saja ruang belajar. Dapat dikatakan panti asuhan ini besar hanya saja perlengkapannya kurang memadai.

Peraturan di panti asuhan ini dikenal sangat ketat, tiap-tiap anak diharuskan merapikan tempat tidurnya tiap pagi. Tiap hari mereka harus bangun pagi-pagi untuk dapat mengikuti misa pagi di Gereja St. Augustine. Tiap hari mereka diberi tugas secara bergilir seperti memasak, membersihkan panti, dan lain-lain. Dan seperti anak-anak lainnya, anak-anak di panti asuhan ini juga mendapat pendidikan dari kedua ibu asuh mereka, Miss Lyne dan Miss Mary.

Kadang kala datang seseorang yang ingin mengambil seorang anak untuk dijadikan anak angkatnya dari panti asuhan ini. Tak dapat disangkal lagi, setiap kali ada seorang anak yang diambil menjadi anak angkat oleh seseorang pasti diiringi oleh tangis gembira bercampur sedih dari kedua biarawati ini.

Kedua biarawati ini begitu menyayangi anak-anak begitu pula anak-anak yang juga menyayangi kedua ibu asuhnya.

Kedua biarawati ini membawa Snow Angel menuju ruang kepala Panti Asuhan Gabriel. Nanny tidak ikut masuk bersamanya, ia sibuk menjaga dan menemani anak-anak sambil bercerita dongeng. Anak-anak seperti halnya Snow Angel waktu kecil senang sekali mendengar cerita dongeng Nanny yang selalu menarik.

Sesampainya di ruang kepala Panti Asuhan Gabriel, Snow Angel segera melepaskan topinya. Warna topi itu senada dengan gaun yang dikenakannya. Dengan bentuknya yang sederhana dan sebuah pita besar yang berwarna magenta yang tampak kontras dengan warna rambutnya, topi itu menambah kesan keanggunannya.

Ruangan yang berukuran sedang ini memiliki sebuah jendela yang terletak di pojok kiri, sedangkan di pojok kanannya terdapat sebuah meja kayu dengan tiga kursi yang terbuat dari kayu pula. Miss Lyne duduk di balik meja di hadapan Snow Angel yang duduk menghadap tembok, dan Miss Mary duduk di sebelah Snow Angel.

“Bagaimana keadaan Lizt, Miss Lyne?” tanya Snow Angel mengawali percakapan.

“Beberapa hari belakangan ini ia demam, namun sekarang keadaannya sudah mulai membaik,” jawab Miss Lyne.

“Bagaimana ia bisa sakit kembali? Bukankah sudah sekitar dua bulan ini ia tidak sakit.”

“Itulah yang saya kurang mengerti. Tapi jangan khawatir, Miss Gazetta. Kata dokter ia hanya demam biasa dan pasti lekas sembuh,” jawab Miss Lyne.

“Pada hari ketika ia jatuh sakit, saya melihatnya bermain di luar ketika angin bertiup cukup kencang tanpa mengenakan pakaian hangat. Waktu itu dia sudah saya tegur, namun ia tidak menghiraukan saya. Maka saya masuk untuk mengambilkannya syal dan ketika saya kembali, ia sudah tidak ada.”

“Saya segera ke Gereja St. Augustine, sebab saya menduga ia di sana. Ternyata dugaan saya keliru, kemudian saya mencoba mencarinya di sekitar sini. Saya tidak dapat menemukannya dan ketika hari menjelang sore ia baru muncul kembali dengan suhu tubuh yang panas. Saya segera merawatnya waktu itu juga,” kata Miss Mary.

“Mengapa engkau tak memberitahuku waktu itu juga, Miss Mary?”

“Maafkan saya, Miss Lyne. Waktu itu saya benar-benar panik dengan keadaan Lizt.”

“Sudahlah, Miss Lyne, Miss Mary. Sekarang kita pikirkan saja kesehatan Lizt. Nanti bila ia sudah sembuh, barulah kita menasehatinya agar mengenakan gaun yang tebal bila bermain di luar pada saat angin bertiup.”

“Kurasa Anda benar, Miss Gazetta,” kata Miss Lyne.

“Bagaimana keadaan panti akhir-akhir ini?”

“Sama saja, Miss Gazetta. Anak-anak tetap bandel, namun kami masih bisa mengatasinya. Kesulitan kami akhir-akhir ini hanyalah mengenai jumlah anak yang semakin membengkak. Minggu ini saja kami mendapatkan tambahan anak sebanyak tiga orang. Tiga bersaudara ini dititipkan oleh kedua orang tuanya untuk sementara waktu,” jawab Miss Lyne.

“Mengapa kedua orang tuanya menitipkan mereka di sini?” tanya Snow Angel keheranan.

“Kami kurang tahu, yang kami ketahui hanyalah kedua orang tua anak-anak itu hendak pergi entah ke mana untuk jangka waktu yang cukup lama dan mereka tidak dapat membawa serta ketiga anak mereka karena perjalanan yang jauh dan sukar, selain itu juga karena ketiga anak mereka masih kecil dan tidak memiliki sanak saudara yang dekat. Yang tertua saja baru berusia lima tahun,” jelas Miss Mary.

“Jumlah anak yang bertambah terus itu pastilah membuat Anda berdua kerepotan dan suatu saat nanti kamar tidur anak-anak tersebut tidak…” Snow Angel belum menyelesaikan perkataannya saat terdengar suara pintu diketuk seseorang.

“Silakan masuk!” sahut Miss Lyne.

Pintu terbuka perlahan-lahan dan tampak seorang wanita tua yang tidak lain adalah Nanny. “Di depan ada seorang pria yang mengatakan ingin bertemu dengan kepala panti asuhan ini.”

“Siapakah dia?” tanya Miss Lyne.

“Entahlah, ia tidak memberitahu saya namanya. Ia hanya mengatakan kalau ingin bertemu dengan Anda, Miss Lyne,” jawab Nanny.

“Saya akan menemuinya.” Miss Mary segera beranjak bangkit dari kursi untuk menemui tamu yang dikatakan Nanny.

Sesaat sesudah Miss Mary meninggalkan ruang itu, Snow Angel juga bangkit berdiri. “Kalau begitu saya permisi dulu. Saya ingin melihat keadaan Lizt.”

Snow Angel dan Nanny sudah meninggalkan ruangan itu sebelum Miss Lyne berkata apa-apa untuk mencegahnya.

Nanny menemani Snow Angel sampai di kamar tempat Lizt terbaring. Lizt sedang tidur saat ini, wajahnya pucat.

“Kasihan Lizt, wajahnya pucat sekali,” kata Nanny.

Snow Angel mengangguk dan berkata:

“Mari kita ke gereja, Nanny dan berdoa untuk kesembuhannya.”

Mereka kemudian meninggalkan Lizt yang masih tertidur menuju ke Gereja St. Augustine. Di luar, Snow Angel melihat keretanya ditambatkan pada sebatang pohon dan di dekatnya ada sebuah kereta lain yang menurut dugaan Snow Angel milik tamu yang baru tiba itu.

Kedua penjaga kuda Snow Angel tampak sibuk melayani pertanyaan anak-anak yang mengelilingi keretanya.

Thompson tidak tampak di antara mereka. Snow Angel tahu Thompson sedang mengunjungi makam istrinya.

“Saya akan mengambil keranjang bunga yang saya letakkan di kereta tadi,” kata Nanny.

“Sekalian tolong letakkan topi ini di kereta, Nanny,” kata Snow Angel mengulurkan topinya ke arah Nanny.

“Sebaiknya Anda mengenakan topi itu, Tuan Puteri. Sinar matahari dapat membakar kulit Anda yang putih itu.”

“Tidak apa-apa, Nanny. Letakkan saja topi ini di kereta, lagipula matahari tak terlalu terik saat ini,” desak Snow Angel sambil menyodorkan topinya ke tangan Nanny.

Dengan enggan Nanny menerima topi itu dan berjalan menuju kereta. Sesaat kemudian Nanny berjalan kembali ke arah Snow Angel dengan membawa keranjang bunga.

“Bagaimana pendapatmu, Nanny bila kita mengunjungi makam istri Thompson dulu sebelum ke gereja?” tanya Snow Angel ketika Nanny tiba di sisinya.

“Itu ide yang bagus sekali,” jawab Nanny senang. “Saya sudah lama tak mengunjungi makamnya. Sayang ia meninggal sebelum Anda lahir. Bila tidak Anda akan tahu bagaimana baik dan ramahnya ia.”

Mereka berjalan memutari panti asuhan itu menuju ke pemakaman penduduk setempat. Suasana di pemakaman itu tampak mencekam dengan latar belakang hutan yang belum terjamah.

Dari kejauhan, mereka berdua melihat Thompson yang sedang berlutut di depan makam istrinya. Makam itu tampak tak terawat, di sekitarnya tumbuh rumput liar.

Mereka berdua berjalan perlahan-lahan mendekati Thompson. Ketika mereka semakin mendekat, Thompson tiba-tiba berdiri dan terpekik kaget. Ia memandangi mereka berdua dan dari sorot matanya tampak ia sangat terkejut.

Baru saja Snow Angel hendak mengatakan sesuatu ketika Thompson berkata:

“Maafkan saya, Tuan Puteri. Saya terkejut sekali sewaktu saya melihat gaun Anda yang berwarna putih itu melambai-lambai tertiup angin. Tadi … saya mengira … Anda itu … hantu.”

Nanny tertawa geli mendengar ucapan Thompson, sedangkan Snow Angel hanya tersenyum dingin. “Tidak mengapa, Thompson,” katanya tanpa ekspresi, ”Suasana di makam ini memang sangat mencekam dengan latar belakang hutan yang gelap itu sehingga gaun saya yang melambai-lambai tertiup angin ini membuat saya nampak seperti hantu dan membuat semua orang ketakutan.”

“Saya rasa tidak mungkin orang akan ketakutan bila hantunya secantik Anda, Tuan Puteri,” canda Thompson.

“Bolehkah saya berdoa untuk istrimu, Thompson?” tanya Snow Angel datar mengacuhkan perkataan Thompson tadi.

“Silakan, Tuan Puteri.” Thompson memberi tempat bagi mereka berdua untuk berdoa di depan makam istrinya.

Saat Snow Angel hendak berlutut di depan makam istri Thompson, Nanny segera mencegahnya. “Nanti gaun Anda kotor,” katanya. Maka Snow Angel berdoa bagi istri Thompson dengan berdiri di samping Nanny yang berlutut di depan makam istri Thompson.

Gaun yang dikenakan Nanny berwarna hitam sehingga tidak akan nampak kotor terkena tanah, sedangkan gaun Snow Angel berwarna putih yang pasti akan tampak kotor bila ia berlutut seperti Nanny.

Sesaat lamanya mereka berdoa, lalu Snow Angel mengambil beberapa kuntum bunga mawar yang berwarna ungu dari keranjang bunganya yang dibawa Nanny dan membungkuk untuk meletakkan bunga itu di depan pusara istri Thompson.

“Terima kasih, Tuan Puteri. Terima kasih, Nanny,” kata Thompson terharu.

“Sudahlah, Thompson. Jangan engkau memikirkan hal ini! Istrimu memang pantas mendapatkannya,” kata Nanny tersenyum memandangi Thompson yang tampak terharu dengan apa yang baru saja mereka lakukan bagi almarhum istrinya.

“Kami permisi dulu, Thompson. Kami hendak ke gereja sekarang,” kata Snow Angel kemudian.

“Oh … kalau begitu akan saya temani kalian.”

“Tidak perlu, Thompson. Tetaplah di sini menemani istrimu. Biarlah saya sendiri yang menemani Tuan Puteri,” usul Nanny.

“Tapi berbahaya bagi kalian berdua berjalan sendirian di pemakaman yang sepi seperti ini,” bantah Thompson.

“Tidak mengapa, Nanny benar, Thompson. Tetaplah di sini untuk menemani istrimu, lagipula engkau sudah lama tidak mengunjungi makamnya,” kata Snow Angel tegas.



*****Lanjut ke chapter 4

No comments:

Post a Comment