Wednesday, May 23, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 2

Di ruang makan belum ada siapapun. Ruang makan ini tidak seperti ruang makan-ruang makan lain. Ruang ini berada di sayap kanan rumah yang menghadap ke arah taman dan hutan yang mengitari Troglodyte Oinos. Ruangan ini diapit dua ruangan lain di sisi kiri kanannya.

Tembok yang menghadap taman dari ruangan ini terbuat dari kaca dengan sehelai tirai tipis yang menutupinya di waktu malam dan di siang hari tirai itu disibakkan, sehingga taman dapat terlihat jelas dari ruangan ini.

Snow Angel duduk menghadap taman. Ia mengamati pemandangan yang indah di depannya sembari menanti kedatangan yang lain.

Tengah asyik memandangi kupu-kupu di luar yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang berat namun tegas mendekat. Sesaat kemudian didengarnya suara pintu ruang makan terbuka dan suara orang bercakap-cakap pelan di belakangnya. Tanpa menoleh pun ia tahu kalau yang datang dengan bercakap-cakap pelan itu kedua kakaknya dan Vladimer.

Ia tidak menyambut kedatangan mereka dan tetap memandang taman di depannya. Ia tak membalas sapaan mereka bertiga, bahkan ketika Vladimer duduk di sebelahnya, ia tidak menoleh seakan-akan matanya terpaku pada pemandangan siang hari yang cerah di hadapannya.

Vladimer memandangnya terheran-heran. Matanya mengikuti arah pandangan mata Snow Angel dan berkata:

“Kelihatannya engkau begitu terpaku pada pemandangan di depan.”

“Engkau salah, Vladimer bila menganggapnya terpaku pada taman itu. Kurasa ia cuma tidak mau menghiraukan kita,” tukas Oscar.

“Kenapa begitu?”

“Oh … Vladimer yang malang, tak tahukah kau bahwa delapan tahun itu sudah cukup untuk membuat orang berubah. Mengapa engkau tidak mengerti juga kalau anak manis yang bernama Angella itu sudah berubah menjadi gadis yang cantik jelita dan berhati sedingin es,” desah Frederick yang selalu menyayangkan perubahan adik bungsunya itu.

Vladimer semakin terheran-heran melihat Angella karena gadis itu diam tak bereaksi mendengar perbincangan yang menyangkut dirinya. Padahal sewaktu kecil, mukanya akan langsung merah padam bila tahu ada orang yang sedang membicarakan dirinya.

Semakin terheran-herannya ia, semakin besar pula keinginannya untuk mengetahui penyebab gadis itu berubah. Ia merasa aneh dengan perubahan Angella ini, ia tahu Angella memang pendiam. Tetapi ia tidak sediam dan sedingin ini waktu kecil.

“Apa yang menyebabkan ia berubah sedemikian rupa?” tanya Vladimer terheran-heran.

“Kami sendiri kurang tahu apa yang menyebabkannya berubah. Banyak yang telah terjadi dalam delapan tahun, delapan tahun itu bukanlah waktu yang singkat, Vladimer,” jawab Countess yang tiba-tiba muncul di ambang pintu mengejutkan mereka yang asyik bercakap-cakap.

Vladimer yang duduk membelakangi pintu segera menoleh memandang Countess, demikian pula Frederick dan Oscar yang duduk menghadap pintu segera memandang ibu mereka.

Rupanya mereka kecuali Snow Angel, terlalu asyik bercakap-cakap hingga tak menyadari kedatangan Countess. Bahkan Frederick dan Oscar yang duduk menghadap pintu pun juga terkejut melihat ibu mereka yang berdiri di ambang pintu.

Vladimer memang terkejut melihat Countess, tapi ia lebih terkejut lagi melihat Snow Angel yang tetap memandang ke depan. Kontan saja Frederick dan Oscar tertawa terbahak-bahak melihat Vladimer yang terkejut melihat Snow Angel diam bagai patung. Sesaat tampak seulas senyum menghias wajah Snow Angel saat ia memalingkan kepalanya ke arah Vladimer.

Tawa kedua kakak Snow Angel semakin keras ketika melihat Vladimer terpaku pada senyum sesaat di wajah Snow Angel. Bahkan Countess pun ikut tertawa melihat Vladimer yang tengah terpaku itu.

Ia sama sekali tak menyadari kalau raut mukanya saat ini mirip seorang bocah yang baru saja mendapat hadiah yang mengejutkan, tapi hadiah itu langsung hilang.

Vladimer saat ini memang terkejut, heran sekaligus senang. Ia terkejut dan heran melihat dua hal yang menyangkut diri Angella yang baru saja terjadi. Pertama karena kediamannya saat ibunya datang.

Dan kedua karena senyumnya yang sesaat itu. Senyum yang tampak geli, namun pandangan matanya tak tampak geli, dingin … seperti biasanya.

Tawa mereka terhenti begitu pelayan masuk membawa makan siang. Countess mengambil tempat di ujung meja yang biasa diperuntukkan bagi kepala keluarga karena saat ini ia-lah yang menjadi kepala keluarga.

“Vladimer … Vladimer … mengapa engkau terkejut melihat Snow Angel tetap tak bergerak saat Mama datang,” ujar Oscar tersenyum untuk menahan tawanya yang siap meledak setiap saat.

“Malang benar engkau, Vladimer. Baru beberapa jam engkau tiba setelah delapan tahun tak kemari sudah mendapatkan berbagai tantangan,” kata Frederick seolah menyesalkan nasib Vladimer.

“Tantangan yang menarik! Bukan begitu, Frederick?”
Frederick mengangguk menyetujui ucapan Oscar, ia tersenyum dan berkata:

“Kau benar, Oscar. Engkau tentu mengetahui banyak wanita bahkan hampir semua wanita berusaha menaklukan Vladimer atau katakanlah menarik perhatian Vladimer. Jadi pastilah ini merupakan tantangan yang menarik baginya.”

“Biasanya ia menghadapi wanita yang berusah menarik hatinya, tapi kini ia menghadapi wanita yang mengacuhkannya, wanita yang sama dinginnya dengan dia, bahkan lebih dingin darinya, kurasa.”

“Setuju!” seru Oscar.

Snow Angel dan Vladimer memang sama-sama berhati dingin. Namun di antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mencolok akan kedinginan hati dan tindak tanduk mereka.

Vladimer cenderung dingin kepada wanita dan orang yang kurang dikenalnya. Ia bersikap lebih ramah dan hangat kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, walau kadang-kadang ia bersikap dingin pula pada mereka.

Sedangkan Snow Angel bersikap dingin terhadap siapa saja bahkan terhadap keluarganya sendiri, kecuali anak-anak. Ia jarang bahkan dapat dikatakan tak pernah berbicara dengan ramah, ia lebih sering berbicara dengan datar, tanpa ekspresi apa-apa.

Selain itu, Vladimer masih mempedulikan keberadaan orang lain sedangkan Snow Angel tidak. Ia tidak pernah mengacuhkan keberadaan orang lain di sekitarnya, ia mengangap di sekitarnya selalu tidak ada siapa-siapa seperti tadi, ia tak mempedulikan kedatangan kakak-kakaknya di ruangan ini.

Countess yang sejak tadi tersenyum melihat kedua putranya menggoda Vladimer ikut menggoda:

“Benarkah itu? Wah … bagaimana perasaanmu Vladimer setelah terbiasa menghadapi wanita yang berusaha menarik perhatianmu kini menghadapi gadis yang sama sekali berbeda? Jengkel, sedih atau senang?”

Vladimer bingung tak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya kini pada Angella. Tapi yang pasti, ia merasa senang bisa berjumpa kembali dengan mereka yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.

Apalagi bila mengingat dirinya yang sebagai anak tunggal itu, pastilah ia senang dapat bertemu kembali dengan Frederick, Oscar serta Angella yang telah dianggapnya sebagai saudara sendiri. Sesekali ia melirik Angella yang tak peduli pada percakapan itu sambil berusaha menerka perasaannya sendiri yang campur aduk tak karuan.

“Jawablah, Vladimer! Kami menanti jawabanmu. Bagaimana perasaanmu kini?” desak Oscar tak sabar.

“Tenanglah, Oscar. Biarkan Vladimer berpikir dulu.”

“Mama, kurasa ia segan menjawab pertanyaan Mama tadi. Tapi saya yakin ia merasa jengkel karena di sini tidak ada yang berusaha menarik perhatiannya.”

“Bagaimana engkau tahu, Frederick?” tanya Oscar.

“Bagaimana perasaanmu setelah biasanya dikejar-kejar Lady Elize lalu diacuhkannya? Kau pasti jengkel, bukan begitu?” Frederick balas bertanya.

“Oh … kalau aku pasti senang sekali seandainya Lady Elize berhenti memburuku.”

“Sungguh?” tanya Frederick lagi.

“Tentu saja. Aku sudah pernah memberitahumu kalau Lady Elize itu cerewet bagai burung beo, bukan? Aku tak tahan mendengar ocehannya yang membosankan itu.”

“Membosankan atau menyenangkan, Oscar?”

“Sungguh, Frederick. Percayalah! Tidak pernah sekali pun aku merasa senang mendengarnya berceloteh bagai burung beo mengenai hal-hal yang membosankan itu.”

“Siapakah Lady Elize itu?” tanya Vladimer ingin tahu.

“Adik Earl of Wicklow,” jawab Countess.

“Wanita yang tak punya belas kasihan sama seperti kakaknya,” kata Snow Angel pada dirinya sendiri.

“Ia tergila-gila pada Oscar, namun sayang Oscar tidak mau dengannya. Padahal Lady Elize itu cantik,” tambah Frederick.

“Tapi tak secantik Snow Angel! Kalau kau mau, ambil saja, aku rela malah senang,” bantah Oscar.

“Oh … maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengambilnya dari sisimu. Aku tidak tertarik kepadanya. Aku lebih tertarik pada gadis yang seperti Snow Angel. Sayang di dunia ini tak ada gadis yang menyamainya, andaikan ada pasti akan langsung kulamar,” kata Frederick.

“Sama! Aku juga lebih tertarik pada gadis yang seperti Snow Angel.”

Snow Angel amat disayang oleh kedua kakaknya yang tampan itu. Mereka selalu berusaha menjaga dan melindunginya sebaik mungkin. Walau kini ia sudah dewasa, namun kedua kakaknya masih sering mengawalnya jika ia pergi ke luar rumah.

Bahkan kamar tidur mereka berdua berada di kanan-kiri kamarnya. Dapat dikatakan kedua kakaknya itu bukan hanya saudara bagi Snow Angel melainkan juga pengawal pribadi.

Maka tidaklah mengherankan bila banyak gadis-gadis yang tertarik pada kakak-kakaknya itu cemburu padanya dan juga ketika kedua kakaknya mengatakan lebih tertarik pada gadis yang seperti dirinya.

“Wah…, bisa-bisa terjadi persaingan di antara kalian,” kata Countess menggoda kedua putranya.

“Tidak mungkin Mama. Oscar sudah memiliki Lady Elize.”

“Siapa yang berkata begitu!? Aku tidak akan pernah menyukai wanita itu! Tidak akan!” bantah Oscar sambil memelototi Frederick.

“Bila mereka berdua bercanda selalu saja menimbulkan pertengkaran. Harus dihentikan sekarang sebelum terjadi pertengkaran yang hebat,” pikir Vladimer.

Untuk mengalihkan topik pembicaraan, maka ia berkata:

“Di mana Paman Hendrick, Bibi Stefanie?”

“Saat ini ia di Skotlandia, memenuhi undangan temannya untuk berburu di sana,” jawab Countess.

“Papa berangkat kemarin. Sayang kau tak datang sehari lebih awal kemari agar bisa berjumpa dengan Papa. Aku yakin Papa akan gembira dapat bertemu kembali denganmu, Vladimer,” tambah Frederick.

Vladimer berhasil mengalihkan pokok pembicaraan, kini mereka sibuk membicarakan tentang berburu di Skotlandia yang merupakan daerah yang paling menarik bagi mereka yang gemar berburu.

Di daerah ini masih banyak hutan-hutan yang banyak hewannya sehingga menarik minat para pemburu terutama di musim semi seperti ini di mana tumbuhan-tumbuhan tumbuh subur. Hal ini menambah daya tarik Skotlandia bagi mereka yang gemar berburu.

Frederick, Oscar serta Earl of Tritonville, ayah mereka termasuk di antara orang-orang yang tertarik untuk berburu di Skotlandia. Sering teman ayah mereka yang tinggal di sana mengundang mereka bertiga untuk menghadiri pesta berburu yang diadakannya tiap tahun.

Tahun ini Frederick dan Oscar tidak ikut pergi berburu di Skotlandia karena beberapa hari sebelum keberangkatan mereka ke Skotlandia, Countess sakit. Pada awalnya, Earl of Tritonville merencanakan agar kedua putranya saja yang berangkat memenuhi undangan itu.

Namun Frederick dan Oscar tahu ayah mereka akan sangat kecewa bila tahun ini tidak dapat ke sana, apalagi tahun ini, menurut teman Earl, merupakan tahun yang paling baik untuk berburu.

Karena itulah kemudian mereka berdua membujuk agar ayahnya saja yang pergi dan mereka akan tetap tinggal untuk menjaga ibu mereka. Mulanya Earl tak menyetujui usul itu, namun setelah melalui perdebatan yang panjang khirnya Earl menyetujui usul itu.

Sehari sebelum keberangkatan Earl, mereka kembali berdebat untuk menentukan siapa yang akan berangkat sebab saat itu keadaan Countess kembali parah. Setelah dibujuk oleh Countess, akhirnya Earl mau mengikuti rencana semula, pergi sendirian untuk memenuhi undangan itu.

Snow Angel menghabiskan makanan di piringnya sambil mendengarkan mereka yang bercakap-cakap. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya sewaktu ia makan. Ia melayangkan pikirannya ke Skotlandia dan mencoba membayangkan daerah yang belum pernah dikunjunginya itu pada musim semi seperti ini.

Dibayangkannya pohon-pohon besar yang rimbun menyelimuti Skotlandia, menghampar laksana permadani hijau. Semak-semak dan rerumputan yang tumbuh di sekitar pohon itu serta beraneka ragam bunga yang berwarna-warni bermekaran.

Sinar mentari yang menerobos kegelapan hutan melalui celah-celah dedaunan pohon yang rimbun membuat hutan tampak terang benderang. Air danau yang bening berkilau-kilau memantulkan sinar mentari.

Matahari yang muncul perlahan-lahan di ufuk timur menerangi langit biru dan kicau burung menyambut datangnya hari baru serta udara pagi yang sejuk. Seluruh hewan dari segala penjuru hutan bangun dan memulai kegiatannya, demikian pula dengan para petani yang mulai mengolah sawahnya.

Semua bekerja dengan semangat baru hingga matahari kembali ke peraduannya di senja hari meninggalkan langit yang memerah di ufuk barat.

Dan ketika malam tiba, bulan muncul perlahan-lahan diiringi gerlap-gemerlap bintang di langit. Berpuluh-puluh bintang yang gemerlapan berusaha menyaingi sinar bulan yang keperakan. Lolong hewan buas yang berasal dari hutan meniupkan suasana yang mencekam.

Suara gemeretak kayu yang terbakar di perapian mengiringi suasana gembira keluarga yang berkumpul kembali setelah bekerja seharian. Yang tua-tua duduk dan mulai bercerita, yang muda-muda diam mendengarkan dengan seksama. Demikianlah acara makan siang ini dilalui Snow Angel dengan melamun.

Setelah makan siang usai, mereka menuju Ruang Duduk. Ketika Countess hendak kembali ke kamarnya untuk beristirahat, Snow Angel juga kembali ke kamarnya. Mereka berdua meninggalkan ketiga orang laki-laki yang sibuk bercakap-cakap di Ruang Duduk itu.

Snow Angel menggandeng ibunya berjalan menuju ke kamar ibunya.

Ketika mereka hampir tiba, Countess tiba-tiba bertanya penuh pengertian kepada Snow Angel:

“Mengapa engkau diam saja sejak tadi, Nak?”

“Tidak apa-apa, Mama. Saya hanya merasa tak ingin berbicara.”

“Sudah Mama duga. Di antara kalian hanya engkaulah yang berbeda. Engkau pendiam, sedang kakak-kakakmu tidak.”

“Manusia memang berbeda-beda, Mama.”

“Engkau memang pandai berfilsafat,” kata Countess sembari tersenyum.

“Sudahlah, Mama. Selamat beristirahat.”



*****Lanjut ke chapter 3

No comments:

Post a Comment