Tuesday, May 22, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 1

Matahari bersinar cerah pagi ini dan angin bertiup semilir membawa bau harum bunga-bunga yang mulai bermekaran di taman bunga pada awal musim semi. Pohon-pohon melambai-lambaikan daunnya – menari-nari riang dengan gemulai menyambut datangnya hari yang cerah ini.

Burung-burung pun menari dengan lincahnya dan bernyanyi bersuka ria di angkasa diiringi gemericik air mancur di tengah kolam yang berhiaskan patung-patung dewa-dewi Yunani Kuno yang indah di jalan menuju Troglodyte Oinos.

Di antara taman bunga yang sedang bersemi itu tampak seorang gadis cantik yang tampak sibuk memetik bunga-bunga yang sedang bermekaran itu.

Gadis itu mengenakan gaun putih yang putihnya hampir seputih kulitnya, gaun itu melambai-lambai tertiup angin menerjang lembut bunga-bunga di sekitarnya, rambut pirangnya bersinar-sinar bagai sinar mentari pagi yang cerah.

Dengan keranjang yang berisi bunga-bunga yang indah di tangan kirinya, gadis itu nampak seperti seorang peri di tengah taman bunga yang indah.

Sesekali angin memainkan rambut pirangnya yang tergerai mencapai pinggangnya. Namun ia tak menghiraukannya, ia begitu tenggelam dalam kesibukannya hingga tak mengetahui kedatangan sebuah kereta.

Gadis itu baru menyadari kedatangan kereta itu tatkala kereta itu pergi dengan kecepatan tinggi menerbangkan debu jalan ke mana-mana.

Dipandanginya kereta itu sesaat lamanya. Kereta itu ditarik oleh dua ekor kuda yang berwarna coklat yang tampaknya sudah mulai tua. Diperhatikannya kereta itu hingga menikung di jalan ke desa, kusir kuda itu dengan mahirnya menikung di jalan itu dengan kecepatan yang masih tinggi. Lalu ia melanjutkan kesibukannya lagi.

Tak lama kemudian, Nanny menghampirinya dan berkata “Yang Mulia ingin bertemu dengan Anda, Tuan Puteri.”

Snow Angel memandang Nanny tanpa berkata apa-apa. “Saya kira bunga yang ada di keranjang bunga Anda sudah cukup banyak untuk mengisi jambangan bunga di kamar Anda,” tambahnya.

Snow Angel mengalihkan pandangan matanya ke keranjang bunga di tangan kirinya yang hampir penuh dengan bermacam-macam bunga-bunga yang indah.

Kemudian ia menganggukkan kepalanya kepada Nanny yang langsung mengantarnya ke Ruang Perpustakaan untuk menemui Countess of Tritonville, ibunya.

Dari balik pintu ruang perpustakaan, terdengar suara wanita yang bercakap-cakap dengan beberapa pria. Mereka menghentikan percakapan mereka takala mendengar pintu dibuka, dan memandangnya.

Di ruang itu dilihatnya ibunya serta kedua kakak laki-lakinya dan seorang laki-laki yang mirip temannya bermain sewaktu kecil, Vladimer, sedang duduk di sofa di depan perapian. Laki-laki itu memandangnya juga dan mereka saling menatap dengan sorot mata yang sama dinginnya.

Tiba-tiba kedua kakak Snow Angel tertawa terbahak-bahak melihat keduanya yang saling memandang dengan sorot mata dingin sambil berusaha mengenali lawan pandang masing-masing.

Sementara itu Countess of Tritonville menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum geli memandangi dua sahabat lama yang bertemu kembali setelah sekian tahun, yang sekarang saling memandang itu.

“Tak pernah kuduga bahwa pertemuan antara dua manusia es yang bersahabat bertahun-tahun lalu akan jauh lebih menggelikan daripada yang kubayangkan,” kata Oscar, kakak Snow Angel yang termuda sambil menahan tawanya.

“Kau benar Oscar, kedua makhluk ini sangat aneh. Kuakui baru kali ini aku melihat dua orang sahabat yang bertemu kembali setelah sekian tahun tak berjumpa saling memandang dengan sorot mata dingin, bukannya senang,” tambah Frederick.

“Aku ingin tahu, apakah dua makhluk es ini memang tak bisa meleleh,” goda Oscar.

Seketika itu juga dua orang yang saling memandang itu menatap Oscar dan Frederick dengan tajam. Tetapi rupanya kedua orang yang sibuk bercanda itu berpura-pura tidak tahu kalau sedang dipandangi oleh dua pasang sorot mata yang tajam dan dingin.

“Kenapa berhenti? Teruskan saja, kami tidak akan mengganggu kalian yang saling pandang. Siapa tahu nanti salah satu dari kalian akan meleleh,” goda Frederick.

“Jangan memandang kami begitu. Seakan-akan kalian ingin membekukan kami dengan pandangan mata kalian,” kata Oscar tak mau kalah.

Countess menghela napas dalam-dalam sambil tersenyum melihat kelakuan putra-putrinya. Memang Frederick dan adiknya, Oscar terkenal ramah dan suka bercanda.

Sebaliknya adik mereka terkenal sebagai gadis yang pendiam dan berhati dingin, sedingin es. Frederick dan Oscar senang sekali menggoda adik mereka, Snow Angel.

Sebenarnya namanya bukanlah Snow Angel, melainkan Angella. Oscar dan Frederick-lah yang pertama kali memanggilnya Snow Angel. Entah bagaimana jadinya hingga gadis itu lebih dikenal dengan nama Snow Angel daripada nama aslinya, Angella.

“Sudahlah, jangan menggoda mereka lagi,” sela Countess berusaha menghentikan canda kedua putranya.

“Jangan khawatir, Mama. Kami hanya ingin melelehkan suasana beku yang mereka buat,” sahut Oscar.

“Benar, Mama. Menurut Mama, bagaimana rupa Snow Angel saat ini. Menurut saya, ia sekarang ini jauh lebih tampak sebagai bidadari es, bukan manusia es lagi. Dengan gaunnya yang putih, kulitnya yang seputih salju, rambutnya yang pirang bersinar bagai cahaya matahari, dan keranjang bunga di tangan kiri yang menambah kecantikkannya, adikku yang manis ini benar-benar mirip bidadari, namun sayang hatinya dingin sedingin es,” kata Frederick yang tak mau berhenti menggoda adiknya, Snow Angel dan sahabatnya, Vladimer.

“Bagaimana pendapatmu, Vladimer? Sejak tadi engkau hanya diam saja, tanpa memberi komentar apa pun. Padahal dulu sewaktu masih kecil, engkau selalu berceloteh tiap bertemu dengan Snow Angel.”

Vladimer tidak menanggapi ucapan Frederick, ia heran melihat perubahan Angella. Dulu sewaktu masih kecil, Angella memang pendiam, tapi bila digoda, ia akan marah dengan muka bersemu merah hingga tak jarang gadis itu menangis kesal karena digoda terus menerus.

Kedua kakaknya senang sekali melihatnya marah dengan muka merah padam, yang menurut mereka semakin membuat Angella mirip boneka yang cantik.

Namun sekarang yang dilihatnya bukanlah Angella yang dulu. Yang dilihatnya kini adalah Snow Angel, seorang gadis yang terkenal akan kecantikannya namun berhati dingin sedingin es.

Tak pernah sekali pun terbersit dugaan dalam benak Vladimer bahwa Snow Angel yang terkenal dan sering dibicarakan orang itu adalah makhluk yang sama dengan Angella, adik sahabatnya, Frederick dan Oscar. Tanpa sadar, ia menggelengkan kepalanya melihat perubahan Angella.

“Kenapa engkau menggelengkan kepalamu, Vladimer?” tanya Countess.

“Saya hanya heran melihat perubahan yang terjadi dalam diri Angella.” Inilah kalimat yang pertama diucapkan Vladimer setelah bertemu dengan Angella.

“Tak hanya engkau saja yang heran, Vladimer. Kami pun heran melihat perubahan dirinya,” kata Countess menyetujui ucapan Vladimer.

“Lebih-lebih kami. Dulu ia selalu marah-marah dengan muka merah padam bila kami goda, tapi kini ia hanya diam saja bila kami goda.”

“Membuat kami merasa gemas saja, ia benar-benar membuat kami merasa seperti menggoda gunung es. Namun kami tetap senang menggodanya sebab kami penasaran dengannya, kami akan tetap menggodanya sampai ia memberi reaksi seperti waktu kecil, “ kata Oscar.

Snow Angel manatap tajam kepada Oscar, lalu ia membalikkan badan meninggalkan Ruang Perpustakaan. Ia merasa godaan mereka sudah lebih dari cukup. Saat meninggalkan Ruang Perpustakaan, ia mendengar gelak tawa kakak-kakaknya.

Ia menarik napas dalam-dalam, ia sudah terbiasa dengan godaan kakak-kakaknya dan ia menganggap kedua kakaknya itu sebagai pengangguran yang kurang pekerjaan. Kata-kata kakaknya sewaktu ia meninggalkan Ruang Perpustakaan, masih terngiang di telinganya saat ia melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya.

“Nah, bagaimana menurutmu, Vladimer? Bagaimana engkau akan menghadapi gadis yang sama dinginnya denganmu?” tanya Oscar pada saat pintu ruang perpustakaan ditutup oleh Snow Angel. “Kurasa kunjunganmu ini akan menjadi kunjungan yang paling menarik dari yang sudah-sudah.”

“Aku ingin mengetahui bagaimana perkembangan kalian, manusia-manusia es selama musim ini. Bayangkan saja Oscar! Dua manusia es yang terkenal itu berkumpul di rumah kita. Pasti akan lebih seru daripada kejadian-kejadian yang lain yang pernah ada di dunia ini. Apalagi dua makhluk es ini dulunya merupakan sahabat dekat. Siapa tahu cinta akan bersemi di hati mereka,” goda Frederick.

Snow Angel menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan ingin mengeluarkan ingatannya dari kata-kata kakaknya sewaktu ia meninggalkan Ruang Perpustakaan. Diraihnya jambangan bunga yang berada di samping tempat tidurnya. Dengan cekatan ia mengganti bunga-bunga yang ada di jambangan itu dengan bunga-bunga yang baru dipetiknya dari taman bunga di depan Troglodyte Oinos.

Tangannya yang terampil sibuk menata bunga di jambangan itu, sedangkan pikirannya melayang-layang entah ke mana. Ia memikirkan perjumpaannya dengan Vladimer tadi juga ucapan kakak-kakaknya.

Tangannya yang sibuk menata bunga itu tiba-tiba berhenti dan mukanya memerah. Ia teringat kembali kalimat terakhir kakaknya yang didengarnya ‘Siapa tahu cinta bersemi di hati mereka.’ Cinta!? Snow Angel terdiam beberapa saat, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya, ingin melupakan kalimat itu.

Tangannya kemudian sibuk melanjutkan pekerjaannya yang terhenti, sambil berusaha melupakan kata-kata Frederick dan Oscar yang mengganggu pikirannya itu. Setelah berusaha keras, akhirnya ia berhasil mengalihkan perhatiannya. Perhatiannya kini benar-benar tercurah pada bunga-bunga di tangannya itu.

Snow Angel memperhatikan jambangan bunga yang baru selesai ditatanya itu untuk menilai hasil pekerjaannya. Setelah dirasanya cukup baik, ia meletakkan jambangan itu di tempat asalnya. Ia berusaha mendengarkan suara di luar kamarnya, tapi ia tak mendengar apa pun. Ia menduga kalau mereka pergi beristirahat.

Snow Angel lalu melangkahkan kakinya menuju jendela kamarnya yang terbuka menuju serambi depan kamarnya. Ia duduk di atas pagar batu yang mengeliling serambi itu.

Snow Angel memandang jauh ke depan, dari serambi kamarnya di tingkat dua itu, ia dapat melihat garis cakrawala di kejauhan, pertanian yang terhampar bagai permadani hijau, rumah-rumah penduduk yang menyembul di tengah-tengah kerimbunan pepohonan, bukit-bukit di kejauhan, taman bunga tempatnya memetik bunga, serta kolam di depan rumahnya yang berkilau tertimpa cahaya matahari.

Ia memandang kolam itu dengan penuh kekaguman. Patung dewa-dewi Yunani yang menghiasi kolam itu tampak bermandikan sinar matahari dan air yang berkilau-kilau serta tampak olehnya sebuah pelangi kecil yang timbul karena pembiasan sinar matahari oleh air sedang memayungi dewa-dewi tersebut.

Dialihkannya pandangan matanya pada langit yang biru cerah dan awan-awan putih yang menghiasinya. Snow Angel memperhatikan awan-awan yang bergerak perlahan ditiup angin. Dilihatnya pula daun-daun pepohonan yang melambai-lambai seakan-akan ingin mengucapkan selamat jalan pada awan yang berada di atasnya.

Snow Angel menghentikan penjelajahan matanya saat ia mendengar suara orang bercakap-cakap serta suara kuda yang berjalan perlahan-lahan menuju Troglodyte Oinos.

Snow Angel memandang ke jalan yang menuju ke rumahnya, dan dilihatnya kakak-kakaknya serta Vladimer menunggangi kuda sambil bercakap-cakap menuju rumah. Pandangan matanya terus mengikuti mereka hingga mereka berbelok menuju kandang kuda di belakang rumah.

Snow Angel memandangi langit lagi dan berkata dalam hati “Hari ini memang baik untuk menunggang kuda. Kapan mereka berangkatnya? Kenapa aku tak mendengarnya? … Ah, mungkin karena aku sibuk menata bunga hingga tak mendengarnya.”

Ia teringat masa lalunya, saat-saat Vladimer datang. Orang tua Vladimer, Duke dan Duchess Cardington bersahabat dengan Earl dan Countess of Tritonville, orang tuanya, sehingga tidaklah mengherankan apabila Vladimer sering berkunjung ke rumahnya.

Begitu Vladimer datang, kedua kakaknya langsung ribut mengajaknya berkuda. Mereka berdua ingin berkuda bersama-samanya begitu dia datang, namun Countess tak mengijinkan. Countess ingin Vladimer istirahat dulu setelah berkereta ratusan mil jauhnya.

Tetapi, karena Frederick dan Oscar begitu berambisi untuk berlomba dengan Vladimer, maka setelah semua orang di rumah itu pergi beristirahat, mereka berdua mengajak Vladimer pergi. Vladimer tak pernah menolak bila diajak pergi berkuda oleh kakak adik itu, sebab ia pun senang berlomba dengan mereka.

Snow Angel tahu kemampuan berkuda mereka bertiga hampir sama, sehingga sulit dicari siapa yang paling pandai. Mereka bertigalah yang mengajarinya menunggang kuda, mereka pula yang sering mengajaknya bermain dan berkuda di hutan belakang rumah.

Tengah asyik-asyiknya melamun, ia dikejutkan suara orang mengetuk pintu kamarnya. “Sudah hampir waktu makan siang. Saya rasa Anda bisa bersiap-siap sekarang,” kata Nanny setelah menutup pintu kamar.

Snow Angel beranjak bangkit dari serambi menuju meja rias, ia membiarkan Nanny menata rambutnya. Seperti biasanya, Nanny menata rambut Snow Angel sambil bercerita.

Nannylah yang mengasuhnya dan kedua kakaknya sejak kecil, sebelumnya, Nanny mengasuh ibu mereka. Karena Nanny tak punya keluarga lagi, maka ibu mereka mengajaknya ke rumah ini setelah menikah.

Menurut orang-orang, Nanny seharusnya menikmati hari tuanya, namun Nanny menolak pendapat itu, ia bersikeras mengasuh mereka walau saat ini mereka sudah dewasa, terutama Snow Angel. Dari antara mereka bertiga, Snow Angellah yang paling disayanginya.

Nanny merupakan satu-satunya orang yang tidak menyukai panggilan yang diberikan kedua kakaknya baginya.

“Sungguh tidak pantas untuk Anda, Tuan Puteri. Anda tidak pantas dipanggil ‘Snow Angel”, saya tahu walaupun Anda bersikap dingin, tetapi hati Anda tidak benar-benar dingin. Saya tahu itu!” kata Nanny pada suatu ketika. Saat itu Snow Angel hanya tersenyum saja menanggapi perkataan Nanny.

“Bagaimana pendapat Anda mengenai Tuan Muda Vladimer, Tuan Puteri? Menurut saya, ia benar-benar tampan dan gagah, persis seperti yang saya duga,” tanya Nanny tiba-tiba.

Snow Angel diam saja mendengar ucapan Nanny, dari ekspresi wajahnya terlihat jelas bahwa ia sama sekali tak ingin berkomentar apa pun.

Mengetahui bahwa Snow Angel diam saja, maka Nanny melanjutkan:

“Saya rasa rumah ini akan bertambah ramai, seperti dulu saat Tuan Muda Vladimer datang untuk menginap. Rasanya amat menyenangkan waktu itu, mendengar tawa canda kalian, melihat kalian bermain, walau kadang-kadang membuat saya jengkel dengan ulah kalian yang sulit diatur. Saya masih ingat, Anda selalu mengadu pada saya dengan berurai air mata bila digoda mereka. Setelah itu saya pasti memarahi mereka, namun mereka tak pernah jera. Ah …, waktu memang cepat berlalu, tak terasa kalian sudah dewasa kini.”

Snow Angel melihat senyum kebahagiaan di wajah Nanny yang sudah tua itu melalui kaca di depannya. Ia tahu kini Nanny sedang tenggelam dalam pikirannya dan mengenang masa lalu.

“Engkau benar Nanny, waktu cepat berlalu. Tanpa terasa sudah delapan tahun kami tak berjumpa, sejak Vladimer harus berangkat ke Eton untuk menempuh pendidikan di sana, hingga hari ini dan juga tanpa terasa sudah empat tahun berlalu sejak kejadian tragis itu. Jenny… Jenny … kasihan engkau. Entah bagaimana kabarmu kini juga Charlemagne, ia berada di mana kini? Tentu ia sudah besar sekarang. Kuharap mereka baik-baik saja,” kata Snow Angel dalam hati.

Melalui kaca di depannya, Snow Angel melihat rambutnya yang hampir selesai ditata Nanny. Oleh Nanny, rambutnya itu diikat jadi satu tinggi-tinggi dengan pita biru cerah yang tampak serasi dengan rambut pirangnya itu. Setelah itu Nanny membuat rambutnya yang terurai menjadi gelungan spiral-spiral yang panjang dan kecil-kecil.

Nanny mengamati bayangan wajah Snow Angel di cermin beberapa saat setelah ia selesai menatanya.

“Anda sudah siap kini, Tuan Puteri,” kata Nanny dengan nada puas.

“Terima kasih, Nanny.”

“Tiap kali saya memandang Anda, saya selalu merasa bahwa Anda semakin cantik, Tuan Puteri. Saya yakin semua orang juga berpendapat demikian.”

“Sudahlah, jangan memuji-mujiku terus menerus, Nanny. Lebih baik Nanny ambil saja bunga yang ada di keranjangku, lalu buanglah. Bunga di jambangan itu sudah kuganti,” kata Snow Angel tersipu-sipu.

Nanny tersenyum melihat Snow Angel. Ia tahu sekali watak anak asuhnya itu. Snow Angel memang sering mendapat pujian-pujian dari orang-orang di sekitarnya, namun ia tak pernah menanggapinya.

Inilah salah satu sebab mengapa ia dipanggil “Snow Angel”. Tetapi Snow Angel selalu tersipu-sipu bila dipuji Nanny.

Menurutnya, pujian Nanny benar-benar tulus dari lubuk hati yang terdalam, tidak seperti orang lain yang selalu berlebih-lebihan dalam memuji dirinya.

Nanny mengambil keranjang yang dimaksudkan Snow Angel kemudian melangkah maju untuk membukakan pintu kamar bagi Snow Angel. Snow Angel meninggalkan kamarnya untuk menuju ruang makan, sewaktu melewati kamar Frederick yang berada di sebelah kanan kamarnya, ia mendengar suara kakak-kakaknya serta Vladimer bercakap-cakap.

“Tak pernah kuduga hanya dalam waktu sekian tahun, kemampuan berkudamu menjadi lebih baik dari kami,” kata Frederick.

“Kurasa tidak juga, mungkin karena kebetulan saja kuda yang kutunggangi lebih baik daripada kuda yang kalian tunggangi,” kata Vladimer merendah.

“Kalau begitu, bila kita berlomba lagi, engkau akan kusuruh menggunakan si tua Blintz saja,” sahut Oscar kesal.

“Bagus juga idemu itu, Oscar. Blintz memang sudah terlalu tua untuk dibawa berlomba dan dengan begitu pasti kita yang akan menang,” kata Frederick diiringi tawa geli.

“Rupanya sekarang kemampuan berkuda Vladimer lebih unggul dari mereka,” kata Snow Angel pada dirinya sendiri sambil menuruni tangga.



*****Lanjut ke chapter 2

No comments:

Post a Comment