Monday, May 7, 2007

Gadis Misterius-Chapter 9

Maria tidak terkejut melihat rumah Al yang megah.

Rumah itu lebih besar dari Sidewinder House. Dan tampak lebih indah dari Sidewinder House.

Dindingnya yang putih tampak berseri dengan halamannya yang semarak oleh tumbuh-tumbuhan. Dedaunan yang rontok tidak tampak di antara rerumputan yang menghampar.

Beberapa tukang kebun terlihat masih sibuk membersihkan dedaunan yang berjatuhan dari ranting pohon.

Di antara pepohonan dan semak-semak, Maria melihat beberapa bunga musim panas bermekaran dengan indah.

Mereka telah tiba di pintu rumah itu yang atasnya berbentuk setengah lingkaran.

Seorang pelayan membukakan pintu bagi mereka. Pelayan itu menerima mantel Al dan menanti Maria menyerahkan syalnya.

Menyadari hal itu, Maria menggeleng perlahan dengan tersenyum kepadanya.

Pelayan itu mengangguk mengetahui arti isyarat itu dan membungkuk hormat ketika mereka berjalan menuju Ruang Besar yang telah dipenuhi banyak orang, sambil terus mengawasi kepergian mereka dengan ekor matanya.

Seorang pelayan yang berdiri di depan pintu menuju Ruang Besar menyerahkan sebuah topeng kepada mereka masing-masing.

Al menyadari kebingungan Maria ketika menerima topeng itu, berbisik kepadanya, “Aku sengaja menyediakan topeng ini. Semua orang yang hadir dalam pesta ini harus mengenakan topeng, dengan demikian engkau tidak akan dikenali.”

“Anda telah memikirkan segala sesuatunya dengan baik,” kata Maria sambil tersenyum.

“Tentu saja. Aku ingin membuatmu menikmati pesta ini.”

Maria mengangguk sambil tersenyum kepada pelayan yang membukakan pintu itu bagi mereka sebelum melangkah memasuki Ruang Besar tempat pesta itu diselenggarakan.

“Pesta dansa ini akan menjadi pesta dansa bertopeng yang pertama sepanjang sejarah keluarga ini,” kata Maria.

“Jangan jauh-jauh dariku, Maria. Walaupun aku akan selalu dapat mengenalimu dalam kerumunan orang-orang ini, tetapi aku tidak ingin engkau pergi dari sisiku,” kata Al.

“Saya juga tidak ingin berpisah dari sisi Anda.”

“Lihatlah, Maria. Apa yang kukatakan memang benar, bukan? Semua orang itu telah melihatmu sejak engkau memasuki ruangan ini. Aku percaya mereka tidak akan dapat melepaskan pandangan mata mereka darimu,” kata Al sambil menyelipkan tangan Maria di lengannya.

Maria memandangi orang-orang yang telah berada di ruangan itu.

Mereka semua memandanginya. Di balik topeng mereka, Maria tahu mata itu bersinar penuh kekaguman tetapi ia tidak mempedulikannya.

Ia berjalan di samping Al yang membawanya mendekati sepasang orang yang tidak pernah melepaskan pandangan matanya dari mereka berdua.

Maria menduga kedua orang itu adalah orang tua Al.

Ibu Al terlihat masih cantik walau telah tua. Gaun hitam yang dikenakannya membuat ia tampak lebih anggun. Ayah Al juga terlihat masih muda walaupun rambut putih telah muncul di antara rambutnya yang hitam.

Wajah kedua orang itu tampak berseri ketika melihat mereka berjalan mendekat.

Al mencium kedua pipi ibunya dan mengangguk hormat kepada ayahnya sebelum berkata, “Papa, Mama, aku ingin mengenalkan seseorang pada kalian. Ini Maria. Maria mereka orang tuaku.”

“Senang berkenalan dengan Anda,” kata Maria sambil mengangkat gaunnya dan membungkuk hormat pada mereka.

Al serta kedua orang itu terkejut dengan tindakan Maria.

“Jangan bersikap seperti di dalam Istana seperti itu,” kata ayah Al.

“Bersikaplah yang santai. Saat ini kita tidak berada di dalam Istana yang senantiasa harus bersikap sopan,” kata wanita yang berdiri di sampingnya.

“Percuma, Mama. Ia selalu bersikap sopan. Aku juga tidak dapat menghentikan ia bersikap seperti itu kepadaku,” kata Al.

“Apakah engkau selalu diharuskan bersikap sopan kepada siapapun di keluargamu?” tanya wanita itu kepada Maria.

“Saya tidak dapat mengingat apakah saya selalu diharuskan bersikap seperti itu di keluarga saya. Tetapi saya tidak dapat tidak bersikap sopan kepada Anda yang lebih tua dari saya,” kata Maria dengan tersenyum.

“Ia adalah gadis yang sekarang menjadi bahan pembicaraan di Obbeyville, Mama,” kata Al memberi penjelasan.

“Aku senang sekali dapat bertemu denganmu. Apa yang mereka katakan mengenai dirimu berbeda jauh dengan apa yang kulihat. Engkau lebih cantik dari yang mereka katakan,” kata wanita itu.

“Anda terlalu berlebihan. Saya tidak seperti yang mereka katakan,” kata Maria merendahkan diri.

“Engkau memang tidak seperti yang mereka katakan, Maria. Engkau lebih baik dari yang penduduk Obbeyville katakan,” kata Al.

“Inikah gaun yang kaubeli tadi siang?” kata wanita itu sebelum Maria mengucapkan apa pun untuk menanggapi kata-kata Al.

“Ya, Mama. Bagaimana pendapat Mama?”

“Aku hanya dapat mengatakan seleramu terhadap pakaian baik sekali. Gaun ini cocok sekali dengannya. Dan aku bangga padamu, Al.”

“Apakah benar kata penduduk Obbeyville bahwa engkau mengetahui mitos Blueberry ?” tanya ayah Al.

“Saya hanya mengetahui sedikit mengenai itu. Bila Anda ingin mengetahuinya lebih banyak lagi, Anda dapat mencarinya di buku yang berisikan kumpulan naskah kuno mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva.”

“Aku mempunyai buku yang tidak dapat kumengerti tulisannya. Tulisan itu menyerupai tulisan Mesir Kuno,” kata pria itu lagi.

“Bila Anda tidak keberatan, saya ingin melihat buku itu.”

“Ya, tentu saja. Aku akan mengambilkannya untukmu.”

“Jangan, Papa. Saat ini bukan saatnya kita membicarakan hal itu, sekarang adalah saat kita untuk berpesta,” kata Al menghentikan ayahnya yang hendak meninggalkan mereka.

“Benar. Aku terlalu senang hingga lupa.”

“Pergilah menemui tamu-tamu yang lain dan perkenalkanlah Maria kepada mereka.”

“Tentu, Mama. Aku yakin mereka akan semakin kagum padanya setelah mengenalnya seperti aku. Aku benar-benar dibuat terpesona olehnya,” kata Al sambil tersenyum pada Maria.

Orang tua Al yang melihat hal itu saling berpandangan penuh arti. Mereka tersenyum bahagia.

Entah apa yang dirasakan kedua orang itu, Maria tidak tahu. Tetapi ia menduga keduanya merasa senang karena putranya dapat bertemu dengannya.

Dan memang demikian. Kedua orang itu sangat senang ketika melihat putra mereka datang bersama seorang gadis yang menarik.

Semua orang memandang Maria sejak gadis itu tiba. Senyum yang selalu menghias wajahnya, membuat gadis itu semakin menarik hati.

Cara bicara dan tingkah laku Maria yang sopan membuat kedua orang itu semakin menyukai Maria.

Ketika Maria dan Al menjauh, wanita itu berkata, “Ia gadis yang luar biasa. Aku yakin ia bukan orang sembarangan, seperti yang penduduk Obbeyville katakan, ia memang seorang bidadari.”

“Aku juga percaya akan hal itu. Lihatlah, semua orang terus memandangi gadis itu sejak kedatanganya. Lady Debora tampak kecewa sekali karena tidak menjadi pusat perhatian lagi.”

“Dibandingkan dengan Lady Debora, Maria jauh lebih cantik. Lady Debora tidak dapat menyaingi kecantikkan dan keanggunan Maria. Aku ingin tahu siapakah Maria yang sebenarnya?”

“Aku juga tidak tahu, tetapi aku yakin ia bukan sembarang orang,” kata suaminya sambil mengajak mendekati tamu-tamu mereka yang telah menanti.

Al memperkenalkan Maria kepada teman-temannya. Maria tahu Al sengaja tidak memperkenalkannya kepada semua tamu karena tidak ingin Maria bertemu Lady Debora ataupun Baroness Lora.

Al menepati janjinya. Ia tidak menyebutkan nama Maria kepada mereka selain orang tuanya. Dan Al selalu berusaha menjaga jarak dari Lady Debora yang selalu mendekat.

Setiap kali wanita itu terlihat mendekat, Al mengajak Maria ke tempat lain.

Hal ini membuat Maria tersenyum geli. Ia merasa seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan Lady Debora.

Lady Debora tampak kesal sekali atas sikap Al yang selalu menjauh. Tetapi wanita itu tidak berhenti mengejar hingga seorang pria mengajaknya berbicara.

Dari jauh, Maria dapat melihat Lady Debora tersenyum senang kepada pria itu. Lady Debora tampak senang sekali berbicara dengan pria itu hingga melupakan tujuannya yang semula.

Al mengajak Maria menuju ke sudut Ruang Besar yang dekat sepi. Al mengambil sebuah kursi yang berukiran sangat indah yang berada di dekatnya.

“Duduklah, Maria. Engkau pasti lelah sekali berjalan terus di Ruang Besar ini,” kata Al sambil mendudukkan Maria di kursi itu.

“Terima kasih. Anda tidak duduk?” kata Maria.

“Aku tidak lelah. Aku telah terbiasa berkeliling sepanjang hari tanpa duduk walaupun sebentar.”

“Lebih baik Anda duduk juga. Saya merasa seperti seorang putri raja dengan pengawalnya bila Anda berdiri di samping saya sementara saya duduk,” kata Maria sambil berharap.

“Tentu, Yang Mulia Tuan Puteri. Hamba akan melakukan titah Paduka,” kata Al sambil tersenyum.

Pria itu mengambil kursi yang sama seperti kursi yang diambilkannya untuk Maria, kemudian duduk di samping Maria yang mengawasi kerumunan orang di depannya.

“Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Maria. Mereka sejak tadi terus memandangimu sejak engkau tiba.”

“Saya merasa bersalah pada Lady Debora karenanya.”

“Mengapa?” tanya Al tak mengerti.

“Lady Debora sangat berharap ia menjadi pusat perhatian di pesta ini. Tadi siang ia sangat ribut karena tidak dapat menemukan gaun yang cocok,” kata Maria.

“Kata Mrs. Dahrien, engkau yang membuat gambar ular di gaun yang dikenakan Lady Debora itu,” kata Al, “Engkau telah membuatku merasa terkejut dengan kemampuanmu yang baru muncul ini. Tidak akan ada seorangpun yang menduga engkau pandai menyulam juga.”

“Anda jangan berkata seperti itu.”

“Seperti apa?”

“Seperti orang yang baru saja menemui hal ini. Sudah seharusnya setiap wanita pandai melakukan itu,” kata Maria, “Saya berharap saya tidak terlalu memberi kesan kejam pada Lady Debora dengan gambar itu.”

Al tersenyum, “Tidak, Maria. Engkau memberikan gambar yang tepat pada Lady Debora. Ular adalah lambang keluarga Sidewinder.”

“Dan sifat Lady Debora juga seperti ular,” tambah Maria.

“Seperti ular?”

“Ya. Mereka seperti ular yang selalu tampil dengan segala kemewahannya dan senang berganti-ganti pasangan seperti ular yang sering menanggalkan kulitnya yang telah tua. Mata mereka selalu menatap lekat-lekat mangsanya seperti seekor ular.”

Al tertawa mendengar kata-kata Maria. “Kelebihanmu yang lain adalah engkau pandai membandingkan orang dengan tingkah laku hewan.”

“Saya tidak membandingkan mereka. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Kadang kala tingkah laku manusia memang seperti hewan.”

“Ya, kadang kala manusia memang bisa bersikap lebih buruk dari hewan,” kata Al setelah meredakan tawanya.

“Memang seperti itulah manusia. Manusia adalah makhluk yang serakah sehingga mereka terlihat lebih buruk dari hewan yang keji sekali pun. Tetapi tidak semua orang seperti itu. Masih banyak orang yang dapat mengendalikan keserakahan mereka.”

“Dan hanya sedikit orang yang mampu melakukannya,” kata Al.

Maria tersenyum membenarkan kata-kata Al dan berkata, “Memang mereka yang mampu mengendalikan keserakahan juga banyak tetapi tidak sebanyak orang yang serakah.”

“Engkau termasuk di antara yang sedikit.”

“Saya berharap demikian,” kata Maria , “Sulit untuk melakukannya karena pada dasarnya manusia itu memang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya.”

Seorang pria yang mendekat membuat mereka berhenti bercakap-cakap.

Maria tidak senang melihat cara pria itu memandang dirinya. Pria itu memandang dirinya seakan-akan Maria adalah miliknya. Mata di balik topengnya selalu menatap lekat-lekat wajah Maria.

Demikian pula Al. Al tampak tidak senang atas gangguan pria itu. Walaupun begitu ia tidak menampakkannya.

“Selamat malam, Alexander,” kata pria itu.

Sesaat Al memandang wajah Maria. Ia khawatir Maria terkejut mendengar nama lengkapnya. Dan ternyata ia sendirilah yang terkejut.

Al terkejut melihat wajah Maria yang tetap tenang, seolah-olah telah mengetahuinya dari awal perjumpaan mereka.

“Rupanya Andalah bidadari yang selalu bersinar sejak kedatangan Anda. Saya mengagumi sinar yang Anda nampakkan dalam setiap gerakan Anda. Baik melalui gaun Anda yang sangat serasi untuk kulit Anda yang putih itu maupun rambut Anda yang mempesona,” kata pria itu.

Kemudian pria itu mengulurkan tangannya hendak mencium tangan Maria.

Al terkejut ketika Maria menyambut uluran tangan pria itu dan membiarkan pria itu mencium punggung tangannya. Al menduga Maria melakukannya untuk kesopanan bila mengingat sikap Maria yang selalu menjaga kesopanan.

Maria merasa pria itu mencium tangannya terlalu lama karena itu ia menarik tangannya dengan sopan.

“Mengapa engkau menyembunyikan bidadari secantik ini di pojok ruangan yang gelap ini, Alexander?” kata pria itu.

“Aku tidak menyembunyikannya. Aku hanya mencarikan tempat yang sepi untuknya agar bisa duduk dengan tenang,” kata Al.

“Kukira engkau pandai menghadapi wanita, Alexander. Tetapi ternyata dugaanku salah. Engkau dapat kukatakan tidak mengerti apa-apa tentang wanita. Bidadari yang selalu bersinar seperti dia kau letakkan di sudut ruangan yang gelap,” kata pria itu mengejek.

Maria tersenyum pada pria itu, “Bidadari yang selalu bersinar akan selalu bersinar sekali pun berada di tempat yang gelap.”

Sesaat pria itu terkejut mendengar kata-kata Maria, tetapi ia segera menyembunyikannya dengan berkata,

“Tepat seperti yang kuduga. Engkau memiliki suara yang merdu. Sangat sesuai dengan gerakan Anda yang anggun dan kecantikkan Anda yang selalu bersinar.”

“Terima kasih. Saya berharap saya tidak terlalu bersinar sehingga menyilaukan mata semua orang.”

Kata-kata Maria yang seperti memancing pujian selanjutnya membuat Al terkejut. Ia telah mengetahui sifat Maria yang selalu merendahkan diri setiap kali dipuji. Tidak pernah diduganya Maria akan berkata seperti itu.

Apa yang dikatakan Al terbukti.

“Engkaulah bidadari yang akan selalu menyilaukan mata semua orang sehingga tidak ada orang yang akan mengalihkan pandangan mereka dari sinar Anda yang menyilaukan,” kata pria itu.

“Bila demikian, Anda tidak perlu khawatir bila saya duduk di pojok Ruang Besar yang luas ini,” kata Maria dengan tenang namun membuat pria itu terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa.

Al tersenyum mendengar perkataan Maria yang tepat itu. Sekarang ia mengerti mengapa Maria sengaja memancing pujian selanjutnya dari pria itu.

“Saya rasa kita belum berkenalan. Siapakah nama Anda?” kata pria itu menyembunyikan ketidakmampuannya membalas kata-kata Maria yang tenang dan sopan namun mengenai sasaran yang tepat.

“Siapakah nama saya menurut Anda?” kata Maria balas bertanya.

Priai tu tersenyum, “Saya tidak tahu nama apa yang tepat untuk bidadari secantik Anda. Menurut saya nama yang tepat untuk Anda adalah bidadari yang selalu bersinar.”

“Itulah namanya, Marcel. Bidadari yang selalu bersinar di hatiku,” kata Al seperti yang selalu dikatakannya kepada teman-temannya yang diperkenalkan kepada Maria.

Kemudian ia berkata dengan tegas, “Dan sekarang bila engkau tidak keberatan, maukah engkau menjauh. Aku tidak ingin diganggu.”

“Apakah ia calon istrimu, Alexander? Iakah yang akan kaujadikan Duchess of Blueberry berikutnya.”

“Sayang sekali. Ia terlalu mulia untuk kedudukan itu.”

“Engkau salah, Alexander. Ia sangat pantas menerima kedudukan yang setinggi mungkin,” kata Marcel.

“Kedudukan yang paling tinggi bagi saya adalah di hati pria yang mencintai saya,” kata Maria.

“Anda seorang bidadari yang romantis rupanya,” kata Marcel memuji Maria lagi, “Ia memang pantas untuk menerima gelar kebangsawanan setinggi mungkin.”

“Apakah Anda tidak merasa bahwa Anda telah menyimpang terlalu jauh dari tujuan Anda semula?”

Marcel dan Al memandang heran pada Maria yang menatap lurus ke depan.

Al mengikuti arah mata Maria dan mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

Maria mengamati Lady Debora yang berdiri dengan kesal di kejauhan sambil terus menatap mereka. Sikap berdirinya menampakkan kejengkelannya.

“Lady Debora telah menanti hasil penyelidikan Anda,” kata Maria memberi tahu dengan tenang.

Merasa telah ketahuan tujuannya, Marcel segera pergi menjauh tanpa mengatakan apa-apa.

Setelah kepergian pria itu, Al tersenyum geli pada Maria.

“Hari ini aku telah menemukan kelebihanmu yang lain,” kata Al, “Engkau sangat pandai menghadapi pria seperti dia.”

“Marcel sangat senang mempermainkan wanita. Ia sangat sesuai untuk Lady Debora,” kata Maria.

“Bagaimana engkau mengetahuinya?”

“Ia terlalu pandai memuji. Mungkin pujian-pujiannya itu akan berhasil pada wanita yang lain tetapi tidak pada saya.”

Al mengakui kebenaran ucapan Maria. Ia merasa gadis itu benar-benar berbeda dengan gadis lainnya.

Maria dapat mengendalikan sikapnya agar tetap sopan walaupun ia tidak menyukai orang itu. Dan ia sangat pandai dalam menghadapi pria seperti Marcel yang memiliki banyak skandal seperti Baroness Lora.

“Apakah yang membuatmu menduga Lady Debora menyuruh Marcel menyelidiki dirimu?”

“Tadi saya melihat mereka berdua berbicara. Lady Debora tampak sangat bersemangat ketika berbicara dengan pria itu. Apalagi yang dapat membuatnya sangat bersemangat seperti ketika ia akan menghadiri pesta ini selain mendekati Anda.”

“Sudah kuduga Lady Debora akan sangat senang bila diundang ke pesta ini. Seperti katamu, ia memang selalu berusaha mendekatiku,” kata Al.

“Ia akan selalu berusaha menyingkirkan saingannya untuk mendapatkan Anda.”

Al mengangguk dan berkata, “Aku mengagumi ketenanganmu, Maria. Engkau tidak nampak terkejut sama sekali ketika mengetahui aku adalah putra Duke of Blueberry.”

“Saya telah mengetahuinya sebelumnya,” kata Maria.

Al keheranan dengan kata-kata Maria. “Kapan?” tanyanya.

“Tadi sewaktu kita memasuki rumah ini. Di pintu rumah ini tergambar lambang keluarga Blueberry, sepasang daun Blueberry dengan buah Blueberry di antara mereka. Dan sebelumnya saya telah menduga Anda tidak memberikan nama lengkap Anda.”

“Aku menebak engkau mengetahui lambang keluargaku dari masa lalumu.”

“Ya, Anda benar,” kata Maria, “Apakah Al nama panggilan Anda?”

“Ya, keluargaku selalu memanggilku Al. Kata mereka lebih mudah memanggilku Al daripada Alexander. Aku ingin engkau terus memanggilku Al bukan Alexander,” kata Al menegaskan.

Suara bel yang menggema di ruangan itu membuat Maria memandang semua orang yang mulai meninggalkan Ruang Besar.

Alexander tidak mengajak Maria berdiri dan mengikuti orang-orang itu. Ia terus memandangi mereka, seperti Maria.

Dan ketika tamu-tamu yang lain telah menghilang dari Ruang Besar, Duchess of Blueberry menghampiri mereka.

Alexander membantu Maria berdiri. Kemudian mereka berjalan mendekati Duchess.

“Mari kita pergi ke Ruang Makan, Maria,” kata Duchess sambil mengulurkan tangannya.

Maria menyambut uluran tangan itu dan membiarkan wanita itu menuntunnya dengan akrab seakan-akan Maria adalah putri kandungnya.

Alexander tersenyum melihat keakraban kedua wanita itu. Ia mengikuti di belakang mereka sambil mendengarkan percakapan mereka.

“Semua tamu-tamu selalu memperhatikanmu sejak kedatanganmu, Maria,” kata Duchess.

“Saya berharap saya tidak selalu menjadi pusat perhatian. Saya khawatir saya salah tingkah karenanya,” kata Maria merendahkan diri.

“Jangan berkata seperti, Maria. Engkau sangat tenang walaupun engkau menjadi pusat perhatian tamu-tamuku khususnya para lelaki. Sikapmu seperti orang yang telah terbiasa menjadi pusat perhatian,” kata Duchess.

“Sejujurnya, saya memang merasa saya sering menjadi pusat perhatian. Sepanjang hidup saya, saya selalu diperhatikan dengan sungguh-sungguh bahkan berlebihan, menurut saya tetapi mereka mengatakan hal itu memang layak untuk saya,” kata Maria.

“Siapakah mereka itu, Maria? Apakah penduduk Obbeyville? Penduduk Obbeyville memang selalu memperhatikan tiap gerakanmu. Mereka menganggapmu sebagai bidadari yang dikirim para dewa dan mereka selalu membicarakanmu.”

“Bukan penduduk Obbeyville yang saya maksudkan. Tetapi mereka yang berada di masa lalu saya dan saya tidak dapat mengingat siapakah mereka itu,” kata Maria.

“Oh, Maria. Jangan terlalu kaupikirkan hal itu. Ingatanmu akan pulih kembali. Percayalah kepadaku.”

“Saya selalu percaya ingatan saya akan pulih suatu hari nanti.”

Alexander tersenyum menyadari kebenaran ucapan Marcel.

Rambut Maria yang panjang selalu bersinar mengiringi setiap gerakannya yang gemulai seperti gaunnya yang juga selalu bersinar dalam setiap gerakan Maria.

Syal putih yang panjang dan lebar yang selalu melambai setiap gerakan Maria, membuat gadis itu tampak semakin menarik perhatian.

Alexander tidak mempercayai bahwa ada seorang gadis yang sangat sempurna seperti Maria. Ia masih takut mempercayainya. Takut bahwa itu semua hanya karena perasaannya yang untuk pertama kali membuatnya bingung.

Pelayan membukakan pintu Ruang Makan untuk mereka.

Tamu-tamu yang seluruhnya berjumlah sekitar dua puluh lima orang telah duduk mengelilingi meja makan yang besar itu menoleh ketika mereka memasuki ruangan itu.

Mereka terpesona pada sikap Duchess yang sangat akrab terhadap Maria, gadis yang baru pertama kali mereka lihat.

Duchess menyerahkan tangan Maria yang sejak tadi dipegangnya kepada putranya sebelum ia duduk di tempat yang telah ditentukan untuknya, di dekat suaminya.

Alexander menarikkan kursi untuk Maria di tempat yang sangat jauh dari Lady Debora maupun Baroness Lora. Kemudian ia duduk di samping Maria.

Maria dapat melihat kejengkelan Lady Debora karena Alexander tidak duduk di dekatnya

Wanita itu memandang cemberut kepadanya seperti anak kecil kepada Maria tetapi kemudian Lady Debora segera mengalihkan perhatiannya ketika pria yang duduk di sampingnya mengajaknya bicara.

Maria menduga telah menjadi kebiasaan bagi pesta dansa keluarga Blueberry untuk menyajikan hidangan malam sebelum pesta tersebut dimulai.

Hidangan yang disajikan sangat bervariasi. Mulai dari makanan pembuka hingga makanan penutup semuanya terlihat sangat lezat.

Sepanjang acara makan malam itu, Maria terlihat sangat diam.

Ia terkejut ketika menyadari ia pernah duduk di meja makan yang besar seperti ini bersama-sama tamu yang banyak pula. Hidangan yang disajikan juga sangat bervariasi.

Tamu-tamu pria juga sibuk membicarakan masalah kerajaan seperti Al dan pria yang duduk di seberangnya, juga seperti pria yang duduk di samping kanannya.

Sedangkan tamu-tamu wanita sibuk membicarakan pakaian, tatanan rambut, pesta-pesta dan segala hal yang menarik perhatian mereka.

Di mana ia melakukan hal yang sama, Maria tidak dapat mengingatnya. Tetapi Maria yakin situasi saat itu sama seperti situasi sekarang. Yang berbeda adalah jumlah tamu.

Pada pesta yang diingat Maria, jumlah tamunya lebih banyak dari pesta dansa keluarga Blueberry.

Alexander tidak memperhatikan Maria yang diam sejak hidangan pertama disajikan karena ia sibuk membicarakan masalah kerajaan dengan tamu yang duduk di dekatnya.

Semua tamu wanita saling berbisik membicarakan Maria sedangkan tamu-tamu pria sibuk dengan pembicaraan mereka.

Tidak ada yang memperhatikan Maria.

“Mengapa Anda diam saja sejak tadi?” tanya pria setengah baya yang duduk di samping kanan Maria.

Maria menatap wajah pria itu dan berkata, “Saya sedang mendengarkan pembicaraan mereka.”

“Apakah Anda menyukai masalah politik?” tanya pria itu.

“Cukup menyukainya,” jawab Maria.

“Bagaimanakah pendapat Anda mengenai penjara bawah tanah kota Xoechbee?” tanya pria itu.

“Penjara itu sangat gelap, sinar matahari hampir tidak dapat menembus dinding batunya yang kokoh,” kata Maria.

“Saya rasa Kerajaan Zirva sangat keterlaluan dalam hal hukum. Mereka terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel.

“Memang pada awalnya mereka sangat keras. Namun sekarang pemerintah telah memperlunak sanksi hukuman,” kata Maria sambil tersenyum.

“Mereka masih terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel, “Keponakan saya yang hanya bersalah karena telah melangggar Undang-Undang Perburuan saja dihukum selama tiga puluh tahun di penjara itu. Dan saya sebagai pamannya tidak diijinkan berkunjung.”

“Siapakah nama keponakan Anda itu?” tanya Maria.

“Golbert Mantrix,” jawab pria itu.

“Dan Anda tentunya adalah Eisench Mantrix yang sejak Golbert Mantrix dihukum selalu berusaha meminta ijin dari Raja untuk mengunjungi keponakan Anda itu,” kata Maria.

“Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya Eisench Mantrix terkejut.

“Saya tidak tahu. Tetapi saya tahu keponakan Anda dihukum selama itu bersalah karena masih terus membunuh serigala hutan yang dilindungi dan mengambil bulunya untuk dijadikan mantel walaupun Undang-Undang mengenai itu telah dikeluarkan.”

“Ya, saya juga menyadari kesalahan keponakan saya. Tetapi keterlaluan sekali. Hanya karena melanggar Undang-Undang perburuan dihukum tiga puluh tahun di penjara yang paling menakutkan pula.”

“Anda harus memaklumi sikap Raja. Hukuman itu diberikan berdasarkan kitab Undang-Undang yang telah diperbarui oleh Raja Croi I, sekitar delapan puluh tahun lalu,” kata Maria.

“Kitab itu masih harus diperbaharui lagi. Hukumannya masih terlalu berat,” kata Eisench Mantrix.

“Anda jangan khawatir karena kini Raja sedang berusaha memperbarui kitab tersebut yang sejak jaman Raja Croi I belum diperbaharui sejak sekarang. Kemungkinan hukuman keponakan Anda diperpendek sangat luas.”

“Aku tidak percaya kitab itu akan menjadi lebih lunak daripada sekarang.”

“Percayalah kepada saya,” kata Maria sambil tersenyum, “Raja telah merencanakan untuk memperlunak hukuman itu sejak beberapa tahun yang lalu. Tetapi hal itu masih belum terwujud karena masih banyak menteri yang menolak usul itu.”

“Ya, menteri-menteri yang kuno itu. Mereka tidak mengerti betapa hukuman itu sangat keras,” kata Eisench Mantrix dengan jengkel.

“Hukuman yang keras dan tegas memang diperlukan untuk mengatur penjahat yang kejam,” kata Maria, “Dan Anda harus menanti sebentar lagi agar dapat mengunjungi keponakan Anda karena permohonan Anda telah sampai di tangan Menteri Pertahanan, mungkin saat ini sudah berada di tangan Menteri Kehakiman. Dan setelah itu akan diserahkan kepada Paduka Raja.”

“Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Al keheranan mengetahui pengetahuan Maria yang sangat dalam mengenai hukum Kerajaan Zirva.

Maria tidak menyadari semua tamu membelalak terkejut pada perkataannya yang sangat politis. Bahkan Duke of Blueberry serta Duchess yang duduk di ujung meja yang lain membelalak terkejut.

Rupanya semua orang menghentikan pembicaraan mereka ketika Maria mulai berbicara mengenai masalah hukum. Sehingga pembicaraan mereka terdengar hingga ke ujung meja yang lain.

Tidak ada seorang pun di antara tamu itu yang menduga gadis itu mengetahui cukup dalam mengenai urusan hukum Kerajaan Zirva. Bahkan Al!

Baru kali ini pria itu menjumpai seorang wanita yang masih muda pula yang mengetahui banyak mengenai urusan hukum. Demikian pula tamu-tamu yang lain yang tertarik mendengar pembicaraan Maria dengan Eisench Mantrix.

“Saya tidak tahu. Kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari ingatan saya,” kata Maria dengan tenang.

“Apakah Anda tahu banyak mengenai politik?” tanya pria yang tadi berbicara dengan Alexander.

“Tidak sebanyak yang Anda ketahui,” kata Maria sambil tersenyum, “Karena politik sangat sukar dipelajari, tetapi bila kita mau berusaha kita dapat melakukannya. Manusia harus berusaha bila ingin berhasil.”

“Siapakah Anda?” tanya pria itu.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah makhluk tak bernama yang kebetulan saja hadir di sini,” kata Maria dengan tersenyum.

Pria itu tertawa mendengar jawaban Maria yang sengaja menyembunyikan namanya.
“Anda sangat pandai menyembunyikan nama Anda, tetapi tidak apa-apa. Siapa tahu Anda sedang menyamar. Saya Trown Townie.”

“Saya senang dapat berjumpa dengan Anda. Nama Anda sangat terkenal di Kerajaan Zirva,” kata Maria.

“Anda mengetahui saya rupanya,” kata Trown Townie.

“Siapa yang tak kenal Anda yang terkenal sebagai tokoh politik yang pertama kalinya mengecam politik perdagangan Blueberry Kerajaan Zirva,” kata Maria sambil tersenyum.

“Pengetahuan Anda membuat saya khawatir suatu hari nanti Anda lebih terkenal daripada saya,” goda Trown Townie.

Maria tersenyum pada pria yang mirip Mr. Liesting dengan janggut putihnya yang lebat, “Bila suatu saat nanti hal itu menjadi kenyataan, saya berharap kita akan bertemu kembali agar saya dapat mengetahui apakah saya telah lebih unggul dari Anda.”

“Anda pasti akan lebih pandai dari saya. Dalam usia semuda ini Anda telah mengetahui banyak hal apalagi bila Anda telah semakin dewasa,” kata Trown Townie.

“Saya tidak akan menjadi sepandai Anda karena saya selalu jauh dari Istana sehingga saya tidak mengetahui banyak mengenai politik.”

“Anda dapat mengetahui banyak walaupun Anda jauh dari Istana apalagi bila Anda tinggal di Istana Plesaides,” kata Trown Townie.

“Saya kira saya tidak akan pernah diijinkan tinggal terlalu lama di Istana Plesaides,” kata Maria.

“Ya, Istana itu memiliki banyak ruangan tetapi kebanyakan kosong. Saya pernah tinggal di sana ketika membantu Raja menyelesaikan masalah perdagangan Blueberry. Saya sendiri tidak mengerti mengapa Raja memanggil saya saat itu walaupun hal itu bukan bidang saya.”

“Tentu karena kecaman Anda atas politik perdagangan Blueberry kerajaan ini,” kata Al.

“Ya, mungkin karena itu,” kata Trown Townie, “Ada suatu hal yang sangat aneh di Istana Plesaides.”

“Apakah itu?” tanya Eisench Mantrix.

“Di lantai teratas Istana Plesaides, lantai empat ada sebuah ruangan yang tidak boleh dimasuki tanpa ijin.”

“Apa yang aneh dari ruangan itu? Aku rasa tidak aneh bila ada ruangan yang tidak dapat dimasuki secara bebas di Istana,” tanya Eisench Mantrix, “Mungkin saja ruangan itu kamar Raja atau keluarga Raja yang lain.”

“Memang tidak aneh, tetapi yang membuatku heran adalah mengapa ruangan itu terpisah dari ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara bebas. Kamar Raja dan Pangeran serta berbagai ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara bebas semuanya terletak di lantai pertama dan lantai kedua. Hanya ruangan itu yang terletak di lantai teratas Istana Plesaides.”

“Aku rasa tidak ada yang aneh, mungkin saja Raja sengaja menyendirikan ruangan itu dari ruangan-ruangan lainnya yang terlarang,” kata Eisench Mantrix.

“Memang hal itu mungkin saja. Tetapi yang membuatku merasa ruangan itu aneh adalah ijin untuk dapat memasuki ruangan itu.”

“Tidak ada yang aneh bila untuk memasuki suatu ruangan di Istana memerlukan ijin khusus dari Raja,” kata Eisench Mantrix.

“Di situlah keanehannya, Mantrix. Untuk memasuki ruangan itu kita harus meminta ijin dari Pangeran bukan dari Raja.”

“Mungkin saja Raja memberi tugas pada Pangeran untuk memberi ijin orang yang ingin memasuki ruangan itu,” gumam Al.

“Tidak, hal itu memang aneh sekali. Bila aku bercerita pada kalian aku yakin kalian tidak mempercayaiku.”

“Coba ceritakan kepada kami,” kata Duke, “Mungkin kami mempercayainya.”

Trown Townie mulai bercerita pengalamannya di Istana,

“Ketika Kepala Pengawal Istana mengantarkanku mengelilingi Istana, ia hanya melalui ruangan itu.

Aku bertanya kepadanya, “Mengapa kita tidak memasuki pintu itu?”

“Maafkan saya, saya tidak dapat mengajak Anda memasuki ruangan itu karena untuk memasukinya memerlukan ijin Pangeran dan saat ini Pangeran sedang sibuk di kebun.”

Aku keheranan mendengar kata-kata Kepala Pengawal itu. “Apa yang dilakukan Pangeran di kebun bunga itu?” tanyaku.

“Pangeran sedang memetik bunga untuk menghiasi ruangan ini.”

Jawaban Kepala Pengawal itu semakin membuatku merasa heran dan bingung. Tidak mungkin rasanya bagiku Pangeran yang gagah mencari bunga untuk menghiasi kamarnya. Tetapi kamar itu bukan kamarnya karena kamarnya terletak di lantai dua, di samping kamar Raja.

Dan pertanyaan-pertanyaanku itu terjawab ketika pada sore harinya aku menyempatkan diri untuk menuju ruangan di lantai empat itu. Tujuanku yang semula adalah untuk melihat ukiran pintu yang menarik hatiku itu.

Pintu itu berukiran seorang bidadari sedang memegang seikat bunga yang besar dan beberapa peri kecil di sekelilingnya. Ukiran itu demikian indahnya sehingga aku ingin terus memandanginya.

Saat itu aku melihat Pangeran membuka pintu itu dengan sepasang keranjang besar yang berisi berbagai macam bunga di tangannya.

“Selamat sore,” sapa Pangeran.

“Selamat sore, Pangeran,” balasku.

“Apakah Anda yang tadi hendak memasuki ruangan ini?” tanya Pangeran.

Aku heran mengapa Pangeran tahu aku tadi siang ingin sekali memasuki ruangan itu. Aku menduga Kepala Pengawal Istana yang memberi tahu Pangeran.

Tanpa menanti jawabanku, Pangeran membuka sepasang pintu itu lebar-lebar dan mengajak aku masuk.

Aku terkejut sekali ketika berada di dalam ruangan itu. Ruangan itu sama seperti ruangan lainnya yang dihias dengan mewah. Tetapi menurutku, ruangan itu lebih sederhana dibandingkan ruangan-ruangan yang lain.

Dan yang lebih membuatku merasa sangat terkejut adalah ruangan itu penuh berisi bunga. Hampir di setiap sudutnya ada pot-pot bunga yang berisikan berbagai macam bunga segar.

Aku heran sekali dari mana Pangeran memperoleh bunga-bunga itu padahal waktu itu adalah musim gugur.

Rupanya Pangeran mengerti kebingunganku karena ia berkata, “Bunga-bunga ini didatangkan dari berbagai tempat. Khusus untuk menghias ruangan ini.”

Aku diam saja memandangi bunga-bunga yang ada di ruangan yang sangat besar itu.

Ruangan itu terdiri dari tiga buah kamar tidur dan sebuah kamar duduk. Masing-masing kamar dihias bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga membuat ruangan yang besar itu wangi.

Aku bersyukur sekali karena aku tidak mempunyai alergi terhadap serbuk bunga karena dengan demikian aku bisa mengamati ruangan yang mengagumkan itu.

Ada sebuah piano putih kuno dari jaman Bartolome Cristofori di sudut ruangan duduk yang dilengkapi dengan sofa yang indah dan perapian yang besar.

Besar perapian itu juga membuatku merasa heran karena perapian itu lebih besar dibandingkan perapian pada umumnya.

Aku tidak sempat memasuki kamar tidur yang lain karena aku terlalu sibuk memperhatikan ruang duduk. Salah satu sisi ruangan duduk itu ada dua kamar dan di sisi lainnya hanya satu kamar yang terus memanjang hingga serambi.

Tetapi aku sempat melirik kamar tidur yang terletak di depan dua kamar tidur lainnya itu ketika Pangeran memasuki ruangan itu.

Sekilas, aku melihat kamar tidur itu sangat indah dan seperti ruang duduk, kamar itu penuh dengan berbagai macam bunga. Tempat tidurnya yang besar berwarna putih dengan tiang-tiang besi yang berwarna keemasan. Kamar tidur itu sangat indah sehingga sukar bagiku untuk menggambarkannya dengan tepat.

Tetapi aku yakin kalian akan terpesona juga pada ruangan di lantai empat yang tidak semewah ruangan lainnya tetapi penuh bunga.

Aku yakin ruangan lainnya lebih mewah tetapi tidak seindah ruangan di lantai empat itu.

Ketika aku berada di ruangan itu. Aku merasa sangat damai dan tentram dan itu membuat aku ingin terus berada di sana.

Aku terlalu terpesona pada ruangan itu sehingga tidak sempat bertanya pada Pangeran mengenai ruangan itu lebih jauh.”

“Aneh sekali,” gumam Alexander.

“Ya, memang aneh sekali. Dan yang lebih aneh lagi adalah setiap pagi dan sore, Pangeran selalu memeriksa ruangan tersebut. Dan tiap kali Pangeran memeriksa ruangan itu, Pangeran selalu membawa seikat besar bunga, padahal ruangan itu sudah penuh bunga.”

“Apakah orang yang pernah menempati ruangan itu sudah meninggal dan arwahnya bergentayangan sehingga tidak ada orang yang berani tinggal di ruangan itu dan ruangan itu selalu dipenuhi bunga untuk mencegah arwah itu mengganggu penghuni Istana Plesaides yang lain?” tanya Eisench Mantrix.

“Tidak, Mantrix. Menurut Kepala Pengawal Istana yang waktu itu mengantarku berkeliling Istana, ruangan itu ada yang menempati. Tetapi selama aku di sana, aku tidak pernah melihat orang lain memasuki ruangan itu selain Pangeran.”

“Pasti arwah orang yang dulu tinggal di situ yang kini masih menempati ruangan itu,” kata Eisench Mantrix dengan yakin.

“Tidak, Mantrix. Karena Pangeran sendiri mengatakan bahwa ruangan itu ditempati adiknya bersama pengasuhnya,” kata Trown Townie sambil menggelengkan kepala.

“Adik Pangeran!” seru tamu-tamu yang terkejut mendengarkan kalimat terakhir Trown Townie.

“Setahuku Pangeran tidak mempunyai adik,” kata Eisench Mantrix.

“Engkau salah lagi, Mantrix. Pangeran mempunyai seorang adik perempuan hanya saja kita tidak pernah mendengar namanya maupun melihatnya,” kata Trown Townie.

“Apakah engkau yakin, Townie?” tanya Duke.

“Aku yakin sekali. Karena yang memberi tahuku adalah Kepala Pengawal Istana.”

“Mengapa Princess tidak pernah muncul?” tanya Eisench Mantrix.

“Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya pada Pangeran. Kepala Pengawal Istana yang kutanyai tidak tahu menahu tentang itu. Ia hanya mengatakan Putri jarang berada di Istana.”

“Ke manakah Princess bila ia sedang tidak berada di Istana?”

“Aku tidak tahu, Mantrix. Jangan bertanya lebih banyak lagi kepadaku mengenai Princess kita yang tidak pernah muncul itu karena aku sendiri juga tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Kepala Pengawal Istana.”

“Apakah engkau tidak bertanya pada penghuni Istana yang lain?” tanya Eisench Mantrix.

“Pelayan-pelayan lainnya juga tidak menjawab banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Mereka tidak memberi tahu lebih banyak kepadaku selain mereka selalu merindukan Princess, yang kata mereka sangat cantik tak tertandingi, seolah-olah mereka sengaja ingin menyembunyikannya.”

“Aneh sekali,” kata Duke.

“Hingga kapan pun, Istana Plesaides akan selalu menyimpan misteri. Seperti menyimpan misteri politik dan sebagainya,” kata Maria.

Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Anda benar. Istana Plesaides akan selalu menyimpan rahasia Kerajaan Zirva.”

“Di manapun, Istana adalah tempat penyimpanan rahasia suatu negara.”

“Saya senang berbicara dengan Anda, pengetahuan Anda membuat saya kagum,” kata Trown Townie.

“Apa yang saya ketahui masih kalah jauh dibandingkan Anda,” kata Maria merendahkan diri.

“Mengapa kita membicarakan urusan Kerajaan di pesta ini?” kata Duke dari ujung meja, “Saat ini kita berkumpul di sini untuk bersenang-senang bukan untuk membicarakan masalah politik.”

“Maafkan saya. Saya terlalu terpesona pada gadis ini,” kata Trown Townie.

“Kita semua juga terpesona padanya sejak kedatangannya. Kita tidak tahu siapa dia. Mungkin hanya Alexander saja yang mengetahui siapa gadis yang mempesona ini sebenarnya,” kata Eisench Mantrix.

“Sejujurnya, saya juga tidak tahu siapa dia. Ia terlalu membingungkan dan tidak dapat ditebak. Saat ini ia sudah memberi banyak kejutan pada saya, saya tidak tahu apalagi yang akan dilakukannya untuk membuat saya semakin terpesona,” kata Alexander sambil tersenyum pada Maria.

“Mari kita kembali ke Ruang Besar dan melanjutkan pesta kita sebelum hari semakin malam,” kata Duke.

Semua tamu berdiri dan mengiringi Duke menuju Ruang Besar.

Maria dan Alexander masih duduk menanti semua tamu meninggalkan ruangan itu. Duchess juga masih menanti semua tamu meninggalkan ruangan.

Eisench Mantrix telah beranjak meninggalkan meja makan. Tetapi Trown Townie masih tetap berada di ruangan itu.

Ketika semua tamu telah meninggalkan ruangan, Alexander membantu Maria bangkit dari kursinya kemudian menanti Duchess dan Trown Townie.

“Engkau sangat mengejutkanku, anakku,” kata Duchess pada Maria.

“Maafkan saya bila saya terlalu mengejutkan Anda,” kata Maria.

“Jangan berkata seperti itu. Aku sangat senang bertemu dengan gadis seperti engkau. Tidak seorang pun yang menduga engkau mengetahui banyak mengenai politik, kecuali Al.”

“Sejujurnya, Mama, aku sendiri juga terkejut,” kata Al, “Seperti kataku, ia selalu membuat aku terkejut.”

“Sebenarnya siapakah Anda?” tanya Trown Townie.

“Saya tidak mengetahui siapa saya yang sebenarnya. Saya tidak dapat mengingat masa lalu saya,” kata Maria.

“Oh, saya turut menyesal. Di manakah Anda tinggal?” tanya Trown Townie.

“Anda pernah mendengar bidadari yang ditemukan di Sungai Alleghei?” tanya Duchess sebelum Maria menjawab pertanyaan Trown Townie.

“Saya hanya sekali mendengarnya yaitu ketika kusir kuda yang saya sewa menceritakan bahwa penduduk Obbeyville mendapatkan seorang bidadari yang sangat cantik dari dewa-dewi di Holly Mountain. Ia mengatakan gadis itu ditemukan di Sungai Alleghei.”

“Bidadari itu sekarang berdiri di hadapan Anda,” kata Duchess.

Trown Townie berseru terkejut. “Saya tidak pernah membayangkan akan bertemu sendiri dengannya. Saya sangat senang sekali dapat bertemu dengan Anda. Saya merasa kusir itu berlebihan ketika menceritakan hal itu tetapi sekarang saya merasa kusir itu kurang tepat menggambarkannya, ia jauh lebih baik dari yang diceritakan.”

“Dapatkah saya meminta Anda berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapapun yang hadir di pesta ini?” kata Alexander.

“Mengapa?” tanya Trown Townie keheranan.

“Karena Maria tidak ingin siapa pun mengetahui ia hadir di pesta ini. Tentunya Anda mengerti bila ia menghindari penduduk Obbeyville yang selalu membicarakan segala tindakannya.”

“Tentu, Alexander. Aku berjanji akan merahasiakan hal ini dari siapa pun.”

“Terima kasih, Mr. Townie,” kata Maria.

“Jangan terlalu sopan seperti itu, Maria,” kata Trown Townie, “Jangan memanggilku seperti itu, panggil aku dengan nama depanku saja, Trown.”

Duchess tertawa mendengar kata-kata Trown Townie yang sama seperti yang pernah diucapkannya kepada Maria.

“Anda tidak akan berhasil. Ia selalu sopan terhadap siapa pun walaupun telah dilarang,” kata Duchess.

“Itulah kelebihannya yang lain, Mama. Ia masih mempunyai banyak kelebihan lain yang tidak akan Mama percayai.”

“Tidak, saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Apa yang saya lakukan adalah wajar, tidak dapat dikatakan kelebihan,” kata Maria.

“Ini salah satu kelebihannya yang lain, Mama.”

“Aku jadi tertarik untuk mengenal engkau lebih jauh, Maria. Aku ingin mengetahui apa saja kelebihanmu dan apakah yang dikatakan Al benar.”

“Tentu saja benar, Mama. Bila Mama telah cukup lama mengenal Maria, Mama akan mengetahui kelebihannya yang lain,” kata Alexander, “Saya ingin Mama sendiri yang menemukan kelebihan Maria yang lain.”

“Engkau gadis yang menyenangkan, Maria,” kata Trown Townie.

Maria tersenyum mendengar pujian Trown Townie, “Anda juga menyenangkan, Mr. Townie. Saya senang berbicara dengan Anda.”

“Aku juga senang berbicara dengan gadis yang berpengetahuan luas sepertimu,” kata Trown Townie.

“Pengetahuan saya tidak seluas yang Anda katakan. Saya tidak mengerti mengenai segala hal yang disukai wanita seperti Baroness Lora. Saya tidak mengerti mengenai gaun-gaun dan segala macam permata,” kata Maria sambil tersenyum.

“Itulah yang membuat dirimu berbeda dengan wanita-wanita yang lain, anakku,” kata Duchess sambil menggandeng Maria, “Sekarang bukan saatnya kita membicarakan masalah politik. Sekarang saatnya kita menuju Ruang Besar.”

Trown Townie tertawa, “Anda benar, Duchess. Tetapi saya harus mengatakan bahwa saya senang sekali membicarakan masalah politik bersama Maria. Ia dapat menambah pengetahuan saya.”

“Bukan Anda, Mr. Townie. Tetapi sayalah yang akan bertambah pengetahuannya.”

Alexander membukakan pintu untuk mereka dan berkata, “Mari kita menuju Ruang Besar. Para tamu pasti telah menanti kehadiran kita.”

No comments:

Post a Comment