Sunday, May 6, 2007

Gadis Misterius-Chapter 8

Baroness Lora dan Lady Debora sangat sibuk sejak makan siang. Mereka kembali marah-marah sambil mempersiapkan dirinya untuk hadir dengan cantik dan anggun di pesta dansa sore itu.

Suara mereka yang bergema di sepanjang koridor depan kamar mereka menunjukkan betapa mereka sangat menantikan saat ini terutama Lady Debora.

Wanita itu terlihat sangat antusias menanti datangnya saat ini.

Sewaktu makan siang tadi, wanita itu tampak tidak sabar untuk segera menghabiskan hidangan yang dibuat Mrs. Vye bersama Maria.

Baroness Lora yang melihat putrinya tampak terburu-buru berkata, “Jangan terlalu bersemangat seperti itu.”

“Bagaimana aku tidak bersemangat, Mama? Aku sangat menantikan pesta ini sejak undangannya kita terima. Aku ingin tampil cantik malam ini dan aku akan membuat semua pria yang hadir terutama Alexander terpesona padaku,” kata Lady Debora bersemangat.

Mrs. Vye yang mendengar pembicaraan mereka tersenyum.

“Tuan Puteri akan kalah cantik dari Maria,” bisiknya pada Mrs. Dahrien yang berdiri di sampingnya.

“Apakah Maria juga akan hadir di pesta itu?” tanya Mrs. Dahrien terkejut namun tetap berbicara dengan suara perlahan.

“Oh, ternyata aku telah menjadi pelupa akhir-akhir ini. Aku lupa mengatakan padamu bahwa Maria diajak ke pesta itu dan kotak yang tadi siang itu berisi gaun yang sangat indah untuk dikenakan Maria dalam pesta itu.”

“Aku yakin Tuan Puteri akan sangat kecewa bila mengetahui ia tidak dapat menjadi pusat perhatian,” bisik Mrs. Dahrien.

“Aku percaya engkau akan menjadi pusat perhatian di pesta itu, anakku,” kata Baroness Lora dengan senyum penuh keyakinan, “Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecantikkanmu.”

“Tentu saja, Mama. Tidak akan ada orang yang dapat menandingi kecantikkan yang kuwarisi dari Mama ini. Aku sangat bangga mempunyai Mama yang cantik,” kata Lady Debora.

“Tentu saja, engkau harus bangga memiliki wajah yang cantik. Sedikit sekali orang yang bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang dengan kecantikkannya.”

Mrs. Dahrien berbisik, “Maria lebih banyak mendapatkan perhatian daripada Tuan Puteri bukan saja karena ia lebih cantik tetapi juga karena kebaikan hatinya.”

Mrs. Vye menganggukkan kepalanya, “Ya, Maria sering berkata kecantikan seseorang dinilai bukan saja dari wajahnya tetapi lebih pada kecantikan hatinya.”

“Maria mengatakan itu?” tanya Mrs. Dahrien terkejut.

Mrs. Vye mengangguk lagi.

“Seharusnya aku telah menduganya, gadis itu memang berbeda dari semua gadis yang pernah kukenal bahkan semua gadis keturunan keluarga ini tidak ada yang pernah berkata seperti itu.”

“Bagiku ia tidak hanya memiliki kecantikan wajah saja tetapi juga kecantikkan hati. Aku ingin tahu siapakah dia.”

“Tidak hanya engkau saja, Mrs. Vye. Semua orang juga berkata seperti itu dan semua orang ingin mengetahui siapakah gadis itu. Apakah benar gadis itu berasal dari Obbeyville?”

Kedua wanita tua itu kembali memperhatikan majikannya yang masih sibuk menyelesaikan makan siangnya sambil bercakap-cakap.

“Aku tahu, Mama. Aku sangat beruntung,” kata Lady Debora.

“Ingat, putriku. Apapun yang terjadi engkau harus berusaha sedekat mungkin dengan Alexander dan menarik perhatiannya. Engkau harus berusaha mendapatkannya,” kata Baroness Lora mengingatkan putrinya.

“Tentu saja, Mama. Sejak dulu aku memang ingin mendapatkannya. Aku akan membuktikan kepada semua orang bahwa akulah satu-satunya orang yang dapat menguasai hati Alexander yang terkenal dingin itu.”

“Engkau juga harus dapat menarik perhatian orang tua Alexander. Aku yakin bila orang tua Alexander menyukaimu, mereka juga akan membantumu mendapatkan Alexander,” kata Baroness Lora.

“Tentu saja, Mama. Aku akan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan pria itu,” kata Lady Debora, “Dan sekarang, Mama. Ijinkanlah aku untuk mempersiapkan diriku secantik mungkin.”

“Berdandanlah secantik mungkin,” kata Baroness Lora sambil tersenyum.

Lady Debora segera meninggalkan Baroness Lora yang masih belum menyelesaikan makan siangnya menuju kamarnya.

Di sana telah menanti Maria. Gadis itu masih sibuk merapikan kamar yang dibuat berantakan oleh Lady Debora.

Ketika Lady Debora membuka pintu, ia menoleh dan tersenyum padanya.

“Siapkan air mandiku sekarang juga. Aku ingin bersiap-siap sekarang,” perintahnya pada Maria.

Maria segera melakukan apa yang diperintahkan Lady Debora.

Lady Debora sebenarnya kagum pada kesigapan Maria dalam mengerjakan perintah-perintahnya namun ia enggan mengakuinya.

Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa itu adalah keharusan Maria sebagai pelayannya untuk selalu siap menerima perintah-perintahnya dan mengerjakannya dengan baik.

Walaupun pada kenyataannya ia tidak hanya mengagumi kesigapan Maria, namun ia enggan memuji Maria.

Ia masih tetap terpesona pada sulaman yang dibuat Maria pada gaun hijaunya. Gaun itu yang semula tampak biasa di matanya kini tampak menarik.

Gaun hijau itu sebenarnya pemberian seorang pria. Walaupun enggan menerima gaun yang menurutnya ketinggalan jaman itu, tetapi ia tetap menerimanya dengan tujuan menarik perhatian pria kaya itu.

Menurutnya, pria itu kaya tetapi tidak mengetahui selera wanita dan ia berniat untuk membuka mata pria itu akan hal itu.

Lady Debora membuang pikirannya mengenai Maria dan mulai memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian Alexander.

Ia berniat mendapatkan hati pria yang terkenal sangat dingin kepada wanita itu sejak ia bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu dalam pesta yang sama.

Saat itu Alexander tidak memandangnya bahkan tidak memuji kecantikkannya seperti pria-pria lainnya yang juga hadir di pesta itu.

Pria itu tidak sedikitpun meliriknya apalagi mengajaknya berdansa. Pria itu hanya duduk di samping jendela yang terbuka sambil mengawasi setiap orang yang sibuk di hadapannya.

Sejak ia tiba di pesta itu, ia tidak pernah melepaskan pandangannya dari Alexander yang terlihat sangat angkuh itu.

Hal itu membuatnya geram dan sejak saat itu ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mendapatkan hati pria itu bagaimanapun caranya.

Pada awalnya keinginan untuk mendapatkan hati pria itu sangat kuat. Tetapi ketika ia menyadari betapa kayanya pria itu, ia lebih tertarik untuk mendapatkan kekayaannya daripada hati pria itu sendiri.

Dan mulailah Lady Debora mendekati orang tua Alexander. Ia sangat senang ketika orang tua Alexander memberinya sambutan yang hangat dalam tiap pertemuan mereka. Ia menduga mereka menyukainya.

Lady Debora tidak mengetahui bahwa ia salah besar dalam hal itu.

Duke dan Duchess of Blueberry selalu menerima Lady Debora dengan tangan terbuka karena mengingat hubungan kedua keluarga itu bukan karena mereka menyukainya.

Setelah mengetahui skandal mereka berdua terutama Baroness Lora setelah kematian Baron Marx Sidewinder, Duke dan Duchess of Blueberry merasa enggan untuk bertemu mereka.

Tetapi hubungan kedua keluarga yang telah lama terjalin membuat mereka selalu menerima kedua wanita itu dengan tangan terbuka.

Sebenarnya dalam pesta dansa kali ini, mereka juga enggan mengundang keluarga Sidewinder. Namun karena mereka selalu mengundang mereka dalam tiap pesta yang mereka selenggarakan, mereka terpaksa mengundang Baroness Lora dan Lady Debora juga.

Duke dan Duchess of Blueberry sedikit banyak telah mengetahui keinginan Lady Debora untuk merebut hati putra mereka. Mereka tidak pernah mengatakan apa-apa kepada Alexander, tetapi mereka yakin Alexander akan dapat menjauhkan dirinya dari wanita itu.

Lady Debora duduk di depan kaca sambil terus membayangkan pesta itu sementara Maria menata rambutnya.

Maria yang telah mengetahui Lady Debora suka menata rambutnya tinggi-tinggi, segera menata rambut merah wanita itu. Setelah ia menyelesaikannya, ia segera memberi hiasan berupa lambang keluarga Sidewinder yang berbentuk dua ekor ular Sidewinder yang saling melilitkan badannya.

Lady Debora menatap puas bayangannya di cermin.

“Saya menyarankan Anda mengenakan kalung Anda yang bermata jamrud hijau agar terlihat serasi dengan gaun Anda,” kata Maria.

“Akan lucu sekali kelihatannya. Serba hijau seperti rumput liar,” kata Lady Debora mengejek namun di dalam hatinya ia merasa apa yang dikatakan Maria benar.

“Tentu tidak, Tuan Puteri. Anda akan terlihat bagai bunga musim panas yang indah bila Anda juga mengenakan kalung itu. Saya yakin semua pria akan semakin tertarik melihat Anda datang dengan kesan serba hijau yang cerah,” kata Maria.

“Percuma, Maria. Engkau tidak akan dapat membujukku untuk mengenakan kalung itu. Aku tidak ingin tampil dengan satu warna malam ini. Aku ingin terihat cantik, mengerti?” katanya dengan kasar.

“Anda akan terlihat sangat segar dan bersemi seperti musim semi bila Anda megenakan kalung itu juga dan Anda akan terlihat semakin cantik. Bila Anda tidak mempercayainya, Anda dapat mencobanya sekarang,” kata Maria.

Maria meraih kalung emas yang mengelilingi untaian jamrud-jamrud hijau kecil yang membentuk nuansa dedaunan yang indah dan segar seperti daun pepohonan di musim semi.

“Bagaimana pendapat Anda, Tuan Puteri?” tanya Maria setelah memasangkan kalung itu.

Lady Debora pura-pura enggan melihat bayangannya di cermin. Sebenarnya ia merasa kata-kata Maria benar. Ia melihat dirinya seperti bunga musim semi yang segar dalam nuansa serba hijau itu.

Lady Debora berkata dengan malas, “Baiklah kali ini aku menurut karena aku sudah tidak sabar segera tiba di pesta itu.”

“Jangan khawatir, Tuan Puteri. Mr. Liesting telah memanggil kereta untuk Anda berdua,” kata Maria, “Anda dapat menunggu dengan tenang di sini. Tak lama lagi Mr. Liesting akan datang.”

“ Aku juga berharap seperti itu. Aku tidak ingin terlambat,” kata Lady Debora.

“Bila Anda mengijinkan, Tuan Puteri, saya ingin menemui Mrs. Vye di dapur untuk menanyakan apakah Mr. Liesting telah tiba,” kata Maria.

“Pergilah.”

Maria membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar Lady Debora dan segera menemui Mrs. Vye di dapur.

“Mengapa engkau lama sekali, Maria?” tanya Mrs. Vye cemas.

“Maafkan saya, Mrs. Vye. Saya harus membujuk Tuan Puteri.”

“Lupakan Tuan Puteri. Sekarang engkau harus segera bersiap-siap. Satu jam lagi Tuan Muda akan menjemputmu,” kata Mrs. Vye.

“Apakah Mr. Liesting telah tiba?” tanya Maria.

“Belum, tetapi aku yakin tak lama lagi ia telah tiba. Sangat mudah mencari kereta kuda sewaan di Obbeyville. Walaupun desa ini kecil, tetapi banyak kereta kuda yang dapat ditemui di sini.”

“Saya harap Mr. Liesting tidak terlalu lama. Lady Debora terlihat sangat tidak sabar, ia ingin segera tiba di pesta itu.”

Mrs. Vye tertawa. “Ia lebih tidak sabar segera mendapatkan gelar sebagai Duchess of Blueberry daripada hadir di pesta itu. Tetapi ia tidak akan berhasil.”

“Mengapa Anda yakin sekali? Saya dengar keluarga itu telah lama bersahabat dengan keluarga Sidewinder.”

“Sudahlah, Maria. Sekarang mari kita mendandanimu dengan cantik agar dapat menyaingi Lady Debora,” kata Mrs. Vye.

“Tanpa didandani, ia sudah lebih cantik daripada Tuan Puteri apalagi bila ia didandani. Ia akan terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly Mountain,” kata Mrs. Dahrien yang muncul dari balik pintu dapur.

“Selamat sore, Mrs. Dahrien. Anda sudah selesai melayani Baroness Lora?” kata Maria.

“Mereka baru saja berangkat,” kata Mrs. Dahrien.

“Oh, saya tidak mendengar kedatangan kereta kuda,” kata Maria.

“Mungkin karena tawa Mrs. Vye yang memenuhi ruangan kecil ini,” kata Mrs. Dahrien.

“Ya, mungkin saja. Sekarang kita harus segera mendandanimu, Maria,” kata Mrs. Vye.

“Aku akan membantumu, Mrs. Vye,” kata Mrs. Dahrien.

“Tidak perlu, saya bisa melakukannya sendiri,” kata Maria.

“Tidak apa-apa, Maria. Kami ingin mendandanimu secantik mungkin,” kata Mrs. Dahrien.

“Mari kita pergi ke pondokku.”

“Aku jangan kalian lupakan,” kata Mrs. Fat yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Mrs. Fat mendekat. “Aku juga ingin membantu.”

“Tentu saja. Kita akan mendandani Maria secantik mungkin,” kata Mrs. Vye.

Maria tersenyum, “Saya merasa seperti seorang putri raja yang memiliki banyak pelayan.”

“Memang seharusnya engkau memiliki banyak pelayan yang siap melayanimu. Bukan menjadi pelayan,” kata Mrs. Vye sambil membuka pintu dapur yang menuju halaman Sidewinder House.

Maria merasa ketiga wanita itu lebih antusias daripada dirinya ketika mereka mendandaninya.

Ketiga wanita itu sangat sibuk tanpa mempedulikan kata-kata Maria yang melarang mereka untuk membantunya.

Karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah ketiga wanita tua itu, akhirnya Maria menurut saja. Ia membiarkan ketiga wanita itu memperlakukannya seperti putri raja yang harus didandani secantik mungkin.

Ketika mereka melepaskan sanggul Maria, Mrs. Fat berseru kagum.

“Rambutmu panjang sekali. Jauh lebih panjang dari yang aku bayangkan,” kata Mrs. Fat.

“Engkau pasti seorang putri bangsawan, Maria. Walaupun rambutmu sangat panjang, tetapi rambutmu terlihat sangat indah dan lembut,” kata Mrs. Dahrien turut menimpali.

“Sudahlah. Sekarang apa yang akan kita lakukan dengan rambut Maria?” kata Mrs. Vye menghentikan kata-kata kedua wanita itu.

Maria diam saja. Ia tahu apapun yang dikatakannya tidak akan didengar oleh mereka. ia duduk dengan patuh menanti ketiga wanita itu.

“Bagaimana bila kita mengikatnya tinggi-tinggi kemudian membentuknya menjadi gelungan-gelungan kecil,” kata Mrs. Fat.

“Itu terlalu sederhana, Mrs. Fat. Kita harus membuat Maria tampak cantik.”

“Bagaimana bila kita menyanggul sebagian rambut atasnya dan menggelung sisa rambutnya.”

“Apa maksudmu, Mrs. Dahrien?” tanya Mrs. Vye dan Mrs. Fat bersamaan.

“Turutilah apa yang saya katakan,” kata Mrs. Dahrien sambil menyisir rambut Maria.

Walaupun keheranan dan bingung, namun kedua wanita itu menurut pada perintah-perintah Mrs. Dahrien.

Dan mereka sangat mengagumi hasil kerja mereka ketika mereka akhirnya selesai menata rambut Maria.

“Berdirilah, Maria,” kata mereka serempak.

Maria menurut. Ia berdiri di depan kaca dan memandangi bayangannya sendiri.

Gaun merah muda itu tampak serasi dengan kulitnya yang putih. Kulitnya terlihat lebih berseri dalam gaun itu.

Bahunya yang telanjang ditutupi sehelai syal putih yang tipis. Kedua ujung syal yang panjang dan lebar itu terulur ke bawah.

Rambutnya yang selalu bersinar seperti sinar matahari pagi membuatnya tampak semakin berseri.

Mrs. Vye menyampirkan ujung syal putih itu ke tangan Maria dan berkata, “Engkau terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly Mountain.”

“Aku benar, bukan? Ia benar-benar sangat cantik jauh lebih cantik dari biasanya.”

“Ia akan menjadi pusat perhatian di pesta itu,” kata Mrs. Fat.

Tiba-tiba Mrs. Vye tertawa, “Aku yakin bila penduduk Obbeyville melihat Maria. Mereka akan segera berlutut kepadanya karena menduga ia adalah bidadari yang baru turun dari Holly Mountain.”

“Engkau membuatku teringat pada Mr. Liesting, Mrs. Vye. Aku akan memanggil Mr. Liesting. Aku yakin ia akan merasa senang melihat Maria,” kata Mrs. Fat.

“Benar. Cepatlah, Mrs. Fat. Karena tak lama lagi Tuan Muda akan tiba,” kata Mrs. Vye.

Sebelum Maria mencegah, Mrs. Fat telah berlari menuju Sidewinder House. Ia hanya dapat memandangi punggung Mrs. Fat yang menghilang di balik pintu.

“Sayang kita tidak memiliki perhiasan untuk menghiasi lehermu yang cantik itu, Maria,” kata Mrs. Dahrien.

Mrs. Vye melihat kepada Maria dan terkejut menyadari Maria tidak mengenakan kalung. “Ke mana kalungmu, Maria?” tanyanya.

“Saya menyimpannya, Mrs. Vye. Saya tidak ingin ada yang mengetahuinya. Kalung itu sangat berharga bagi saya,” kata Maria.

“Apakah engkau mempunyai kalung, Maria?” tanya Mrs. Dahrien tak percaya pada apa yang didengarnya.

“Sewaktu aku menemukannya, Mrs. Dahrien, ia tidak hanya mengenakan gaun yang diambil Tuan Puteri tetapi juga seuntai kalung yang sangat indah. Kalung paling indah yang pernah kulihat,” kata Mrs. Vye.

“Engkau menyembunyikan kalung itu, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Dahrien.

“Ya. Saya tidak memberi tahu mereka. Dan saya merasa beruntung kalung itu tidak diambil oleh Tuan Puteri atau pun Yang Mulia. Sekarang hanya kalung itulah satu-satunya barang Maria yang berhubungan dengan masa lalunya.”

“Bolehkan aku melihat kalung itu, Maria?” tanya Mrs. Dahrien.

Maria belum menjawab ketika terdengar suara langkah kaki kuda diiringi bunyi roda yang mendekat.

“Itu pasti Tuan Muda,” kata Mrs. Vye sambil menuju pintu.

Mrs. Dahrien mengikuti Mrs. Vye menyambut tamu yang baru datang itu.

Maria yang kini tinggal sendirian di kamarnya merasa sedikit cemas pada pesta dansa itu.

Ia khawatir akan bertemu dengan Lady Debora dan Baroness Lora di pesta itu. Tetapi ia lebih khawatir Al akan kecewa bila melihatnya. Ia takut pria itu tidak senang pada dandanannya.

Terdengar suara ketiga orang itu bercakap-cakap dengan perlahan seolah-olah tidak ingin terdengar oleh Maria.

Maria terus duduk diam menanti sambil membuka buku yang ditemukannya di Ruang Perpustakaan tadi pagi.

Maria merasa ia kembali ke masa lalunya ketika ia membuka buku itu. Ia merasa ia pernah membaca buku itu, membaca sambil menanti seperti saat ini.

Ia berusaha mengingat apakah yang sedang dinantikannya. Seseorang ataukah yang lain. Tetapi ia tidak dapat mengiingatnya.

Sambil terus membuka halaman demi halaman buku itu, ia berusaha mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan.

“Mari, Maria.”

Kata-kata Mrs. Vye mengejutkan Maria. Ia menutup buku itu dan memandangi Mrs. Vye.

“Tuan Muda menantikanmu,” kata Mrs. Vye sambil menggandeng tangan Maria.

Maria menurut saja ketika ia dituntun Mrs. Vye. Saat itu pikirannya masih berada di kegelapan masa lalunya dan mitos itu.

Ia masih belum kembali ke alam nyata ketika Mrs. Vye menyerahkannya kepada Al.

“Jagalah Maria baik-baik, Tuan Muda,” kata Mrs. Vye.

“Tentu, Mrs. Vye. Saya akan menjaganya dengan baik. Percayakanlah ia kepada saya.”

Suara Al yang ramah dan tegas membuatnya menyadari bahwa sekarang ia berada di dekat pria itu.

Pria itu mengenakan pakaian malam yang berwarna hitam kebiru-biruan yang membuatnya nampak semakin gagah dan tampan.

Al meraih tangan Maria yang terbalut sarung tangan yang panjangnya hingga ke siku tangannya. Pria itu mendekatkan tangan Maria ke bibirnya dan menciumnya dengan lembut.

Maria terkejut. Ia teringat kembali saat Al menciumnya untuk pertama kalinya.

Walaupun ia tidak dapat mengingat masa lalunya, tetapi ia tahu ciuman Al waktu itu adalah ciuman pertama baginya.

“Anda telah mendandaninya sangat cantik sehingga ia terlihat seperti bidadari,” kata Al.

“Bidadari yang baru turun dari Holly Mountain,” kata Mrs. Dahrien mengkoreksi.

“Kami ingin ia terlihat sangat cantik dalam pesta itu,” kata Mrs. Vye.

“Ia akan menjadi gadis yang paling cantik dalam pesta itu,” kata Al.

“Itulah yang kami harapkan, Tuan Muda,” kata Mrs. Dahrien.

“Saya khawatir Anda salah. Masih banyak wanita yang lebih cantik dari saya,” kata Maria yang dari tadi diam saja.

“Secantik apa pun mereka. Engkaulah yang paling cantik, Maria,” kata Al.

“Lebih baik kalian lekas berangkat daripada kalian terlambat,” kata Mrs. Vye.

Al menuntun Maria menuju kereta kuda yang telah menantinya. Kereta kuda itu adalah kereta kuda yang sama dengan kereta ketika merka pergi melihat matahari terbit.

Kereta kuda yang mengkilat di bawah matahari petang itu telah menarik perhatian penduduk Obbeyville yang lalu lalang di depan pondok Mrs. Vye. Namun mereka lebih tertarik melihat Maria yang muncul dengan anggun dan cantik.

Seperti biasanya, mereka berbisik-bisik melihat Maria.

Dan seperti biasanya pula, Maria tidak menghiraukan hal itu. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepala kepada mereka yang kebingungan membalas anggukan itu.

Ketika Al membantu Maria naik ke kereta. Mrs. Fat muncul dengan terengah-engah.

“Lihatlah, Mr. Liesting. Engkau hampir saja terlambat.”

“Maafkan aku, Mrs. Fat. Aku harus menyelesaikan tugasku dulu,” kata Mr. Liesting dengan terengah-engah pula.

Maria yang telah berada di dalam kereta, tersenyum mendengar pembicaraan kedua orang itu.

Ia memandang keluar melalui jendela kereta dan berkata, “Selamat sore, Mr. Liesting. Saya minta maaf karena Mrs. Fat telah menyusahkan Anda dengan terburu-buru membawa Anda ke mari.”

“Selamat sore, Maria. Jangan merasa bersalah, ia memang selalu menyusahkan saya. Lagipula saya juga ingin melihatmu dan mengantar kepergianmu,” kata Mr. Liesting sambil menatap kagum pada wajah Maria.

“Anda berkata seolah-olah saya akan pergi untuk selamanya,” kata Maria sambil terus tersenyum.

“Bila engkau pergi meninggalkan Obbeyville, Maria. Aku akan merasa sangat kesepian sekali dan anak-anak akan merasa kehilanganmu.”

“Saya tidak akan lama, Mr. Liesting. Saya akan segera kembali.”

“Oh, jangan, Maria. Bersenang-senanglah. Jangan terburu-buru kembali. Tuan Muda pasti juga tidak ingin engkau lekas pulang,” kata Mr. Liesting sambil menatap Al.

“Selamat sore, Mr. Liesting,” kata Al.

“Selamat sore, Tuan Muda. Maaf saya tidak segera menyapa Anda.”

“Tidak apa-apa, Mr. Liesting. Saya harus terbiasa bila saya bersama Maria karena saya yakin semua orang akan memperhatikan dirinya dulu daripada saya,” kata Al sambil tersenyum.

“Saya tidak mengharapkan itu. Saya tidak suka menjadi perhatian orang seperti saat itu, saat…,” Maria merasa kembali masuk ke masa lalunya yang gelap.

Al menyadari hal itu dan segera berkata, “Kami permisi dulu. Kami tidak ingin terlambat.”

“Ya, pergilah. Kalian tidak boleh terlambat,” kata Mrs. Vye.

Maria melambaikan tangannya pada mereka sebelum kereta semakin menjauhi pondok Mrs. Vye.

“Apakah engkau baik-baik saja, Maria?”

“Ya. Saya baik-baik saja,” kata Maria menyembunyikan kegugupannya karena berdua dengan Al.

“Engkau yakin? Engkau terlihat sangat pucat,” kata Al.

“Ya. Saya hanya merasa kembali ke alam kabut gelap itu tadi, tetapi sekarang saya merasa lebih baik,” kata Maria dengan tenang.

“Engkau cantik sekali, Maria. Walaupun engkau tidak mengenakan perhiasan apa pun. Aku yakin engkau akan menjadi pusat perhatian nanti di pesta itu.”

“Tentang pesta itu…”

“Ada apa, Maria?” tanya Al lembut.

“Saya berharap Anda mengerti bila saya enggan bertemu dengan Lady Debora dan Baroness Lora,” kata Maria.

“Jangan khawatir tentang itu. Aku telah mengatur segalanya sehingga engkau tidak perlu cemas akan bertemu dengan Lady Debora ataupun Baroness Lora.”

“Mereka pasti tidak senang bila tahu saya juga hadir di pesta itu.”

“Mereka pasti akan sangat marah bila tahu engkaulah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu,” kata Al dengan tersenyum.

“Saya tidak akan menjadi pusat perhatian, karena Lady Debora juga ada di sana. Lady Debora sangat cantik.”

“Percayalah kepadaku, Maria.”

“Saya berterima kasih kepada Anda atas gaun yang Anda kirim ini.”

“Aku senang engkau menyukainya. Aku tadi sempat khawatir engkau akan menolak mengenakan gaun itu.”

“Saya sangat menyukainya. Dan saya merasa gaun ini terlalu mewah,” kata Maria.

Al tersenyum lembut pada Maria. “Engkau memang berbeda dengan wanita-wanita yang lain. Andai wanita lain yang menerima gaun ini, mereka akan menolak menerimanya.”

“Mengapa demikian? Gaun ini sangat indah.”

“Karena menurut mereka gaun ini kurang mewah.”

“Lucu sekali mereka. Gaun seindah ini masih dikatakan kurang mewah. Tentunya mereka lebih menyukai gaun yang bertaburan permata dan berlian,” kata Maria, “Bila saya diberi gaun seperti itu, saya akan menolaknya.”

“Mengapa engkau menolaknya?” tanya Al.

“Karena saya merasa lucu dengan gaun seperti itu. Seperti burung merak,” kata Maria sambil tersenyum geli.

“Burung merak?” kata Al tak mengerti.

“Burung merak memiliki bulu yang sangat indah sehingga dia menjadi sombong tetapi ia tidak berani terbang karena takut kehilangan bulunya yang indah. Sama seperti wanita-wanita yang senang mengenakan gaun bertaburan permata. Mereka tidak berani bergerak banyak karena mereka takut permata-permata itu jatuh.”

Al tertawa mendengar perbandingan yang diberikan Maria pada wanita-wanita yang senang pada gaun yang bertaburan permata dengan burung merak.

“Mereka akan sangat tersanjung bila mendengarnya,” kata Al.

“Tentu, saya tidak menyangsikannya.”

“Aku beruntung tidak memberimu gaun seperti itu. Mulanya aku sempat khawatir engkau menolak gaun ini karena tidak bertaburan permata.”

“Saya justru akan menolak menerima gaun itu,” kata Maria sambil tersenyum, “Saya lebih menyukai gaun yang membuat saya merasa seperti seekor burung yang siap terbang.”

“Bila demikian, aku akan selalu memberikan gaun yang seperti ini untukmu,” kata Al.

“Saya juga akan menolaknya.”

“Mengapa?” tanya Al keheranan.

“Karena saya tidak ada alasan bagi saya untuk menerimanya,” jawab Maria.

“Bagaimana bila aku memaksamu menerimanya?”

“Saya ragu Anda akan melakukannya. Walaupun Anda tidak pernah ditolak, tetapi saya yakin Anda tidak akan memaksa saya. Lagipula saya tidak suka bila harus menerima sesuatu karena terpaksa.”

“Aku memang tidak akan pernah memaksamu. Katakan kepadaku Maria, bagaimana perasaanmu saat ini?”

“Saya merasa sangat senang sekali. Juga sedikit cemas,” kata Maria mengakui perasaannya.

“Jangan cemas, Maria. Engkau tidak akan membuatku merasa kecewa dan engkau juga tidak akan bertemu dengan Baroness Lora maupun Lady Debora di pesta itu,” kata Al berjanji.

Kereta bergerak semakin mendekati rumah Al.

Kedua orang itu bercakap-cakap tanpa menyadari kereta telah memasuki halaman rumah Al.

No comments:

Post a Comment