Tuesday, May 8, 2007

Gadis Misterius-Chapter 10

Duchess berjalan bergandengan dengan Maria menuju Ruang Besar.

Pembicaraan mereka yang sangat akrab seperti seorang ibu dengan putrinya, membuat Maria merasakan sesuatu yang aneh.

Maria merasa sangat bahagia bila berbicara dengan Duchess yang saia ngat lembut padanya. Suatu perasaan yang tidak pernah muncul di hatinya selama ia berada di Obbeyville.

Maria merasa seperti berjalan dan berbicara dengan akrab bersama ibu kandungnya. Cara Duchess memperlakukannya, cara memandangnya, caranya tersenyum pada dirinya, membuat Maria merasa seperti berhadapan dengan ibu kandungnya. Teringat akan ibu kandungnya, Maria berusaha mengingat wajah ibunya. Dan seperti biasanya, Maria tidak dapat menyingkap lebih jauh kabut gelap yang menyelubungi masa lalunya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ibu kandungnya sangat mirip seperti Duchess of Blueberry.

Ibu kandungnya sangat cantik dan anggun seperti Duchess. Matanya selalu tersenyum pada setiap orang. Tutur kata Duchess yang lemah lembut juga mirip dengan cara ibunya berbicara. Ibunya yang cantik, yang baik, dan sangat menyayanginya. Semua yang ada di diri Duchess mengingatkan Maria pada ibunya yang tidak dapat diingat wajah juga namanya.

Ia merasakan kerinduan yang sangat dalam merasuk ke hatinya. Ia merindukan ibunya, ayahnya dan keluarganya.

Tidak ada yang menyadari perasaan Maria.

Ketika mereka tiba di Ruang Besar, pesta dansa telah dimulai. Beberapa pasangan telah mulai berdansa di Ruang Besar yang luas itu dengan diiringi musik yang lembut.

Duchess segera membaur di antara tamu-tamunya.

Alexander membawa Maria ke pojok ruangan yang dekat jendela. Mereka berdiri di sana sambil memperhatikan tamu-tamu.

Di seberang tempat mereka berdiri, adalah tempat mereka berada sebelumnya ketika Marcel mencoba mendekati Maria.

Tirai jendela yang berwarna hijau cerah melambai-lambai tertiup angin malam yang menerobos masuk Ruang Besar dari halaman yan luas.

Maria mendekati jendela itu dan memandang halaman Blueberry House yang terhampar di depannya.

Pintu gerbang Blueberry House yang tak sempat diperhatikan Maria ketika ia tiba kini tampak bersinar dengan warna putihnya di antara kegelapan malam dan menampakkan bentuknya yang unik.

Bagian atas gerbang putih yang tinggi itu menyirip seperti daun dan ujung-ujungnya yang runcing yang mengelilingi ujung pintu gerbang yang meruncing itu membuat pintu gerbang itu tampak seperti daun Blueberry yang bergerigi.

Pada bagian tengahnya tergambar lambang keluarga Blueberry, sepasang daun Blueberry dengan buah Blueberry tepat di tengahnya. Halaman Blueberry House tidak kalah indahnya dengan pintu gerbang putih itu. Dari dalam Blueberry House, Maria dapat melihat lebih jelas halaman itu. Mawar-mawar dengan berbagai macam warna yang tetap tumbuh di musim panas, bermekaran dengan indahnya dan menyemarakkan Blueberry House. Demikian pula bunga-bunga lainnya dan pepohonan yang terus bertahan hidup di musim panas.

Langit malam itu sangat cerah, berbeda dengan malam-malam musim panas sebelumnya. Bintang-bintang di langit seolah-oleh tersenyum pada Maria demikian pula bulan purnama yang menghiasi langit malam yang cerah itu. Sinar mereka menghiasi langit malam yang kelam dan menyejukkan hati setiap orang yang memandangnya.

Maria tidak menyadari dirinya yang sedang memandang langit malam itu tampak cantik sekali dengan rambut panjangnya yang melambai-lambai tertiup angin malam musim panas yang nakal.

Alexander berdiri di samping Maria sambil terus memandangi wajah gadis itu dari samping. Ia merasa Maria tetap terlihat sangat cantik dalam keadaan apapun. Dilihat dari manapun ia selalu terlihat cantik.

Mulutnya yang mungil tersenyum lembut. Matanya memandang takjub pada langit malam.

Alexander percaya andai topeng yang menutup mata gadis itu dilepas, ia akan melihat mata ungu itu bersinar indah dan akan membuat semua orang yang ada di ruangan ini terpesona.

Maria sangat asyik dengan pemandangan malam yang dilihatnya hingga tak menyadari bukan hanya Alexander yang terkagum-kagum pada dirinya yang saat itu terlihat sangat agung seperti bidadari.

“Ia cantik sekali dalam keadaan seperti itu,” kata Trown Townie, “Sejak tadi aku memperhatikanya dan aku yakin tidak ada yang lebih cantik dari Maria dalam keadaan seperti ini. Ia terlihat seperti bidadari yang ingin kembali ke kahyangan.”

Alexander terkejut mendengar suara Trown Townie yang tiba-tiba mendekatinya, “Ya, ia sangat cantik.”

“Engkau sangat beruntung, Alexander. Andai aku lebih muda darimu, aku akan merebutnya darimu,” kata Trown Townie pura-pura menyesali dirinya.

“Harus saya akui ia wanita tercantik yang pernah saya temui dan saya kenal.”

“Apakah engkau menyadari sejak tadi tamu-tamu pria lainnya memandangi Maria terutama Marcel?”

“Ya, bahkan Marcel telah mencoba merayu Maria sebelum makan malam tadi. Tetapi Maria dapat mengatasinya dengan mudah. Ia membuat Marcel merasa malu sekali dan membuat saya ingin tertawa melihat apa yang dikatakannya pada Marcel.”

“Ia tidak mengatakan kata-kata yang kasar, bukan?” tanya Trown Townie dengan cemas.

“Tentu saja tidak. Maria terlalu sopan untuk mengatakan kata-kata itu. Ia hanya mengatakan suatu kebenaran dengan tenang dan sopan. Tetapi itulah yang membuat Marcel kesulitan membalasnya. Bagaimana kita dapat membalas seseorang yang berkata dengan tenang dan sopan tetapi tepat mengenai kita?”

“Aku tidak percaya ada orang seperti itu,” seru Trown Townie.

“Saya juga sukar mempercayai tindakan Maria terhadap Marcel. Ia seperti sangat pandai menghadapi orang seperti Marcel ketika itu. Saya yakin Anda akan sependapat dengan saya bila Anda mengetahuinya,” kata Alexander.

“Bila demikian engkau harus menjaganya sebaik mungkin, jangan sampai ia jatuh ke tangan pria lain. Aku juga yakin ia satu-satunya gadis yang berhasil menundukkan kekerasan hatimu atau lebih tepat kukatakan kedinginanmu,” kata Trown Townie sambil tersenyum.

Seperti orang-orang lainnya, Trown Townie telah mengetahui juga bahwa Alexander bukan orang yang mudah bila berhadapan dengan wanita. Banyak sekali bahkan terlalu banyak wanita yang dibuatnya patah hati.

Alexander jarang terlihat bersama wanita lain selain ibunya. Dan tentu saja apa yang terjadi hari ini membuat semua tamu menjadi terkejut.

Alexander datang bersama seorang gadis yang sangat cantik dalam kemisteriusannya.

Gadis itu telah menyita perhatian semua tamu sejak kedatangannya dan membuat Lady Debora yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian, menjadi marah dan jengkel karena kedudukannya telah terebut oleh gadis itu.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Lady Debora sangat ingin menjadi Duchess of Blueberry. Berbagai usaha dilakukan wanita itu untuk menarik perhatian Alexander.

Namun gadis misterius itu tanpa melakukan apa-apa telah berhasil membuat semua orang di pesta dansa itu terpesona padanya terutama Alexander. Dan itu membuat Lady Debora semakin marah.

Ketika kedua orang itu muncul dan mengejutkan semua tamu, Trown Townie mendengar wanita itu berkata dengan marah,

“Siapa wanita itu? Mengapa ia berani sekali muncul bersama-sama Alexander?”

“Tenanglah, anakku. Mungkin wanita itu tamu kehormatan Duke dan Alexander ditugasi oleh Duke untuk menjemput dan mengawal wanita itu selama di pesta ini,” kata Baroness Lora membesarkan hati putrinya.

“Mengapa bukan aku yang menjadi tamu kehormatan Duke, Mama?” rujuk Lady Debora.

“Mungkin saja wanita itu putri teman Duchess akrab atau Duke,” kata Baroness Lora.

“Tetapi aku juga putri teman Duke. Bukankah keluarga kita telah berteman lama dengan keluarga Duke?”

“Aku tidak tahu. Semoga Alexander hanya menjemput wanita itu dan tidak terus menerus berada di sisi wanita itu,” kata Baroness Lora.

“Lihat, Mama!” pekik Lady Debora, “Ia mengajak wanita itu menemui Duke.”

Saat itu Alexander sedang memperkenalkan Maria kepada orang tuanya. Semua tamu terkejut melihat sambutan hangat kedua orang tua Alexander kepada gadis itu terutama Duchess. Dan mereka semakin terkejut ketika gadis itu membungkuk seperti menghormat pada keluarga Raja.

“Aku akan menemui Alexander sekarang,” kata Lady Debora sambil mendekati Alexander yang memperkenalkan gadis itu pada tamu-tamu yang lain.

Trown Townie melihat Lady Debora mendekati Alexander dengan cemburu.

“Ya, ia sangat sempurna. Jauh lebih sempurna dari yang kubayangkan sehingga saya takut itu semua hanya khayalanku,” kata Alexander.

“Tetapi ia nyata, bukan? Percayalah Alexander, orang yang sedang jatuh cinta akan merasa semuanya menjadi sempurna,” kata Trown Townie sambil meninggalkan Alexander.

Gelak tawa Trown Townie masih terdengar ketika pria itu mendekati seorang wanita dan mengajaknya berdansa.

Duchess mendekat, “Mengapa engkau tidak berdansa bersama Maria, Al?”

“Maria sedang sibuk memandangi langit, Mama. Aku tidak ingin mengganggunya,” kata Alexander.

“Ajaklah ia berdansa,” kata Duchess.

“Aku tidak yakin ia akan setuju,” kata Alexander.

“Mengapa?”

“Ia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak yakin ia bisa berdansa,” jawab Alexander.

“Dan engkau mempercayainya?” tanya Duchess.

“Aku tidak tahu, Mama.”

“Baiklah,” kata Duchess, “Sekarang dengarkan, anakku. Ia bukan gadis biasa. Ia memiliki keanggunan yang sangat berbeda dengan wanita-wanita lainnya dan ia memiliki kepandaian yang tak mungkin kautemui pada wanita lainnya. Aku memang baru mengenalnya, tidak selama engkau, tetapi aku yakin ia bukan gadis sembarangan. Aku sependapat dengan penduduk Obbeyville, ia memang seorang bidadari.”

“Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain yang pernah kutemui,” kata Alexander.

Mendengar nada keragu-raguan dalam kata-kata putranya, Duchess berkata, “Baiklah, anakku, bila engkau tidak percaya, aku akan membuktikannya untukmu.”

“Bagaimana caranya, Mama?” tanya Alexander ingin tahu.

“Engkau akan tahu, tetapi sekarang engkau harus mengajaknya berdansa dan aku yakin ia akan berdansa jauh lebih baik dari wanita-wanita lainnya termasuk aku.”

“Mama jangan merendahkan diri seperti itu. Kita semua tahu Mama pandai berdansa. Dulu Mama menang dalam lomba dansa yang diadakan di Blueberry dan membuat Papa jatuh cinta,” kata Alexander.

“Sudahlah, itu sudah lama sekali. Saat itu aku masih muda sekarang aku telah tua,” kata Duchess sambil tersenyum.

Duchess selalu tersenyum bila diingatkan pada masa lalunya.

Saat itu ia masih sangat muda ketika ia mengikuti lomba dansa di musim semi yang selalu diadakan penduduk Blueberry setiap tahunnya. Sebagai penduduk Blueberry, ia turut serta dalam lomba itu ketika ia sudah menginjak usia dewasa.

Sebagai salah satu peserta yang termuda, ia merasa putus asa ketika melihat kemahiran wanita-wanita lainnya. Tetapi ia segera membesarkan hatinya sendiri dengan mengatakan, “Aku pasti bisa melakukannya lebih baik dari mereka.”

Dan benar, saat itu Duchess sangat senang dan terkejut ketika juri memutuskan dialah pemenangnya. Sungguh suatu hal yang tidak pernah diduganya.

Saat itu pula ia bertemu dengan Duke dan jatuh cinta padanya.

Duke seorang yang romantis karena itu ia selalu menceritakan kepada putranya bagaimana ia dulu bertemu dengan Duchess.

Karena telah sering mendengar cerita itu, Alexander sering pula menggoda ibunya yang sangat disayanginya itu.

“Sekarang cepat ajak Maria,” perintah Duchess.

Alexander tersenyum pada ibunya dan mendekati Maria yang masih asyik memandangi langit malam.

“Mereka tersenyum untukmu, Maria,” kata Alexander.

Maria menoleh dan tersenyum manis pada Alexander, senyuman yang akan membuat siapa pun terpesona, “Mereka seperti menyambut saya.”

“Mereka memang menyambutmu dan akan selalu menyambutmu,” kata Alexander, “Tetapi sekarang aku tidak mengijinkan engkau terus menerima sambutan mereka. Engkau bisa jatuh sakit bila terus berada di sini.”

“Anda benar,” kata Maria menyadari kesalahannya, “Maafkan saya.”

“Aku ingin mengajakmu berdansa,” kata Alexander.

“Saya tidak yakin bisa berdansa.”

“Kita akan membuktikannya, Maria,” kata Alexander sambil meraih tangan Maria yang berada pada tepi jendela itu.

Maria menurut saja ketika Alexander membawanya ke tengah ruangan dan mengajaknya berdansa.

Alexander tidak terkejut ketika Maria dengan mudah mengikuti iringan lagu yang lembut itu.

Beberapa tamu yang duduk di sekeliling Ruang Besar memandang terpesona pada gerakan Maria yang gemulai.

Gaun gadis itu semakin bersinar-sinar seperti rambutnya setiap kali ia bergerak. Syal putih panjang itu selalu melambai-lambai.

Nuansa yang diciptakan gadis itu dengan gerakannya membuat tamu-tamu tidak dapat melepaskan pandangannya dari tengah Ruang Besar.

Maria tidak menyadari semua pandangan mata itu.

Maria hanya tahu ia kembali berada di masa lalunya. Ia merasa sering berdansa bersama pria yang juga tinggi dan gagah seperti Alexander.

Ia seperti melihat wajah pria itu tersenyum padanya dan mengatakan sesuatu, “Engkau semakin hari semakin pandai berdansa, …”

Tidak ada yang dapat diingatnya lagi selain sepatah kata itu.

Sesuatu di dalam hatinya mengatakan kata-kata pria dalam ingatannya itu tidak semuanya diingatnya. Masih banyak kata yang diucapkan pria itu tetapi ia tidak dapat mengingatnya.

“Apakah engkau lelah, Maria?”

Suara Alexander yang dalam itu membuat Maria menyadari ia berada di Ruang Besar keluarga Blueberry bukan di ruangan dalam ingatan Maria yang jauh lebih besar dari ruangan ini.

Ruangan dalam ingatan Maria sangat besar dan banyak lukisan yang besar di dindingnya yang putih. Ia tertawa riang di pelukan pria yang terus menerus memuji dan menggodanya itu.

Kini setelah ia menyadari tempatnya berdiri, ia merasakan kembali kerinduan di dalam hatinya. Kerinduan itu seakan menyesakkan dadanya dan ingin sekali ia pulang ke pelukan pria dalam ingatannya itu.

Maria menggelengkan kepalanya.

“Apakah engkau yakin?” tanya Alexander.

Sebenarnya, Alexander tidak perlu khawatir karena tak lama kemudian lagu itu berhenti.

Alexander segera membimbing Maria ke tempat duduk yang masih kosong sebelum lagu baru dimainkan.

“Kita telah membuktikan bahwa engkau pandai berdansa,” kata Alexander.

Maria mengangguk tanpa berkata apa-apa.

“Tampaknya engkau tidak terlalu senang menyadarinya, Maria.”

“Tidak, saya senang sekali. Hanya saja saya merasa seperti kembali ke masa lalu saya ketika saya berdansa dengan Anda.”

“Apakah pria itu pria yang memiliki nama sama denganku?” tanya Alexander.

“Saya tidak tahu. Saya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas,” kata Maria sambil tersenyum.

“Aku yakin tidak lama lagi engkau akan segera mengingat masa lalumu dan engkau akan kembali ke keluargamu,” kata Alexander.

“Saya juga berharap seperti itu,” kata Maria.

“Bila engkau kembali ke keluargamu, Maria. Apakah engkau masih akan berkunjung ke Obbeyville?” tanya Alexander.

“Tentu,” jawab Maria dengan yakin, “Saya mencintai tempat ini dan walaupun saya telah mengingat kembali masa lalu saya, saya akan sering pergi ke Obbeyville.”

“Apakah engkau juga akan berkunjung ke Blueberry?”

“Tentu saja. Blueberry tidak akan pernah terpisahkan dari Obbeyville.”

“Apakah engkau hendak mengatakan mitos Obbeyville tidak terpisahkan dengan mitos Blueberry?” tanya Alexander sambil tersenyum.

“Saya rasa bukan hanya itu saja. Obbeyville hingga kapan pun tidak akan pernah terpisah dari Blueberry karena banyak penduduk Obbeyville yang bekerja di kebun Blueberry Anda,” kata Maria balas tersenyum.

“Aku rasa bukan hanya itu saja alasannya,” kata Alexander memancing Maria berkata lebih banyak.

“Benar. Masih ada beberapa alasan lainnya. Dan beberapa di antaranya ada hubungannya dengan mitos-mitos itu.”

“Apakah alasan ini ada hubungannya dengan mitos ketiga?” tanya Alexander.

“Tidak.”

“Engkau mau mengatakannya padaku?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu tunggulah sebentar, Maria. Aku akan memanggil ayahku, ia pasti akan senang bila engkau menceritakan hal itu kepadanya. Sejak dulu ayahku memang menyukai segala hal yang berhubungan dengan mitos,” kata Alexander.

“Jangan, biarkan saya yang ke sana dan menceritakannya pada mereka,” cegah Maria.

“Tidak apa-apa, Maria. Papa lebih menyukai datang menemui orang itu sendiri bila ia membutuhkan sesuatu darinya daripada meminta orang itu datang kepadanya,” kata Alexander dan segera beranjak dari duduknya sebelum Maria mencegahnya.

Maria tersenyum memandangi Alexander yang menyeberangi Ruang Besar menuju tempat orang tuanya duduk.

Ia memperhatikan beberapa pasangan yang masih berdansa di tengah Ruang Besar.

Lady Debora berdansa bersama Marcel. Sebelum itu ia berdansa bersama seorang pria yang kini tengah berbicara dengan Baroness Lora.

Entah apa yang mereka bicarakan, Maria tidak dapat mendengarnya di tengah musik yang mengalun dan suara orang yang berisik walaupun mereka berdiri tak jauh dai tempat Maria duduk.

Seorang wanita muda merampas perhatian Maria. Wanita itu mengenakan batu jamrud hijau yang besar di lehernya dan gaunnya yang terbuat dari kain satin bertaburan permata kecil.

Wanita itu tampak berkilauan ketika berjalan mendekatinya.

Ketika wanita itu semakin dekat, Maria menyadari wanita itu tidak semuda yang dibayangkannya. Rambutnya juga tidak semerah yang dilihatnya dari kejauhan.

“Selamat malam,” sapa wanita itu sambil duduk di kursi yang tadi diduduki Alexander.

“Selamat malam,” kata Maria sambil menganggukkan kepalanya.

“Saya mengucapkan selamat kepada Anda,” kata wanita.

Maria melihat wanita itu dan kini ia ingat di mana ia pernah melihat wanita muda itu. Wanita muda itu tadi duduk di hadapan Lady Debora selama makan malam. Dan selama itu sikap keduanya seperti dua orang musuh yang terpaksa berhadapan di meja yang sama.

“Selamat atas apa?” tanya Maria tak mengerti.

“Anda telah berhasil mengalahkan Lady Debora.”

“Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa yang bicarakan,” kata Maria.

“Anda jangan berpura-pura tidak mengerti. Semua tamu wanita yang hadir di sini sudah mengetahui bahwa Anda berhasil menarik perhatian semua tamu yang hadir di sini. Bahkan Alexander yang terkenal sulit didekati dapat dengan mudah Anda tundukkan,” kata wanita itu.

Maria mulai memahami apa yang hendak dikatakan wanita itu. Cara wanita itu mengatakan nama Lady Debora menampakkan kebenciannya.

Maria pernah mendengar Lady Debora dengan mudahnya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan hal itu membuat wanita lainnya menjadi iri. Lady Debora juga tak jarang merebut teman pria wanita-wanita itu.

Dan wanita yang duduk di sisi Maria itu satu dari sekian banyak wanita yang dibuat marah oleh Lady Debora. Kebencian yang tampak dari cara memandangnya kepada Lady Debora sewaktu di Ruang Makan tadi telah cukup membuktikan dugaan Maria.

“Al selalu berada di sisi saya karena ia telah berjanji kepada orang tua saya untuk selalu menjaga saya,” kata Maria.

“Anda pandai sekali menggunakan orang tua untuk mendekati Alexander,” kata wanita itu.

“Saya tidak pernah menggunakan orang tua untuk kepentingan saya. Al sendiri yang berkata seperti itu kepada mereka.”

“Saya tidak peduli lagi apa alasan Anda. Tetapi saya mengucapkan selamat kepada Anda karena telah berhasil mengalahkan Lady Debora. Menurut kami semua, Anda lebih pantas menjadi Duchess of Blueberry daripada Lady Debora. Dan kami merasa kagum pada pengetahuan Anda dan kecantikan Anda. Saya ingin mengatakan Andalah wanita tercantik yang pernah saya lihat.”

“Terima kasih. Anda jauh lebih cantik dari saya,” kata Maria.

Wanita itu tertawa senang, “Anda memang pandai mengambil hati orang. Tak salah bila Alexander jatuh cinta pada Anda. Saya masih ingin berbicara dengan Anda tetapi saya masih punya urusan penting.”

Wanita itu meninggalkan Maria dalam keadaan bersemu merah.

Maria tidak mengerti mengapa wanita itu berkata seperti itu. Mungkin karena ia dan Al selalu berdua sejak mereka tiba.

Setelah kepergian wanita itu, seorang pria mendekati Maria dan duduk di tempat yang sama.

Maria tersenyum memikirkan hal itu. Ia merasa seperti orang penting yang selalu mendapatkan teman berbicara walaupun ia duduk seorang diri.

“Mengapa Anda duduk sendirian di sini?” tanya pria itu sambil tersenyum.

“Saya sedang menanti Al,” jawab Maria.

“Bagaimanakah hubungan Anda yang sebenarnya dengan Alexander?”

“Kami teman,” kata Maria sambil tersenyum memikirkan semua orang salah menduga.

Ia percaya semua orang yang hadir di situ memiliki dugaan yang sama seperti pria itu dan wanita yang baru saja berbeicara dengannya.

“Mereka menduga aku adalah kekasih Alexander. Tetapi itu tidak benar,” kata Maria pada dirinya sendiri.

Saat itu juga Maria menyadari apa yang dikatakannya tidak benar. Ia tidak mengerti mengapa hati kecilnya berkata seperti itu.

“Apakah Anda sudah lama berteman dengan Alexander?”

“Tidak. Kami baru beberapa hari berkenalan.”

“Saya kagum Anda dapat membuat Alexander tertarik pada Anda hanya dalam beberapa hari. Dan Anda telah membuat saya jatuh cinta hanya dalam beberapa jam,” kata pria itu.

Maria tidak menyukai arah pembicaraan pria itu. Ia merapatkan syal putih itu ke bahunya yang terbuka dan beranjak bangkit dari situ.

“Maafkan saya. Saya harus menemui Alexander. Saya rasa ia pergi terlalu lama,” kata Maria.

“Lupakan saja Alexander. Berdansalah bersama saya,” kata pria itu sambil beranjak berdiri.

“Terima kasih, tetapi saya lebih suka mencari Alexander. Saya tidak pandai berdansa,” kata Maria.

“Anda jangan merendahkan diri seperti itu. Tadi saya melihat Anda berdansa dengan gemulai. Tadi Anda nampak seperti seorang bidadari yang sedang menari dan saya terpesona karenanya.”

“Terima kasih. Saya akan senang sekali dapat berdansa dengan Anda di lain waktu. Saat ini saya harus mencari Al,” kata Maria.

“Alexander sedang bersama orang tuanya,” kata pria itu sambil menunjuk Alexander yang sedang berbicara bersama kedua orang tuanya di tepi Ruang Besar.

“Karena itulah saya harus ke sana. Saya berjanji pada Al untuk menemui Duke.”

“Tidak dapatkah Anda meluangkan waktu untuk berdansa dengan saya?”

“Maafkan saya. Saya tidak dapat,” kata Maria.

Maria berjalan meninggalkan pria itu. Ia hendak menuju ke tempat Alexander berada ketika seorang pria lain mencegatnya di tengah Ruang Besar.

“Apakah Anda mau berdansa bersama saya?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya.

“Saya akan senang sekali tetapi saat ini saya harus menemui Duke,” kata Maria dengan tenang melihat teman pria itu mendekat.

Tak lama kemudian Maria telah dikerumuni pria, tetapi ia tetap tenang sambil berjalan mendekati Alexander.

Seolah ada sesuatu pada diri Maria yang membuat pria-pria itu memberi jalan kepadanya. Mereka yang semula hendak mengajak Maria berdansa menepi ketika gadis itu terus melangkah dengan anggun, tanpa sempat mengutarakan keinginan mereka.

Alexander tersenyum ketika Maria mendekat. Tangannya terulur pada Maria.

“Engkau membuatku semakin kagum,” kata Alexander sambil mengangkat tangan Maria ke mulutnya dan menciumnya.

Jantung Maria berdebar karena tindakan Alexander yang tidak terduga itu. Ia tidak menyadari pipinya memerah karenanya.

“Apa yang kaukatakan pada mereka sehingga mereka tidak menggodamu?” tanya Duchess ingin tahu.

“Saya tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Saya hanya terus berjalan ke mari dan mereka memberi jalan kepada saya,” jawab Maria.

“Engkau memiliki sesuatu yang membuat semua orang tidak berani menganggumu,” kata Duke.

“Itulah kharisma. Setiap orang memiliki kharisma sendiri-sendiri. Ada yang memiliki kharisma yang membuat orang itu disegani orang lain ada pula kharisma yang membuat orang itu tampak bersinar di tengah orang lain,” kata Maria.

“Siapakah yang mengatakannya kepadamu?” tanya Duchess kagum pada kata-kata Maria.

“Saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria.

“Kharisma apa yang terlihat dari kami semua yang ada di sini, Maria?” tanya Trown Townie yang duduk di dekat orang tua Alexander.

“Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap orang memiliki kharisma sendiri-sendiri yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Anda, Mr. Townie, memiliki kharisma yang membuat semua orang senang berbicara dengan Anda,” kata Maria.

Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Engkau pandai mengambil hati orang, Maria.”

“Saya tidak mengambil hati siapa pun. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya,” kata Maria sambil tersenyum.

“Engkau selalu mengatakan yang sebenarnya tetapi hampir semua kebenaran yang kaukatakan membuat semua orang menyukaimu,” kata Trown Townie.

“Tidak semua kebenaran yang saya katakan itu menyenangkan semua orang. Anda sebenarnya memiliki sesuatu yang membuat sebagian orang kurang menyukai Anda.”

“Katakan kepadaku apakah itu, Maria?” kata Trown Townie.

“Apakah Anda yakin mau mendengarnya?” tanya Maria.

“Katakanlah Maria. Aku menyukai kebenaran.”

“Saya tahu Anda tidak menyukai kebohongan. Tetapi saya harus mengatakan kepada Anda apa yang akan saya katakan ini akan sangat menyakitkan hati Anda.”

“Tidak apa-apa, Maria. Ia tidak akan pernah marah,” kata Duke.

“Itulah hal yang kurang disukai sebagian orang dari Anda, Mr. Townie. Anda selalu santai menghadapi setiap masalah. Bahkan terkesan menganggapnya sebagai suatu lelucon. Hal itu membuat sebagian pejabat Istana kurang menyukainya.”

Trown Townie tertawa lagi mendengar kata-kata Maria.

“Aku telah menduganya, Maria. Menteri-menteri yang kuno itu memang selalu menganggap serius setiap masalah. Menurutku setiap masalah jangan dianggap terlalu serius atau kita akan menjadi cepat tua karenanya.”

“Tidak semua menteri beranggapan seperti itu. Masih banyak pejabat yang menyukai cara Anda memandang suatu masalah,” kata Maria, “Memang dalam hidup ini selalu saja ada orang yang menyukai kita dan membenci kita.”

Trown Townie terkejut mendengar kalimat terakhir Maria demikian pula Duke dan Duchess.

Maria menyadari keterkejutan mereka bertiga dan berkata, “Apakah yang saya katakan salah?”

“Jangan cemas seperti itu, Maria. Mereka hanya terkejut pada kata-katamu yang seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini,” kata Alexander.

“Ya, engkau mengatakan itu seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini,” kata Duke.

“Engkau mengejutkanku, anakku,” kata Duchess sambil menarik Maria mendekat, “Aku tidak menduga engkau akan berkata seperti itu. Aku yakin engkau juga telah membuat Mrs. Vye bahkan seluruh penduduk Obbeyville menjadi terkejut dengan kata-katamu yang seperti orang bijak itu.”

“Ia memang telah mengejutkan Mrs. Vye, Mama. Mrs. Vye mengatakan padaku Maria sangat bijaksana untuk ukuran gadis seusianya. Kata-katanya selalu terkesan seperti orang yang sangat berpengalaman di dunia ini,” kata Alexander.

“Suatu hari nanti aku akan memintamu untuk mengajariku kebijaksanaan yang lain. Engkau mau bukan?” goda Trown Townie.

“Saya khawatir saya akan mengecewakan Anda. Saya tidak mempunyai banyak waktu di siang hari dan sebentar lagi saya akan selalu sibuk mulai dari pagi hingga malam,” kata Maria.

“Apa lagi yang hendak engkau lakukan, Maria? Bukankah engkau selalu mempunyai banyak waktu di sore hari,” kata Alexander.

“Mulai esok saya tidak akan mempunyai banyak waktu lagi. Saya telah berjanji pada Ityu untuk menceritakan mitos-mitos itu padanya di sore hari,” kata Maria.

“Ityu salah satu dari anak-anak itu?”

“Ya, ia sangat tertarik pada mitos. Tetapi yang diketahuinya hanya satu. Saya berjanji padanya akan menceritakan semua mitos itu.”

“Apakah engkau juga akan menceritakan mitos ketiga itu padanya?”

“Mengenai itu saya masih ragu. Suku itu telah beratus-ratus tahun menyimpannya dari pengetahuan orang lain.”

“Sebenarnya berapakah mitos yang ada di Kerajaan Zirva?” tanya Duke yang tertarik mendengar percakapan Alexander dengan Maria.

“Banyak sekali tetapi hanya tiga yang terkenal. Dan buku yang Anda katakan itu mungkin berisi semua mitos yang ada di Kerajaan Zirva.”

“Sayang saat ini kita sedang berpesta bila tidak aku akan memintamu untuk membacakannya untukku. Aku sama sekali tidak mengerti tulisan buku itu yang bagiku lebih menyerupai huruf Mesir Kuno daripada huruf Latin.”

“Besok aku akan mengajak Maria ke sini lagi,” kata Alexander berjanji pada ayahnya.

“Besok saya tidak mempunyai banyak waktu,” kata Maria mengingatkan.

“Jangan khawatir, Maria. Aku dapat mengatasinya.”

“Sebenarnya siapakah engkau, Maria? Dan apa saja yang engkau ketahui? Mungkin lebih tepat apa yang tidak engkau ketahui. Aku percaya engkau lebih banyak mengetahui daripada tidak mengetahui segala sesuatunya,” kata Trown Townie.

“Ia lebih tepat menjadi bidadari dari Holly Mountain daripada yang lain,” kata Duchess.

“Aku akan percaya sekali bila ia mengatakan ia berasal dari Holly Mountain,” kata Alexander menambahkan.

“Anda jangan melihat seseorang dari luarnya saja. Hati seseorang bisa lebih buruk dari yang terlihat,” kata Maria memperingatkan.

“Engkau tidak hanya menampakkan kecantikanmu yang terlihat dari luar, Maria, tetapi juga kecantikkan hatimu,” kata Alexander.

“Engkau memiliki hati yang cantik, anakku,” kata Duchess sambil tersenyum ,”Itulah yang membuat engkau berbeda dengan wanita-wanita lainnya.”

“Bagaimana pendapatmu mengenai diriku?” tanya Trown Townie.

“Saya menyukai Anda dan cara Anda menghadapi hidup ini. Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghadapi hidup yang penuh tantangan ini,” kata Maria.

“Aku senang mendengarnya,” kata Trown Townie, “Sejak tadi aku khawatir engkau tidak menyukaiku.”

“Saya menyukai Anda terutama kecaman Anda terhadap politik perdagangan Blueberry,” kata Maria.

“Politik perdagangan Blueberry kerajaan ini memang buruk sekali waktu itu, tetapi sekarang menjadi lebih baik,” kata Trown Townie.

“Aku setuju denganmu yang tidak menyukai cara Istana menjual Blueberry ke luar negeri. Dulu Istana memang lebih menyukai menjual seluruh persediaan Blueberry ke luar negeri daripada membusuk di gudang penyimpanan. Tetapi sekarang kita dapat mengubahnya menjadi selai dan itu tidak akan membuat Blueberry menjadi cepat membusuk,” kata Alexander.

“Memang seharusnya dari dulu itulah yang dilakukan pemerintah. Tetapi apa boleh buat saat itu yang memerintah Raja Croi I dan ketika Raja Croi II menggantikan ayahnya, peraturan itu diubah. Tetapi Raja tidak segera mengubahnya, baru setelah aku memberikan kecaman yang cukup keras, Raja mengubahnya,” kata Trown Townie.

“Saat itu Raja masih sibuk mengadakan pembaharuan di berbagai bidang. Di samping itu Raja juga menghadapi menteri-menteri yang masih berpikiran kuno seperti Raja Croi I. Dan setelah sebagian besar menteri itu diganti, Raja bisa mengadakan pembaharuan di bidang perdagangan,” kata Alexander.

“Ya, perjuangan yang sangat berat dari Raja Croi II telah berhasil membuat kerajaan kita menjadi lebih dikenal penduduk dunia. Kerajaan kita telah cukup lama terkurung di sekitar pegunungan Skandinavia,” kata Trown Townie.

Selama beratus-ratus tahun Kerajaan Zirva tidak berhubungan dengan dunia luar melalui daratan karena pegunungan Skandinavia yang tinggi itu. Baru setelah Perancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte mengadakan perluasan wilayah, jalan ke Kerajaan Zirva terbuka.

Kerajaan Zirva sangat beruntung karena Napoleon tidak tertarik pada kerajaan yang letaknya cukup terpencil ini.

Armada laut Kerajaan Zirva menjadi semakin kuat setiap tahunnya karena selama beratus-ratus tahun mereka berhubungan dengan dunia luar hanya melalui lautan yang terletak di sebelah barat kerajaan.

Sebagai kerajaan yang cukup terpencil, tidaklah mengherankan bila banyak penduduk Kerajaan Zirva yang berpikiran kuno.

Sejak pemerintahan Raja Croi I telah banyak diadakan perubahan di segala bidang. Dan baru pada masa pemerintahan Raja Croi II perubahan itu terasa sangat nyata dan berdampak cukup besar bagi perekonomian Kerajaan Zirva.

Raja Croi I kurang mampu menghadapi para menteri yang kebanyakan masih berpikiran kuno itu. Dan itulah yang menyebabkan perubahan yang dilakukannya kurang terasa.

Sedangkan Raja Croi II mampu menghadapi menteri-menteri yang kuno itu. Raja Croi II mengambil tindakan yang cukup tegas ketika ia memutuskan mengganti menteri yang kuno dengan menteri-menteri yang berpandangan modern.

Langkah pertama yang diambil Raja Croi II ketika ia naik tahta cukup mengejutkan penduduk Kerajaan Zirva. Namun banyak dari penduduk Kerajaan Zirva yang telah mengenal pendidikan di luar Kerajaan Zirva, yang menyetujui usul itu.

Tidak semua menteri diganti oleh Raja Croi II. Sebagian dari menteri yang masih muda dan bermanfaat bagi kerajaan tetap digunakan. Sebagian lainnya diganti dengan menteri baru.

Sejak perubahan yang dilakukan Raja Croi II pada pemerintahannya, perubahan-perubahan yang lain terjadi.

Raja Croi II telah banyak membuat perubahan di segala bidang. Dan kini yang sedang diperdebatkan adalah Undang-Undang Hukum Kerajaan Zirva.

Masih banyak orang yang ragu mengganti hukum yang keras itu dengan hukum baru yang lebih lunak.

Selama ini Kerajaan Zirva terkenal damai dengan hukumnya yang keras. Banyak orang yang khawatir kedamaian yang selama ini tercipta dengan hukum yang keras menjadi rusak bila hukuman itu diperingan.

“Aku rasa kita bisa memulainya setelah lagu ini selesai,” kata Duchess.

“Kurasa lagu ini akan selesai tak lama lagi,” kata Duke.

Maria tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Duke dan Duchess. Tetapi Alexander dan Trown Townie tampaknya mengerti apa yang dibicarakan Duke dan Duchess.

Tak lama kemudian lagu itu selesai. Tetapi tidak ada lagu yang menggantikan lagu terakhir itu.

Duchess berjalan ke depan menuju ke sebuah piano yang terletak di dekat tempat itu.

Saat itulah Maria menyadari keberadaan piano itu. Mungkin warna piano yang hitam itulah yang membuat Maria tidak menyadari keberadaan piano itu.

“Mama pandai bermain piano dan ia selalu memainkan beberapa lagu di setiap pesta dansa yang diadakan,” bisik Alexander sambil mengajak Maria mendekati piano itu.

Duchess tidak duduk di depan piano itu seperti yang diduga Maria. Duchess berdiri di tepi piano itu.

Ia tersenyum pada Maria dan Alexander yang semakin mendekat. Tangannya terulur pada Maria.

Maria tidak mengerti apa yang akan dilakukan Duchess.

“Ulurkan tanganmu, Maria,” bisik Alexander.

Maria menerima uluran tangan Duchess. Duchess menarik Maria hingga gadis itu berdiri tepat di depan piano itu.

“Mainkanlah lagu untuk kami semua, Maria,” kata Duchess kemudian ia berdiri di samping Alexander.

Maria tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memandang wajah Duchess sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke piano itu.

Maria meletakkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan di atas piano itu. Tangannya bergerak perlahan di permukaan piano itu, seperti menyentuh sesuatu yang sangat halus dan menakjubkan.

Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Semua menanti tegang tindakan yang akan dilakukan Maria.

Perlahan-lahan, Maria membuka tutup piano itu yang menutupi tuts-tuts tetapi ia tidak segera memainkan piano itu. Ia menyentuh permukaan tuts-tuts itu.

Perasaan aneh menjalari tubuhnya. Ia merasa rindu. Bukan rindu memainkan piano tetapi kerinduan yang lain.

Saat jari-jarinya menyentuh piano itu, ia merasakan kerinduan yang sangat dalam pada sesuatu yang tak dapat diketahuinya dengan pasti.

Ia merasa rindu pada orang-orang yang selalu mendengarkan permainannya di ruangan yang besar. Ia merindukan suasana yang ia ciptakan dengan permainannya. Ia merindukan semuanya.

Tergerak perasaannya, Maria duduk di depan piano itu dan mulai menekan tuts-tuts yang sejak tadi hanya disentuhnya.

Tidak ada perasaan ragu ketika ia mulai menekan satu per satu tuts itu.

Lagu pertama yang dimainkannya merupakan lagu Gereja karya Mozart.

Duchess tersenyum pada Alexander. “Tepat seperti yang kukatakan, bukan? Ia pandai bermain piano dan ia bukan gadis sembarangan,” katanya pada Alexander.

Semua tamu yang memandang Maria merasa kagum mendengar permainan Maria yang merdu dan penuh perasaan itu. Permainan piano Maria sangat jernih dan merdu seakan-akan menggambarkan sifatnya yang selalu tenang dan disukai banyak orang.

Mendengar permainan Maria yang berisi pujian kepada Bunda Perawan Maria, Alexander teringat kembali perbincangan ayahnya dan tamu yang lain.

Ia sedang mengawasi Maria yang tengah berbicara dengan seorang wanita ketika ayahnya tiba-tiba berkata, “Aku masih tidak percaya Pangeran mempunyai adik.”

Trown Townie menyahut, “Memang sukar dipercaya. Walaupun Pangeran sendiri yang memberitahuku tetapi aku sejujurnya sendiri masih ragu.”

“Itu benar. Pangeran mempunyai adik yang sangat cantik,” kata pria yang juga duduk di dekat kedua orang tua Alexander.

“Cara bicara Anda seperti telah melihat sendiri Princess.”

Pria tua itu membalas senyuman Duchess dan berkata, “Anda benar, Duchess. Aku pernah bertemu dengannya.”

Pernyataan pria itu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya terkejut.

“Sungguhkah itu?” tanya Duke dan Trown Townie hampir bersamaan sedangkan Duchess hanya terpana mendengar ucapan itu.

Alexander yang semula melihat ke Maria juga menoleh ketika mendengar ucapan yang mengejutkan itu.

“Benar. Saat itu Princess masih kecil tetapi ia telah tampak menarik tentu sekarang ia jauh lebih menarik,” kata pria itu.

Mereka terdiam. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Pria itu melanjutkan ceritanya,

“Saat itu aku dipanggil Raja untuk membantunya menangani suatu urusan yang sangat penting dan rahasia.

Ketika aku dan Raja serta beberapa menteri lainnya telah menyelesaikan pertemuan kami, Raja mengajak kami semua berkumpul di suatu ruangan. Sampai saat ini aku masih ingat kejadian yang tak pernah kuduga sebelumnya yang terjadi di ruangan itu.”

Pria itu berhenti dan mengenang kembali saat ia mengunjungi Istana Plesaides.

“Ratu dan Pangeran sedang bercanda ketika kami tiba. Mereka tampak seperti sedang menanti sesuatu.

Tak lama setelah kami terlibat pembicaraan yang menarik, seorang gadis cilik yang sangat cantik membuka pintu.

Ketika melihat gadis itu aku menduga ia adalah anak pelayan. Tetapi ketika ia menyapa Raja dan Ratu, aku terkejut sekali terlebih lagi ketika semua menteri menyapanya, “Selamat siang, Putri kecil.”

Aku sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa gadis itu adalah Princess.”

Pria itu terdiam lagi dan tersenyum seolah menertawakan kebodohannya sendiri.

Trown Townie menggunakan kesempatan ini untuk bertanya, “Mengapa ketika engkau melihatnya, engkau tidak menduga ia adalah Princess?”

“Karena saat itu Princess tidak mengenakan gaun yang seharusnya dikenakan putri raja,” jawab pria itu.

“Gaun apa yang dikenakannya? Apakah Raja tidak menyayangi Princess?” tanya Duchess tak mengerti.

“Tidak, Duchess. Raja dan Ratu juga Pangeran serta semua orang di Istana sangat mencintai Princess.”

“Lalu mengapa Anda tidak mengenalinya sebagai putri raja?” tanya Duchess.

“Saat itu Princess muncul dengan rambut terkepang dua seperti gadis desa dan sebuah nampan besar di tangannya.

Bukan hanya itu saja yang membuatku menduga ia anak salah seorang pelayan Istana. Saat itu sebuah celemek menutupi gaun sederhana yang dikenakan Princess.

Apalagi ketika ia memasuki ruangan itu, beberapa pelayan wanita yang juga membawa nampan di kedua tangan mereka, masuk.

“Kali ini apa yang kaubawa?” tanya Pangeran sambil mendekati Princess.

Princess mengelak ketika Pangeran hendak mengambil kue yang ada di atas nampan itu.

“Engkau tidak boleh mengambilnya dulu,” kata Princess menggoda Pangeran sambil berlari menjauh dari Pangeran yang terus mengikutinya.

Aku keheranan melihat semua itu tetapi semua orang di sana hanya tersenyum melihat tingkah kedua putra raja itu.

“Musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides,” kata seseorang kepadaku.

Princess berlari mendekati Raja dan Ratu. “Papa Mama, ambillah dulu sebelum dia,” kata Princess sambil melirik menggoda pada Pangeran.

“Kue apa yang kali ini engkau buat?” tanya Raja menggoda Princess, “Apakah kue ini enak? Warnanya seperti kue yang hangus.”

“Papa coba saja. Kue ini sangat enak. Mrs. Wve juga mengatakan kue ini enak.”

“Kali ini siapa yang mengajarimu membuat kue ini?” tanya Ratu.

“Seorang nenek tua di dekat Small Cottage yang mengajariku,” kata Princess sambil tersenyum, “Cobalah. Kue ini sangat enak.”

“Apa namanya?” tanya Ratu.

“Nenek itu tidak tahu namanya.”

“Karena warnanya seperti kue hangus, aku akan menamakannya ‘Kue Hitam’,” kata Ratu.

“Nama yang lucu. Cobalah, Mama. Jangan khawatir akan rasa kue ini,” kemudian ia berkata kepada kami, “Kalian juga harus mencobanya.”

Pangeran cemberut, “Begitu, ya. Aku diletakkan yang paling akhir.”

Princess meletakkan nampan-nampan yang dibawanya di atas meja kemudian mendekati Pangeran dan memeluknya.

“Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangimu. Tetapi aku tidak boleh mendahulukan orang lain sebelum orang tuaku dan itu termasuk engkau,” katanya.

Aku terkejut mendengar kata-kata Princess itu. Ia berkata seperti orang yang telah dewasa padahal waktu itu ia masih sangat kecil, mungkin usianya tak lebih dari lima atau enam tahun.

Pangeran tersenyum dan menggendong adiknya. “Aku selalu kesepian bila engkau tidak ada.”

“Apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berada di sini selama musim semi. Setelah musim semi berakhir, aku harus pergi dan kembali lagi pada musim semi berikutnya. Aku sendiri tak ingin pergi tetapi aku harus,” kata Princess.

Sekali lagi aku terkejut mendengar kata-kata Princess yang seperti orang dewasa itu.

“Aku mengerti,” kata Pangeran sambil menurunkan Princess.

Princess segera berlari mengikuti pelayan-pelayan yang telah meninggalkan ruangan itu setelah mencium pipi Pangeran.

“Mereka selalu seperti itu,” kata Ratu padaku, “Mereka tidak dapat dipisahkan tetapi apa yang dapat kami lakukan.”

“Adikku hanya berada di Istana Plesaides selama musim semi. Dan setiap musim semi adalah musim ceria Istana Plesaides,” kata Pangeran. “Setiap kali ia ada di sini, ia selalu mengumpulkan kami di ruangan ini. Setiap hari ia mengajak kami untuk mencoba kue yang dibuatnya. Aku percaya bila ia mau menulisnya, ia akan membuat buku resep yang sangat tebal.”

“Putri kecil sangat pandai membuat kue. Aku tidak tahu ia belajar dari mana. Kue yang selalu dibuatnya bukan berasal dari koki Istana. Mungkin ia mendapatkan resep kue itu dalam setiap petualangannya,” kata Ratu.

“Ambillah, Mathwe. Kue ini cukup untuk kita semua,” kata Raja.

“Jangan khawatir. Kue buatan Putri kecil selalu enak, Mrs. Wve selalu membantunya setiap kali Putri kecil membuat sesuatu di dapur,” kata Menteri Luar Negeri melihat keragu-raguanku.

Aku hingga saat ini masih merasa tak percaya bila mengingat hal itu. Rasanya aneh bagiku seorang putri kecil bisa menarik seperti itu. Kalian akan mengatakan aku berlebihan bila aku mengatakan Putri kecil itu tidak hanya membuatku kagum akan kecantikkannya dan keanggunannya tetapi juga semua orang yang tinggal di Istana Plesaides.”

“Aku tidak percaya,” kata Trown Townie.

“Kenyataannya memang seperti itu. Aku pernah mendengar berita kelahiran Princess tetapi setelah itu aku tak pernah mendengar lagi. Jadi aku mengira berita itu hanya kabar burung saja. Dan aku juga tidak mempercayainya pada mulanya tetapi semua itu nyata bukan karanganku belaka,” kata Mathwe.

“Mengapa Princess jarang berada di Istana?” tanya Duke of Blueberry.

“Aku tidak tahu, aku lupa menanyakannya karena saat itu aku terlalu terpesona pada Putri kecil yang lincah,” pria itu terdiam dan mengenang masa lalu.

“Hingga saat ini aku masih ingat bagaimana wajah Putri kecil yang cantik dan rambut panjangnya yang terkepang dua serta gerakannya yang gemulai. Tetapi lebih dari itu, aku masih ingat jelas tutur katanya yang lembut dan seperti orang dewasa.”

Ketika lagu pertama selesai dimainkan Maria, semua tamu bertepuk tangan.

Namun Maria tidak berhenti, ia terus melanjutkan permainannya.

Sementara jari jemarinya terus menari-nari di atas tuts piano, pandangan Maria menerawang ke depan ke dinding di hadapannya. Namun pikirannya melayang jauh ke belakang ke masa lalunya.

Topeng yang menutupi mata Maria membuat tiada seorangpun yang mengetahui pandangan mata Maria yang menerawang itu.

Maria merasa seperti mendengar kata-kata seseorang yang menggodanya sementara ia terus bermain piano putih yang sangat unik karena kekunoannya. Di samping suara pria itu, ia mendengar suara orang lain yang marah pada orang yang menggodanya.

Pria itu mendekatinya dan memegang pundaknya, ia menghentikan permainannya dan menatap wajah orang itu. Tetapi wajah orang itu kabur, ia tidak dapat melihat wajah orang itu juga wanita yang memarahi pria itu.

Wajah mereka seperti tertutup kabut. Tetapi ia masih dapat melihat samar-samar tempat ia bermain piano putih itu.

Ruangan tempatnya bermain piano berdinding putih yang cerah, di sampingnya ada dinding besar berpintu dua yang terbuka lebar. Tirainya yang berwarna putih tipis tertiup angin. Sesekali tirai itu menerpa wajahnya.

Langit yang cerah dengan awan-awan putihnya seperti tersenyum mendengar permainannya. Angin sejuk yang menerobos masuk membawa harum bunga-bunga.

Sentuhan tangan seseorang di pundaknya, membuatnya terhenyak.

Alexander menyadari keterkejutan Maria. Sekilas mata gadis itu tampak menerawang ketika menatapnya.

Sekilas Maria melihat wajah pria yang dilamunkannya ketika ia memalingkan wajahnya. Duchess yang berdiri di belakang Alexander sekilas juga terlihat seperti wajah seorang wanita yang memarahi pria yang menggodanya ketika ia sedang bermain piano.

“Beristirahatlah, Maria. Engkau pasti lelah,” kata Alexander.

Maria menggelengkan kepalanya. “Tidak, saya tidak lelah.”

“Engkau telah memainkan banyak lagu. Engkau pasti lelah. Beristirahatlah atau engkau lebih baik pulang, hari telah larut malam. Engkau tidak ingin kemalaman, bukan?” kata Alexander.

Maria terkejut. Ia tidak menyadari telah banyak lagu yang dimainkannya ketika ia melamun.

“Biarkanlah saya memainkan lagu terakhir sebelum saya kembali,” kata Maria sambil tersenyum.

Alexander tersenyum dan menepi untuk memberi Maria kesempatan memainkan lagu terakhirnya.

Maria kembali meletakkan jari-jarinya yang lentik di atas tuts-tuts piano dan mulai memainkan lagu Polonaise karya Johann Sebastian Bach yang berisi pesan kepada istrinya dan ketiga belas putranya.

Ketika ia telah menyelesaikan lirik terakhir dari lagu itu, ia segera bangkit dan mendekati Duchess.

“Engkau memang seperti yang kuduga, Maria. Permainanmu sangat merdu dan menyejukkan hati,” kata Duchess.

“Anda terlalu berlebihan, Duchess,” kata Maria merendah.

“Aku tidak berlebihan, Maria.”

Sebelum ibunya sempat mengatakan lebih banyak lagi, Alexander segera berkata, “Sudahlah, Mama. Aku ingin mengantar Maria sekarang. Ia tidak ingin kemalaman.”

“Engkau akan pulang sekarang?” tanya Duke yang telah berdiri di samping Duchess.

“Ya, saya tidak ingin membuat Mrs. Vye menanti saya terlalu lama. Mungkin saat ini ia cemas menanti saya,” kata Maria.

“Sayang sekali engkau harus cepat pulang. Aku harus mengatakan aku menyukai lagu terakhirmu, Maria. Lagu yang indah di pesta dansa seperti ini,” kata Duchess, “Datanglah kemari besok atau kapanpun engkau suka.”

No comments:

Post a Comment