Wednesday, May 9, 2007

Gadis Misterius-Chapter 11

Maria berjalan sendirian di tepi Sungai Alleghei.

Vye hampir saja bangun kesiangan andaikata Maria tidak membangunkannya. Maria merasa bersalah telah membuat wanita tua itu menantinya hingga larut malam.

Saat ia tiba di pondok Mrs. Vye, waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Wanita itu tampak sangat lelah pagi ini, karena itu ia tidak ikut Maria berjalan-jalan di tepi sungai Alleghei.

Sebenarnya Mrs. Vye merasa enggan tidak pergi ke Sungai Alleghei seperti biasanya, tetapi karena tubuhnya sangat letih, ia dengan terpaksa memilih untuk tidak pergi berjalan-jalan.

Walaupun Mrs. Vye tidak tampak menyesal apalagi marah pada Maria karena pulang larut, tetapi Maria merasa bersalah.

Pagi tadi ketika Mrs. Vye mengatakan ia akan tinggal di rumah, Maria ingin menemani wanita itu.

Mrs. Vye menggelengkan kepala dan menyuruh Maria pergi sendirian.

Maria mulanya merasa enggan tetapi ketika ia teringat janjinya pada Ityu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian menyusuri sungai yang cukup besar itu sebelum menuju rumah Ityu.

Kini ketika Maria memandangi sungai yang bercahaya tertimpa sinar mentari pagi itu, Maria teringat kembali perjalanan pulangnya dari rumah Alexander.

Malam itu, mereka tidak langsung menuju pondok Mrs. Vye. Mereka berhenti sebentar di tepi Sungai Alleghei.

Ketika mereka melewati sungai itu, Maria memandang terus sungai yang tertimpa cahaya lembut sang dewi malam.

Seperti mengetahui pikiran Maria, Alexander segera menyuruh kusir kereta menghentikan kereta dan mengajak Maria menuju sungai itu.

Maria merasa sangat senang. Selama ini ia selalu ingin menikmati keindahan sungai itu di malam hari. Tetapi karena mengetahui kepercayaan penduduk Obbeyville, ia memilih untuk mengikuti kepercayaan itu.

Maria tidak pernah mengatakan keinginannya itu kepada siapa pun. Dan kini tanpa diberitahu Alexander mengajaknya menuju sungai itu.

“Sungai ini selalu terlihat indah dan bercahaya,” kata Maria.

“Seperti engkau,” timpal Alexander.

Maria yang asyik memandang permukaan Sungai Alleghei yang memantulkan cahaya bulan, menatap Alexander. “Mengapa Anda berkata seperti itu?” tanyanya.

Alexander tersenyum dan berkata, “Karena memang demikian yang kulihat. Seperti sungai ini, engkau selalu terlihat bercahaya di manapun dan kapan pun juga.”

“Tidak sama, Al,” kata Maria, “Sungai ini bercahaya karena kejernihannya dan terlebih lagi karena sinar yang selalu menyertainya baik di siang hari yang panas maupun di malam hari yang dingin.”

“Aku melihat engkau menyerupai sungai ini. Engkau tampak menarik di manapun engkau berada,” Alexander mengulurkan tangannya.

Maria terkejut ketika Alexander menyentuh pundaknya yang telanjang. Tangan pria itu menaikkan syal putih yang terjatuh dari pundaknya.

Walaupun sentuhan itu sesaat, tetapi sudah dapat membuat Maria merasa pipinya memerah dan jantungnya berdebar-debar.

“Apakah engkau kedinginan?” tanya Alexander kemudian ia meraih tubuh Maria, “Engkau mengigil.”

Maria menggeleng di pelukan Alexander namun tidak berusaha melepaskan diri.

Sikap melindungi yang ditunjukkan Alexander membuatnya teringat pada pelukan yang sama dari seseorang di masa lalunya yang selalu melindunginya dan menjaganya dari apa pun.

“Apakah engkau yakin?”

“Ya,” jawab Maria lirih.

Mendengar jawaban yang hampir seperti bisikan itu, Alexander berkata, “Sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Udara malam musim panas di sini sangat dingin, aku tidak ingin engkau jatuh sakit karenanya. Di samping itu besok engkau mempunyai banyak pekerjaan.”

Seperti biasanya, Alexander mengangkat tubuh Maria tanpa meminta ijin Maria terlebih dahulu. Dan sesuai yang dikatakannya, Alexander mengantar Maria kembali ke sisi Mrs. Vye yang telah menantinya.

Maria membelok ke sebuah rumah batu yang beratap jerami yang berdiri tak jauh dari Sungai Alleghei.

Ketika Maria akan melangkah masuk ke dalam pagar semak-semak yang mengelilingi rumah itu, pintu rumah itu terbuka dan seorang anak berlari dengan riang menyambut kedatangannya.

“Saya senang sekali Anda mau datang. Saya khawatir Anda tidak datang,” kata anak itu.

Maria tersenyum pada Ityu, “Aku telah berkata padamu aku akan datang.”

Suara kuda yang mendekat membuat keduanya memalingkan kepala.

Dengan senyum yang menghias wajahnya, Alexander mendekati mereka. ia turun dari kudanya ketika ia semakin dekat dengan Maria.

“Selamat pagi,” kata Maria.

“Selamat pagi,” balas Alexander sambil menuntun kudanya mendekat. Kemudian is berkata kepada Ityu, “Di mana saya dapat meletakkan kuda ini?”

“Di sana,” jawab Ityu sambil menunjuk tempat menambatkan tali kekang kuda di bawah sebatang pohon yang mulai mengering.

Menyadari kebingungan Ityu, Maria segera berkata, “Ia teman saya, namanya Alexander.”

Ityu mengangguk tetapi sorot matanya masih memancarkan kebingungan. Maria hanya tersenyum melihat sorot mata anak itu.

“Aku melihat engkau menuju rumah ini maka aku memutuskan untuk mengikutimu. Engkau tidak keberatan, bukan?” kata Alexander.

“Sama sekali tidak. Tetapi saya tidak tahu bagaimana dengan ayah Ityu.”

“Ayah tidak akan keberatan,” kata Ityu dengan cepat, “Silakan masuk.”

Maria mengikuti Ityu memasuki rumah yan cukup besar itu. Alexander mengikuti di belakang Maria.

Suasana di rumah itu terasa sangat sunyi. Perabotannya yang sederhana namun memiliki kekhasan asli suku asal mitos ketiga, membuat Maria tersenyum.

Pada saat yang bersamaan, Maria merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada sesuatu di ruangan itu yang membuat ia merasa seperti berada di masa lalu.

Anehnya, Maria tidak merasa berada di masa lalunya yang sekarang berada di balik kabut yang pekat tetapi seperti berada ke relung ingatannya yang tak tertutup kabut.

Alexander memandang Maria dengan cemas, “Ada apa, Maria? Engkau baik-baik saja?”

“Ya, saya baik-baik saja,” jawab Maria.

“Engkau terlihat aneh.”

“Saya saat ini memang merasa aneh,” kata Maria mengakui perasaannya, “Saya merasa seperti pernah ke sini sebelumnya. Dan berbeda dengan biasanya, saya tidak merasa seperti berada di masa lalu saya yang sekarang berada di kabut pekat itu.”

“Apakah engkau telah ingat siapa dirimu?” tanya Alexander penuh harapan dan kecemasan.

“Tidak. Saya masih belum dapat mengingat siapa saya di masa lalu. Saya hanya ingat saya pernah berada di ruangan yang persis seperti ini. Saya juga masih ingat rumah itu dengan baik,” kata Maria.

Maria memalingkan kepalanya ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

Ityu muncul dari dalam rumah dengan menggandeng ayahnya.

Ayah Ityu terkejut ketika melihat Maria berdiri di ruangan itu dengan memeluk sebuah buku di dadanya, seperti anak sekolah yang siap menerima pelajaran dan Alexander yang berdiri di dekat pintu seperti seorang pengawal yang menjaga putrinya.

“Saya merasa tersanjung Anda bersedia datang ke rumah saya yang sempit ini,” kata ayah Ityu.

“Saya berharap kedatangan saya tidak terlalu pagi, Quiya,” kata Maria dengan tersenyum.

Alexander mengangkat alisnya tanda tak mengerti ketika mendengar panggilan yang ditujukan Maria pada ayah Ityu. Ityu juga memandang Maria tak mengerti.

Ayah Ityu terlihat terkejut mendengar panggilan itu. “Jangan panggil saya dengan sebutan itu. Saya merasa tidak pantas dipanggil ‘Quiya’ oleh Anda,” katanya.

“Mengapa? Anda seorang dari pendeta itu,” kata Maria bersikeras, “Saya tidak melihat ada yang salah bila saya memanggil Anda seperti itu.”

“Ya,” kata pria itu sambil mengangkat bahunya, “Saya memang salah satu dari mereka tetapi saya merasa kurang pantas bila seorang bidadari yang dikirim dewa memanggil saya seperti itu.”

Maria tersenyum, “Saya telah menduganya. Biarkanlah saya memanggil Anda seperti itu sebagai tanda penghormatan saya kepada Anda sebagai pendeta yang sama seperti pendeta suku itu.”

“Suku itu?” tanya pria sambil memegang janggut putihnya yang panjang.

“Suku yang dulu ada di Death Rocks tetapi sekarang telah banyak dari mereka yang menyebar ke beberapa daerah di kerajaan ini,” kata Maria, “Dan membentuk keluarga dengan orang di luar suku mereka.”

“Ya, saya ingat,” kata pria itu, “Saya memang suka lupa bila menyangkut mereka.”

“Saya mengerti. Mereka memang telah lama menyembunyikan diri mereka seperti mereka menyembunyikan mitos mereka. Dan sekarang hanya sedikit sekali keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan nenek moyang mereka. Termasuk Anda, saya kira,” kata Maria.

Pria itu terkejut. “Saya tidak dapat mempercayai ini. Anda telah mengetahuinya sebelum saya mengatakannya. Tak salah lagi Anda pasti kiriman dewa.”

Maria menggelengkan kepalanya, “Bukan. Saya yakin saya bukan kiriman para dewa yang agung itu. Saya mengetahuinya dari ukiran-ukiran kursi di rumah Anda yang masih sangat kentara menunjukkan ciri mereka.”

“Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” kata Ityu sambil menggelengkan kepalanya dengan bingung.

Maria mendekati anak itu. “Jangan khawatir, Ityu. Tak lama lagi engkau akan mengerti. Aku telah memutuskan untuk memberi tahumu mengenai suku itu dan bila mungkin mitos mereka.”

“Mitos ketiga?”

Ityu berseru senang ketika melihat Maria menganggukkan kepalanya.

Maria menatap Alexander yang masih berdiri di pintu. Kedua tangan pria itu terlipat di dadanya sementara itu badannya menyandar pada pinggiran pintu. Matanya tak pernah lepas dari Maria.

Sorot matanya yang penuh tanda tanya itu menampakkan dengan jelas bahwa ia tidak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan Maria dengan ayah Ityu.

Sekali lagi Maria merasa sikap berdiri pria itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang juga sering bersikap seperti itu sambil mengawasinya.

Maria tersenyum pada Alexander sebelum ia memalingkan kepalanya kepada Ityu.

“Saya membawakan sebuah buku untukmu,” kata Maria sambil menunjukkan buku itu pada Ityu.

Ityu mengambil buku itu dan mengamatinya. Anak itu tidak membuka isinya, ia hanya melihat sampul buku itu sambil berusaha membaca tulisan yang tertulis di sana.

Karena tak dapat membacanya, Ityu mendekati ayahnya dan menunjukkan buku itu padanya.

Sang ayah mengerti keinginan anaknya. Ia meraih buku itu dari tangan Ityu dan berusaha membaca tulisan itu.

“Tulisan ini adalah tulisan terkuno suku itu,” kata Quiya pada putranya, “Maafkan aku. Aku tidak dapat membacanya.”

Ityu kecewa mendengar jawaban ayahnya itu. Ia berjalan mendekati Maria yang masih terus berdiri di tengah ruangan itu.

“Tolong bacakan buku ini untuk saya,” kata Ityu sambil menyodorkan buku itu.

Maria tersenyum dan menerima buku itu. Dengan mudah ia membaca judul buku itu.

“Anda mengerti tulisan kuno itu?” kata Quiya tak percaya.

“Dari mana engkau mempelajari tulisan ini?” tanya Alexander yang telah berdiri di belakang Maria.

Alexander mengambil buku itu dari tangan Maria. Setelah mengamati halaman demi halaman buku itu ia berkata, “Tulisan ini mirip tulisan Mesir Kuno. Aku pernah melihat buku seperti ini di Perpustakaan. Mungkinkah buku yang dikatakan ayahku adalah buku yang sama dengan buku ini?”

“Mungkin saja.”

Hampir saja Alexander melupakan pertanyaannya yang belum terjawab oleh Maria.

“Engkau belum menjawab pertanyaanku, Maria.”

“Saya tidak ingat dari mana saya mempelajarinya,” jawab Maria.

“Dapatkah aku mempelajarinya?” tanya Ityu penuh harap.

“Tentu saja,” kata Maria.

Suasana di ruangan itu menjadi hening ketika seorang wanita tinggi yang telah tua memasuki ruangan itu dengan nampn di tangannya.

“Ibu,” kata Ityu sambil mendekati wanita itu.

“Jangan nakal, Ityu,” katanya kepada Ityu yang berlari mendekat kemudian ia berpaling kepada Maria, “Saya berharap anak saya tidak merepotkan Anda.”

“Tidak, ia tidak senakal yang Anda katakan,” kata Maria sambil tersenyum menatap Ityu yang cemberut mendengar kata-kata ibunya.

“Saya tidak menduga Anda akan datang kemari,” kata wanita itu, “Dan saya minta maaf karena suami saya dan anak saya ini tidak dapat menjadi tuan rumah yang baik, mereka tidak mempersilakan Anda berdua untuk duduk.”

Wanita itu memandang marah pada Quiya yang tersenyum dan Ityu yang tertunduk malu menyadari kecerobohannya. Kemudian ia berpaling kepada Maria yang masih tersenyum melihat wanita itu.

Wanita itu tampak terbiasa menghadapi kecerobohan suaminya dengan sikap yang tegas.

“Silakan duduk,” kata wanita itu.

“Terima kasih, Quiyi,” kata Maria.

Wanita itu mengerutkan kening mendengar panggilan yang diberikan Maria.

“Jangan memanggil saya seperti itu, saya memang istri seorang pendeta upacara mitos itu, tetapi saya merasa tidak pantas dipanggil seperti itu oleh Anda,” katanya.

Maria memperhatikan wanita itu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja di hadapan Maria dan Alexander. Kemudian ia duduk di hadapan mereka.

“Sudah seharusnya keluarga pendeta upacara mitos dipanggil Quiya dan Quiyi,” kata Maria sambil tersenyum.

Wanita itu tertawa, “Sepertinya Anda tidak dapat dihentikan.”

“Anda telah mengetahuinya,” kata Maria.

Quiyi tertawa lagi.

“Adakah yang dapat kami lakukan untuk Anda sehingga Anda datang kemari,” katanya setelah tawanya mereda.

“Saya hanya ingin memintakan ijin untuk Ityu. Anda tentu sudah mengerti apa yang saya katakan,” kata Maria.

Wanita itu mengangguk, “Saya mengerti. Tetapi saya tidak dapat mengijinkan Ityu menganggu Anda.”

“Saya tidak merasa terganggu oleh Ityu,” kata Maria sambil memandangi Ityu yang berdiri penuh harapan.

“Anda tentunya telah mengerti bahwa bagi penduduk Obbeyville, khususnya kami, Anda adalah bidadari yang tidak boleh diganggu,” kata Quiya sambil duduk di samping istrinya.

“Saya mengerti. Tidak dapatkah Anda mengijinkan Ityu sekalipun bidadari itu yang memintanya?” tanya Maria sambil tersenyum.

Alexander melihat senyum Maria yang penuh keyakinan itu. Sebuah senyum kemenangan yang sangat manis yang akan meluluhkan hati setiap orang yang melihatnya.

Alexander melihat wajah kedua orang tua Ityu tampak bimbang, tetapi ia telah mengetahui jawaban keduanya. Ia tahu kedua orang itu takkan mengatakan ‘Tidak’ terhadap pertanyaan Maria yang tepat itu ditambah dengan senyum kemenangannya yang manis.

“Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Quiya sambil mengangkat bahunya.

“Anda hanya perlu melakukan satu hal, mengijinkan Ityu. Saya akan menjaganya selama ia bersama saya dan bila Anda masih tidak percaya, saya dapat datang setiap pagi,” kata Maria meyakinkan kedua orang tua Ityu.

Sekali lagi Quiya mengangkat bahunya dan berkata, “Itu akan semakin merepotkan Anda. Sepertinya saya hanya dapat mengatakan ‘Ya’ terhadap ijin yang Anda inginkan itu.”

Sekali lagi senyum kemenangan menghiasi wajah Maria.

Ityu berseru kegirangan dan berlari mendekati ayahnya. Kemudian memeluk erat-erat ayahnya. “Aku senang sekali, Ayah. Aku senang Ayah mengijinkanku.”

Melihat tindakan Ityu itu, Maria merasakan suatu perasaan bergejolak di dadanya. Perasaan yang sangat aneh seperti melihat dirinya sendiri melakukan hal yang sama ketika ia masih kecil.

“Tetapi Ityu, engkau harus ingat, engkau tidak boleh menganggu bila…,” kata Quiyi, “Bolehkah saya memanggil Anda Maria?”

“Silakan, saya tidak tahu Anda harus memanggil saya dengan apa selain nama itu.”

Entah untuk keberapa kalinya wanita periang itu tertawa mendengar kata-kata Maria, “Anda menyenangkan sekali. Anda membuat saya selalu ingin tertawa mendengar kata-kata Anda.”

“Tertawa itu sehat. Tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda sakit perut karenanya,” kata Maria sambil tersenyum.

“Ya, tentu saja,” kata Quiyi meyakinkan, “Ityu, engkau boleh pergi ke pondok Mrs. Vye dengan syarat engkau tidak menganggu Maria.”

“Tentu,” kata Ityu riang, “Dapatkah kita memulainya hari ini?”

“Tentu. Pagi ini aku berniat untuk meminjamkan buku ini kepadamu,” kata Maria kemudian ia berkata kepada Quiya, “Anda tentu dapat membacanya, Quiya, walaupun sedikit.”

“Tetapi saya tidak akan dapat menerjemahkan bahasa itu dengan tepat seperti Anda,” kata Quiya.

“Anda dapat?” tanyanya pada Quiyi, “Mungkin Anda dapat membacanya. Anda salah satu dari keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan nenek moyang mereka, bukan?”

Wanita itu memandang heran pada Maria, “Bagaimana Anda tahu?”

“Anda memiliki ciri khas wanita suku itu. Anda telah menunjukkan sikap Anda yang penuh kekuasaan terhadap keluarga Anda. Seperti wanita suku itu bila menghadapi sikap suami mereka yang sering ceroboh.”

Wanita itu tertawa mendengar kata-kata Maria, “Anda tepat. Pria suku Deady memang ceroboh. Mereka tidak akan dapat bertahan bila tidak ada wanita yang suka memerintah.”

“Anda mau mencoba membacanya?” tanya Maria sambil menyerahkan buku itu kepada Quiyi.

Wanita itu meraih buku itu dan membacanya. Kerutan yang menghiasi dahinya bertambah banyak ketika ia membuka buku kuno itu.

“Anda mendapatkannya dari mana?”

“Dari Sidewinder House.”

“Ya, tentu saja. Di sini tidak ada yang memiliki buku itu selain keluarga Sidewinder,” gumam Quiyi, “Dulu ketika saya masih kecil, ayah saya pernah membacakan buku ini untuk saya. Saya masih ingat sedikit arti tulisan-tulisan ini.”

“Sudah saya duga, Anda dapat membacanya,” kata Maria.

“Ya, tentu saja. Wanita suku Deady lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menenun permadani yang bertuliskan tulisan kuno suku Deady daripada kaum pria,” kata Quiya.

“Tentu saja,” kata ibu Ityu membanggakan dirinya, “Wanita suku Deady terkenal pandai membuat permadani yang bertuliskan huruf ini.”

“Sedangkan prianya terkenal sebagai pemburu yang ulung,” sahut Quiya.

Maria tersenyum. “Dua masalah telah terselesaikan sekarang,” katanya pada Ityu, “Engkau dapat meminta ibumu membaca buku itu untukmu. Dan di malam hari, aku akan mengajarimu bahasa itu dan memberitahu lebih banyak tentang segala hal yang ingin kauketahui sejauh menyangkut mitos itu.”

“Anda akan kembali sekarang?” tanya Ityu kecewa mendengar nada bicara terakhir Maria seperti orang yang telah menyelesaikan tugasnya dan siap kembali untuk melapor hasilnya pada sang komandan.

“Saya masih mempunyai banyak waktu. Tetapi lebih baik saya segera kembali,” kata Maria.

“Tidak dapatkah Anda tinggal lebih lama? Saya ingin sekali berbincang-bincang dengan Anda,” kata Quiya.

“Saya khawatir saya tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda,” kata Maria.

“Justru sayalah yang merasa khawatir tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda,” kata Quiya, “Anda mengetahui lebih banyak daripada saya.”

“Tentang mitos itu?” tanya Maria tak percaya.

Quiya mengangguk. “Saya tidak mengerti apa-apa mengenai mitos ketiga itu walaupun saya salah satu keturunan yang masih memiliki hubungan kental dengan leluhur kami.”

“Yang membuat kami heran adalah bagaimana Anda mengetahuinya? Satu-satunya jawaban yang terpikirkan oleh kami hanya satu, Anda berasal dari Holly Mountain,” tambah Quiyi.

“Saya tidak ingat darimana saya mengetahuinya, yang pasti bukan dari buku itu walaupun hal itu termuat di dalamnya. Seseorang sering menceritakannya kepada saya jauh sebelum saya membuka buku itu,” jawab Maria.

“Siapakah orang itu?” tanya Alexander yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Maria dengan kedua orang tua Ityu.

“Saya tidak ingat,” kata Maria.

“Apa yang dikatakan orang itu kepadamu mengenai mitos itu?” tanya Alexander.

“Mitos itu berhubungan erat dengan kehidupan suku Deady, karena itu saya tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun dengan sembarangan. Dan diterimanya suku Deady di masyarakat luas dipengaruhi juga oleh mitos yang disembunyikan itu.”

“Mitos itu disembunyikan hingga kami pun yang masih memiliki hubungan kental dengan leluhur kami, tidak mengetahuinya,” kata Quiya.

“Sekarang hanya suku Deady yang tinggal di Death Rocks yang mengetahui mitos itu dan orang yang dapat membaca buku itu,” kata Maria.

“Mengapa engkau dapat mengetahuinya? Kurasa engkau bukan keturunan suku Deady yang tinggal di Death Rocks,” kata Alexander.

“Saya tidak tahu.”

“Engkau tidak berasal dari Death Rocks, bukan?” tanya Quiyi pada Maria.

“Tidak,” kata Maria dengan yakin.

“Mengapa orang itu memberi tahumu yang bukan suku itu?” kata Alexander seperti kepada dirinya sendiri.

“Saya tidak mengerti dan tidak dapat mengingatnya, Al. Yang saya mengerti dan saya ingat saat ini adalah saya berada di Obbeyville sebagai gadis yang bernama Maria.”

“Hari semakin siang, apakah engkau tidak segera kembali ke Sidewinder House?” tanya Alexander.

“Apakah Anda tidak dapat menundanya?” tanya Ityu.

“Sayang sekali, saya tidak dapat. Saya harus segera kembali ke Sidewinder House. Mereka membutuhkan saya,” kata Maria.

“Jangan engkau ganggu Maria, Ityu. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan, tidak seperti engkau yang hanya sibuk bermain tetapi tidak pernah mau belajar,” tegur Quiyi sebelum anaknya sempat mencegah kepergian Maria.

“Bila engkau selalu bermain, Ityu, aku khawatir engkau tidak akan dapat mempelajari bahasa itu,” kata Maria.

“Tidak, saya berjanji tidak akan banyak bermain lagi. Saya akan giat belajar. Saya pasti bisa,” kata Ityu meyakinkan Maria.

Maria tersenyum. “Aku senang mendengarnya.”

“Sayang sekali Anda harus segera kembali padahal masih banyak yang ingin saya bicarakan dengan Anda,” kata Quiya.

“Kita dapat berjumpa kembali esok atau kapanpun,” kata Maria.

“Selama Anda masih berada di Obbeyville,” tambah Quiyi.

“Ya, selama saya masih berada di Obbeyville,” ulang Maria perlahan.

Keluarga itu mengantarkan Maria dan Alexander sampai ke depan pintu rumah mereka. Ityu melambaikan tangannya dengan penuh semangat pada Maria.

Maria membalasnya dengan senyuman.

Ketika mereka telah cukup jauh dari rumah Quiya, Alexander berkata, “Selama ini engkau tidak pernah membicarakan masa lalumu.”

“Saya cukup sering mengatakan kepada Anda apa yang saya ingat menyangkut masa lalu saya,” kata Maria.

“Ya, engkau sering mengatakannya. Tetapi yang kumaksud dalam hal ini adalah sejauh mana engkau dapat mengingat masa lalumu itu.”

“Saya hanya mengingat sedikit sekali. Setiap kali saya berusaha mengingat masa lalu saya, selalu saja ada sesuatu yang sepertinya menahan saya untuk mengingatnya seolah tidak ingin saya ingat masa lalu saya.”

“Apa saja yang kauingat?” tanya Alexander.

“Sebuah ruangan putih dan samar-samar wajah seorang pria dan seorang wanita, hanya itu yang muncul ketika saya berusaha mengingat masa lalu saya itu.”

“Sudah sebulan lebih sejak engkau ditemukan Mrs. Vye di Sungai Alleghei tetapi engkau masih belum dapat mengingat sesuatu pun. Aneh sekali,” kata Alexander.

“Karena ada sesuatu yang menghalangi saya itu, maka saya tidak dapat membuka tirai kegelapan yang menutupi masa lalu saya itu.”

Ketika melihat Alexander ingin membicarakan masa lalunya lagi, Maria segera berkata, “Mengapa Anda tadi seperti ingin saya segera meninggalkan rumah itu?”

“Karena aku ingin berdua saja denganmu. Aku sama sekali tidak menduga engkau akan pergi ke rumah Ityu pagi ini.”

“Maafkan saya. Saya lupa mengatakannya kepada Anda.”

“Aku sedang berpikir, Maria. Sejak aku mengenalmu, berapa kali engkau meminta maaf kepadaku, sedangkan aku rasanya tidak pernah meminta maaf kepadamu,” kata Alexander sambil tersenyum.

“Apakah itu salah?” tanya Maria.

Alexander tersenyum lagi, “Tidak, Maria. Engkau tidak salah.”

“Saya senang mendengarnya. Sekarang saya telah berdua dengan Anda, apa yang akan kita atau tepatnya Anda lakukan?”

“Aku tidak mempunyai rencana apa-apa selain menemuimu seperti biasanya di tepi Sungai Alleghei dan memenuhi janjiku pada Papa untuk membawamu ke Blueberry House hari ini.”

“Anda telah tahu saya tidak dapat meninggalkan Sidewinder House di siang hari,” kata Maria mengingatkan.

“Jangan khawatir tentang itu, Maria. Aku telah mengaturnya dengan rapi dan sekarang engkau boleh pergi menemui Mrs. Vye.”

Maria memandang Sidewinder House yang berdiri di depannya. suasana di rumah itu masih tampak sunyi seperti rumah kuno yang tak berpenghuni.

“Sebenarnya apa yang sedang Anda rencanakan? Sikap Anda tidak seperti biasanya,” kata Maria.

“Seperti biasanya bagaimana, Maria?”

“Biasanya Anda selalu berusaha mencegah saya bila saya hendak kembali ke Sidewinder House tetapi pagi ini Anda seperti mendorong saya untuk segera ke rumah itu.”

“Percayalah kepadaku, Maria. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa di luar yang telah kukatakan kepadamu.”

Maria berjalan beberapa langkah mendekati Sidewinder House kemudian membalikkan badannya dan memandang Alexander yang tengah mengawasinya.

Kini pria itu sudah siap mengarahkan kudanya kembali ke Blueberry. Pria itu tersenyum kepadanya sebelum melarikan kudanya.

Setelah pria itu menghilang, Maria kembali melangkahkan kakinya menuju Sidewinder House dan tugas-tugas yang telah menantinya.

Maria segera menemui Mrs. Vye di dapur.

Wanita itu sedang duduk di meja sambil menanti masakannya mendidih ketika Maria tiba di sana.

“Mengapa engkau sudah kembali, Maria?”

“Seperti biasanya, Mrs. Vye. Saya ingin membantu kalian,” kata Maria sambil menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

Walaupun tadi Alexander telah mengatakan untuk mempercayainya, tetapi Maria tetap sukar mempercayai pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang sedang direncanakan Alexander. Hal itu membuat ia merasa risau.

“Hari ini aku tidak menemukan sesuatu untuk kaukerjakan, Maria. Engkau telah menyelesaikan semuanya selama beberapa hari ini. Engkau membantu Mrs. Fat dan Mr. Liesting membersihkan rumah ini dan engkau telah banyak membantuku di dapur.”

“Belum semuanya, Mrs. Vye. Saya masih belum membantu Mr. Liesting merawat halaman Sidewinder House.”

“Engkau jangan melakukan itu, Maria. Engkau tidak boleh…”

Suara Mrs. Vye menghilang ketika pada saat yang bersamaan Maria ingat ia pernah mendengar kata-kata yang bernada sama,

“Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh terkena sinar matahari…”

Wanita itu mengucapkannya dengan penuh kecemasan seperti Mrs. Vye.

“Tidak apa-apa. Aku akan mengenakan topi,” jawab Maria.

Maria ingat jawaban yang diberikannya pada Mrs. Vye sama seperti jawaban yang diberikannya pada wanita di masa lalunya.

“Baiklah, aku akan mencarikanmu topi yang cukup lebar untuk mencegah matahari menyengatmu,” kata Mrs. Vye.

Yang dikatakan selanjutnya berbeda dengan yang dikatakan wanita di masa lalu Maria. Wanita di masa lalu Maria tidak mengijinkan Maria walaupun ia telah berusaha membujuknya.

Setelah membujuk cukup lama, barulah wanita itu mengijinkannya. Sedangkan Mrs. Vye segera mengijinkannnya.

Mrs. Vye menghilang di balik pintu dapur tetapi tak lama kemudian ia muncul lagi dengan sebuah topi bertali yang cukup lebar.

“Lucu sekali topi ini,” kata Maria, “Seperti topi boneka yang bertali apalagi bila diberi renda di tepinya.”

“Pendapatmu tentang topi ini berbeda dengan pendapat Lady Debora. Ia tidak pernah mengenakan topi ini, entah dari mana ia mendapatkannya. Tetapi begitu ia membawanya, ia segera menyuruhku membuangnya.”

“Terima kasih atas topi ini,Mrs. Vye,” kata Maria sambil mengenakan topi itu.

Setelah ia mengikat tali topi itu kuat-kuat di bawah dagunya, ia meninggalkan dapur dan mendekati Mr. Liesting yang sibuk membersihkan halaman.

Pria itu terkejut ketika melihatnya.

“Selamat pagi, Mr. Liesting,” sapa Maria.

“Selamat pagi, Maria. Engkau hendak pergi ke mana?”

“Tidak kemana-mana. Saya hanya ingin membantu Anda merawat bunga-bunga ini,” jawab Maria.

“Aku tahu tidak ada gunanya aku melarangmu karena itu aku tidak mengatakan apa-apa,” kata Mr. Liesting sambil tersenyum mengawasi Maria yang sudah sibuk dengan bunga-bunga liar di depannya.

Tak lama kemudian Mr. Liesting juga menyibukkan dirinya dengan membersihkan halaman Sidewinder House yang dipenuhi daun-daun kuning yang berguguran.

Ketika sebuah kereta mendekat, Maria tidak menyadarinya. Ia masih sibuk dengan bunga-bunga di hadapannya.

Entah sudah berapa tangkai bunga yang layu dan kering yang ia tarik dari tanah, tampatnya semula.

Mr. Liesting yang lebih dulu menyadari kedatangan kereta itu segera menyambutnya.

“Inikah keahlianmu yang lain?” tanya seseorang di belakangnya.

Maria terkejut mendengar suara yang telah biasa didengarnya itu, ia segera memalingkan kepalanya.

Alexander tersenyum padanya sambil mengulurkan tangan.

“Terima kasih tetapi saya tidak ingin mengotori tangan Anda,” kata Maria menolak uluran tangan itu.

“Tidak apa-apa,” kata Alexander dan sebelum Maria sempat mengatakan apa-apa untuk menolaknya, ia memegang tangan Maria dan membantunya berdiri.

“Sekarang engkau tidak perlu khawatir lagi karena aku telah memegang tanganmu,” kata Alexander sambil tersenyum.

“Senyum Anda itu mengingatkan saya pada seseorang,” kata Maria tiba-tiba.

“Siapakah dia? Selama ini aku selalu mengira senyumanku tidak ada yang dapat menyamainya,” kata Alexander pura-pura sedih.

“Senyuman Anda memang tidak pernah ada yang dapat menyamainya. Tetapi bila Anda tersenyum nakal seperti itu, Anda membuat saya teringat akan seseorang.”

“Aku ingin tahu siapakah dia. Rasanya engkau sering mengatakan aku mirip seseorang, aku ingin tahu apakah mereka orang yang sama.”

“Saya memang sering merasa demikian, Anda mirip dengan seseorang tetapi saya tidak ingat siapa dia.”

“Apakah dia tunanganmu?” tanya Alexander dengan curiga.

“Saya tidak ingat, tetapi kita jangan membicarakan hal itu lagi. Anda datang kemari tentu ada tujuannya bukan?”

“Ya, aku ingin menemui Lady Debora,” kata Alexander.

“Saya rasa Lady Debora masih tidur.”

“Aku percaya, ia akan segera bengkit dari tidur panjangnya bila mendengar aku mencarinya,” kata Alexander.

Maria mengantar Alexander memasuki Sidewinder House.

“Tunggulah sebentar di sini, Al. Saya tidak bisa segera menemui Lady Debora, ia pasti marah bila melihat saya dalam keadaan seperti ini,” kata Maria.

“Tentu saja. Ia pasti tidak senang bila mengetahui engkau tidak hanya memperhatikan dirinya.”

Maria segera menuju dapur untuk membersihkan tangannya yang penuh tanah. Tak lama kemudian ia telah kembali di Ruang Besar.

Alexander tersenyum melihatnya.

Maria menapaki satu per satu anak tangga tanpa menyadari mata Alexander yang terus mengawasinya bahkan ketika ia memasuki kamar Lady Debora.

Seperti yang telah diduganya, Lady Debora masih tertidur.

Mula-mula Maria tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk membangunkan wanita itu, tetapi ia terus saja mendekati wanita itu.

Ketika ia melihat tirai yang terutup itu, ia mempunyai ide.

Maria menarik tirai tebal itu sehingga matahari dapat memasuki kamar Lady Debora.

“Apa yang kaulakukan?” bentak Lady Debora ketika sinar matahari mengenai matanya.

“Maafkan saya, Tuan Puteri tetapi Tuan Muda Alexander menunggu Anda di bawah. Ia berkata ingin menemui Anda secepat mungkin karena ada keperluan yang mendesak,” jawab Maria.

“Biarkan saja. Aku tidak peduli. Seharusnya ia tahu saat ini adalah waktuku untuk tidur. Semalam aku baru tiba jam dua malam. Siapapun dia, katakan kepadanya aku tidak ingin diganggu dan sekarang tutup kembali tirai itu,” kata Lady Debora.

“Baik, Tuan Puteri, saya akan mengatakannya kepada Tuan Muda Alexander.”

“Cepat katakan kepada Alexander,” tiba-tiba Lady Debora terdiam.

“Alexander katamu?” serunya terkejut seakan baru menyadari pria yang sedang menantinya adalah pria yang tengah diincarnya.

“Ya, Tuan Puteri. Tuan Muda Alexander, putra Duke of Blueberry,” kata Maria.

Seperti yang telah dikatakan Alexander, wanita itu segera bangkit dari tempat tidurnya.

“Apa yang dilakukannya di sini? Kemarin aku kesulitan berbicara dengannya gara-gara wanita itu tetapi sekarang ia mencariku. Ia pasti telah menyadari bahwa aku lebih baik dari wanita yang kurang ajar itu. Wanita itu telah berani merebut semua perhatian tamu terutama Alexander tetapi hari ini ia kalah, Alexander menemuiku bukan menemuinya,” katanya kepada dirinya sendiri dengan penuh kemenangan.

Lady Debora memandang Maria yang menahan perasaan bersalahnya, “Katakan kepadanya, aku akan segera siap.”

“Baik, Tuan Puteri.”

Maria meninggalkan Kamar Lady Debora dengan perasaan bersalah. Ia telah menduga sebelumnya Lady Debora akan membenci dirinya karena ia telah menghalangi niat wanita itu untuk berdua dengan Alexander.

Maria tidak menduga kebencian wanita itu demikian besarnya hingga mengetahui Alexander mencarinya membuat dirinya menjadi sangat senang.

Entah apa yang akan dilakukan Lady Debora yang memang telah tidak menyukainya bila ia mengetahui Marialah wanita yang dimakinya.

Maria segera mengatakan pesan Lady Debora kepada Alexander kemudian kembali ke kamar Lady Debora untuk membantunya mempersiapkan diri.

Seperti biasanya, Lady Debora selalu ingin tampil menarik. Tetapi pagi ini Maria merasa keinginan Lady Debora untuk tampil menarik berlebihan. Wanita itu memintanya untuk menyanggul rambutnya dan menghiasinya dengan butiran-butiran permata kecil yang sangat indah. Selebihnya, Lady Debora sendiri yang mempersiapkannya. Ia melarang Maria membantunya apalagi mengajukan pendapatnya.

Maria merapikan kamar Lady Debora ketika wanita itu turun untuk menemui Alexander yang sejak tadi telah menantinya.

Sambil merapikan kamar yang seperti tertiup badai itu, Maria memikirkan berapa jam yang telah dihabiskan Alexander untuk menanti wanita itu tampil secantik mungkin.

Maria tersenyum geli membayangkan Alexander yang memang bukan orang penyabar menanti sekian lama sementara Lady Debora membuat badai di kamarnya sendiri.

Baru saja Maria selesai merapikan hampir seluruh ruangan itu ketika Lady Debora muncul kembali dengan wajah berseri-seri tetapi ketika melihat Maria, ia menutupinya.

“Apa yang kaulakukan?” tanyanya.

“Saya sedang merapikan kamar Anda,” jawab Maria.

“Kerjakan itu nanti saja sekarang cepat bantu aku mempersiapkan diri. Duchess ingin menemuiku pagi ini,” kata Lady Debora sambil duduk di depan meja rias.

Maria keheranan melihat tingkah wanitai tu. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu ingin berdandan lagi sedangkan ia baru saja berdandan tidak lebih dari setengah jam yang lalu.

Seperti biasanya, Lady Debora mengeluarkan perintah-perintahnya dengan cepat dan Maria menyelesaikannya dengan cepat pula.

Setelah merasa penampilannya menarik, Lady Debora meninggalkan kamarnya.

Maria baru saja hendak merapikan ruangan itu lagi setelah dua kali dibuat berantakan oleh Lady Debora dalam waktu yang hampir bersamaan, ketika wanita itu muncul lagi di ambang pintu.

“Tinggalkan pekerjaanmu,” perintah wanita itu.

Maria memandang wanita itu yang kini tampak sangat jengkel. Maria benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Alexander sehingga membuat wanita itu tampak riang beberapa saat yang lalu dan kini tampak sangat jengkel.

“Apa lagi yang kautunggu. Tinggalkan pekerjaanmu dan segera ikuti aku ke Blueberry House,” bentaknya.

“Baik, Tuan Puteri.”

Setelah mendengar jawaban Maria, Lady Debora membanting pintu itu keras-keras.

Maria mulai dapat menduga rencana Alexander. Ia menduga pria itu sengaja mengundang Lady Debora ke rumahnya agar dirinya dapat diajak serta dan Duke dapat bertemu dengannya tanpa khawatir Lady Debora curiga padanya.

Secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya yang hampir tuntas dan kemudian segera meninggalkan kamar itu.

Ketika ia menutup pintu kamar itu, ia melihat Lady Debora sedang menaiki tangga dengan kesal.

“Cepat! Jangan santai-santai saja, Duchess ingin menemuiku sesegera mungkin,” katanya.

“Baik, Tuan Puteri. Saya sudah siap berangkat,” kata Maria sambil tersenyum melihat Lady Debora yang tidak sabar ingin segera tiba di Blueberry House.

Lady Debora segera meninggalkan Maria yang masih menuruni tangga itu.

Di luar, Maria melihat Alexander masih berdiri di luar sedangkan Lady Debora telah berada di dalam kereta.

Alexander tersenyum ketika melihatnya. Ia membantu Maria naik kereta kuda itu sebelum ia memberi perintah kepada kusirnya.

Ketika melihat Alexander membantu Maria menaiki kereta kuda yang besar itu, Lady Debora menahan marah yang bergejolak di dadanya.

Sikap permusuhan yang ditampakkan oleh matanya, membuat Maria memilih duduk di hadapan wanita itu, tetapi itu juga salah karena Alexander juga memilih duduk di hadapan wanita itu.

Tetapi Lady Debora tidak putus asa, ia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Selama perjalanan ia mencoba merayu Alexander.

Maria diam saja. Ia hanya memandang keluar kereta sambil menikmati pemandangan yang terus berlalu lalang di hadapannya dan angin yang menerpa wajahnya.

Ia tidak lagi mendengar kata-kata manja Lady Debora yang semula membuat dirinya merasa jenuh, ketika Sungai Alleghei terlihat di antara rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya. Sungai Alleghei yang memanjang seperti pita dan bersinar membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu yang juga memanjang seperti pita dan bersinar di antara hijaunya dedaunan. Angin sejuk yang menerpa wajahnya membuatnya teringat sejuknya udara ketika ia melihat pita putih kebiru-biruan yang bersinar itu.

Ketika mereka tiba di Blueberry House, Maria masih teringat akan kenangan yang tiba-tiba muncul itu.

Alexander yang menyadari hal itu berkata, “Sebaiknya aku segera mengantarmu menemui Mama.”

Alexander membawa mereka ke Ruang Besar di mana Duchess telah menanti.

“Selamat datang, Lady Debora,” kata Duchess.

“Terima kasih, Duchess. Saya merasa tersanjung atas undangan Anda yang tak terduga ini,” kata Lady Debora.

Duchess tersenyum pada Lady Debora tetapi matanya mengawasi wajah Maria, “Jangan berkata seperti itu, Lady Debora. Persahabatan di antara keluarga kita sudah terjalin puluhan tahun. Tak ada yang perlu merasa tersanjung bila kita saling mengundang.”

Kemudian Duchess berkata kepada Maria, “Al, antarkan ia ke ruang yang lain. Aku ingin berbicara berdua dengan Lady Debora.”

Alexander pura-pura terkejut, “Mengapa Mama berkata seperti itu? Bukankah tadi Mama yang meminta agar aku juga membawa pelayannya karena Mama ingin mengenalnya?”

“Ya, tetapi baru saja aku berubah pikiran. Aku tiba-tiba teringat sesuatu yang harus kubicarakan berdua saja dengan Lady Debora.”

“Baik, Mama,” kata Alexander.

“Ayo, Maria,” bisiknya.

Tanpa mengatakan apa-apa Maria segera mengikuti Alexander. Gadis itu tahu Lady Debora merasa cemburu melihat ia berjalan berduaan dengan Alexander yang tampan.

Setelah mereka menutup pintu Ruang Besar, barulah Alexander berbicara, “Inilah yang kurencanakan, Maria. Aku telah merencanakan agar Lady Debora dapat berdua dengan Duchess sedangkan aku dan Papa bisa mendengar ceritamu.”

“Bila Anda terus-menerus menipu Lady Debora dengan cara seperti ini, ia pasti akan sadar juga pada akhirnya.”

“Aku telah menyiapkan berbagai macam cara untuk itu, Maria.”

“Apakah Duchess tidak berkeberatan untuk menemai Lady Debora?” tanya Maria.

“Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria?”

“Karena tadi saya melihat Duchess sebenarnya enggan menemani Lady Debora.”

Alexander tertawa mendengarnya, “Aku jadi ingin tahu, Maria, apakah engkau bisa membaca pikiran orang? Engkau memang benar. Ketika Mama tahu apa yang harus diperankannya, ia tidak menyukainya karena seperti halnya aku dan Papa, ia lebih senang bersamamu daripada dengan Lady Debora. Tetapi demi aku dan Papa, ia setuju.”

“Saya merasa bersalah membuat Duchess melakukan hal yang sebenarnya tidak diinginkannya,” kata Maria.

“Tidak perlu merasa seperti itu, Maria. Karena kami telah membagi tugas. Mama tidak akan selalu menemani Lady Debora.”

Duke sedang duduk sambil membalik-balik sebuah buku di hadapannya. Ia tampak berusaha keras mengerti isi buku itu. Ketika melihat mereka datang mendekat, ia menoleh.

“Selamat siang,” sapa Maria.

“Selamat siang, Maria. Duduklah dan akan kutunjukkan buku yang kemarin malam aku maksudkan,” kata Duke.

Maria memandang sekelilingnya dan ia merasa kagum melihat buku-buku yang ada di Ruang Perpustakaan itu. Walaupun Ruang Perpustakaan itu tidak sebesar yang ada di Sidewinder House.

Keadaan kedua Ruang perpustakaan itu berbeda. Di Ruang Perpustakaan yang dilihat Maria, semua almarinya penuh berisi buku. Sedangkan di Ruang Perpustakaan di Sidewinder House sebaliknya.

“Ruang Perpustakaan ini memang tidak sebesar yang ada di Sidewinder House tetapi aku yakin buku-buku yang ada di sini tidak kalah dari yang ada di sana.”

“Ruang Perpustakaan di Sidewinder House memang lebih besar dari Ruang Perpustakaan ini tetapi bukunya lebih banyak di ruang ini,” kata Maria.

Duke menatap terkejut kepada Maria.

“Ruang Perpustakaan di sana hampir kosong, sudah tidak pantas lagi disebut Ruang Perpustakaan,” kata Maria menerangkan.

“Aku tak percaya. Padahal sejak dulu keluarga Sidewinder paling gemar mengumpulkan buku. Kami semua percaya Ruang Perpustakaannya berisi banyak buku dan hampir sebanding dengan jumlah buku di Ruang Perpustakaan Istana Plesaides.”

“Segalanya berubah sejak Baron Marx Sidewinder meninggal sepuluh tahun yang lalu,” kata Maria.

“Ini buku yang aku katakan kemarin malam,” kata Duke sambil menyerahkan buku yang semula dibukanya tanpa dapat dimengerti olehnya.

“Ini buku yang sama seperti yang ada di Sidewinder House,” kata Maria sambil menatap Alexander.

“Ya, buku ini dan buku yang di Sidewinder House berasal dari nenek moyangku. Nenek moyangku memberikannya sebuah kepada keluarga Sidewinder,” kata Duke, “Aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku yang belum tentu dapat dibaca keturunannya. Ayahkupun tidak dapat membaca buku itu.”

“Ia dapat membacanya, Papa,” kata Alexander.

“Benarkah?” tanya Duke.

“Ya, aku telah mengetahuinya,” kata Alexander meyakinkan Duke.

“Dapatkah engkau membacakan untukku apa yang tertulis di dalam buku itu?” kata Duke antusias melihat Maria menganggukan kepalanya, “Percuma mempunyai buku tetapi tidak mengerti isinya.”

“Tentu saja.”

Maria menghabiskan waktunya sepanjang hari itu di Ruang Perpustakaan bersama Duke dan Alexander sementara Duchess menghadapi Lady Debora.

Duke terkejut ketika mendengar Maria membaca setiap baris tulisan itu tanpa mengalami kesulitan, tetapi ia juga merasa senang ketika mengetahui isi buku itu.

Beberapa kali Alexander menemui Duchess di Ruang Besar agar Lady Debora tidak curiga, tetapi ia tidak pernah lebih dari sepuluh menit menemui kedua wanita itu.

Rencana Alexander benar-benar sempurna, selama beberapa kali ia mengajak Lady Debora dan Maria ke rumahnya dengan berbagai alasan, wanita itu tidak nampak curiga. Sebaliknya wanita itu tampak semakin antusias.

Demikian pula Baroness Lora ketika mengetahui apa yang telah terjadi. Wanita itu semakin memberi semangat putrinya untuk terus berusaha.

Maria menduga itu karena wanita itu menduga rencananya hampir berhasil. Memikirkan kemungkinan rencana wanita itu berhasil, hati Maria menjadi sedih. Tetapi ia tidak menyadari perasaan apa yang membuatnya merasa demikian.

Hari-hari Maria semakin dipenuhi kesibukan.

Di pagi hari ia berjalan-jalan bersama Mrs. Vye kemudian berbicara bersama Alexander kadang-kadang mereka juga mengunjungi rumah Ityu.

Di siang hari Maria menemani Lady Debora ke Blueberry House dan bercerita tentang mitos itu kepada Duke dan di malam hari ia juga bercerita lagi mengenai mitos itu kepada Ityu ditambah mengajari anak itu bahasa yang sulit itu.

Tetapi itu semua tidak membuat Maria lelah ataupun bosan. Gadis itu tampak sangat menikmati kesibukannya. Suatu hal yang membuat Mrs. Vye dan ketiga pelayan lainnya di Sidewinder House merasa heran.

No comments:

Post a Comment