Thursday, May 3, 2007

Gadis Misterius-Chapter 5

Mereka berjalan meninggalkan Sidewinder House.

Langit barat masih memerah. Bulan bersinar pucat diiringi bintang-bintang di balik awan hitam yang menutupi langit malam. Lolong serigala terdengar di kejauhan, di bukit yang tak jauh dari Obbeyville.

Angin malam bertiup kencang mempermainkan daun-daun di kegelapan malam. Bunyi gemerisik dedaunan membuat suasana di kota kecil yang sepi itu semakin mencekam.

Bayangan pepohonan terus memanjang ke Sungai Alleghei. Dari kejauhan, sungai itu tampak mencekam. Permukaan airnya berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan yang sesekali menampakkan diri dari balik awan gelap yang menyelimuti langit malam.

Melihat keindahan Sungai Alleghei di malam hari itu, Maria ingin pergi ke sana, tetapi ia tahu Mrs. Vye tidak akan mengijinkannya. Mrs. Vye sangat mempercayai mitos dan takhayul seperti umumnya penduduk Obbeyville.

Tiada canda tawa anak-anak yang senantiasa menambah maraknya kota kecil itu. Tiada anak-anak yang senantiasa berkeliaran di segala sudut Obbeyville. Anak-anak telah kembali ke rumah masing-masing.

Penduduk menutup rapat pintu rumah mereka. Mereka takut keluar pada malam hari di musim panas.

Sesaat sebelum matahari menyembunyikan wajahnya, mereka telah mengunci diri di rumah mereka masing-masing.

Mereka mempercayai awan gelap yang senantiasa menghiasi langit malam musim panas merupakan suatu tanda dari para dewa bagi mereka agar bersembunyi dari kejaran para setan.

Siang hari yang panas merupakan angin yang dibawa para setan dari neraka yang panas, sedangkan malam musim panas adalah saat yang tepat bagi para setan untuk menghasut manusia.

Saat di mana manusia sedang lengah.

Saat manusia tidak sesibuk musim semi.

Saat matahari bersinar memerah seperti api di ujung barat.

Dari arah matahari yang memerah itulah para setan itu datang. Demikianlah yang mereka percayai.

Mereka berjalan cepat tanpa banyak bicara. Mrs. Vye tampak sangat tegang berjalan menembus kegelapan malam yang semakin pekat. Langit barat terasa semakin kelam setiap kali mereka menapakan kaki.

Berlainan dengan Maria yang tampak sangat tenang. Gadis itu berjalan teramat tenang membuat Mrs. Vye merasa heran melihatnya. Wajahnya yang senantiasa ceria tidak tampak tegang sedikitpun.

Maria segera menuju dapur sesampainya mereka di pondok. Ia memulai mengerjakan apa yang menjadi tugasnya akhir-akhir ini. Seperti biasanya, ia mengerjakannya dengan cepat dan terampil.

Mrs. Vye yang memandang Maria dari tempatnya menanti tampak terpesona oleh tangan gadis itu yang cekatan dan sangat terampil. Ia tersenyum melihat gadis itu. Ia merasa sangat beruntung dapat bertemu dengannya.

“Mengapa Anda tersenyum, Mrs. Vye?” tanya Maria sambil meletakkan seteko teh di tengah meja.

“Aku merasa sangat beruntung sekali dapat berjumpa denganmu,” kata Mrs. Vye.

Maria membalas senyuman Mrs. Vye. “Saya juga merasa beruntung dapat bertemu dengan wanita sebaik Anda, Mrs. Vye.”

“Andaikan engkau putriku,” gumam Mrs. Vye.

“Saya telah menganggap Anda sebagai ibu saya. Anda telah merawat dan menjaga saya seperti merawat putri Anda sendiri, karena itu anggaplah saya ini putri Anda,” kata Maria, “Saya memang tidak sama dengan putri Anda, tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda kecewa.”

“Engkau membuatku sangat bangga. Engkau juga sering membuatku merasa terkejut, heran dan segala macam perasaan yang membuatku harus berpikir.” Mrs. Vye tersenyum seolah-olah tersenyum pada dirinya sendiri.

“Saya benar-benar menyesal membuat Anda merasakan perasaan seperti itu. Saya tidak pernah menduga bahwa saya akan mengusik ketenangan batin Anda.”

“Jangan menyesal apalagi meminta maaf. Ini semua bukan salahmu. Aku merasa seperti mendapat hiburan dari perasaan itu. Aku yang biasanya selalu merasa marah kepada Baroness Lora, kini tidak lagi. Aku mulai dapat mengendalikan emosiku kepadanya.”

“Bukan karena sayalah perasaan Anda dapat Anda kendalikan, sejak semula Anda pandai menguasai perasaan.”

“Tidak hanya aku yang merasakan perubahan sejak kedatanganmu. Mrs. Fat, Mr. Liesting, dan Mrs. Dahrien juga merasakan perubahan itu. Tadi pagi mereka mengatakan kepadaku bahwa kehidupan yang semula terasa membosankan di Sidewinder House kini terasa lebih hidup sejak kedatanganmu.”

“Anda semuanyalah yang telah menghidupkan suasana di rumah itu. Saya hanya berperan kecil.”

“Peranmu tidak kecil, Maria. Sejak hari pertama kedatanganmu di sana, engkau telah mulai membersihkan seluruh ruangan di Sidewinder House. Engkau melarang kami mengerjakan tugas yang kaukatakan terlalu berat bagi orang setua kami tetapi kami merasa hal itu telah menjadi bagian hidup kami.”

“Sudah sewajarnya saya membantu Anda. Bukankah setiap orang harus saling tolong menolong,” kata Maria merendahkan diri.

Maria menatap lembut wajah Mrs. Vye.

“Saya tidak tega melihat Anda yang seharusnya duduk tenang menikmati hari tua tetapi bekerja keras pada keluarga yang seperti itu. Mereka tidak hanya kikir tetapi juga tidak memperhatikan kesehatan para pelayannya.”

“Kami telah berkerja puluhan tahun di sana sejak kami masih muda. Aku telah bekerja pada keluarga itu sejak aku berusia enam belas tahun. Bekerja keras telah menjadi bagian dari kehidupan kami, karena itu janganlah membantu kami bila engkau tidak mempunyai tugas. Pergilah bermain bersama anak-anak atau berjalan-jalan di sepanjang sungai.”

“Saran Anda bagus sekali, tetapi saya tidak dapat menahan diri untuk tidak membantu Anda yang berusaha keras memenuhi segala keinginan Baroness Lora dan putrinya sementara saya merasa mampu mengerjakannya.”

“Engkau memang baik hati dan pengertian. Tetapi biarlah apa yang telah berjalan terus berjalan.”

“Saya harus belajar banyak dari Anda. Anda sangat setia pada keluarga Sidewinder,” kata Maria mengganti topik.

Ia tidak ingin Mrs. Vye terus mendesaknya agar berhenti membantu mereka. Bila Mrs. Vye telah memutuskan sesuatu, akan sulit untuk membuatnya merubah pikiran.

Maria yang mulai mengenal pribadi Mrs. Vye dalam waktu yang tak lebih dari dua minggu ini, telah mengetahui baik hal itu. Tetapi Maria harus mengakui bahwa tidak jarang pula ia berhasil membuat Mrs. Vye merubah keputusannya.

Mrs. Vye tersenyum menyadari gadis itu sengaja mengganti topik. “Aku tidak merasa engkau harus belajar dariku, aku merasa akulah yang harus belajar banyak hal darimu.”

“Saya masih hijau di dunia ini dibandingkan Anda yang telah puluhan tahun menghuni dunia ini. Saya belum mengetahui apa-apa.”

Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata gadis itu yang terdengar sangat tulus. “Engkau membuatku terkejut dengan segala yang telah engkau lakukan.”

Maria telah menduga Mrs. Vye akan terkejut. Wanita tua itu berdiri di depan Sidewinder House ketika pria itu mengantarnya ke pondok Mrs. Vye.

“Aku tidak pernah menduga engkau pandai memasak. Aku juga tak pernah membayangkan engkau amat terampil mengurus rumah,” kata Mrs. Vye sambil memandang wajah Maria lekat-lekat.

Maria terkejut mendengar kata-kata wanita tua itu, namun dengan segera ia menguasai perasaannya lagi. Ia tidak menduga itulah yang dimaksudkan Mrs. Vye. Dengan tenang, ia membalas tatapan mata Mrs. Vye.

“Tanganmu yang selalu cekatan dan terampil dalam mengurus rumah membuat engkau seolah-olah terbiasa mengurus rumah. Aku semakin tidak dapat menduga siapakah engkau di masa lalu.”

Mrs. Vye menggeleng sedih, “Terlalu banyak kenyataan yang berbeda dengan apa yang kuduga. Hal-hal yang saling bertentangan dalam dirimu terlalu banyak sehingga membuat aku semakin merasa bingung.”

“Janganlah Anda bingungkan masa lalu saya, saya juga tidak tahu siapa saya di masa lalu. Biarkanlah waktu membuat segalanya jelas bagi saya maupun bagi Anda.”

“Engkau benar. Kita hanya dapat berusaha sambil menanti waktu yang telah ditentukan para dewa bagimu untuk mengingat kembali masa lalumu.”

“Masa lalu saya saat ini masih berada di dalam kegelapan, tetapi saya percaya para dewa akan menunjukkan jalan bagi saya untuk menyibakkan kegelapan itu,” kata Maria meyakinkan Mrs. Vye.

“Menurutku tak lama lagi Mrs. Dahrien akan sering mengajakmu berbicara.”

Mrs. Vye menjawab keheranan yang tercermin pada mata Maria, “Ia senang berbicara dengan orang yang bijak.”

“Saya kurang bijak dibandingkan Anda semua termasuk Mrs. Dahrien sendiri,” kata Maria merendahkan diri.

“Bagi Mrs. Dahrien engkau sangat bijaksana melebihi siapa pun. Ia juga mengatakan bahwa ia harus banyak belajar darimu agar dapat sebijak engkau,” kata Mrs. Vye dengan tersenyum.

“Saya juga harus banyak belajar dari Mrs. Dahrien agar menjadi sebijak ia. Tiap orang juga harus banyak belajar agar menjadi lebih bijak. Belajar tidak mengenal usia dan waktu.”

“Apa dikatakan Mrs. Dahrien memang benar. Sedikitpun aku tidak meragukannya’” kata Mrs. Vye pada dirinya sendiri.

Mereka berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Maria memandang keluar jendela. Tetapi ia tidak memperhatikan apa yang tampak dari balik jendela. Ia memikirkan pria itu lagi, entah berapa kali ia memikirkan pria itu sejak pertemuan pertama mereka.

Tak dapat dimengertinya mengapa ia selalu memikirkan pria itu. Ia hanya menduga mungkin karena ia baru pertama kali berjumpa dengan pria yang sebaik dia sejak ia berada Obbeyville.

Penduduk Obbeyville juga baik terhadap Maria, namun mereka tidak pernah menganggapnya sebagaimana yang diinginkannya.

Mereka memperlakukannya seperti seorang dewi walau pun ia telah berkali-kali mengatakan kepada mereka bahwa ia seorang manusia seperti mereka juga.

Berbeda dengan pria itu. Pria itu juga menganggapnya sebagai bidadari tetapi ia tidak memperlakukannya seperti orang suci yang bilamana melakukan sesuatu di luar kebiasaan akan segera membicarakannya. Seperti penduduk Obbeyville umumnya yang suka membicarakan dirinya.

Walaupun mereka tidak pernah membicarakan segala perbuatannya di depan matanya, tetapi Maria tahu mereka membicarakan dirinya.

Ia menganggap hal itu wajar karena ia seorang gadis tak dikenal yang tiba-tiba muncul tanpa diundang di Sungai Alleghei yang dikeramatkan mereka. Terutama ketika mereka mengetahui ia kehilangan ingatannya.

Masa lalunya yang berada di dalam kegelapan itu membuat dirinya menjadi misterius di mata penduduk Obbeyville, terutama Mrs. Vye.

Segala tindakan Maria sejak ia muncul dari pondok Mrs. Vye, membuat Maria menjadi semakin penuh misteri.

Bukan hanya itu saja yang disukai Maria dari pria yang tak dikenalnya itu. Pria itu juga sangat menyenangkan bila diajak berbicara. Mata kelabunya selalu menatap tajam tetapi ramah pada dirinya setiap kali mereka bertemu.

Maria merasa wajahnya memanas saat ia teringat tangan pria itu yang memeluknya erat-erat di punggung kudanya.

Hingga kini ia tak mengerti mengapa ia membiarkan pria itu membopong tubuhnya kemudian mengantarnya pulang dengan kuda coklat yang juga ditungganginya saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.

“Siapa pria itu?” tanya Mrs. Vye tiba-tiba.

Jantung Maria serasa berhenti berdetak mendengar pertanyaan itu. Ia tahu siapa yang dimaksudkan oleh Mrs. Vye tetapi ia tetap bertanya. “Pria yang mana, Mrs. Vye?” Jantungnya berdetak cepat.

“Pria yang tadi pagi kulihat mengantarmu,” jawab Mrs. Vye tanpa menyadari perubahan yang terjadi pada wajah Maria.

Wajah Maria terasa kian memanas dan memerah mendengar kata-kata Mrs. Vye. Ia berusaha keras agar wajah serta suaranya tenang walau sebenarnya bergejolak.

“Saya tidak mengenalnya,” jawab Maria jujur.

“Mengapa engkau membiarkan pria itu mengantarmu dengan kudanya?” sela Mrs. Vye sebelum Maria melanjutkan kata-katanya.

“Kemarin pagi kami telah bertemu. Saya tidak mengetahui namanya, tetapi saya tahu ia berasal dari Blueberry. Ia baik hati, saya yakin ia tidak mempunyai maksud yang buruk terhadap saya,” jawab Maria.

“Blueberry?” ulang Mrs. Vye.

Maria menganggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin.

“Di manakah kalian bertemu?”

“Kami bertemu di tepi Sungai Alleghei.”

“Mengapa aku tak pernah bertemu dengannya? Selama dua hari ini engkau dan aku pergi bersama-sama menyusuri sungai itu,” kata Mrs. Vye.

“Kami bertemu tak lama setelah Anda pergi ke Sidewinder House,” jawab Maria.

“Seperti apakah pria itu?” tanya Mrs. Vye.

“Saya khawatir saya tidak dapat menggambarkan pria itu dengan baik. Saya hanya dapat mengatakan pria itu ramah terhadap saya, ia juga seorang yang penuh pengertian.”

Tak puas dengan jawaban Maria, Mrs. Vye bertanya lagi, “Apakah pria itu tampan?”

Sekali lagi Maria mengangguk perlahan.

“Siapakah pria itu?” tanya Mrs. Vye pada dirinya sendiri. Kemudian Mrs. Vye menatap tajam Maria. “Apakah ia tidak memberi tahumu namanya?”

“Apakah ia mengetahui namamu?” tanya Mrs. Vye ketika melihat Maria menggelengkan kepalanya.

Sekali lagi Maria menggelengkan kepala.

“Aneh,” kata wanita itu heran, “Apa yang kalian lakukan selama di sana?”

“Kami hanya berbicara tentang banyak hal. Tak seorangpun dari kami yang membicarakan mengenai diri kami masing-masing. Pria itu menanyakan mengenai diri saya pada pertemuan kami yang pertama.”

“Apa yang kaukatakan padanya?” sela Mrs. Vye.

“Saya menjawab bahwa saya hilang ingatan sehingga saya tidak dapat menjawab pertanyaannya.”

“Bagus. Saat ini kita tidak tahu siapa dia, apakah ia orang baik atau orang jahat. Berhati-hatilah padanya,” nasehat Mrs. Vye.

“Saya mengerti, Mrs. Vye. Saya akan selalu berhati-hati bila berjumpa dengannya.”

“Bagus,” kata Mrs. Vye puas. “Bagaimana dengan pekerjaan barumu?”

“Saya menyukainya,” jawab Maria.

“Bagaimana engkau bisa menyukainya bila engkau harus melayani wanita yang sombong seperti Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye heran.

“Saya senang bisa membantunya. Seburuk apapun sifatnya, saya tidak akan mempedulikannya. Saya akan terus berusaha membantunya sejauh yang saya bisa.”

“Bagaimana bila ia memakimu? Bila engkau sudah lama bekerja padanya, sikapnya tidak akan sebaik sekarang.”

“Bila ia memaki saya tentu ada kesalahan yang telah saya perbuat. Saya akan menghindari kesalahan yang sama,” kata Maria tenang.

“Engkau tidak mengerti. Tuan Puteri dan Yang Mulia tidak hanya memaki bila engkau melakukan kesalahan. Kadang-kadang mereka marah-marah tanpa alasan yang jelas.”

“Saya akan mengambil tindakan yang tepat yaitu tidak memasukkan makian mereka ke dalam hati bila demikian halnya. Biarlah mereka memaki saya sekehendak hati mereka asalkan saya tidak merasa benci kepada mereka, saya akan berusaha mengubah keburukan hati mereka.”

“Tidak akan berguna bila engkau berniat mengubah sifat mereka. Mereka tidak akan mau mendengarkan kata-katamu. Mereka hanya mau bergaul dengan orang yang kaya seperti mereka.”

“Setiap orang tidak boleh berputus asa sebelum mencobanya, Mrs. Vye. Walaupun mereka tidak mau mendengarkan saya, saya tidak akan berhenti sebelum mereka mau berubah.”

“Aku mengerti engkau bermaksud baik. Tetapi ikutilah nasehatku, jangan mencoba merubah sifat buruk yang telah mendarah daging pada diri mereka,” kata Mrs. Vye dengan menggengam tangan Maria di permukaan meja, “Biarkanlah hati mereka dipenuhi oleh kebencian asalkan hatimu tidak dipenuhi kebencian.”

“Kita tidak dapat membiarkan orang lain terus terjerumus ke dalam dosa, Mrs. Vye. Setiap orang mempunyai tugas menuntun kembali sesamanya yang tersesat ke jalan yang benar, seperti yang diajarkan Yesus sendiri.”

“Baiklah, Mrs. Vye. Aku tidak akan mencoba menghentikanmu lagi, tetapi jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu.”

“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya berjanji akan berusaha sebaik mungkin tanpa menyinggung perasaan mereka.”

“Engkau harus memegang teguh janjimu. Bila terjadi sesuatu padamu, Mr. Liesting, Mrs. Fat serta Mrs. Dahrien akan marah padaku. Mereka sangat menyayangi engkau,” kata Mrs. Vye.

Maria tersenyum pada Mrs. Vye, “Saya juga menyayangi mereka semua termasuk Anda dan segala yang ada di Obbeyville. Saya mencintai suasana di sini, keindahannya, cuacanya. Saya mencintai segalanya.”

“Andaikan Tuan Puteri dan Yang Mulia sepertimu,” gumam Mrs. Vye.

“Saya yakin mereka juga mencintai tempat ini. Bukankah mereka juga berasal dari Obbeyville?”

“Aku tidak yakin. Walaupun mereka berasal dari Obbeyville, tetapi mereka lebih menyukai kota-kota besar seperti Blueberry.”

“Mengapa mereka seperti itu? Bukankah setiap orang mencintai tanah tempat tinggalnya, tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.”

“Tetapi itulah kenyatannya. Mereka sering mengeluh karena harus tinggal di kota kecil seperti ini. Mereka menjadi semakin sering mengeluh akhir-akhir ini. Ingin rasanya aku memaki mereka, tetapi apa yang dapat dilakukan oleh pengurus rumah tangga tua seperti aku,” keluh Mrs. Vye.

“Anda tidak boleh memarahi mereka. Betapa pun besarnya kesalahan mereka tetapi kita tidak boleh memarahi mereka sekali pun mereka bukan majikan kita,” kata Maria, “Kita harus dapat memberi pengertian kepada mereka. Kita harus bersabar dalam menghadapi segala hal.”

“Berkepala dingin dalam menghadapi segala hal, maksudmu?”

Maria menganggukkan kepala.

“Pantas saja engkau selalu tampak tenang dalam segala hal. Walaupun tadi pagi kudengar Tuan Puteri marah-marah,” kata Mrs. Vye.

“Ia marah karena ia terlambat bangun lagi. Katanya janjinya yang kemarin dindur hingga hari ini, tetapi karena ia terlambat bangun maka mau tidak mau janjinya harus mundur lagi,” Maria menerangkan kepada Mrs. Vye.

“Ia memang selalu begitu. Ia tidak pernah mengatakan secara jelas perintahnya kepada orang lain tetapi ia ingin hasil yang sempurna baginya,” kata Mrs. Vye.

Maria hanya menganggukkan kepalanya mendengar kata-kata Mrs. Vye.

Dalam beberapa hari ini ia telah mengenal sifat Baroness Lora maupun Lady Debora. Dan ia membenarkan kata-kata Mrs. Vye. Baik sifat maupun rupa kedua orang itu sangat mirip.

Keduanya sering meninggalkan rumah. Kadang pagi-pagi sekali mereka pergi dan baru larut malam mereka pulang. Tidak ada yang tahu mereka pergi ke mana. Yang jelas mereka pergi ke pertemuan penting bagi mereka.

Mereka selalu mengenakan pakaian mewah baik bila meninggalkan Sidewinder House maupun di dalam Sidewinder House. Tatanan rambut mereka pun tak mau kalah dari orang-orang kaya lainnya.

Maria bersyukur Lady Debora menyukai tatanan rambut yang diaturnya. Wanita itu tak pernah mengeluh pada tatanan rambutnya. Maria selalu berusaha menyisir rambut wanita itu dengan rapi dan sesuai selera wanita itu.

Ia juga memaklumi sikap Lady Debora yang seperti tidak peduli akan tatanan rambutnya yang diakui Mrs. Vye lebih baik dari yang bisa dilakukan Mrs. Vye sendiri.

Tanpa disadarinya, ia semakin membuat Mrs. Vye merasa bingung padanya, terutama dirinya di masa lalu. Semakin hari Mrs. Vye semakin tidak dapat menebak diri Maria.

Andaikan Maria seorang putri bangsawan, mengapa gadis itu sangat pandai dalam merawat rumah? Tidak mungkin seorang putri bangsawan yang selalu dikelilingi banyak pelayan akan tampak seperti biasa mengurus rumahnya sendiri.

Walaupun bila sang putri itu sendiri menginginkannya, orang tuanya pasti tidak akan mengijinkannya ikut mengerjakan tugas pelayan. Hal itu tak disangsikan oleh siapa pun.

Tetapi bila gadis itu bukan putri bangsawan, mengapa ia mempunyai keanggunan bangsawan? Sikap dan tutur katanya yang sopan menunjukkan ia berasal dari keluarga bangsawan. Gaun serta kalung yang ditemukan bersamanya juga memperkuat dugaan itu.

Kemungkinan lain yang pernah timbul dalam benak Mrs. Vye adalah Maria berasal dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki pelayan tetapi masih memiliki darah bangsawan.

Kemungkinan ini juga tidak cocok. Mengapa Maria memiliki kalung dan gaun yang sangat indah bila ia berasal dari keluarga yang tidak sekaya bangsawan umumnya?

Gadis itu tidak mungkin mendapatkan gaun dan perhiasan itu dari orang lain. Mrs. Vye telah mengenal baik sifat Maria dalam beberapa hari ini yang selalu menolak halus pemberian yang ditujukan padanya.

Ia percaya Maria adalah gadis yang sangat disayangi oleh semua orang karena kebaikan hatinya. Gadis itu selalu tahu di mana ia harus menempatkan dirinya dalam situasi apa pun.

Gadis itu telah menawan hati semua orang di Obbeyville baik tua atau muda bahkan anak-anak dalam dua hari sejak kesembuhannya.

Mrs. Vye benar-benar kebingungan memikirkan masa lalu Maria. Satu-satunya yang memenuhi segala syarat itu hanyalah Maria berasal dari Holly Mountain.

Gadis itu adalah bidadari yang cantik, anggun, bijaksana, rendah diri, rajin serta disukai banyak orang. Hanya itulah yang kini ada di benak Mrs. Vye.

Seperti hari sebelumnya, Maria terus membayangkan pria itu hingga menjelang tidur. Bahkan di dalam mimpi pun ia melihat pria itu. Tidak dapat dimengertinya mengapa ia terus memikirkan pria yang tidak diketahui namanya itu.

Pagi ini pun ia berharap dapat bertemu dengan pria itu lagi. Pagi ini Maria tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Rambutnya yang panjang semakin terlihat bercahaya karena baru saja dicucinya.

Rambutnya panjangnya yang bercahaya itu membuat Mrs. Vye terkagum-kagum.

“Rambutmu benar-benar indah, selalu bersinar seperti sinar matahari pagi. Aku ingin sekali mempunyai rambut seperti ini yang lembut seperti sutra dan bersinar seperti cahaya matahari.” kata Mrs. Vye sambil terus menyisir rambut panjang Maria.

“Rambut saya menjadi halus dan bersinar seperti ini karena baru dicuci,” kata Maria merendahkan diri.

“Rambutmu selalu terlihat indah dalam keadaan seperti apa pun,” kata Mrs. Vye dengan senyuman yang menghiasi wajah bulatnya yang keriput.

“Terima kasih, Mrs. Vye,” kata Maria, “Saya yakin rambut Anda waktu Anda masih muda juga sangat indah.”

“Rambutku dulu juga indah tetapi tidak pernah seindah rambutmu. Sekarang rambutku sudah memutih semuanya, tidak terlihat indah lagi,” kata Mrs. Vye.

“Anda jangan berkata seperti itu,” kata Maria, “Keindahan seseorang tidak hanya dilihat dari rambutnya, tetapi hatinya.”

“Apakah engkau selalu menilai orang melalui hatinya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.

Maria menganggukkan kepala. “Saya selalu menilai orang lain dengan melihat hatinya. Bagi saya tidak akan ada artinya bila seseorang itu cantik atau tampan tetapi hatinya buruk.”

“Engkau benar-benar bijaksana memilih menilai orang tidak melalui penampilan tetapi hatinya. Aku harus menirumu dalam hal ini,” kata Mrs. Vye.

“Hal itu sudah ditanamkan orang tua saya pada diri saya sejak saya masih kecil,” kata Maria.

Ia terkejut akan ucapannya sendiri. Ia berusaha mengingat wajah orang tuanya serta nasehat-nasehat mereka, tetapi ia masih tidak dapat membuka tabir yang menutupi masa lalunya itu.

“Jangan sedih, Maria. Ingatanmu perlahan-lahan akan pulih kembali,” kata Mrs. Vye menghibur, “Sudah suatu kemajuan engkau dapat mengingat nasehat orang tuamu. Aku yakin mereka adalah orang tua yang baik.”

“Saya juga merasakan hal itu,” kata Maria.

Kemudian Mrs. Vye berbicara mengenai mitos malam musim panas pada Maria untuk mengalihkan perhatian gadis itu dari masa lalunya yang kini berada di balik kegelapan.

Ia senang Maria mendengarkan setiap kata-katanya dengan cermat dan selalu menanggapinya bila ada mitos yang salah. Berulang kali Maria membetulkan cerita mitos malam musim panas yang diketahui Mrs. Vye.

Begitulah Maria, gadis itu selalu seperti berasal dari mitos itu sendiri bila telah berbicara mengenai mitos itu. Ia lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu dari semua penduduk Obbeyville. Bahkan seluruh penduduk Kerajaan Zirva, menurut Mrs. Vye.

Maria selalu mendengarkan baik-baik segala yang dikatakan orang lain kepadanya. Tanpa mempedulikan kata-kata itu penting atau tidak, ia selalu mengingat semua kata orang lain dalam benaknya.

Sesuatu dalam dirinya selalu mengingatkan untuk selalu mencatat segala yang dikatakan orang lain di dalam benaknya, tidak peduli kata-kata itu penting atau tidak.

Mrs. Vye merasa enggan saat ia harus kembali ke Sidewinder House. Ia tidak ingin meninggalkan Maria seorang diri di sungai itu. Ia ingin mengetahui pria yang telah mengantar Maria pulang kemarin.

Walaupun gadis itu tidak menolak bila Mrs. Vye terus menemaninya hingga pria itu muncul, tetapi sesuatu telah membisikkan ke telinganya untuk membiarkan Maria berdua dengan pria itu.

Sebagai orang yang mempercayai mitos, Mrs. Vye percaya bisikan itu berasal dari para dewa di Holly Mountain. Ia semakin percaya pria itu tidak bermaksud buruk kepada Maria ketika mendengar bisikan itu.

“Aku percaya pria itu bukan orang jahat, tetapi engkau tetap harus berhati-hati,” pesan Mrs. Vye sebelum meninggalkan Maria.

Maria menganggukkan kepalanya dan memandang Mrs. Vye yang terus berjalan menjauh.

Ketika membalikkan badan untuk melanjutkan perjalanannya, ia terkejut ketika melihat pria itu telah berdiri di sisinya. Pria itu berdiri sangat dekat darinya.

Jantung Maria kembali berdebar ketika ia menyadari jarak mereka yang sangat dekat itu. Ia percaya bila tadi ia membalikkan badan sambil melangkah, ia akan menubruk pria itu.

“Anda membuat saya terkejut,” kata Maria setelah menguasai perasaannya lagi.

“Rupanya saya selalu terlambat,” kata pria itu.

“Anda terlambat sedikit bila Anda ingin bertemu dengan Mrs. Vye. Ia baru saja kembali ke Sidewinder House. Tetapi Anda dapat menemuinya di Sidewinder House. Sepanjang hari Mrs. Vye berada di sana,” kata Maria.

“Bukan itu yang saya maksudkan. Saya tidak ingin bertemu dengan Mrs. Vye untuk saat ini,” kata pria itu.

“Bila demikian halnya, mengapa Anda mengatakan Anda selalu terlambat?” tanya Maria tak mengerti.

“Saya selalu terlambat untuk menjemput Anda di pondok Mrs. Vye.”

Wajah Maria memerah mendengar kalimat itu, “Mengapa Anda ingin menjemput saya?”

“Saya ingin lebih lama berbicara dengan Anda. Saya berharap bila saya dapat menjemput Anda di pondok Mrs. Vye, waktu saya untuk berdua dengan Anda semakin lama,” kata pria itu.

Maria mendengar nada kecewa dalam kata-kata pria itu. Ia tidak melakukan yang lain selain memandang wajah pria itu.

“Dapatkah Anda memberitahu saya pukul berapa Anda bangun pagi?” tanya pria itu dengan sopan, “Saya merasa hari ini saya datang lebih pagi dari kemarin tetapi saya masih terlambat.”

“Saya selalu bangun pagi-pagi sekali. Saya bangun sekitar pukul tiga pagi,” jawab Maria.

Maria telah menduga pria itu terkejut mendengar jawabannya. Ia terus memandang tenang melihat keterkejutan di mata kelabu itu.

“Mengapa Anda bangun pagi-pagi sekali?” tanya pria itu.

“Karena saya selalu melihat matahari terbit mengawali datangnya hari baru. Tetapi di sini saya tidak dapat melihat matahari terbit,” jawab Maria.

“Rupanya Anda senang melihat matahari terbit. Mengapa Anda tidak melihat matahari terbit dari Sidewinder House? Rumah itu cukup tinggi untuk dapat melihat matahari terbit tanpa dihalangi pohon-pohon tinggi ini.”

“Saya juga pernah berpikir mengenai itu, tetapi saya lebih suka melihat matahari terbit tanpa dihalangi pepohonan. Dari lantai teratas Sidewinder House, saya melihat matahari yang terbit masih terhalangi pucuk-pucuk pepohonan.”

“Saya tahu di mana Anda dapat melihat matahari terbit tanpa terhalangi pepohonan,” kata pria itu.

“Sungguh,” seru Maria senang.

“Besok saya akan menjemput Anda pagi-pagi sekali.”

“Mengapa?” tanya pria itu melihat keragu-raguan di mata Maria.

“Saya…saya… tidak bisa,” kata Maria ragu-ragu.

“Mengapa?” tanya pria itu lagi.

Melihat Maria diam saja, pria itu bertanya, “Apakah Anda tidak mau pergi bersama saya? Apakah Anda tidak mempercayai saya?”

“Saya… saya mempercayai Anda. Tetapi…”

Pria itu diam saja. Ia tahu Maria masih ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya, tetapi gadis itu pasti akan menyelesaikan kalimatnya.

“Tetapi… saya ragu Mrs. Vye akan mengijinkan saya. Selain itu saya tidak biasa pergi bersama pria lain selain…”

Kembali Maria menghentikan kata-katanya. Kali ini ia tidak berhenti karena ragu-ragu tetapi karena tak dapat menemukan lanjutan kata-katanya yang terdapat di balik kegelapan yang pekat.

“Saya tidak dapat pergi bersama pria yang tidak saya kenal baik,” kata Maria mengganti kalimatnya.

Pria itu tersenyum aneh, “Apakah ini berarti Anda masih kurang mempercayai saya?”

“Tidak,” kata Maria tenang, “Saya tidak mengatakan saya tidak mempercayai Anda, saya sangat mempercayai Anda. Saya mengenal Anda sebagai orang baik. Tetapi Anda harus mengerti saya tidak dapat pergi hanya bersama Anda.”

“Mengapa? Apakah Mrs. Vye melarang Anda bertemu dengan saya?”

“Ia tidak melarang saya bertemu dengan Anda. Saya hanya tidak biasa pergi berdua dengan pria selain… selain… dengan pria yang tidak dapat saya ingat.”

“Baiklah. Saya tidak akan memaksa Anda,” kata pria itu, “Bagaimana bila saya mengajak serta Mrs. Vye? Apakah Anda mau?”

“Saya ragu apakah Mrs. Vye bersedia.”

“Saya percaya Mrs. Vye akan setuju. Saya dan Mrs. Vye saling mengenal baik,” kata pria itu, “Seperti saya mengenal baik bidadari cantik yang ditemukannya ini.”

“Saya senang melihat wajah Anda memerah, Maria,” kata pria itu.

Semula Maria tidak menyadari pria itu menyebut namanya, ia hanya diam saja.

“Bagaimana Anda mengetahui nama saya?” tanyanya ketika menyadari hal itu.

Ia merasa tidak pernah menyebutkan namanya kepada pria itu, “Anda mengetahuinya dari mereka?”

“Dari pembicaraan penduduk Obbeyville? Ya,” kata pria itu mengakui.

“Saya menjadi ragu pada Anda. Jangan-jangan Anda senang membicarakan segala perbuatan seseorang seperti penduduk Obbeyville,” kata Maria bergurau.

“Bila saya senang bersikap seperti itu, bagaimana saya harus menghadapi Anda?” kata pria itu menanggapi gurauan Maria.

“Anda harus bersiap-siap dulu sebelum bertemu saya karena mungkin saya akan menjadi lebih berbahaya bila telah mengetahui apa yang akan Anda katakan sebelum Anda mengatakannya.”

“Benarkah itu?” tanya pria itu tertarik.

“Mengapa tidak? Bila Anda senang membicarakan segala tingkah laku saya selama ini, tentu saya dapat dengan mudah menebak apa yang akan Anda katakan,” kata Maria, “Dan sebelum Anda mengatakan sesuatu saya mungkin akan menyerang Anda dulu dengan kata-kata yang sangat tajam dan menyakitkan.”

“Saya ragu Anda akan berbuat seperti itu, Maria.”

“Bagi saya hal itu mungkin saja. Seseorang yang telah tersakiti hatinya akan sangat memungkinkan untuk mengucapkan kata-kata kasar yang belum pernah mereka katakan sebelumnya,” kata Maria.

“Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya pria itu, “Apakah Anda pernah disakiti seseorang?”

“Walaupun saya tidak pernah disakiti tetapi saya mempercayai hal itu. Semua orang akan mengucapkan segala kata-kata kasar yang tidak pernah mereka katakan sebelumnya. Tetapi ada pengecualian untuk mereka yang terbiasa mengucapkan kata-kata seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya.”

Pria itu tersenyum “Anda juga termasuk suatu pengecualian. Saya yakin Anda tidak akan mengucapkan kata-kata sekasar itu walaupun disakiti orang lain.”

“Jangan terlalu yakin dengan pendapat Anda. Siapa pun bisa menjadi tak terduga,” kata Maria memperingatkan.

“Saya setuju denganmu. Anda adalah salah satu orang yang tak pernah terduga itu. Saya tidak pernah membicarakan orang lain di belakangnya tetapi ada seseorang yang selalu memberi tahu saya segala berita yang ada di Obbeyville.”

“Rupanya pengasuh Anda tidak pernah kehilangan suatu berita pun. Saya yakin ia juga telah memberi tahu Anda mengenai segala yang telah saya lakukan di Sidewinder House.”

“Saya terkejut mendengarnya, Maria. Saya tidak pernah menduga Anda pandai menebak,” kata pria itu.

“Saya hanya secara kebetulan saja menebak dengan tepat,” kata Maria merendahkan diri.

“Rasanya tidak adil bila hanya saya yang mengetahui nama Anda,” kata pria itu, “Panggillah saya Al dan saya akan memanggil Anda Maria agar kita tidak terlalu formal seperti ini.”

Maria terdiam. Ia merasa pernah mendengar nama itu. Ia sering mengucapkannya di masa lalu, ia sangat menyayangi nama itu. Ia menyayangi pemilik nama itu.

Pria itu juga sangat menyayanginya dan selalu melindunginya. Pria itu selalu memperhatikannya dan memberikan yang terbaik baginya.

Tetapi siapa orang itu? Dan bagaimana rupa orang itu? Apa hubungan pria itu dengannya?

Pertanyaan itu terus bergaung di telinganya saat Maria berusaha menyibakkan tabir yang menutupi masa lalunya.

Suatu perasaan rindu muncul di dadanya saat ia terus berusaha menyibakkan masa lalunya yang berada di balik kegelapan yang sangat pekat itu.

“Ada apa?” tanya pria itu cemas.

Entah kapan Maria telah berada di dalam pelukan pria itu, tetapi saat gadis itu mendapatkan kesadarannya kembali, ia telah berada di pelukan pria itu.

“Tidak ada apa-apa. Terima kasih,” kata Maria sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu.

Pria itu mempererat tangannya yang merangkul pundak Maria. “Jangan terlalu sopan lagi terhadapku, Maria,” katanya berbisik, “Apa yang terjadi, Maria? Mengapa wajahmu memucat? Engkau tampak seperti akan pingsan, apakah engkau kurang sehat?”

Jantung Maria berdetak semakin cepat ketika pria itu mempererat pelukannya. Dengan hati-hati ia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Ia merasa kehilangan sekaligus lega ketika tangan pria itu menjauh dari tubuhnya.

Dengan tenang ia berkata, “Tidak apa-apa. Terima kasih. Saya hanya merasa sesuatu yang aneh saat Anda mengucapkan nama Anda. Saya… saya… merasa sering menyebut dan mendengar nama itu. Tetapi saya menyadari saya berada di kegelapan itu saat saya berusaha menemukan orang yang sering saya panggil… Al.”

“Aku terkejut ada orang yang bernama sama denganku,” kata pria itu, “Jangan sedih, Maria. Ingatanmu pasti akan kembali lagi.”

“Saya percaya ingatan saya akan kembali walau memakan waktu yang lama,” kata Maria.

“Mengapa engkau menerima tugas menjadi pelayan Lady Debora, Maria?” tanya Al mengganti topik pembicaraan agar tidak membuat Maria menjadi semakin sedih mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan yang pekat itu.

“Mengapa Anda mempertanyakan hal itu?” Maria bertanya kepada pria itu, “Apakah menurut Anda menjadi seorang pelayan adalah hal yang memalukan?”

Pria itu terdiam. Ia terkejut mendengar pertanyaan Maria yang sukar dijawab itu. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya merasa heran mengapa engkau mau menerima syarat mereka padahal mereka tidak menyukaimu terutama Baroness Lora.”

“Saya merasa sangat berterima kasih kepada mereka terutama Mrs. Vye yang telah merawat saya selama saya tidak sadarkan diri,” kata Maria tenang.

“Tetapi mereka membencimu, Maria. Mengapa engkau sangat baik hati? Engkau tidak hanya menjadi pelayan Lady Debora tetapi juga menjadi pelayan rumah itu.”

“Saya menyenangi pekerjaaan itu. Saya senang dapat membantu Mrs. Vye dan ketiga pelayan lainnya. Mereka sudah terlalu tua untuk membersihkan rumah itu. Saya tidak tega melihat mereka, di samping itu saya juga cepat merasa bosan bila tidak ada yang dapat saya lakukan.”

Pria itu tersenyum. “Engkau benar-benar seorang bidadari yang sempurna di mata semua orang.”

“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tidak ada makhluk yang tak bercela,” kata Maria merendahkan diri.

“Engkau sempurna di mataku, Maria.”

“Itu karena ini pertama kalinya Anda menemukan seorang gadis tak dikenal membuat Anda merasa terkejut berulang kali dengan hal-hal yang tak pernah Anda duga sebelumnya,” kata Maria dengan tersenyum.

“Kuakui ini memang pertama kalinya bagiku, seorang gadis mampu membuatku mengalami berbagai macam perasaan seperti ini,” kata Al, “Tetapi aku tidak dapat membuat engkau bersikap tidak terlalu sopan kepadaku. Sikapmu yang terlalu sopan membuatku merasa bingung harus berbuat bagaimana terhadapmu.”

“Wajar bila saya bersikap sopan terhadap Anda. Anda lebih tua dari saya,” kata Maria merendahkan diri.

“Apakah itu berarti engkau menganggapku sebagai seorang kakek yang sudah sangat renta?” tanya pria itu merajuk.

Maria ingin tertawa melihat wajah cemberut pria itu, tetapi ia tahu hal itu tidak sopan. Ia hanya tersenyum saja melihat tingkah pria itu untuk menghiburnya, “Saya merasa Anda lebih muda dari saya bila Anda bertingkah seperti anak kecil yang sedang merajuk.”

“Lalu apa yang akan kaulakukan terhadapku yang seperti anak kecil ini?” tanya Al.

“Saya akan memperlakukan Anda seperti saya memperlakukan anak-anak lainnya. Saya akan mendongeng untuk Anda,” jawab Maria dengan tersenyum.

“Engkau mengingatkanku pada sesuatu yang patut kupertanyakan padamu,” kata Al tiba-tiba.

Maria melihat keseriusan di mata pria itu, tetapi ia tetap bersikap tenang. Ia wmenanti kalimat pria itu.

“Mengapa engkau menceritakan mitos itu kepada Mrs. Vye dan yang lainnya, tetapi tidak kepadaku?” tanya Al tajam.

Maria tersenyum. Dengan tenang ia berusaha mmeberikan pengertian kepada pria itu, “Saya tidak akan pernah menceritakan mitos ketiga yang disembunyikan dari orang luar selain suku itu. Yang saya ceritakan kepada mereka adalah mitos mengenai nama asli Blueberry.”

“Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil yang sedang marah. Anda membuat saya ingin tertawa melihat tingkah Anda yang seperti ini,” bujuk Maria melihat pria itu tidak mempercayai kata-katanya, “Apa yang saya katakan ini benar.”

“Aku sering melihatmu tersenyum tetapi aku belum pernah melihatmu tertawa. Aku ingin melihatmu tertawa,” kata pria itu.

Wajah Maria kembali memerah.

Ia memandang langit yang telah terang. Ia terkejut menyadari mereka telah berbicara cukup lama. Tak terasa hari telah terang. Maria memandang wajah pria itu dan sebelum ia mengatakan sesuatu pria itu telah berkata,

“Engkau akan pergi sekarang?” tanyanya.

“Saya harus kembali secepatnya. Saya harus membangunkannya pagi-pagi. Ia memiliki janji berkuda dengan seseorang,” kata Maria, “Kemarin ia terpaksa mengundurkan janji yang sangat dinanti-nantikannya itu. Hari ini ia tidak ingin terlambat bangun lagi.”

“Lady Debora memiliki janji berkuda dengan seseorang tetapi mengapa ia baru bangun sesiang ini?” tanya pria itu heran.

Maria tersenyum geli. “Bagi mereka saat ini masih terlalu dini untuk bangun. Kata Mrs. Vye, mereka terbiasa bangun tengah hari sekitar pukul sebelas.”

“Perbedaan yang sangat mencolok,” kata Al.

Maria tidak tahu siapa yang dibandingkan Al dengan Lady Debora, dan ia tidak memikirkannya. Ia merasa harus segera sampai di Sidewinder House.

“Bila Anda tidak keberatan, saya akan pergi ke Sidewinder House sekarang.”

“Aku keberatan sekali bila engkau tidak mengijinkanku mengantarkanmu,” kata pria itu.

“Dan aku tidak ingin engkau menolak tawaranku ini,” kata pria itu menegaskan kata-katanya.

Maria tersenyum, “Hal ini lebih tepat disebut suatu tawaran yang memaksa atau paksaan. Kata tawaran tidak cocok untuk keinginan Anda yang memaksa itu.”

“Aku merasa aku selalu harus memaksamu agar mau menuruti keinginanku. Engkau terlalu berhati-hati dan terlalu sopan terhadap siapa saja. Aku ingin mengetahui dirimu di masa lalu. Apakah engkau bidadari yang memiliki aturan ketat?”

“Saya khawatir dugaan Anda meleset jauh. Bila melihat apa saja yang telah saya lakukan dalam hari-hari terakhir ini, rasanya sukar mengatakan saya adalah bidadari.”

“Apa pun yang kaulakukan, tidak akan membuat orang mengurangi kepercayaan mereka bahwa engkau bidadari yang diutus para dewa Holly Mountain.”

“Sebaiknya pembicaraan ini kita tunda dulu. Saya harus segera tiba di Sidewinder House. Banyak pekerjaan yang menanti saya,” kata Maria.

“Apakah engkau menerima tawaranku?”

“Tidak mungkin bagi saya untuk menolak keinginan Anda yang sangat tulus itu,” kemudian Maria menambahkan dengan tersenyum, “Dan memaksa.”

Pria itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan sangat cepat. Ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah gerakan tangan yang tiba-tiba karena terkejutnya.

“Sebagai hukuman karena engkau mengatakan aku memaksamu,” kata Al pura-pura serius melihat wajah Maria yang memerah.

“Anda sendiri yang mengatakan bahwa Anda terpaksa memaksa saya agar menuruti tawaran Anda,” kata Maria mengingatkan.

“Apakah aku mengatakannya? Aku lupa,” kata Al.

Maria tidak mengatakan apa-apa untuk menghentikan pria itu. Ia menundukkan kepalanya, ia mengulurkan tangannya untuk berpegangan pada leher Al.

Al meletakkan tubuh Maria dengan lembut di punggung kudanya. Kemudian ia dengan cepat melompat di punggung kudanya.

Walaupun Maria tidak melihat gerakan pria itu, tetapi ia merasa yakin pria itu sering berkuda. Al dengan luwesnya melompat ke atas kudanya.

Tangan Al menarik tubuh Maria mendekat. Maria menurut pada gerakan tangan itu. Ia mengerti Al takut ia jatuh. Ia berusaha tetap tenang saat punggungnya menyandar di tubuh pria itu.

Seperti biasanya mereka kembali ke pondok Mrs. Vye sambil bercakap-cakap.

Al turun dari kudanya kemudian mengangkat tubuh Maria ketika mereka tiba di pondok Mrs. Vye.

“Terima kasih,” kata Maria, tetapi tangan pria itu tidak segera beranjak dari pinggang Maria setelah Maria mengucapkan terima kasih, seperti kemarin.

Pria itu membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Maria, “Besok akan kujemput engkau pagi-pagi sekali.”

Al masih enggan melepaskan pelukannya walau pesan telah disampaikannya. Tangan kanannya mengangkat dagu Maria yang tertunduk dan mengecup perlahan bibirnya.

Maria terkejut dengan tindakan pria itu. Ia melepaskan diri dari pelukan pria itu dan berlari memasuki pondok Mrs. Vye.

Al terkejut melihat wajah Maria yang memerah sambil berlari menjauhinya. Gadis itu tampak terkejut dengan sikapnya.

Sebelumnya Al tidak menduga Maria belum pernah dicium. Gadis itu tampak dewasa sekali sehingga sukar baginya untuk memikirkan kemungkinan bahwa gadis itu belum pernah dicium.

Caranya tadi mengatakan apa yang akan dilakukan seseorang bila sakit hati membuatnya semakin yakin.

Gadis itu benar-benar tidak dapat diduga.

Kini ia bingung bagaimana harus menghadapi gadis yang tak terduga itu?

Al meyakinkan dirinya untuk lebih mempercayai perasaannya daripada apa yang dilihatnya.

Perasaannya mengatakan gadis itu masih polos dan sangat muda dalam pengalaman. Tetapi kenyataan yang dilihat berbeda dengan perasaannya. Gadis itu bijaksana dalam segala hal seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup.

No comments:

Post a Comment