Tuesday, May 1, 2007

Gadis Misterius-Chapter 3

“Selamat pagi,” sapa pria tua itu ketika memasuki Ruang Besar.

“Selamat pagi, Tuan,” balas Maria sembari menganggukkan kepalanya dengan hormat.

“Ia benar-benar mengagumkan,” kata pria itu.

“Terima kasih, Tuan. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,” kata Maria.

“Sayang Mrs. Dahrien tidak ada di sini,” kata Mrs. Fat, “Ia tidak dapat bertemu Maria sebelum Tuan Puteri bangun.”

Mrs. Vye membesarkan hati Mrs. Fat, “Jangan khawatir! Esok ia akan dapat bertemu dengan Maria sebelum Tuan Puteri bangun. Nanti ia juga dapat bertemu dengannya.”

“Apakah engkau yakin, Mrs. Vye?” kata Mrs. Fat ragu-ragu.

“Aku tidak tahu persis. Tetapi kurasa mereka akan dapat bertemu,” kata Mrs. Vye meyakinkan Mrs. Fat.

Dari percakapan kedua wanita itu, Maria menduga Mrs. Dahrien sedang melayani Baroness Lora. Ia juga menduga Lady Debora jarang berada di rumah dan ia sebagai pelayan Lady Debora, harus mengikuti ke mana pun perginya sang majikan.

Pria tua yang sedari tadi mengamati Maria itu tampak terkejut sewaktu menyadari Maria sedang mengenakan pakaian pelayan yang sama seperti yang dikenakan Mrs. Vye dan Mrs. Fat.

“Mengapa engkau mengenakan pakaian pelayan padanya?” tanyanya pada Mrs. Vye.

“Ia mulai hari ini bekerja sebagai pelayan Tuan Puteri,” kata Mrs. Fat.

“Apa!” seru pria tua itu terkejut.

“Rupanya aku lupa menceritakan hal ini kepadamu. Aku memang pelupa,” keluh Mrs. Vye, “Tuan Puteri meminta ia menjadi pelayannya bila ingin tetap tinggal di sini. Semula aku tidak setuju tetapi apa yang dapat kulakukan. Maria tidak dapat mengingat masa lalunya dan aku tidak dapat membiarkannya tanpa arah.”

“Mereka benar-benar kejam,” kata pria tua itu geram.

“Tetapi ia tetap tampak cantik,” kata Mrs. Fat, “Baju pelayan yang berwarna hitam ini membuat kulitnya menjadi tampak lebih putih. Ia tetap tampak anggun dalam baju itu.”

“Ya, ia tetap tampak lebih cantik dari Tuan Puteri walau ia mengenakan baju pelayan.”

“Aku terlalu membesar-besarkan seperti yang kalian katakan, bukan? Ia memang lebih cantik dari Tuan Puteri. Aku berani mengatakan ia gadis tercantik di kerajaan ini,” kata Mrs. Vye.

“Kalian jangan terlalu memuji saya. Saya tidak secantik yang Anda katakan. Masih banyak gadis yang lebih cantik dari saya,” kata Maria merendahkan diri.

“Jangan terlalu merendahkan diri, Maria,” kata Mrs. Fat, “Engkau memang cantik. Tidak seorangpun yang meragukannya.”

“Bila ada yang tidak mengatakan engkau cantik, ia pasti buta,” tambah Mr. Liesting.

“Sayang aku tidak dapat melihat rambutmu yang panjang itu. Kata Mrs. Vye rambutmu sangat panjang dan indah. Aku percaya rambutmu sangat indah. Walaupun engkau menyanggulnya, tetapi rambutmu masih tampak berkilauan seperti sinar matahari yang terang.”

“Mengapa engkau menyanggulnya?” tanya Mrs. Vye.

“Saya lebih senang menyanggulnya bila hendak bekerja.”

“Apakah engkau menyanggulnya sendiri?” tanya Mrs. Vye lagi, “Mengapa engkau tidak memberi tahu aku? Aku bisa menyanggulkan rambutmu.”

“Terima kasih, lain kali saya akan mengingatnya. Tetapi saya tidak ingin merepotkan Anda, saya sudah biasa menyanggul sendiri rambut saya.”

“Aku sependapat dengannya. Engkau sudah cukup repot mengurus rumah ini dan Tuan Puteri. Lagipula ia pandai menyanggul. Aku yakin engkau tidak dapat menyanggul seperti itu.”

“Apakah Anda juga melayani Tuan Puteri selain kedua tugas Anda?”

“Tuan Puteri takkan mau bila ia diminta mengurus dirinya sendiri. Ia meminta Mrs. Dahrien melayaninya juga. Tetapi karena Mrs. Dahrien sudah sangat tua, ia tidak dapat melayani dua orang dalam satu waktu.”

“Karena itu aku mengambil alih tugasnya. Mrs. Fat dan Mr. Liesting sudah kesulitan membersihkan rumah yang besar ini. Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanya aku.”

“Apakah Mrs. Dahrien pengasuh Baroness Lora sejak kecil?”

Mrs. Fat tersenyum pada Maria. “Rupanya Mrs. Vye memang sudah sangat tua. Ia lupa memberi tahumu bahwa Mrs. Dahrien adalah pelayan yang paling lama tinggal di sini dari kami semua. Ia juga lebih tua dari Mrs. Vye.”

“Yang Mulia bukan berasal dari keluarga kaya. Ia putri seorang petani kecil di Obbeyville. Dan ia sangat beruntung dapat mewujudkan keinginannya sejak kecil, menjadi kaya dan berkuasa.”

“Lebih baik kita berbicara di dapur saja. Di sini kurang leluasa,” usul Mr. Liesting melihat Mrs. Vye dan Mrs. Fat tidak akan berhenti bercerita pada Mrs. Vye.

Mr. Liesting mengajak Maria kembali ke dapur. Kali ini mereka tidak melalui Ruang Duduk melainkan melalui sebuah lorong di dekat tangga yang berhubungan dengan dapur. Lorong itu terus memanjang di bagian belakang rumah hingga dapur.

Mereka mengatakan kepada Maria bahwa lorong ini dibuat untuk memudahkan para pelayan bila dipanggil. Para pelayan biasanya berkumpul di dapur bila tidak ada yang dapat dilakukan.

Mereka berbicara banyak kepada Maria dan seperti halnya Mrs. Vye, mereka juga senang berbicara kepada gadis itu. Mereka juga terkejut tatkala mengetahui pengetahuan Maria yang sangat luas.

Ketiga orang itu telah dibuat kagum oleh Maria dengan pembicaraannya mengenai mitos yang ada di Obbeyville.

Maria seperti berasal dari mitos itu sendiri. Ia lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu daripada ketiga orang itu yang telah tinggal di Obbeyville selama puluhan tahun.

“Aku ragu-ragu engkau seorang manusia. Aku rasa engkau benar-benar seorang bidadari yang berasal dari Holly Mountain,” kata Mr. Liesting.

“Engkau lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu daripada kami bertiga yang telah tinggal puluhan tahun di sini,” kata Mrs. Vye.

“Apakah engkau berasal dari Holly Mountain?” tanya Mrs. Fat.

“Apakah engkau benar-benar utusan para dewa?” tanya Mr. Liesting.

Maria tersenyum mendengar ketiga orang itu terus menerus mengajukan pertanyaan dan pendapatnya tanpa memberi kesempatan padanya untuk mengajukan pendapatnya sendiri.

Gadis itu ingin mereka menghentikan pujiannya, namun mereka sepertinya tidak ingin berhenti memujinya.

Maria diam saja. Ia bukan menyukai pujian mereka tetapi karena ia tahu tidak sopan bila ia menyela pembicaraan mereka.

Ia tidak mendengarkan perkataan mereka. Ia sibuk melamunkan orang yang bertemu dengannya di tepi Sungai Alleghei tadi pagi. Maria ingin bertemu dengan pria itu dan berbincang-bincang lagi. Ia merasa pembicaraan mereka belum selesai.

Suara bel mengejutkan mereka. Maria lebih terkejut daripada tiga orang yang sibuk bercakap-cakap. Ia tersentak ketika bel itu berulang-ulang berbunyi dengan nyaring.

“Tuan Puteri sudah bangun. Lebih baik engkau segera menemuinya,” kata Mrs. Fat.

Maria beranjak dari kursinya dan hendak menuju kamar Lady Debora ketika Mrs. Vye berkata, “Bawalah serta sarapan untuk Tuan Puteri. Ia senang sarapan di atas tempat tidurnya.”

“Duduklah dulu sembari menanti Mrs. Vye selesai menyiapkan sarapan untuk Tuan Puteri.”

“Terima kasih, Mrs. Fat. Tetapi saya lebih menyukai membantu Mrs. Vye daripada menanti.”

Maria mendekati Mrs. Vye dan mulai membantunya.

Mrs. Vye terperangah ketika tangan gadis itu dengan trampil mengiris roti yang ada di dekatnya.

Sekali lagi ia membuat ketiga orang itu kagum padanya. Ia sangat terampil di dapur seakan-akan ia sering menghabiskan waktunya dengan berada di dapur. Mereka juga melihat Maria menata segalanya di nampan dengan manis.

“Sebenarnya siapakah engkau?” tanya Mr. Liesting.

Maria tersenyum pada Mr. Liesting. “Saya tidak tahu siapakah saya. Saya hanya mengetahui bahwa saya seorang gadis yang bernama Maria.”

Sekali lagi bel berbunyi nyaring. Mrs. Vye segera mengajak Maria ke kamar Lady Debora yang berada di tingkat dua. Mereka melalui lorong yang menuju dekat tangga.

Mrs. Vye membawa nampan yang baru mereka siapkan. Sepanjang jalan wanita tua itu memperingati dan berpesan kepada Maria yang memperhatikan segala yang dikatakannya. Tidak ada suatu pesanpun yang luput dari pendengaran Maria.

Maria menjinjing sedikit ujung bajunya tatkala ia menaiki tangga. Baju yang kebesaran sedikit itu membuatnya agak kesulitan sewaktu menaiki tangga kayu itu.

Di ujung tangga atas itu ada sebuah pintu berukiran ular yang sedang mengerami anak-anaknya. Ular betina itu melingkari telur-telurnya erat-erat dengan tubuhnya. Matanya mengawasi sekitarnya untuk melindungi anaknya yang belum menetas dari bahaya.

Berdasarkan ukiran pada pintu itu, Maria menduga kamar itu adalah kamar Baroness Lora. Ukiran pada pintu itu bagaikan Baroness Lora yang selalu menjaga putrinya dengan baik. Maria dapat merasakan Baroness Lora menyayangi Lady Debora dengan cara yang salah.

Di sebelah kamar itu ada sebuah pintu yang berukiran ular juga. Beberapa ular kecil mengelilingi seekor ular betina yang menjaga mereka dengan matanya yang tajam. Beberapa ular kecil itu tampak bercanda dengan induk mereka.

Seluruh pintu di rumah ini berukiran berbagai tingkah laku ular dan mereka yang menempati ruang itu memiliki sifat yang sesuai dengan ukiran ular di pintu kamar mereka. Ular yang diukir pada pintu kamar Baroness Lora maupun Lady Debora benar-benar membuat kedua orang itu makin jelas kemiripannya dengan ular.

Maria merasa geli menyadari semua itu. Seolah-olah pendiri Sidewinder House telah meramalkan masa depan. Kelak di keturunan keluarga Sidewinder akan ada yang benar-benar memiliki sifat seperti seekor ular yang buas. Dan kedua orang itu entah sadar atau tidak telah menempati kamar yang ‘khusus’ untuk mereka.

Sebelumnya ia telah mendengar dari Mrs. Vye bahwa seluruh keturunan Sidewinder memang memiliki karakter seperti ular. Namun Maria merasa kedua wanita itu lebih mirip ular daripada keturunan Sidewinder yang lain.

Mrs. Vye mengetuk perlahan pintu kamar yang berukiran ular-ular kecil dan seekor induk ular. Tak lama kemudian terdengar jawaban enggan dari dalam kamar. Maria mengikuti Mrs. Vye masuk ke kamar Lady Debora.

Di balik wajah Maria yang tenang tersembunyi keterkejutannya melihat keadaan kamar Lady Debora.

Kamar itu tampak suram. Sebuah permadani yang lembut menutupi seluruh permukaan lantai kamar Lady Debora. Tirai jendela yang terletak tepat di samping tempat tidur Lady Debora belum dibuka. Sinar matahari tampak bersusah payah menembus tirai tebal itu.

Sebuah meja rias yang antik terletak tak jauh dari tempat Lady Debora berbaring. Di tepi kaca yang terletak di meja terukir dua ekor ular yang saling mengelilingi tepi kaca bulat itu. Seekor ular dari tepi kiri dan yang lain dari tepi kanan. Kepala mereka saling melilit di ujung atas.

Sebuah kursi tanpa sandaran berada di bawah meja itu. Kursi bulat itu memiliki ukiran yang sama dengan kaca rias. Sedangkan di atas meja rias terdapat beberapa hiasan rambut emas yang berbentuk bunga daisy.

Sebuah meja lain terletak di tengah kamar. Permukaan meja itu tampak halus dan mengkilat. Sisik-sisik ular mengelilingi tepi meja itu. Ukiran kaki meja itu sama seperti ukiran pada meja di Ruang Duduk.

Di atas meja itu berserakan beberapa barang. Sebuah perhiasan emas berkilauan tertimpa sinar matahari yang memaksa menerobos masuk. Liontin kalung itu berbentuk bunga besar dengan sebuah batu ruby merah di tengahnya.

Kalung itu membuat Maria merasa heran bagaimana Lady Debora bisa mengenakannya. Bila Lady Debora mengenakannya, tentu lehernya tampak tertelan oleh liontin yang sebesar bunga mawar kecil itu.

Di sampingnya, sebuah topi berwarna jingga tampak menyala tertimpa sinar matahari. Topi itu tampak indah sekali dengan sebuah bulu berwarna biru yang menghiasinya.

Sebuah gaun yang indah juga terletak di meja itu. Gaun yang berwarna biru terang itu diletakkan sembarangan di meja. Seakan-akan sudah tidak berguna lagi. Selain itu masih ada sebuah pakaian berkuda yang terletak di atas meja itu dan sebuah cambuk berwarna hitam.

Empat buah kursi mengelilingi meja persegi itu. Keempat kursi yang saling berhadap-hadapan itu berukiran ular piton pada kakinya dan kepala ular cobra pada sandarannya.

Kepala ular itu tampak hidup. Mulutnya menengadah ke langit-langit kamar seakan-akan siap melahap apa pun yang jatuh dari langit-langit. Lidahnya yang panjang terjulur keluar untuk meneliti keadaan sekitarnya. Matanya yang tajam menatap langit-langit tanpa henti.

Kemudian Maria memandang Lady Debora. Wanita itu memandang malas padanya dan Mrs. Vye, tanpa berusaha bangkit dari berbaringnya. Tubuhnya masih terbungkus selimut rapat-rapat. Rambutnya yang merah tergerai di atas bantalnya yang putih. Ia terlihat masih enggan membuka matanya untuk memulai hari baru.

Dengan malas ia bertanya, “Jam berapa sekarang?”

“Hampir tengah hari,” jawab Mrs. Vye sambil meletakkan nampan di meja rias.

“Apa!?” seru Lady Debora terkejut.

“Sekarang hampir tengah hari,” ulang Mrs. Vye.

“Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” tanya Lady Debora panik.

“Anda tidak berpesan apa-apa kepada saya.”

Lady Debora sangat panik sehingga tidak melihat keberadaan Maria di kamarnya yang dengan tenang memperhatikan kejadian di depannya.

Ia menduga hal ini biasa terjadi sebab Mrs. Vye tidak tampak gelisah melihat kepanikan Lady Debora. Ia juga menduga Lady Debora berjanji berkuda bersama seorang pria pagi ini tetapi ia lupa memberi tahu Mrs. Vye untuk membangunkannya pagi-pagi.

Lady Debora menggerutu kesal. “Jangan banyak bicara lagi! Sekarang lekas bantu aku mempersiapkan diriku,” katanya sambil bangkit dari tempat tidurnya.

Maria dengan cepat meraih pakaian berkuda yang ada di atas meja. Ia hendak membantu Lady Debora mengenakan pakaian itu, tetapi Mrs. Vye mengambil pakaian itu dari tangannya dan membantu Lady Debora.

Mrs. Vye melakukannya dengan cepat sehingga Maria tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan wanita tua itu. Kemudian Mrs. Vye menyanggul rambut Lady Debora dan memberinya hiasan berbentuk daisy yang terletak di meja rias.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Lady Debora segera beranjak ke pintu setelah Mrs. Vye melakukan tugas-tugasnya.

Maria memperhatikan Lady Debora yang tampak mencolok dengan topi bulu serta kalung yang semula terletak di atas meja di tengah kamar yang telah menjadi terang setelah tirai jendela dibuka oleh Mrs. Vye.

Di pintu, ia berhenti dan menoleh pada Mrs. Vye.

“Buang gaun yang ada di meja itu,” katanya.

Mrs. Vye mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak menghentikan Lady Debora meninggalkan kamarnya untuk sarapan. Ia meraih gaun yang terletak di meja tengah ruangan.

“Sayang bila gaun ini dibuang. Ambillah dan kenakanlah,” kata Mrs. Vye kepada Maria.

Maria menggeleng. “Tuan Puteri mengatakan kepada kita untuk membuang gaun itu. Ia pasti marah bila kita tidak membuangnya,” katanya.

“Ia tidak akan peduli bila gaun ini engkau kenakan. Ia tahu aku mengumpulkan gaun-gaun yang dibuangnya, tetapi ia tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku. Baginya gaun yang telah dibuang olehnya berarti sudah tidak berguna lagi,” kata Mrs. Vye.

Maria menerima gaun yang disodorkan Mrs. Vye kepadanya. Ia belum mengatakan apa-apa ketika Mrs. Vye telah meninggalkan kamar Lady Debora. Ia mengikuti Mrs. Vye dengan membawa gaun itu.

Mrs. Vye mengajak Maria ke sebuah ruangan di dekat dapur tempat ia menyimpan semua gaun yang telah dibuang Lady Debora dan Baroness Lora.

Kata Mrs. Vye, sebelum Baroness Lora memasuki Sidewinder House, kamar itu adalah kamar pelayan. Namun karena jumlah pelayan yang semakin menurun, kamar itu tak terpakai.

Kemudian ia menggunakan kamar itu untuk menyimpan semua gaun yang Baroness Lora dan Lady Debora buang.

Sebuah lemari besar terletak di sudut ruangan yang kecil itu. Lemari yang berukiran ular itu tampak mencolok di kamar yang sempit itu. Almari itu seperti memenuhi kamar.

Maria terkesima melihat gaun yang berjajar dalam almari itu. Walaupun almari itu besar, namun masih tidak dapat menampung seluruh gaun yang ada. Sebagian gaun itu dipindahkan Mrs. Vye ke almari yang lebih kecil yang terletak tepat di samping almari itu.

Semula ia tidak dapat memahami mengapa kedua wanita itu memilih membuang gaun-gaun yang indah itu walaupun gaun itu masih dapat mereka kenakan. Namun setelah ia teringat pada ucapan Mrs. Vye mengenai kegemaran kedua wanita itu, ia mulai memahaminya.

Tak satu gaunpun yang berwarna lembut, semuanya berwarna mencolok. Beberapa gaun berwarna putih tampak menonjol di antara gaun-gaun yang berwarna cerah.

Mrs. Vye mengambil salah satu gaun putih itu kemudian memberikannya kepada Maria.

“Sudah sejak lama aku ingin memberikan gaun ini kepadamu. Aku tidak tahu apakah engkau akan menyukainya, tetapi aku berharap engkau mau mengenakannya.”

Gaun yang ditunjukkan Mrs. Vye kepada Maria tidak benar-benar putih. Gaun itu tampak berwarna putih dari kejauhan, namun sebenarnya gaun itu berwarna nila yang lembut.

Gaun itu dicobakan Mrs. Vye padanya. “Gaun ini sesuai dengan tubuhmu yang langsing,” kata Mrs. Vye, “Sayang lengannya terlalu panjang dan pinggangnya terlalu besar. Aku akan menjahitnya sesuai dengan ukuranmu.”

“Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Biarkan gaun ini apa adanya. Saya lebih menyukai gaun ini apa adanya.”

“Aku harus menjahitnya kembali, Maria. Ukuran pinggang gaun ini terlalu besar untukmu. Aku tidak menyangka Tuan Puteri lebih gemuk darimu,” kata Mrs. Vye memberi pengertian pada Maria.

Maria tersenyum. “Rupanya gaun saya yang besar ini membuat saya tampak lebih gemuk.”

“Tidak, bukan itu maksudku,” bantah Mrs. Vye, “Semula aku menyangka ukuran gaunmu sama seperti Tuan Puteri.”

Maria terus memandang Mrs. Vye tanpa menghilangkan senyuman yang menghias wajahnya yang cantik.

“Aku menduga usia kalian tidak terpaut terlalu jauh. Aku tidak tahu berapa usiamu dan aku tidak dapat menduganya lagi. Wajahmu seperti gadis yang berusia dua puluh tahunan, tetapi engkau bijaksana seperti orang yang telah berusia puluhan tahun.”

Mrs. Vye menghela napasnya sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sewaktu aku menemukanmu, aku menduga engkau berusia sekitar dua puluh tahun. Tetapi setelah beberapa hari tinggal bersamamu, aku menjadi tidak yakin engkau berusia sekitar dua puluhan, seperti dugaanku yang pertama.”

“Mungkin saya benar-benar berasal dari Holly Mountain,” kata Maria bercanda.

“Ya, itulah satu-satunya yang ada di dalam pikiranku mengenai asal usulmu. Aku tidak dapat menebak yang lain,” kata Mrs. Vye berterus terang, “Engkau tampak sangat misterius dan sering membuatku terkejut sekaligus kagum.”

“Saya tidak merasa telah membuat Anda kagum pada saya. Apa yang saya lakukan terasa biasa bagi saya,” kata Maria merendahkan diri.

“Mungkin engkau tidak merasakannya, tetapi engkau telah benar-benar membuatku terkejut dan kagum.” Mrs. Vye tersenyum pada Maria, “Aku tidak pernah menduga engkau sangat ahli di dapur. Entah apa lagi kemampuanmu, tetapi yang pasti aku tidak dapat menebaknya.”

“Saya tidak memiliki keahlian apa-apa di dapur, tadi saya hanya membantu Anda. Tanpa petunjuk dari Anda, saya tidak akan dapat melakukannya dengan baik,” kata Maria.

“Jangan merendahkan diri lagi. Tadi engkau melakukannya tanpa petunjuk dariku. Engkau sendiri yang melakukannya dengan sangat baik,” kata Mrs. Vye – tersenyum.

“Terima kasih. Tetapi saya merasa saya masih kalah dari Anda.”

“Percayalah kepadaku, Maria. Tidak hanya aku yang menganggap apa yang kaulakukan di dapur tadi lebih baik dariku. Engkau menata hidangan sedemikian rupa hingga dapat membuat tiap orang berselera melihatnya.”

“Terima kasih.”

“Sekarang engkau tidak memiliki pekerjaan apapun. Kembalilah ke pondok dan bersenang-senanglah,” kata Mrs. Vye sembari menyerahkan gaun nila itu.

“Mrs. Vye, biarkan gaun ini apa adanya. Lagipula pinggangnya tidak terlalu besar untuk saya,” kata Maria mengingatkan.

“Kita akan membicarakan masalah itu nanti. Sekarang bersenang-senanglah, Tuan Puteri tidak akan kembali sebelum senja.”

Maria meninggalkan Sidewinder House. Sepanjang jalan ia bertemu banyak orang. Ia mengangguk hormat pada mereka. Sebuah senyum yang menawan hati tiap orang terukir di wajahnya.

Orang-orang itu tampak malu dan bingung melihatnya. Mereka dengan malu-malu menganggukkan kepala kepada Maria, seperti yang Maria lakukan kepada mereka. Kemudian mereka berkumpul dan berbisik-bisik.

Sekelompok anak mendekatinya. Mereka tampak senang berjumpa dengannya. Pandangan mata mereka menunjukan kekaguman mereka pada Maria.

“Apakah Anda benar-benar berasal dari Holly Mountain?” tanya seorang anak kecil.

“Saya tidak tahu,” kata Maria.

Beberapa anak berbisik-bisik.

“Mengapa?” tanya anak yang lain.

“Karena saya tidak dapat mengingatnya. Saya lupa.” Maria menjawab sederhana agar mudah dimengerti oleh anak-anak itu.

“Bila saya melupakan sesuatu, ibu saya akan memarahi saya. Apakah Anda tidak dimarahi orang tua Anda?” tanya anak itu lagi.

Maria tersenyum manis pada mereka. Ia berlutut agar mereka tidak menengadahkan kepala untuk dapat melihatnya. Gaun-gaun yang dibawanya diletakkan sedemikian rupa di lengannya hingga tak menyentuh tanah.

“Tidak. Sebab saya lupa siapa orang tua saya.”

Anak-anak itu memandang sedih padanya.

“Anda pasti sedih tidak dapat mengingat orang tua Anda,” kata seorang anak perempuan. “Saya juga merasa sedih bila jauh dari orang tua saya.”

“Apakah Anda mau bermain bersama kami? Kami ingin berkenalan dengan Anda,” kata seorang anak anak yang sejak tadi berbisik-bisik dengan temannya.

“Saya akan senang sekali. Tetapi maafkan saya, saya harus melakukan sesuatu. Bila saya telah selesai, saya akan mencari kalian. Saya akan menerima ajakan itu,” kata Maria.

Anak-anak itu tampak kecewa mendengar jawaban Maria. Wajah mereka yang semula ceria, kini tampak murung.

Maria merasa sedih melihat mereka kecewa. “Jangan bersedih. Saya akan bermain dengan kalian bila saya telah menyelesaikan tugas saya.”

“Kapan tugas Anda selesai?” tanya anak-anak itu serempak.

“Saya tidak tahu. Tetapi saya berjanji akan segera menyelesaikannya agar dapat bermain bersama kalian. Di mana saya dapat menemukan kalian?”

“Kami biasanya bermain di sekitar rumah ini terutama di pondok Mrs. Vye yang terbuat dari kayu oak itu,” jawab mereka serempak.

Maria tersenyum melihat kekompakkan anak-anak itu. Mereka seperti telah sepakat untuk menjawab pertanyaan Maria bersama-sama.

“Baik. Saya akan mencari kalian di sekitar Sidewinder House bila saya telah menyelesaikan tugas saya,” kata Maria.

Anak-anak itu berseru kegirangan mendengar pernyataan Maria.

Maria bangkit kembali. “Sekarang saya akan pergi memulai tugas itu. Kalian pergilah bermain, saya akan segera menyusul kalian.”

“Kami ikut Anda. Kami akan menemani Anda ke Sidewinder House,” kata mereka serempak.

“Aku akan pergi ke rumah itu bila aku telah meletakkan gaun ini di pondok Mrs. Vye. Mrs. Vye menyuruhku meletakkan gaun-gaun ini di pondoknya,” kata Maria menunjukkan gaun yang dibawanya kepada anak-anak itu.

“Kami ikut,” kata mereka.

“Baiklah. Tetapi kalian jangan nakal,” kata Maria.

Maria berjalan beriringan dengan anak-anak itu ke pondok Mrs. Vye.

Sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap. Mereka membuat orang-orang terperangah melihat keakraban mereka.

Setelah meletakkan gaun yang dibawanya di almari pakaian di kamarnya, Maria bersama anak-anak itu kembali ke Sidewinder House.

“Mengapa engkau kembali? Bukankah aku telah mengijinkanmu untuk bersenang-senang. Pergilah berkeliling Obbeyville. Bukankah sejak semula engkau ingin berkeliling Obbeyville?” kata Mrs. Vye terkejut melihatnya muncul di dapur.

Maria berjalan mendekati Mrs. Vye yang sibuk memasak. “Saya ingin membantu Anda terlebih dulu.”

Maria mulai membantu Mrs. Vye tanpa mempedulikan larangannya.

Mrs. Vye terkejut melihat keahlian memasak Maria. Gadis itu dengan cepat membuat bumbu untuk ayam panggang yang akan disajikannya untuk makan siang Baroness Lora.

Ia tidak memberi tahu apa pun kepada gadis itu apa yang harus dilakukannya. Tetapi gadis itu dengan cekatan telah menyelesaikan tugas memasak yang seharusnya dilakukannya.

Sebuah nampan berisi ayam panggang yang harum dan gurih tersaji di atas meja di Ruang Makan dalam waktu yang singkat, bersama nampan-nampan lain yang diatur sedemikian rupa oleh Maria. Hidangan di dalam nampan itu juga diatur Maria dengan ahli.

“Hidangan itu terlalu indah untuk dimakan,” kata Mrs. Vye melihat Maria menata hidangan itu.

Maria tersenyum pada Mrs. Vye dan meneruskan pekerjaannya. Ia kini membuat minuman yang tampak segar. Minuman itu dibuatnya dari sari apel dan tomat yang segar.

“Baru kali ini aku melihat minuman seperti itu,” kata Mrs. Vye.

“Minuman ini enak sekali. Jauh lebih segar dari sari jeruk. Bila Anda mau, silakan mencobanya,” kata Maria.

Mrs. Vye menerima segelas minuman yang diberikan Maria kepadanya. “Enak sekali. Dari mana engkau mempelajarinya?”

“Saya tidak ingat. Saya membuatnya sesuai dengan apa yang saya pikirkan.”

“Apakah engkau juga tidak dapat mengingat asal bumbu ayam panggang itu? Ayam itu tampak gurih dan harum,” kata Mrs. Vye.

“Maafkan saya telah mengecewakan Anda. Tetapi saya benar-benar tidak dapat mengingatnya. Saya seperti telah mengetahui apa yang harus saya lakukan pada ayam itu ketika saya membuatnya. Bila Anda ingin, saya akan memberi tahu bumbunya kepada Anda,” kata Maria.

“Engkau tidak perlu melakukannya. Aku ingin engkau terus lebih pandai memasak daripada aku,” kata Mrs. Vye.

“Anda jangan berkata seperti itu. Saya tidak mengetahui banyak mengenai masak-memasak seperti Anda. Anda jauh lebih pandai dari saya, saya harus belajar banyak dari Anda,” kata Maria.

“Baiklah, daripada kita bertengkar seperti ini lebih baik kita membuat perjanjian. Aku akan mengajarimu hal-hal yang tidak engkau ketahui. Tetapi aku ragu engkau tidak mengetahui apa yang kuketahui. Engkau tampak seperti koki yang ahli di dapur.”

“Terima kasih. Saya akan memberi tahu Anda apa yang saya ketahui.”

“Tidak. Itu tidak perlu. Aku merasa puas melihat engkau lebih pandai memasak daripada aku.”

Mrs. Vye meyakinkan Maria, “Aku akan lebih bangga mengatakan kepada semua orang bahwa engkau lebih pandai memasak dari aku daripada mengatakan kepada mereka bahwa aku lebih pandai dari engkau.”

Maria tersenyum pengertian kepada Mrs. Vye. Akhirnya ia mengalah pada keinginan wanita tua yang disayanginya itu.

Mrs. Vye meminta Maria untuk memanggil Baroness Lora, tetapi Maria menolaknya. Ia lebih memilih membersihkan dapur daripada memanggil Baroness Lora bukan karena ia tidak menyukai Baroness Lora. Tetapi karena ia tidak ingin membuat Mrs. Vye semakin repot, ia ingin membantunya membersihkan dapur.

Dengan beberapa bujukan, akhirnya Mrs. Vye setuju dengan keinginan Maria. Ia mengingatkan Maria untuk tidak membersihkan dapur seorang diri.

Setelah kepergian Mrs. Vye, Maria memulai pekerjaannya membersihkan dapur dengan cepat. Ia membersihkan seluruh ruangan itu hingga ruangan itu tampak lebih bersih. Peralatan memasaknya juga dicuci bersih olehnya. Ia telah selesai membersihkan dapur sebelum Mrs. Vye tiba di dapur.

Maria tidak tahu apa yang sedang dilakukan Mrs. Vye sehingga wanita itu tidak segera kembali ke dapur. Maria menduga Mrs. Vye sedang melayani Baroness Lora bersama Mrs. Dahrien hingga tak segera muncul.

Tetapi ia bersyukur karena Mrs. Vye tidak melihatnya membersihkan seluruh ruangan itu. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Mrs. Vye bila melihat ia melanggar larangannya.

Sebenarnya, Maria tidak ingin melanggar larangan Mrs. Vye. Tetapi karena ia tahu Mrs. Vye akan mengalami kesulitan dalam membersihkan dapur itu, maka ia memutuskan untuk melanggar larangan Mrs. Vye. Di samping itu, Maria tidak tahan melihat keadaan ruangan yang kotor ini.

Ia meninggalkan dapur dan menuju Ruang Besar. Ruang Besar telah dibersihkan, Maria tidak melihat Mrs. Fat di sana. Ia menduga Mrs. Fat sedang membersihkan Ruang Duduk.

Mrs. Fat membersihkan Ruang Duduk sambil bersenandung kecil. Tangannya seperti menari-nari di permukaan meja. Wanita itu tidak menyadari suara pintu yang berderit di belakangnya.

Maria mengetuk perlahan pintu yang menghubungkan Ruang Besar dengan Ruang Duduk.

“Ada apa, Maria?” tanya Mrs. Fat. “Engkau membuatku terkejut.”

“Bila Anda tidak keberatan, saya ingin membantu Anda.”

“Tentu saja aku tidak keberatan,” kata wanita itu senang mendengar bantuan yang ditawarkan Maria.

Maria mendekati Mrs. Fat. Tatkala ia hendak mulai membersihkan Ruang Duduk, Mrs. Fat berseru terkejut.

“Tidak! Tidak! Engkau tidak boleh melakukannya. Aku lupa engkau harus melayani Tuan Puteri.”

“Tuan Puteri sedang berkuda bersama seseorang.”

“Aku tahu. Aku melihatnya meninggalkan rumah dengan terburu-buru,” kata wanita itu, “Aku yakin Mrs. Vye tidak akan setuju bila melihatmu melakukan pekerjaan ini. Pergilah berjalan-jalan!”

Maria ragu-ragu melihat wanita tua itu.

Ia tahu Mrs. Fat lebih muda dari Mrs. Vye dan ia mampu membersihkan rumah ini sendirian. Sebelum kedatangan Maria, mereka telah mengurus rumah ini sendirian dalam usia mereka yang tidak muda lagi.

Maria percaya mereka dapat melakukannya sendiri tanpa bantuannya, tetapi ia tidak tega melihat mereka yang seharusnya menikmati hari tuanya, bekerja keras membersihkan rumah yang besar ini.

“Aku dapat melakukannya sendiri,” kata Mrs. Fat, “Aku peringatkan kepadamu, aku tidak suka bila seseorang tidak menuruti apa yang kukatakan. Pergilah!”

Dengan enggan, Maria meninggalkan Ruang Duduk. Kemudian ia menemui Mr. Liesting di halaman Sidewinder House.

Pria yang sedang merawat bunga liar musim panas itu, memalingkan kepalanya tatkala mendengar langkah kaki Maria.

“Ada apa, Maria?” tanya Mr. Liesting.

“Tidak ada yang dapat saya kerjakan. Saya ingin membantu Anda merawat halaman ini.”

“Engkau bisa bermain bersama anak-anak itu. Sejak tadi mereka menunggumu,” kata Mr. Liesting, “Mereka menyukaimu.”

“Saya juga menyukai mereka.”

Maria memandang anak-anak yang bermain di dekat Sidewinder House sambil mengawasi kemunculannya.

“Pergilah bermain bersama mereka sebelum senja datang.”

Anak-anak itu berlari mendekat ketika melihat Maria berjalan ke arah mereka. Mereka berseru senang sewaktu Maria mengajak mereka bermain.

Maria mengajak anak-anak itu menuju tepi Sungai Alleghei.

Walaupun tidak mengerti mengapa ia membawa mereka ke tepi Sungai Alleghei, tetapi mereka tetap mengikuti gadis itu.

Mereka telah mengetahui mitos Sungai Alleghei dari orang tua mereka. Orang tua mereka melarang anak-anak itu bermain tepi Sungai Alleghei.

Kata mereka, para dewa akan marah bila anak-anak itu bermain di Sungai Alleghei. Para dewa tidak ingin ketenangan mereka terganggu oleh suara anak-anak. Itulah yang sering dikatakan penduduk Obbeyville pada anak-anak mereka.
Maria telah mengetahui hal itu dari Mrs. Vye, tetapi ia tetap membawa anak-anak itu ke Sungai Alleghei.

Anak-anak itu juga tidak terlihat takut ketika mereka menuju Sungai Alleghei. Rupanya mereka telah sangat percaya bahwa Maria adalah bidadari yang diutus para dewa. Mereka percaya para dewa tidak akan marah bila mereka bermain di sungai itu bersama Maria.

Ketika mereka tiba, Maria segera mencari tempat yang teduh. Ia duduk pada sebatang pohon yang tumbang.

Anak-anak memandang heran padanya.

“Kalian telah mengetahui cerita mengenai Sungai Alleghei?” tanya Maria walaupun ia telah mengetahui jawaban anak-anak itu.

“Ya, kami mengetahuinya dari orang tua kami,” kata anak-anak.

“Kalian tahu mengapa saya membawa kalian ke mari?”

“Tidak, tetapi kami percaya para dewa tidak akan marah walaupun kami bermain di Sungai Alleghei karena kami bersama Anda,” kata seorang anak.

“Para dewa tidak akan marah bila kalian tidak mengganggu ikan-ikan yang ada di Sungai Alleghei,” kata Maria sembari tersenyum, “Hari ini kita kemari bukan karena kita akan bermain di Sungai Alleghei tetapi karena saya akan menceritakan suatu dongeng yang berkaitan dengan sungai ini.”

“Apakah bedanya dongeng dengan mitos?” tanya anak itu lagi.

“Banyak sekali perbedaannya. Bila mitos dipercayai setiap orang, maka dongeng merupakan khayalan saja,” kata Maria menjelaskan.

“Maksud Anda dongeng adalah cerita yang sering Ibu ceritakan pada saat saya hendak tidur?”

“Ya, seperti itu. Tetapi tidak semua dongeng merupakan cerita khayalan, ada beberapa dari mereka yang dipercayai benar-benar terjadi seperti yang akan saya ceritakan pada kalian,” kata Maria.

“Apakah dongeng itu benar-benar terjadi?” tanya anak-anak.

“Saya tidak dapat menjawabnya. Kalian sendiri yang akan menjawab pertanyaan itu setelah kalian mendengar dongeng itu. Kalian yang akan menilai apakah dongeng itu benar-benar terjadi atau tidak.”

“Dapatkah Anda memulai menceritakan dongeng itu pada kami?” tanya mereka serempak.

“Duduklah dengan tenang dulu, baru saya akan memulai dongeng saya.”

Anak-anak duduk di sekitar Maria. Mereka duduk sambil memandangi Maria. Beberapa dari mereka ada yang duduk di samping Maria. Ada pula yang duduk sambil bertopang dagu.

“Dongeng yang saya ceritakan ini ada hubungannya dengan mitos Sungai Alleghei dan Blueberry.”

“Blueberry? Setahu saya di Blueberry tidak ada dongeng yang berhubungan dengan mitos Sungai Alleghei,” kata anak yang bertanya perbedaan mitos dan dongeng.

Maria merasa anak itu menyukai mitos.

Karena Maria tidak ingin mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva punah, ia menceritakan mitos itu pada anak-anak itu. Tetapi ia tidak menduga ada seorang anak yang mengetahui cukup banyak mengenai mitos Sungai Alleghei.

“Apakah engkau menyukai mitos?” tanya Maria pada anak itu.

“Saya sangat menyukainya. Saya ingin mengetahui segala sesuatu mengenai mitos itu, tetapi orang tua saya tidak tahu banyak. Karena itu saya sering membaca buku-buku mengenai mitos, tetapi tidak ada di antar buku-buku itu yang bercerita bahwa di Blueberry ada dongeng yang berhubungan dengan mitos yang ada di Obbeyville,” kata anak itu.

Maria tersenyum pada anak itu. “Kemarilah,” katanya lembut.

Anak itu berjalan mendekat kemudin duduk tepat di depan Maria.

“Siapakah namamu?”

“Nama saya Ityu. Orang tua saya adalah pendeta yang sering menjadi pemimpin dalam tiap upacara di Sungai Alleghei.”

“Ityu, saya senang engkau menyukai mitos. Tetapi apa yang kauketahui tidak cukup banyak. Bila saya mempunyai waktu, saya akan menceritakannya padamu.”

“Sungguh?” tanya Ityu tak percaya.

“Benar, saya akan menceritakan padamu mitos yang tidak engkau ketahui. Berapakah mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva?”

“Satu yaitu mitos Sungai Alleghei,” jawab Ityu dengan yakin.

Maria telah menduga Ityu seperti orang-orang umumnya yang hanya mengetahui satu mitos yang paling terkenal di Kerajaan Zirva.

“Sesungguhnya, Ityu, di Kerajaan Zirva ada banyak mitos tetapi yang paling terkenal ada tiga. Salah satunya adalah mitos Sungai Alleghei,” kata Maria.

“Saya tidak pernah mendengar kedua mitos yang lain,” kata Ityu mengakui.

“Karena salah satu mitos itu hampir punah dan yang lainnya sengaja disembunyikan,” kata Maria menerangkan.

“Mengapa mitos itu disembunyikan?” tanya anak-anak yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Maria dengan Ityu.

“Saya tidak dapat menjawabnya karena jawaban saya akan berhubungan dengan mitos yang disembunyikan itu,” kata Maria tanpa memberikan alasan yang sesungguhnya.

“Saya tidak mengerti mengapa mereka menyembunyikan mitos itu,” kata Ityu.

“Kelak bila memungkinkan, aku akan mengatakannya padamu. Tetapi untuk saat ini engkau cukup mengetahui bahwa ada tiga mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva.”

“Kedua mitos yang lain mengenai apa?” tanya Ityu.

“Mitos yang kedua mengenai nama asli Blueberry,” jawab Maria.

“Apakah Blueberry bukan nama asli tempat itu?”

“Bukan, Ityu. Blueberry mempunyai nama asli. Saya akan menceritakannya padamu suatu saat nanti. Sekarang saya akan memulai dongeng saya sebelum saya kembali ke Sidewinder House.”

Anak-anak gembira mendengar kata-kata Maria kecuali Ityu. Maria tahu anak itu sibuk memikirkan kedua mitos yang lain.

“Datanglah ke pondok Mrs. Vye setiap sore dan saya akan menceritakannya padamu di sana. Bila orang tuamu tidak menyetujuinya, saya yang akan memintakan ijin kepada mereka. Saya percaya mereka akan menyetujui hal ini,” bisik Maria pada anak itu.

Ityu tersenyum senang mendengar janji Maria.

Maria tersenyum pada anak itu dan memulai ceritanya. “Dongeng ini mengenai peperangan antara dewa dengan setan di dekat sini.”

No comments:

Post a Comment