Monday, April 30, 2007

Gadis Misterius-Chapter 2

Keesokan paginya Mrs. Vye terkejut tatkala melihat Maria tengah sibuk di dapur. Ia tak menduga gadis itu akan bangun pagi-pagi.

“Selamat pagi, Mrs. Vye,” kata Maria sambil tersenyum.

“Apa yang kaulakukan? Mengapa engkau berada di dapur?” tanya Mrs. Vye.

“Saya sedang membuat teh untuk kita berdua. Apakah Anda menyukai teh? Saya tidak menemukan cokelat atau yang lain di sini selain teh.”

“Ya, aku sangat menyukainya. Aku tidak pernah meminum kopi atau cokelat karena itu aku tidak memilikinya. Apakah engkau menyukai cokelat hangat? Bila engkau menyukainya, aku dapat mengambilkannya untukmu dari Sidewinder House.”

“Anda tidak perlu susah payah melakukan itu. Saya juga menyukai teh,” kata Maria, “Apakah kita akan pergi sekarang?”

Mrs. Vye tersenyum kemudian berkata, “Aku menyukai semangatmu yang tinggi itu. Tetapi saat ini masih terlalu dini untuk berjalan-jalan di tepi Sungai Alleghei. Tunggulah hingga matahari mulai menampakkan dirinya.”

“Saya senang melihat matahari terbit. Setiap hari saya bangun pagi-pagi kemudian menuju…,” kata-kata Maria terhenti.

“Menuju… menuju…,” katanya sambil berusaha menyingkapkan tabir kegelapan yang pekat di ingatannya.

Mrs. Vye mendekati gadis itu dan memegang lengannya. “Jangan sedih,” kata Mrs. Vye, “Perlahan-lahan ingatanmu akan pulih kembali.”

Maria menganggukkan kepalanya kemudian ia tersenyum pada Mrs. Vye.

“Apakah Anda mau secangkir teh?” tanya Maria.

Mrs. Vye dan Maria duduk berhadap-hadapan di meja kayu yang terdapat di ruang itu. Mereka bercakap-cakap sembari menanti matahari meninggalkan peraduannya.

“Hari mulai terang,” kata Maria, “Saya akan mengganti gaun ini dengan baju yang Anda berikan kemarin malam.”

“Untuk apa engkau mengenakan baju pelayan itu sekarang? Bila matahari telah tinggi, engkau baru memulai pekerjaan itu,” kata Mrs. Vye terkejut.

“Saya berencana berjalan-jalan di tepi Sungai Alleghei hingga tiba waktunya bagi saya untuk melayani Tuan Puteri.”

“Tetapi mengapa engkau memilih mengenakan baju itu? Kenakanlah gaun yang aku berikan padamu. Nanti bila engkau akan ke Sidewinder House, barulah engkau mengenakan baju itu,” saran Mrs. Vye.

“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan menuruti saran Anda.”

“Mari kubantu,” kata Mrs. Vye mengikuti Maria.

“Terima kasih, Mrs. Vye. Tetapi maafkan saya, saya bisa melakukannya sendiri,” Maria menolak halus.

“Sudahlah. Biarkan aku membantumu,” kata Mrs. Vye.

Maria tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mencegah Mrs. Vye. Wanita tua itu telah menutup pintu kamarnya dan mulai membantunya mengenakan gaun yang diberikannya kepada gadis itu.

Gaun putih yang sederhana itu menambah kesan keanggunannya. Leher gaun itu cukup tinggi sehingga dapat menutupi kalung yang dikenakannya.

Mrs. Vye tampak senang melihatnya dalam gaun itu.

“Engkau cantik sekali,” kata Mrs. Vye.

“Terima kasih.”

Maria melihat Mrs. Vye akan merapikan rambutnya. Ia segera berkata. “Tidak perlu, Mrs. Vye. Saya akan membiarkan rambut saya terurai.”

“Tetapi rambutmu yang panjang ini akan membuat engkau terganggu,” kata Mrs. Vye sambil menyentuh rambut panjang Maria.

Maria tersenyum. “Saya senang membiarkan rambut saya terurai. Saya tidak akan terganggu karenanya.”

“Baiklah,” kata Mrs. Vye mengalah, “Sekarang aku akan bersiap-siap. Tunggulah aku. Aku tidak akan lama.”

Mrs. Vye segera menghilang dari hadapan Maria.

Sesaat kemudian mereka berdua meninggalkan pondok mungil Mrs. Vye. Berdua mereka berjalan menuju Sungai Alleghei kemudian menyusuri tepi sungai itu.

Sinar matahari yang menyilaukan perlahan-lahan muncul di antara kerimbunan pohon yang berada di seberang Sungai Alleghei.

Embun pagi berkilau-kilau seperti permata. Tetes demi tetes embun itu mengalir jatuh dari dedaunan.

Pohon-pohon tinggi di seberang sungai tampak seperti menghalangi matahari memancarkan sinar paginya yang lembut ke seluruh permukaan dunia. Udara pagi yang sejuk membuat perasaan menjadi damai.

Air Sungai Alleghei mengalir tenang. Beberapa ekor ikan tampak berenang-renang riang menyambut datangnya hari baru di sungai yang jernih itu. Air sungai yang cukup dalam itu tampak mulai berkilau-kilau tertimpa cahaya matahari ketika mereka tiba di tepi sungai itu.

“Sungai ini indah sekali. Benar-benar sungai anugerah,” kata Maria.

“Engkau pun bagai anugerah bagiku. Selama ini aku tinggal sendiri di sini tetapi setelah engkau datang, aku tidak kesepian lagi.”

“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya juga senang tinggal bersama Anda.”

“Penduduk Obbeyville menjadi gempar ketika aku menemukanmu tergeletak pingsan di sungai ini. Mereka menduga engkau utusan pada dewa, tetapi ada beberapa orang yang menolak anggapan itu,” kata Mrs. Vye.

“Tampaknya kedatangan saya yang tak terduga ini membuat banyak masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik senyumannya yang menawan.

Ia merasa sedih telah menimbulkan banyak masalah bagi Mrs. Vye juga bagi penduduk Obbeyville.

“Aku merasa akan timbul masalah yang lebih besar lagi bila mereka telah melihatmu. Kecantikkanmu sama seperti keindahan sungai tempat kau ditemukan ini,” kata Mrs. Vye, “Bahkan mungkin engkau lebih cantik dari sungai ini.”

“Anda jangan membesar-besarkan,” kata Maria merendahkan diri, “Saya hanyalah seorang gadis biasa bukan utusan para dewa. Saya terlalu hina untuk menjadi utusan para dewa yang agung.”

Mrs. Vye tersenyum mendengar kerendahan hati Maria, “Mereka akan semakin percaya bahwa engkau adalah bidadari utusan pada dewa bila melihatmu mengenakan gaun itu. Engkau semakin mirip bidadari dengan gaun putih itu. Aku merasa senang dapat berjalan di samping gadis secantik engkau.”

“Anda jangan memuji saya terlalu tinggi. Saya bukan seorang bidadari yang cantik jelita. Saya hanyalah manusia biasa yang berdosa. Bagi saya, cantik tidaknya seseorang bukan dilihat dari wajahnya. Tetapi dari hatinya,” kata Maria.

“Engkau memang cantik baik wajah maupun hatimu seperti Bunda Maria.”

“Saya makhluk berdosa ini tidaklah berarti apa-apa di hadapan Bunda Maria yang suci. Karena itu Anda jangan menyamakan saya dengan Bunda Maria.”

“Baiklah. Aku tidak akan melakukannya lagi bila engkau tidak menginginkannya,” kata Mrs. Vye.

Tak lama kemudian kata-kata Mrs. Vye menjadi kenyataan. Mereka terus menyusuri tepi sungai itu.

Beberapa orang yang berjumpa dengan mereka tampak terkejut sewaktu melihatnya. Mereka semakin percaya bahwa Maria adalah bidadari utusan dewa ketika melihat wajah gadis itu yang cantik dan keanggunannya.

“Ia benar-benar bidadari utusan dewa,” bisik beberapa orang.

Penduduk Obbeyville menjadi gempar lagi tatkala gadis itu keluar rumah untuk pertama kalinya itu. Sebelumnya ia hanya berada di pondok Mrs. Vye. Setiap hari ia hanya berbaring untuk memulihkan kesehatannya.

Sebelumnya hanya mereka yang telah menolongnyalah yang melihat wajahnya. Saat itu mereka tidak sempat memperhatikan wajahnya. Mereka sibuk menolongnya. Hingga pagi ini hanya Mrs. Vye dan Lady Debora yang telah melihatnya.

Mrs. Vye selalu memuji kecantikkan Maria, sedangkan Lady Debora tidak pernah mempedulikan kata-kata Mrs. Vye yang memuji kecantikkan Maria karena ia menganggap dirinya paling cantik di kerajaan ini.

Tetapi sebenarnya Lady Debora juga merasa iri melihat rambut Maria yang selalu bersinar cemerlang. Namun keangkuhan Lady Debora tidak mengijinkannya untuk menunjukkan perasaan irinya itu dengan jelas.

Sebagai pelampiasan atas kekesalannya melihat rambut Maria yang indah, ia memperlakukan gadis itu sebagai orang yang lebih rendah kedudukannya dari dirinya. Ia membenci Maria.

Kebenciannya kepada Maria memang tidak pernah diutarakannya secara langsung tetapi sikapnya membuat Maria mengetahui perasaan benci dan iri pda wanita itu.

Walaupun telah mengetahui hal itu Maria tetap diam. Ia hanya tersenyum bila melihat wajah Lady Debora yang berusaha menutupi kebenciaannya bila mereka bertemu.

Maria menduga kebencian Lady Debora itu karena ia telah membuat keadaan keluarga Sidewinder semakin sulit.

Mereka terus berjalan sambil menikmati udara pagi musim panas yang hangat hingga Mrs. Vye berhenti. Saat itu mereka tak jauh dari pondok.

“Di sinilah aku melihatmu tergeletak pingsan,” kata Mrs. Vye.

Maria memandangi tepi sungai yang ditunjuk Mrs. Vye. Tepi sungai itu tampak lebih dangkal daripada tepi sungai yang lainnya. Beberapa ikan berenang di antara bebatuan di dasar sungai. Airnya yang jernih berkilau-kilau memantulkan cahaya matahari.

Mrs. Vye melihat Maria tampak berusaha mengingat sesuatu, “Jangan sedih. Lambat laun ingatanmu akan pulih kembali. Mari kita melanjutkan perjalanan panjang kita.”

Mereka berdua berjalan menyusuri tepi sungai sambil bercerita mengenai keindahan Sungai Alleghei. Mereka tidak mempedulikan orang-orang yang berbisik di belakang mereka. Mereka tampak menikmati keindahan sungai itu.

Matahari telah menyingkapkan langit gelap di barat. Langit biru tampak cerah berhiaskan awan putih. Mrs. Vye terkejut melihat langit telah terang.

“Aku harus segera pergi ke Sidewinder House. Aku telah terlambat. Bila engkau ingin terus menyusuri tepi sungai ini, berhati-hatilah jangan terlalu dekat ke tepi sungai,” kata Mrs. Vye.

Maria menganggukkan kepala mendengar pesan itu. Ia memandangi punggung Mrs. Vye yang semakin menjauh. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya lagi.

Sesekali ia memandang permukaan sungai yang memantulkan bayangan langit biru dan pepohonan di seberang sungai. Angin pagi musim panas yang hangat bertiup perlahan menerpa tubuhnya.

Ia menghentikan langkah kakinya ketika melihat ikan-ikan berenang dengan lincahnya di sungai itu. Ikan-ikan itu tampak tidak terganggu dengan kedatangannya. Mereka terus berenang ke sana ke mari, berkejar-kejaran di antara bebatuan di dasar sungai.

Maria merasa senang melihat ikan-ikan itu berenang ke sana ke mari di dasar sungai, sesekali mereka melompat ke permukaan air.

Ia berdiri mematung di tepi sungai memandangi gerakan lincah ikan-ikan itu. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri hingga tidak menyadari seseorang tengah terpesona di belakangnya.

Pria itu terpesona pada seorang wanita yang berdiri di tepi Sungai Alleghei. Wanita itu berdiri mematung seperti sedang memandangi sesuatu.

Rambut wanita itu sangat panjang, panjangnya mencapai lutut. Baru sekali ini ia melihat rambut sepanjang rambut wanita itu. Rambut itu tampak bersinar seperti sinar matahari pagi. Ia senang melihat rambut panjang wanita itu melambai-lambai tertiup angin.

Wanita itu berdiri dengan anggun di tepi sungai itu seperti ingin menyatu dengan alam. Ia ingin melihat wajah wanita itu, namun wanita itu terus berdiri memunggunginya walau kuda yang ditungganginya meringkik.

Ia terus melihat wanita itu dari atas kudanya, ia tidak ingin mendekati wanita itu karena takut mengganggunya.

“Hati-hati! Tepi sungai itu licin,” serunya ketika melihat wanita itu berjalan perlahan-lahan ke tengah sungai.

Maria terkejut mendengar seruan itu, ia memandang ke arah asal seruan itu. Ia lebih terkejut ketika melihat seorang pria duduk di atas kudanya sembari memandangi wajahnya. Dengan cepat, Maria menghilangkan keterkejutannya.

Kemudian dengan tenang ia memandangi wajah pria itu. Wajah pria itu tampan, mata kelabunya memandang ramah kepadanya. Usia pria itu sekitar dua puluh lima tahunan.

Ia melihat rambut hitam pria itu melambai tatkala ia turun dari atas kudanya.

Pria itu semakin terpesona padanya ketika wanita itu memalingkan wajahnya. Wanita itu lebih muda dari yang diduganya. Wajah gadis itu tampak tenang, namun sesaat yang lalu ia melihat gadis itu terkejut.

Mata yang keunguan jernih itu memandang tenang kepadanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mata itu tampak serasi dengan wajah klasiknya yang cantik maupun rambut panjangnya yang bersinar seperti sinar matahari pagi.

Ia segera turun dari kudanya dan mendekati gadis itu.

Ketika ia semakin mendekat dengan gadis itu, ia menyadari mata gadis itu tidak lagi tampak keungunan melainkan benar-benar berwarna ungu. Wajah gadis itu tidak hanya memancarkan kecantikannya tetapi juga keanggunan.

“Tepi sungai ini licin. Anda bisa terjatuh ke dalam sungai yang cukup dalam ini bila Anda terlalu dekat,” kata pria itu.

“Terima kasih atas peringatan Anda,” kata Maria sembari tersenyum, “Rupanya saya tidak sadar telah semakin mendekati sungai itu ketika memandang ikan-ikan itu.”

“Suara Anda sangat merdu,” katanya.

Pipi Maria memerah mendengar pujian pria itu. Ia merasa aneh ketika pria itu memujinya.

“Terima kasih,” katanya tersipu.

“Apakah saya boleh mengetahui nama Anda?”

“Maafkan saya. Saya tidak dapat memberi tahu Anda, saya tidak dapat mengingat nama saya di masa lalu.”

Pria itu terkejut. Ia telah mendengar berita diketemukannya seorang gadis oleh Mrs. Vye, ia juga telah mendengar gadis itu kehilangan ingatan. Sepanjang jalan, ia mendengar orang-orang berbicara mengenai gadis itu.

“Saya senang sekali dapat bertemu Anda. Sepanjang jalan tadi, saya mendengar orang-orang membicarakan Anda,” katanya, “Mereka mengatakan Anda cantik sekali seperti seorang bidadari, beberapa di antara mereka percaya Anda adalah bidadari. Semula saya tidak mempercayai mereka. Namun setelah bertemu dengan Anda sendiri, saya percaya kepada mereka. Anda jauh lebih cantik dari yang mereka katakan.”

“Terima kasih. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,” kata Maria. “Namun saya bukan seorang bidadari, saya hanyalah seorang manusia biasa seperti Anda.”

“Anda jangan merendahkan diri. Anda memang pantas mendapatkannya. Semua penduduk Obbeyville pasti setuju dengan pendapat saya.”

“Saya, seorang gadis tak dikenal tidak pantas mendapatkannya,” kata Maria merendahkan diri.

“Anda jangan berkata seperti itu. Penduduk Obbeyville telah mengenal Anda sebagai bidadari utusan dewa. Mereka membicarakan Anda sejak Mrs. Vye menemukan Anda tergeletak pingsan di sungai ini.”

“Rupanya kedatangan saya yang tidak terduga ini membuat banyak masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik senyumnya yang menawan.

Pria itu menggelengkan kepala, “Anda tidak membuat masalah apa pun. Penduduk daerah ini tidak mempermasalahkan kedatangan Anda yang tidak terduga ini. Mereka hanya membicarakan Anda sebab ini pertama kalinya ditemukan seorang gadis tergeletak pingsan di Sungai Alleghei yang dianggap suci oleh penduduk.”

“Saya berharap setelah saya tidak ada lagi yang mengalami hal ini.”

Pria itu tersenyum padanya. “Saya juga berharap seperti itu,” katanya.

Maria memandangi ikan-ikan yang berenang di dasar sungai. Ia terkejut ketika melihat bayangan matahari mulai tampak di permukaan sungai itu. Ia menengadahkan kepala ke langit biru dan melihat matahari bersinar menyilaukan di pucuk pohon.

“Maafkan saya, saya tidak dapat berbicara lebih lama lagi dengan Anda. Saya harus terburu-buru agar tidak terlambat,” kata Maria.

“Saya akan mengantar Anda pulang,” kata pria itu menawarkan bantuan.

“Anda baik sekali, tetapi maafkan saya. Saya lebih menyukai berjalan menyusuri tepi sungai,” Maria menolak halus.

“Saya dapat mengantar Anda dengan menyusuri sungai ini,” pria itu menawarkan bantuannya lagi.

Sekali lagi, Maria menolak bantuan pria itu, “Terima kasih, tetapi saya lebih menyukai berjalan kaki menyusuri sungai yang indah ini.”

Ia mengucapkan selamat tinggal kepada pria itu kemudian membalikkan badan dan berlari menuju pondok Mrs. Vye.

Ia tidak ingin terlambat pada hari pertamanya. Dengan tergesa-gesa ia mengganti gaunnya dengan baju pelayan yang diberi Mrs. Vye malam sebelumnya.

Baju pelayan itu sama seperti yang dikenakan Mrs. Vye. Baju itu berwarna hitam berhiaskan warna putih pada ujung lengannya yang panjang dan lehernya yang tinggi.

Rambutnya yang panjang dikepangnya kemudian digelung rapi olehnya. Ia merasa aneh tatkala melakukan pekerjaan itu, seperti telah biasa melakukannya.

Setelah merasa dirinya cukup rapi, Maria berjalan menuju Sidewinder House yang tak jauh dari pondok Mrs. Vye.

Sehari sebelumnya, Mrs. Vye telah bercerita kepadanya mengenai rumah itu, ia juga berpesan agar Maria masuk melalui pintu belakang.

Rumah yang cukup besar itu tampak tak terawat. Tumbuh-tumbuhan liar tumbuh di sekitar rumah itu. Sekilas rumah itu tampak seperti rumah tak berpenghuni.

Warna putih pada dindingnya tampak mulai memucat. Daun ivy yang tumbuh di dindingnya, masih menghijaukan dinding itu di beberapa tempat. Di beberapa tempat lainnya, daun ivy telah menguning.

Atapnya tampak coklat kekuningan oleh lumut yang kering di musim panas.

Maria mencoba membayangkan rumah itu di musim semi. Rumah itu akan tampak hijau oleh ivy yang menutupi dindingnya serta lumut. Tumbuhan-tumbuhan liar menambah kesan suramnya rumah itu.

Sidewinder House akan tampak rimbun di musim semi tetapi tampak gersang dan tak terawat di musim panas. Tidak dapat dibayangkan oleh Maria seperti apakah rumah itu di musim dingin.

Rumah itu akan tampak putih dan sepi tanpa tumbuhan yang bertahan hidup. Seluruh halaman Sidewinder House yang luas akan tampak putih rata tanpa ranting semak-semak yang belum menghilang.

Suasana Sidewinder yang tampak dari luar seperti menggambarkan musim yang sedang berjalan. Di musim semi rumah itu tampak rimbun oleh tumbuhan liar. Di musim panas tumbuhan mulai berkurang dan puncaknya adalah di musim gugur, di mana hampir semua tanaman mati. Di musim dingin rumah itu akan tampak putih oleh salju.

Dari keseluruhan yang tampak dari luar, hanya pintu depan yang terlihat masih baik. Pintu kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Di sekujur tubuhnya terdapat ukiran yang indah. Pegangan pintu yang terbuat dari besi berwarna keemasan itu tampak indah.

Maria ingin memperhatikan lebih teliti Sidewinder House dari luar tetapi ia tidak melakukannya. Ia tidak ingin terlambat tiba di kamar Lady Debora. Ia segera memutar ke belakang rumah itu dan dengan mudah ia dapat menemukan pintu belakang rumah itu.

Ia terkejut ketika membuka pintu itu dan mendapati dirinya berada di sebuah dapur yang gelap. Maria melihat sekeliling dapur yang tampak kotor di bawah siraman sinar matahari.

Sebuah meja beserta kursi-kursi tua yang mengelilinginya. Meja itu tampak seperti akan hancur bila sebuah benda diletakkan di meja jati itu. Peralatannya yang juga kuno tampak tak terawat.

Suara langkah kaki yang akhir-akhir ini dikenalnya sebagai langkah kaki Mrs. Vye, terdengar semakin mendekati dapur. Mrs. Vye terkejut sewaktu melihatnya.

“Selamat pagi, Mrs. Vye.”

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Mrs. Vye.

“Saya tidak ingin terlambat tiba di kamar Tuan Puteri,” jawab Maria.

Mrs. Vye tertawa mendengar jawaban Maria seolah-olah jawaban yang diberikan Maria itu lucu.

Maria kebingungan melihat Mrs. Vye tertawa, namun ia menyembunyikan kebingungannya di balik wajahnya yang tenang.

“Apakah Anda mau memberi tahu mengapa Anda tertawa?” tanya Maria sopan.
“Jangan khawatir, saya tidak menertawakanmu. Pergilah berjalan-jalan lagi.”

“Mengapa Anda menyuruh saya berjalan-jalan lagi? Bukankah saya harus melayani Tuan Puteri bila ia bangun?”

“Pergilah berjalan-jalan lagi. Hari masih pagi, Tuan Puteri masih tidur.”

“Matahari telah tinggi di langit yang cerah. Sinarnya juga telah merata di seluruh permukaan bumi ini pertanda hari telah siang.”

“Rupanya aku lupa memberi tahumu,” kata Mrs. Vye, “Bagi mereka, saat ini masih terlalu pagi untuk bangun. Mereka biasa bangun sekitar pukul sebelas. Engkau harus mengerti bahwa kedua majikan kita itu pemalas.”

Mrs. Vye duduk di sebuah kursi kayu yang tampak tua sekali. Ia melihat Maria sedang memandangi sekeliling dapur.

“Keadaan rumah ini telah banyak berubah. Dulu rumah ini sangat indah, terindah di Obbeyville. Namun sekarang keadaannya tampak menyedihkan.”

Mrs. Vye mendesah sedih kemudian melanjutkan:

“Dulu di sini banyak pelayan. Ada yang bertugas merawat halaman, ada yang khusus membersihkan Ruang Besar, dan masih banyak pelayan dengan tugasnya masing-masing. Namun sejak kematian Baron Marx Sidewinder, segalanya berubah. Perlahan-lahan jumlah pelayan menurun karena dipecat Yang Mulia. Ia mengatakan mereka tidak berguna dan masih banyak alasan lagi yang diberikan pada saya.”

Mrs. Vye berhenti untuk meredakan amarahnya kemudian melanjutkan ceritanya, “Kini pelayan di rumah ini hanya beberapa orang. Aku yang bertugas sebagai pengurus rumah tangga merangkap sebagai koki. Seorang pelayan pribadi Yang Mulia dan dua pelayan lain yang bertugas menjaga kebersihan rumah ini, mereka juga merangkap sebagai tukang kebun.”

“Saat ini pelayan di rumah ini bertambah lagi satu,” kata Maria tersenyum.

Mrs. Vye mengangguk sedih membenarkan kata-kata Maria. Sebenarnya, ia tidak rela Maria menjadi pelayan Lady Debora tetapi karena tidak ada lagi jalan untuk membuat Baroness Lora membiarkan gadis itu tetap tinggal di pondoknya. Maka ia terpaksa menyetujuinya.

“Saat ini engkaulah yang paling muda di antara kami. Kami semua sudah tua,” kata Mrs. Vye. “Apakah engkau mau sarapan? Aku akan menyiapkannya untukmu.”

Maria belum mengatakan apa-apa tatkala Mrs. Vye sudah berdiri dan mulai menyiapkan sarapan baginya. Maria duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja kayu.

“Apakah saya boleh mengelilingi rumah ini? Saya ingin melihat-lihat keadaan rumah ini,” tanya Maria setelah menghabiskan sarapan paginya.

“Tentu saja. Saya akan mengantarmu mengelilingi rumah ini,” kata Mrs. Vye.

Mereka meninggalkan dapur melalui pintu tempat Mrs. Vye keluar tadi. Di balik pintu itu terdapat sebuah lorong. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui gorden-gorden yang belum dibuka, menyebabkan suasana di dalam lorong itu menjadi remang-remang. Gorden itu tampak indah, kainnya yang berwarna jingga tampak sejiwa dengan sinar matahari yang menimpanya.

“Matahari telah tinggi, tetapi mengapa gordennya belum dibuka?” tanya Maria.

“Yang Mulia tidak menyukai sinar matahari masuk bila ia belum bangun. Ia mengatakan sinar matahari itu mengganggu tidurnya. Walaupun kamar Yang Mulia berada di tingkat dua, tetapi ia tetap melarang kami membuka gorden bila ia belum bangun,” kata Mrs. Vye menjelaskan.

Maria memandang tembok yang membatasi lorong itu di sisi lainnya. Ia melihat warna tembok itu lebih muda dari yang lainnya di beberapa tempat. Warna tembok yang lebih muda itu berbentuk sebuah kotak.

“Ke mana perginya lukisan-lukisan yang menggantung di tembok ini?” tanya Maria.

Mrs. Vye terkejut mendengar pertanyaannya. “Bagaimana engkau tahu dulu di tembok ini tergantung banyak lukisan?” tanya Mrs. Vye.

“Beberapa bagian yang berwarna lebih muda dari tembok ini membentuk sebuah kotak,” jawab Maria. “Saya menduga dulu tergantung lukisan di sini.”

“Ya, engkau benar dulu di sini tergantung banyak lukisan. Satu per satu lukisan itu diambil oleh Yang Mulia,” kata Mrs. Vye dengan sedih. “Ia tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku, namun aku tahu ia menjual lukisan itu untuk dapat berfoya-foya.”

Mereka melanjutkan perjalanannya. Tiap ruang yang mereka masuki tampak lenggang. Mrs. Vye mengatakan barang-barang di rumah ini juga telah habis dijual Baroness Lora. Ia tampak sangat sedih ketika menceritakan keadaan tiap ruang itu sewaktu Baron Marx Sidewinder masih hidup.

Hanya Ruang Perpustakaan yang tidak tampak lenggang. Beberapa rak masih dipenuhi buku. Satu-satunya yang janggal di ruang itu adalah tidak adanya meja ataupun kursi. Yang ada hanyalah rak-rak yang mengelilingi ruang itu.

Mrs. Vye mengatakan dari dulu keluarga Sidewinder suka membaca buku karena itu mereka membuat Ruang Perpustakaan menjadi ruang terbesar di rumah ini.

Baroness Lora tidak pernah memasuki ruangan ini. Ia hanya pernah sekali masuk ke ruang ini yaitu ketika ia memerintahkan beberapa pelayan untuk mengeluarkan meja dan kursi yang terdapat di ruang itu.

Maria melihat buku-buku yang terdapat di ruang itu. Ia berharap dapat membaca buku-buku itu suatu saat. Ia merasa senang membayangkan membaca buku-buku yang jumlahnya tak seberapa banyak itu tetapi ia juga merasa sedih ketika melihat buku-buku itu tampak tak terawat.

Kemudian mereka menuju ruang yang lain. Kata Mrs. Vye ruang itu adalah Ruang Duduk. Walaupun di ruangan itu terdapat beberapa kursi dan sebuah meja yang tampak antik, namun ruang itu tetap tampak lenggang.

Di ruangan itu tidak tampak benda yang lain selain kursi-kursi antik dan sebuah meja yang terletak di tengah ruangan. Kaki kursi-kursi itu terbuat dari kayu yang dipahat sangat halus dan indah.

Demikian pula meja antik itu. Meja itu tampak sangat indah. Ukiran kaki meja itu berbentuk seekor ular. Lidah ular itu tampak menjulur sedikit di lantai. Ekornya menyangga permukaan meja yang pada tepinya terukir daun-daun ivy yang indah.

“Yang Mulia menerima selalu tamunya di sini, karena itu ia tidak menjual meja itu,” kata Mrs. Vye.

Pada salah satu sisi ruang itu terdapat sebuah pintu, Mrs. Vye membuka pintu itu. Pintu itu berderit tatkala Mrs. Vye membukanya.

“Ini adalah Ruang Besar,” katanya kemudian ia mengajak Maria memasuki ruang itu.

Seorang wanita yang sedang membersihkan tangga yang menuju tingkat dua, menoleh sewaktu mendengar pintu terbuka. Wanita tua itu tampak berkeringat setelah bersusah payah membersihkan tangga itu.

Wanita itu lebih muda beberapa tahun dari Mrs. Vye. Rambutnya telah memutih seperti Mrs. Vye. Wajahnya tampak terkejut ketika melihat Maria.

Wanita itu mendekat. “Selamat pagi, Mrs. Vye. Apakah ia gadis yang sering kauceritakan itu?” tanya wanita itu sambil memandang Maria.

“Ya. Bagaimana? Aku tidak berbohong, bukan?” kata Mrs. Vye.

“Ya, engkau benar. Ia cantik sekali seperti bidadari. Pantas saja penduduk Obbeyville menjadi gempar tadi pagi. Mereka semakin percaya gadis ini utusan para dewa. Aku juga semakin percaya,” kata wanita itu.

“Terima kasih. Tetapi saya bukan bidadari, saya manusia biasa seperti Anda.”

“Engkau benar lagi, Mrs. Vye. Ia benar-benar rendah hati,” wanita itu kemudian bertanya kepada Maria, “Siapa namamu?”

“Mrs. Vye memberi nama Maria pada saya,” kata Maria.

“Maria? Nama yang sama dengan nama putrimu?” kata wanita itu terkejut.

Mrs. Vye menganggukkan kepala. “Maria, ini Mrs. Fat. Sebenarnya namanya bukan Mrs. Fat, kami memanggilnya begitu karena tubuhnya yang gemuk ini. Ia dan Mr. Liesting bertugas menjaga kebersihan rumah ini,” kata Mrs. Vye memperkenalkan Mrs. Fat kepada Maria.

Maria mengulurkan tangannya kepada Mrs. Fat. Mula-mula Mrs. Fat tampak ragu melihatnya, tetapi kemudian ia menjabat tangan Maria.

“Senang berkenalan dengan Anda, Mrs. Fat,” kata Maria sembari tersenyum.

“Senang berkenalan denganmu juga,” kata Mrs. Fat, “Jangan terlalu sopan pada saya. Saya tidak biasa menghadapi orang yang bersikap sopan kepada saya.”

Mrs. Vye tersenyum pada Maria kemudian berkata, “Engkau tidak akan dapat menghentikannya, Mrs. Fat. Aku juga telah memintanya agar tidak terlalu sopan terhadapku. Tetapi ia selalu bersikap sopan.”

“Sudah sewajarnya saya bersikap sopan kepada orang yang lebih tua dari saya,” kata Maria merendahkan diri.

“Aku akan memanggil Mr. Liesting. Ia pasti senang dapat bertemu denganmu, Maria. Setiap hari ia selalu mengharapkan dapat bertemu denganmu. Tetapi Mrs. Vye melarangnya menjengukmu,” kata Mrs. Fat.

“Saat itu Maria belum sembuh. Aku ingin kalian bertemu dengannya bila ia sudah sembuh,” kata Mrs. Vye.

“Itulah yang sering kaukatakan kepada kami,” katanya, “Tunggulah di sini. Aku rasa ia ada di halaman.”

Mrs. Fat membuka pintu berat yang dilihat Maria dari luar Sidewinder House. Wanita itu tampak senang sekali dapat memanggil temannya untuk menemui Maria. Maria melihat sekelilingnya setelah Mrs. Fat meninggalkan ruangan itu.

Ia memandang teras yang terdapat di balik pintu itu. Beberapa pilar menyangga langit-langit teras depan. Pada batang tubuh pilar itu merambat dedaunan, menyebabkan pilar itu tampak berwarna hijau di bagian bawah.

Halaman yang terdapat di depan rumah tampak lebih tak terawat dibandingkan yang terlihat Maria tadi. Tumbuhan-tumbuhan liar tumbuh dengan suburnya mengelilingi pohon yang sengaja ditanam di halaman.

Berbagai bunga liar musim panas tampak bermunculan di antara sela-sela warna hijau dedaunan. Bunga itu menambah warna halaman depan Sidewinder House. Dari kejauhan, Maria merasa bunga itu akan tampak cantik bila dirangkai dalam sebuah jambangan.

Kemudian Maria melihat sekeliling Ruang Besar. Ruang Besar ini tampak lebih bersih dari ruangan yang lain. Maria menduga karena Mrs. Fat baru membersihkan ruang ini.

Ia tertarik pada salah satu sudut ruangan itu. Pada sudut itu seperti pernah diletakkan sebuah benda yang sangat besar. Tembok sudut itu tampak lebih muda dari tembok yang lain. Lantai sudut itu tampak seperti tergores sebuah benda.

“Dulu di situ ada sebuah piano,” kata Mrs. Vye dengan sedih ketika mengetahui Maria melihat sudut kiri ruangan itu.

Mrs. Vye tidak mengatakan apa yang terjadi pada piano itu. Tetapi Maria telah mengetahuinya. Kemudian ia memandang tangga yang sedang dibersihkan Mrs. Fat sewaktu mereka tiba di ruang ini.

Tangga kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Pada tepi kanan-kiri tangga itu terdapat pagar yang indah. Sepanjang pagar itu terukir badan seekor ular, di ujung ukiran berbentuk kepala ular. Motif yang sama seperti meja antik yang terdapat di Ruang Duduk.

Sekali lagi Maria melihat pintu depan. Sekali lagi pula ia melihat ukiran ular. Pada daun pintu terukir seekor ular cobra sedang mengintai mangsanya di balik kerimbunan rumput.

Lidah ular itu terjulur seolah-olah menikmati mangsanya. Taringnya yang tajam tersembul di antara lidahnya yang panjang, siap menerkan mangsanya.

Mata ular itu menatap tajam kepada mangsanya. Membuat Maria teringat pada tatapan tajam namun ramah pria yang ditemuinya di tepi Sungai Alleghei pagi tadi.

Maria teringat wajah pria itu dan senyumannya. Maria merasakan suatu perasaan aneh tumbuh dalam hatinya tatkala ia bertemu pria itu.

Maria merasa malu dan segera menghilangkannya dari pikirannya. Kemudian melanjutkan penelitiannya terhadap ukiran daun pintu itu.

Kini diperhatikannya tubuh sang ular. Sisik ular itu tampak seperti sisik asli. Sisik itu diukir dengan teliti sehingga menyerupai ular yang sesungguhnya. Sang pengukir sepertinya bermata tajam sehingga tidak ada suatu bagian pun dari tubuh sang ular yang terlewat.

Sebelumnya Maria telah menyadari kemiripan nama keluarga ini dengan nama seekor ular. Namun kali ini ia baru memahaminya dengan baik. Ia menduga keluarga ini memiliki lambang berbentuk ular. Hampir semua ukiran kayu yang ditemukannya di rumah ini berbentuk ular.

Maria menyadari kemiripan sifat Baroness Lora dan Lady Debora dengan seekor ular. Tajam, berbisa, tidak pernah puas, selalu tampil dengan segala kemegahannya.

Mata ular di daun pintu depan yang menatap tajam pada mangsanya, membuatnya semakin merasakan kemiripan kedua orang itu dengan seekor ular.

Mata kedua wanita itu juga selalu menatap lekat-lekat mangsanya. Perbedaannya adalah seekor ular mengincar tubuh sang mangsa, sedangkan Baroness Lora dan Lady Debora mengincar harta sang mangsa.

Sisik ular yang selalu berganti bila telah tua bagaikan Baroness Lora yang berganti orang setelah harta orang itu habis. Sisik di sekujur tubuh ular yang berkilauan bagaikan mereka berdua yang selalu tampil dengan segala kemewahan.

Seseorang tampak berjalan mendekat ketika Maria memandang halaman depan rumah. Di samping orang itu adalah Mrs. Fat. Wajah orang yang berjalan di sisi Mrs. Fat tampak berseri-seri.

Pria itu juga tampak tua. Rambutnya yang tipis telah memutih semuanya. Janggutnya yang lebat dan memutih.

No comments:

Post a Comment