Wednesday, May 16, 2007

Gadis Misterius-Chapter 18

Princess Minerva memandang hujan salju dari jendela Ruang Duduk kamarnya.

Rasa kesepian yang merambati hatinya membuat Princess termenung melihat hujan salju yang indah di halaman Istana.

Pangeran Alcon baru saja meninggalkan Istana dua hari yang lalu tetapi bagi Princess Minerva rasanya setahun yang lalu Pangeran pergi dan hingga kini belum kembali.

Princess terkenang kembali saat hari keberangkatan kedua orang tuanya bersama kakaknya.

Sejak pagi seluruh penghuni Istana disibukkan persiapan keberangkat mereka. Pangeran Alcon yang biasanya selalu berada di kamar Princess hari itu tidak nampak di kamar Princess Minerva. Baru saat mereka akan berangkat, Pangeran Alcon ke kamar Princess Minerva bersama Raja dan Ratu.

“Jagalah dirimu, Minerva, selama kami tidak ada,” pesan Ratu.

Princess Minerva mengangguk, “Ya, Mama. Aku berjanji akan selalu menjaga kesehatanku.”

Raja menatap Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang berdiri tak jauh dari Princess Minerva. “Jagalah Minerva selama kami pergi.”

“Kami berjanji akan menjaga Princess sebaik mungkin,” kata Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan.

“Awasi dia. Jangan biarkan Minerva berkeliling Istana dengan tubuh lemah seperti ini dan perhatikan ia saat ia minum obat. Pastikan ia selalu meminum obatnya,” kata Pangeran.

Sekali lagi Mrs. Wve dan Mrs. Vye menjawab serempak, “Kami berjanji, Pangeran.”

Princess Minerva tersenyum, “Engkau telah mendengarnya, Al. Jangan khawatir lagi, mereka akan menjagaku dengan baik. Nikmatilah pesta itu.”

“Aku masih kurang mempercayaimu, Minerva. Engkau paling sulit disuruh diam.”

Princess Minerva tersenyum lagi, “Sekarang aku mau tidak mau harus menuruti pengasuhku, Al. Sekarang pengasuhku ada dua. Mereka sama-sama keras terhadapku. Aku tidak akan dapat menghindari peraturan mereka.”

“Tentu saja Anda tidak boleh, Princess. Sekarang saya mempunyai teman yang akan membuat Anda semakin kesulitan melanggar peraturan saya,” kata Mrs. Wve, “Kalau dulu saya kewalahan menghadapi Anda maka sekarang Andalah yang kewalahan menghadapi saya.”

Perkataan Mrs. Wve disambut tawa Raja dan Pangeran Alcon.

“Seperti yang Minerva katakan, kalian memang cocok,” kata Pangeran.

“Aku percaya kalian berdua akan mampu membuat Minerva menuruti segala peraturan kalian,” kata Raja, “Dan aku berharap kalian juga mampu membuat Minerva duduk diam seharian.”

Ratu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin. Minerva terlalu sulit disuruh diam walau sedetik. Selalu ada saja yang dilakukan Minerva. Ia hanya diam bila ia tidur.”

“Saat ia menjadi putri tidur yang cantik, aku justru ingin melihatnya bergerak,” kata Pangeran Alcon.

“Tidak hanya engkau saja, Alcon. Kami semua juga ingin melihat Minerva bergerak saat ia menjadi putri tidur,” kata Raja.

Ratu mendekati Princess. “Turutilah kata-kata pengasuhmu, Minerva.”

Princess Minerva mengangguk. “Aku janji, Mama.”

“Baiklah, sekarang kita harus berangkat,” kata Raja.

Princess Minerva tidak mengantar mereka hingga ke depan Istana walaupun ia sebenarnya ingin melakukannya. Pangeran Alcon melarang Princess meninggalkan kamarnya walaupun hanya untuk mengantar mereka.

“Tetaplah di sini, Minerva. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana dengan badan yang lemah seperti ini,” kata Pangeran, “Aku janji akan pulang seminggu sebelum pesta itu.”

Walaupun merasa berat hati tetapi Princess menuruti larangan Pangeran Alcon. Ia tidak mengantar mereka hingga di depan Istana. Tetapi ia tetap mengantar mereka dengan pandangan matanya yang tak pernah lepas dari kereta yang terus bergerak menjauhi Istana.

Princess menatap jalan setapak di halaman Istana yang luas. Melalui jalan itulah kereta yang membawa kedua orang tua serta kakaknya meninggalkan Istana. Dari balik jendela, pandangan Princess terus mengikuti kereta itu hingga kereta itu menghilang.

Princess Minerva merasa kesepian. Ia merasa sangat hampa. Ia tidak dapat melihat wajah kakaknya, melihat sikap dan cara tersenyum kakaknya yang mirip sekali dengan pria yang dicintainya.

Selama Pangeran Alcon ada di dekatnya, Princess selalu merasa ia seperti berada di dekat Alexander. Memang hal itu membuatnya merasa sedih dan sering membuatnya enggan melihat wajah kakaknya yang tersenyum dengan cara yang sama dengan Alexander. Terutama bila ia teringat kenangannya bersama pria itu di Obbeyville.

Setiap kali Princess bersama kakaknya, ia selalu berharap dapat mengusir kenangan Alexander yang selalu muncul setiap kali ia memandang kakaknya. Dan kini setelah Pangeran Alcon pergi, Princess merasa jauh lebih kesepian. Ia tidak dapat lagi melihat wajah Alexander di wajah kakaknya. Dan ia juga tidak dapat lagi bertemu dengan Alexander juga tidak dapat mendengarkan suaranya yang penuh wibawa walaupun ia dapat pergi ke Blueberry.

Princess Minerva sadar Alexander pasti lebih suka menjauh darinya daripada bertemu, daripada melihat wajahnya.

Princess Minerva tahu ia dapat pergi ke Blueberry maupun ke Obbeyville tetapi itu tidak akan ada artinya bila ia tidak dapat bertemu dengan Alexander. Walaupun ia ke Blueberry atau ke Obbeyville berulang kali tetapi ia tidak akan dapat bertemu dengan Alexander, Princess menyadari itu.

Kesedihan dan kesepian yang memenuhi dadanya membuat Princess tidak menyadari kedatangan Mrs. Wve.

“Mengapa Anda berdiri di situ, Princess?”

Princess Minerva terkejut. Ia menyembunyikan kesedihannya sebelum ia membalikkan badannya.

“Sekarang aku mengerti, Mrs. Wve.”

“Mengerti apa, Princess?” tanya Mrs. Wve tak mengerti.

“Aku mengerti bagaimana rasa kesepian Al saat aku tidak ada di sini. Sekarang aku merasa kesepian di Istana sebesar ini tanpa Al.”

“Anda telah lama berpisah dengan Pangeran, Princess. Karena itu Anda merasa kesepian,” kata Mrs. Wve mencoba menghibur Princess Minerva.

“Tidak, Mrs. Wve,” Princess menggelengkan kepalanya, “Aku sering berpisah dengan Al dalam waktu yang lama. Dalam setahun aku hanya bersama Al selama tiga bulan, engkau tahu itu.”

Mrs. Wve mengangguk.

“Selama itu aku tidak pernah merasa kesepian, walaupun aku berada jauh dari Al baik itu di Foentza maupun di Clayment.”

Mrs. Wve memandang sedih pada Princess Minerva. “Saya mengerti perasaan Anda, Princess Minerva. Tetapi jangan biarkan rasa kesepian itu membuat Anda terus berdiri di sini. Anda harus beristirahat.”

Princess Minerva tersenyum, “Aku mengerti, Mrs. Wve. Engkau hendak menyuruhku beristirahat, bukan?”

Mrs. Wve tersenyum. Ia membimbing Princess Minerva ke kamarnya.

Princess Minerva menyandarkan punggungnya pada bantal yang telah ditatanya.

“Anda harus beristirahat, Princess. Jangan membaca buku,” kata Mrs. Wve saat melihat Princess mulai membuka buku.

Princess Minerva tersenyum. “Engkau tahu aku merasa bosan diam seharian, Mrs. Wve. Biarkanlah aku membaca.”

“Tetapi Anda harus beristirahat, Princess.”

Princess Minerva tersenyum. “Baiklah, Mrs. Wve. Aku telah berjanji pada Mama untuk menuruti segala perkataanmu.”

Mrs. Wve tersenyum puas. Ia mendekati Princess Minerva dan mengambil buku itu dari tangannya. Saat Mrs. Wve menuju meja rias, Mrs. Vye muncul.

“Ada apa, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Wve.

“Kepala Pengawal Istana ingin bertemu Anda, Princess,” kata Mrs. Vye.

“Biarkan ia masuk, Mrs. Vye,” kata Princess cepat-cepat sebelum Mrs. Wve mengatakan sesuatu.

Mrs. Vye menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang pria yang berbaju putih kebiru-biruan, baju khas pasukan pengawal Istana Plesaides.

Pria itu membungkuk hormat pada Princess Minerva.

“Ada apa, Jacques?” tanya Princess Minerva, “Apakah terjadi sesuatu di luar Istana?”

“Tidak terjadi apa-apa baik di dalam maupun di luar Istana, Princess,” jawab Jacques.

“Apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?”

Pria itu ragu-ragu untuk sesaat tetapi ia tetap menjawab pertanyaan yang diajukan Princess Minerva. “Duke of Blueberry beserta keluarganya ingin bertemu Anda, Princess.”

Princess Minerva terkejut mendengar nama itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat ia mendengar Jacques menyebut nama itu.

Dengan cepat ia menguasai perasaannya kemudian dengan suara yang tenang ia berkata, “Katakan maafku kepada mereka, Jacques. Aku tidak dapat menemui mereka hari ini.”

Princess Minerva tersenyum memandang Mrs. Wve yang menatap was-was kepadanya, “Seperti yang engkau lihat, Mrs. Wve mulai marah. Ia tidak akan mengijinkan siapapun membatalkan istirahat siangku.”

“Tentu saja tidak. Princess membutuhkan banyak istirahat. Walaupun suhu kamar ini cukup hangat tetapi wajah Princess masih tetap pucat,” kata Mrs. Wve menegaskan sikapnya.

“Saya mengerti, Princess,” kata Jacques.

Princess Minerva tersenyum lagi, “Katakan permintaan maafku kepada mereka, Jacques. Hari ini aku tidak dapat menemui mereka karena itu mintalah mereka untuk tinggal di Istana. Aku berjanji akan menemui mereka esok pagi.”

Jacques mengangguk, “Akan saya sampaikan permohonan maaf Anda pada mereka, Princess.”

“Mrs. Wve, tolong kauatur kamar untuk tamu-tamu kita. Aku yakin mereka akan mau tinggal di sini,” kata Princess Minerva pada Mrs. Wve.

Kemudian Princess menatap Jacques yang masih menanti perintah selanjutnya, “Setelah engkau mengatakan permintaan maafku, antarkan mereka ke kamar yang telah diatur oleh Mrs. Wve.”

“Saya mengerti, Princess Minerva.”

Princess Minerva mengangguk.

Setelah menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya, baik Mrs. Wve , Mrs. Vye maupun Jacques segera membungkukkan badannya kemudian meninggalkan Princess Minerva sendirian di Ruang Tidurnya yang besar.

Mrs. Wve meninggalkan kamar Princess Minerva dengan perasaan bingung.

“Wajah Princess berubah ketika ia mendengar Jacques menyebutkan nama Duke of Blueberry,” kata Mrs. Wve.

Mrs. Vye menatap heran pada Mrs. Wve, “Aku tidak merasa wajah Princess berubah setelah mendengar nama itu.”

“Engkau memang kurang peka bila menyangkut perasaan seseorang.”

Mrs. Vye mengangguk, “Ya, kuakui aku memang kurang pandai membaca perasaan orang yang tergambar di wajahnya.”

“Kudengar Blueberry dekat dari Obbeyville.”

Sekali lagi Mrs. Vye mengangguk.

“Apakah Princess bertemu dengan keluarga Duke of Blueberry terutama putranya yang kata Pangeran sulit didekati, selama ia berada di Obbeyville?” tanya Mrs. Wve.

“Ya. Selama Princess Minerva berada di Obbeyville, ia sering bertemu Tuan Muda Alexander.”

“Bagaimana hubungan mereka?” tanya Mrs. Wve penuh harap.

Mrs. Vye berkata tenang, “Mereka baik-baik saja. Aku tidak melihat yang lain.”

Mrs. Wve mengeluh. “Engkau memang kurang peka bila menyangkut masalah perasaan. Tidak ada gunanya bertanya lebih jauh padamu.”

Mrs. Vye menatap bingung pada Mrs. Wve tetapi ia segera melupakan kebingungannya.

Princess Minerva mendengar suara percakapan kedua wanita itu samar-samar. Ia tidak berusaha menangkap pembicaraan kedua wanita itu. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sejak mendengar Jacques menyebut nama keluarga Duke of Blueberry, hati Princess menjadi tidak tenang. Jantung Princess yang semula terasa berhenti berdetak ketika ia mendengar nama itu kini menjadi berdebar lebih kencang.

Princess Minerva bertanya-tanya apakah yang membuat Duke of Blueberry ingin menemuinya.

“Tidak mungkin Duke of Blueberry tahu aku adalah sang putri yang hilang itu,” kata Princess sambil memandang langit-langit kamarnya.

Dugaan itu membuat Princess teringat pengumuman yang disebarkan Pangeran Alcon sehari sebelum ia meninggalkan Kerajaan Zirva.

Sehari sebelum Pangeran Alcon meninggalkan Istana, Pangeran menjawab pertanyaan masyarakat. Pengumuman hari pesta itu serta undangannya disebarkan pada pagi hari itu. Pada saat Pangeran mengumumkan hal itu, semua terasa berjalan dengan teratur.

Menteri Dalam Negeri mengumumkan di depan Istana kepada semua penduduk Xoechbee. Undangan-undangan disebarkan sebelum Menteri Dalam Negeri mengumumkannya. Dan penduduk di luar Xoechbee mengetahuinya dari koran yang memuat berita tetang pesta itu pada hari yang sama.

Semuanya berjalan teratur dan serempak pada hari yang sama.

Saat itu pula Princess Minerva merasa kagum pada kakaknya yang pandai mengatur segala sesuatunya sehingga tugas yang tidak mudah itu dapat dijalankan dengan rapi dan teratur.

Memang setelah Pangeran Alcon mengumumkan pesta perkenalan itu tidak ada reaksi yang jelas dari masyarakat selain penduduk Xoechbee. Tidak ada orang yang merasa keberatan dengan pesta yang diadakan dua kali itu dalam waktu yang hanya berselisih sepuluh hari.

Hanya reaksi penduduk Xoechbee saja yang diketahui baik Pangeran Alcon maupun keluarga Raja lainnya. Penduduk Xoechbee merasa senang dengan dibukanya kesempatan bagi mereka untuk semakin mengenal putri mereka.

Pada pesta itu Pangeran Alcon mempersilakan kepada siapa saja yang ingin hadir. Selain bangsawan yang khusus mendapatkan undangan, masyarakat umum yang ingin mengenal Princess Minerva dapat hadir juga.

Walaupun Pangeran Alcon tidak mengatakan apa-apa tetapi Princess tahu kakaknya sangat berharap dapat bertemu dengan Baroness Lora serta putrinya, Lady Debora dalam pesta itu. Princess Minerva juga tahu Baroness Lora maupun Lady Debora tidak akan melewatkan pesta ini. Terutama Lady Debora yang berniat menjadi Ratu Kerajaan Zirva.

Kadang bila memikirkan Lady Debora, Princess Minerva merasa kasihan. Wanita itu sangat ingin hidup selalu bergelimang kemewahan dan rela melakukan apa saja demi tercapainya keinginannya itu.

Princess Minerva saja yang hidup dalam kemewahan selalu ingin hidup sebagai gadis biasa. Karena itulah ia menolak tinggal di rumah yang mewah di Clayment. Semula keinginan Princess Minerva untuk tinggal di Small Cottage dilarang orang tuanya terutama kakaknya. Tetapi Princess tidak berhenti berusaha, Princess Minerva selalu membujuk mereka. Dan akhirnya mereka mengijinkan Princess tinggal di cottage kecil pilihannya sendiri.

Princess sangat menyukai hidup di Small Cottage yang berada di atas pulau kecil yang masih berupa pedesaan dengan hutan yang lebat.

Sebenarnya Princess Minerva juga ingin tinggal di rumah yang kecil bila ia berada di Foentza tetapi karena di sana telah ada Castil Yonga yang megah, maka Princess Minerva menerima tempat itu menjadi Castil musim panasnya yang sejuk.

Princess Minerva sering berpikir apa enaknya hidup dengan kekayaan yang melimpah tetapi tanpa cinta. Tetapi Princess Minerva mempunyai keduanya. Semua orang mencintai Princess Minerva baik karena wajahnya yang cantik maupun karena kebaikan hatinya. Semua orang sangat mengagumi Princess, berkebalikan dengan Lady Debora yang ingin selalu hidup dalam kemewahan.

Lady Debora memang telah memiliki rumah yang besar tetapi ia selalu merasa kurang. Lady Debora selalu menginginkan kekayaan yang lebih besar dan lebih banyak dari yang dimilikinya. Keinginan wanita itu untuk selalu hidup bergelimang kekayaan sangat kuat sehingga ia rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Tetapi Lady Debora tidak memiliki orang yang benar-benar mencintainya dengan cinta yang tulus. Memang banyak orang yang memuji kecantikan Lady Debora tetapi mereka hanya terpesona pada kecantikannya saja. Mereka hanya mencintai kecantikan Lady Debora. Lady Debora tampaknya tidak menyadari itu. Ia selalu tampil penuh percaya diri pada kecantikannya. Ia mengira kecantikannya tidak tertandingi.

Baru saat Princess Minerva muncul sebagai Maria, gadis yang hilang ingatan pada pesta yang sama dengannya, di pesta dansa keluarga Blueberry, Lady Debora merasa kehilangan percaya dirinya. Lady Debora mulai merasa dirinya mempunyai saingan. Tetapi perasaan itu segera hilang setelah Alexander yang selalu berada di sisi gadis yang membuatnya merasa rendah, sering mengajaknya pergi. Sejak saat itu pula Princess Minerva merasa Alexander benar-benar mencintai Lady Debora. Tetapi keinginan Lady Debora tidak dapat ditebak. Ia telah mendapatkan cinta Alexander yang selama ini menjadi sasarannya tetapi ia mengkhianati cinta itu.

Hingga kini Princess Minerva tidak mengerti mengapa Lady Debora tega mengkhianati cinta pria yang benar-benar mencintainya demi kekayaan. Demi kekayaan pula Lady Debora berhenti mengincar kedudukan sebagai Duchess of Blueberry dan beralih ingin menjadi Ratu Kerajaan Zirva setelah membaca berita hilangnya Princess Minerva di koran.

Dari Lady Debora sendiri Princess Minerva mengetahui keinginan wanita itu menjadi istri kakaknya, Pangeran Alcon. Namun sayang sekali ia tidak akan pernah dapat mewujudkan keinginannya itu karena Pangeran Alcon tidak menyukainya bahkan sebelum mereka bertemu.

Princess Minerva tidak dapat membayangkan betapa kecewanya Lady Debora bila ia mengetahui ia telah dibenci Pangeran bahkan sebelum mereka bertemu.

Dengan datangnya undangan itu, Princess dapat membayangkan Lady Debora merasa senang sekali karena baginya ini merupakan kesempatan yang baik untuk mendekati Pangeran Alcon. Tetapi Lady Debora tidak tahu pesta ini diadakan juga karena Pangeran Alcon ingin melihat wajah wanita yang telah menghina adiknya, Princess Minerva ketika adiknya hilang ingatan.

Princess Minerva tidak dapat membayangkan seperti apa pesta itu akan berlangsung dan bagaimana ia harus menghadapi Alexander di pesta itu.

Pertemuannya dengan Alexander, putra Duke of Blueberry di pesta itu memang tidak dapat dielakkan lagi walaupun Princess Minerva tidak menginginkannya. Tetapi Princess Minerva ingin sekali bertemu dengan Alexander walaupun ia tahu pria itu tidak akan mau bertemu dengannya.

Dan ia sama sekali tidak menduga pertemuannya dengan Alexander akan lebih cepat dari yang semula dibayangkannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya besok untuk menghadapi Alexander yang tidak ingin bertemu dengannya.

Sebenarnya Princess Minerva sendiri berharap tidak bertemu dengan Alexander walaupun ia sangat ingin bertemu dengannya. Ia tidak ingin membuat Alexander menjadi semakin membeci dirinya setiap kali mereka bertemu. Benar-benar sebuah dilemma…

Bagi Princess Minerva lebih baik ia memendam rasa rindunya daripada membuat pria itu lebih membencinya setiap kali mereka bertemu.

Dalam pesta itu Alexander tidak akan dapat menghindarinya dan Princess Minerva sendiri juga tidak dapat menghindari pertemuannya dengan Alexander di pesta itu. Princess Minerva tahu bila ia menghindari Alexander, itu akan membuat banyak orang menjadi curiga.

Princess Minerva telah memikirkan resikonya dengan menemui Alexander di pesta itu tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu ia harus bertemu dengan Alexander di pesta itu sekalipun itu berarti kebencian Alexander terhadapnya akan bertambah besar.

Princess Minerva mencoba untuk tidur tetapi ia sama sekali tidak dapat berhenti berpikir. Keberadaan Alexander di Istana yang sama dengannya benar-benar membuatnya merasa bingung dan cemas. Karena ia tidak dapat juga memejamkan matanya, Princess Minerva akhirnya meninggalkan tempat tidurnya.

Tidak ada suara di Ruang Duduk. Itu berarti Mrs. Wve dan Mrs. Vye belum kembali.

Princess Minerva berjalan ke Ruang Duduk yang hangat. Ia menatap kosong sekelilingnya seolah-olah tidak ada apapun di ruangan itu selain dirinya sendiri dan kehampaan hatinya. Kaki Princess Minerva terus berjalan ke arah jendela besar yang menghubungkan ruangan itu dengan serambi. Princess menatap ranting-ranting pepohonan di halaman Istana yang ditutupi salju putih. Halaman Istana yang luas tampak putih karena salju. Halaman itu tampak sepi tanpa tanaman-tanaman yang tumbuh di sana.

Hanya ranting-ranting tanaman saja yang masih kelihatan di halaman itu selain tumbuh-tumbuhan musim dingin seperti cemara yang tumbuh tak jauh dari sisi Istana di mana kamar Princess Minerva berada.

Tumpukan salju di pohon cemara itu menarik perhatian Princess Minerva tetapi hal itu tidak membuat Princess Minerva berhenti berpikir dengan gelisah.

Princess Minerva tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ia tidak dapat menghindari pertemuannya dengan Alexander yang lebih awal dari yang diduganya dan ia tahu Alexander tidak ingin bertemu dengannya.

“Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku tetapi ini telah menjadi tugasku. Besok aku harus menemuimu,” kata Princess Minerva sedih.

Tanpa disadarinya, air matanya kembali menitik saat ia teringat betapa dulu saat ia berada di Obbeyville, ia sangat mengharapkan dapat bertemu dengan Alexander.

Saat itu ia selalu merasa senang bila dapat bertemu dengan Alexander tetapi kini yang dirasakannya hanyalah kesedihan dan takut. Sedih karena ia tidak akan melihat wajah ramah pria itu dan takut karena ia tidak dapat mengabulkan keinginan pria itu untuk tidak berjumpa dengannya. Princess Minerva sadar ia sebenarnya takut melihat kemarahan dan kebencian di wajah Alexander saat menatap dirinya.

Princess Minerva juga mengerti Alexander berhak untuk marah kepadanya. Ia telah membiarkan bahkan membantu wanita yang dicintai Alexander mengkhianati cintanya.

Andai dulu ia tidak membiarkan Lady Debora bertemu dengan Marcel tentu pria itu tidak akan membenci dan menyalahkannya atas kejadian itu. Ia tetap dapat menjadi teman pria itu walaupun cintanya tak terbalas.

Tetapi sekarang semuanya telah terlambat. Tidak ada yang dapat mengembalikan waktu. Tidak ada yang dapat membuat kejadian itu berubah. Kejadian itu telah terjadi dan Alexander menyalahkan serta membenci Princess Minerva karena telah membiarkan semua itu terjadi.

Dulu saat menyadari perasaannya, Princess Minerva merasa sedih karena pria yang dicintainya mencintai wanita lain. Saat itu Princess Minerva tidak mengharapkan ia mendapatkan cinta pria itu juga. Ia lebih mengharapkan kebahagiaan pria yang dicintainya sekalipun itu berarti akan membuatnya merasa tersiksa.

Tetapi kini bukan hanya kesedihan itu saja yang melanda hatinya tetapi juga kesedihan yang lain, kesedihan yang lebih membuat hati Princess Minerva merasa tersayat.

Mengetahui pria yang dicintainya mencintai wanita lain saja sudah membuat Princess Minerva merasa sedih apalagi saat mengetahui Alexander membenci dirinya.

Sebesar apapun kesedihan yang harus dialaminya karena rasa cintanya pada Alexander, Princess Minerva sama sekali tidak dapat membuat dirinya melupakan pria itu walau sedetik. Bayangan pria itu selalu muncul baik di wajah kakaknya maupun di mimpi-mimpinya.

Princess Minerva menatap hampa pemandangan di depannya. Tanpa disadarinya ia teringat kembali saat ia mencoba membayangkan Sidewinder House di musim dingin dan tanpa disadarinya pula air matanya telah membasahi pipinya yang pucat.

Kenangan di Obbeyville tidak membuat Princess Minerva merasa senang. Setiap kali kenangan itu muncul hanya kepedihan yang muncul di hati Princess Minerva terutama saat Princess Minerva terkenang keramahan Alexander pada dirinya.

Sekarang ia mengerti mengapa ia merasa Alexander berbeda dari orang lain. Alexander memang berbeda dari orang-orang yang dikenal Princess Minerva. Pria itu benar-benar menganggapnya sebagai seorang gadis biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya bukan sebagai putri raja ataupun sebagai bidadari yang hanya mempunyai kelebihan. Saat ia menunjukkan kekurangannya di hadapan Alexander, pria itu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat salah. Sedangkan orang-orang yang dikenal Princess Minerva umumnya menganggap kekurangannya adalah sesuatu yang sangat salah sesuatu yang tidak seharusnya ada pada dirinya. Orang-orang itu menginginkan Princess Minerva benar-benar sempurna sedangkan Alexander ingin Princess Minerva yang seadanya dengan segala kelebihannya maupun kekurangan. Itulah perbedaan terbesar yang dijumpai Princess Minerva pada diri Alexander.

Dan karena itu pula Princess Minerva jatuh cinta pada pria itu.

Sesuatu yang berwarna hitam yang tiba-tiba meluncur dari ranting pohon cemara yang tampak dari serambi kamar, membuat Princess merasa tertarik.

Princess Minerva membuka jendela panjang itu dan melangkah ke serambi.

Udara yang dingin terasa menusuk tulangnya. Princess Minerva memeluk dirinya sendiri dan terus melangkah hingga ia sampai ke pagar besi yang mengelilingi serambi kamarnya.

Princess menatap ke bawah ke tempat pohon cemara itu tumbuh. Di sana Princess melihat sesuatu yang berwarna hitam tampak seperti noda di antara putihnya salju yang menyelimuti halaman Istana.

Princess Minerva tertarik kepada noda hitam itu. Ia segera meninggalkan serambi dan menutup jendela besar itu sebelum ia beranjak ke Ruang Tidurnya.

Princess Minerva mengambil sehelai mantel panjang yang tebal dari lemari besar yang antik yang berdiri kokoh di samping meja rias. Setelah mengenakan mantel panjang itu di atas gaun tidurnya yang tebal, Princess Minerva meninggalkan kamarnya.

Princess Minerva tidak menemui siapapun saat ia menelusuri lorong panjang di depan kamar tidurnya. Demikian pula saat Princess Minerva berjalan di lantai tiga hingga ke lantai dasar. Tidak ada seorangpun yang tampak oleh Princess Minerva. Suasana Istana terasa sangat sunyi tanpa suara yang biasanya meramaikan Istana dan pelayan-pelayan yang selalu berkeliaran di dalam Istana. Tetapi Princess Minerva tidak mempedulikan itu, ia terus berjalan ke halaman Istana.

Ketika ia sampai di halaman Istana yang luas, ia segera menuju pohon cemara yang tampak dari kamarnya. Princess Minerva mencoba menemukan sesuatu yang berwarna hitam itu di antara ranting-ranting yang tumbuh di sekitar pohon cemara itu.

Salju yang dingin dan udara yang dingin menusuk tulang tidak membuat Princess menghentikan pencariannya. Princess Minerva terus membungkuk di bawah pohon cemara itu dan tangannya terus membersihkan salju dingin yang menyelimuti ranting-ranting. Akhirnya pencarian Princess Minerva berhasil. Princess melihat benda berwarna hitam yang tadi menarik perhatiannya itu di sela-sela ranting yang tajam.

Princess Minerva memasukan tangannya ke sela-sela ranting itu. Tanpa mempedulikan rasa sakit saat ranting itu menggores kulitnya yang halus, ia terus berusaha meraih benda itu.

Princess Minerva terkejut saat jari-jarinya merasakan benda itu terasa lembut dan hangat. Princess mengangkat benda itu dari sela-sela ranting dengan kedua tangannya dan ia terpana melihat seekor burung di tangannya. Ternyata benda hitam yang menarik perhatian Princess Minerva adalah seekor burung hitam yang jatuh dari pohon cemara.

Princess Minerva berdiri dan mengamati burung itu. “Kasihan sekali engkau, burung kecil. Engkau kedinginan,” katanya.

Suara seseorang yang berdesis di belakangnya membuat Princess Minerva terkejut.

Princess Minerva menduga orang itu adalah Mrs. Wve atau Mrs. Vye yang terkejut melihatnya berada di halaman. Princess tersenyum dan memalingkan kepalanya.

Senyum yang menghiasi wajah Princess Minerva menghilang saat ia memandang wajah orang yang berdiri di belakangnya.

“Apa yang kaulakukan di sini, Maria?” tanya Alexander tajam, “Apakah sekarang engkau bermaksud merayu Pangeran Alcon?”

Princess Minerva terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat bergerak juga tidak dapat berbicara apa-apa.

“Mengapa, Maria? Apakah yang kukatakan tepat sehingga engkau tidak dapat berbicara apa-apa?” kata Alexander.

Suara Alexander yang sangat tajam dan memancarkan kebenciannya membuat Princess Minerva merasa sedih. Hampir saja Princess Minerva menitikkan air matanya saat tiba-tiba terdengar suara lain dari Hall Istana yang menghadap ke halaman Istana.

“Princess!” seru Mrs. Wve terkejut, “Apa yang Anda lakukan di sana?”

Princess Minerva memalingkan kepalanya ke arah Mrs. Wve yang memandang marah padanya. Princess Minerva tersenyum dan meninggalkan Alexander.

“Mengapa Anda berada di halaman? Bagaimana bila Anda jatuh sakit lagi?” tanya Mrs. Wve marah karena cemas.

“Maafkan aku, Mrs. Wve. Aku melihat burung ini jatuh dari pohon dan aku merasa terpanggil untuk menolongnya,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.

“Tetapi, Princess, di luar sangat dingin sekali.”

“Lihatlah, Mrs. Wve. Burung ini kasihan sekali. Ia kedinginan,” kata Princess Minerva sambil menunjukkan burung di pelukannya, “Anda tidak perlu khawatir, aku hanya keluar sebentar untuk menolong burung malang ini. Lagipula aku telah mengenakan mantel yang tebal.”

“Saya tahu Anda telah mengenakan mantel yang tebal tetapi lihatlah wajah Anda menjadi pucat kembali,” kata Mrs. Wve menuduh.

Princess Minerva tersenyum manis, “Ayolah, Mrs. Wve, jangan marah. Sekarang dapatkah engkau membantuku merawat burung ini. Ia tidak hanya kedinginan tetapi juga terluka akibat ranting-ranting yang tajam.”

Mrs. Wve terpekik terkejut. “Bagaimana dengan tangan Anda, Princess. Apakah tangan Anda juga terluka?” tanyanya sambil menyentuh tangan Princess yang masih memeluk burung itu.

Princess Minerva tersenyum lagi, “Aku tidak terluka, Mrs. Wve. Burung inilah yang terluka. Sekarang katakan apa yang harus kulakukan terhadap burung malang ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mengobati luka burung ini.”

Mrs. Wve memandang burung di tangan Princess Minerva kemudian menggeleng sedih, “Maafkan saya, Princess. Saya juga tidak tahu.”

Saat itu mata Princess Minerva menangkap sosok seseorang yang menutup pintu Ruang Besar.

“Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Aku akan bertanya pada Jacques,” kata Princess Minerva sambil mendekati Jacques.

Jacques terpaku di tempatnya saat ia melihat Princess Minerva berjalan menghampirinya.

Princess Minerva tersenyum dan berkata, “Dapatkah engkau membantuku merawat burung malang ini?”

Jacques memandang burung yang berada di pelukan Princess Minerva.

Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan pria itu. “Aku baru saja menemukan burung ini kedinginan di halaman Istana. Ia terluka karena ranting-ranting itu.”

Jacques menggelengkan kepalanya. “Maafkan saya, Princess. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengobati luka burung ini.”

Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Jacques. Apakah mungkin keluar Istana di cuaca semacam ini?”

Jacques memandang wajah Princess Minerva dengan pandangan tak mengerti. “Saya rasa kita dapat keluar Istana bila salju tidak terus turun seperti saat ini. Apakah Anda ingin ke Xoechbee, Princess Minerva?”

Princess Minerva tersenyum. “Tidak, Jacques. Engkau tidak perlu khawatir aku akan meninggalkan Istana. Engkau tahu aku tidak tahan dengan udara dingin selain itu aku telah berjanji pada Al untuk tidak meninggalkan Istana hingga musim ini berakhir.”

Jacques semakin tidak mengerti dengan ucapan Princess Minerva.

“Aku ingin engkau memanggilkan seorang dokter hewan untuk membantuku merawat burung malang ini.”

Jacques mengangguk. “Baik, Princess. Saya akan segera memanggilnya.”

Princess Minerva memandang keluar dan melihat salju mulai turun dari langit. “Engkau tidak perlu memanggilnya saat ini juga, Jacques. Salju mulai turun lagi.”

Jacques juga memandang hujan salju di halaman Istana. “Baik, Princess.”

“Apakah engkau mengetahui pelayan yang dapat membantuku?”

“Maafkan saya, Princess Minerva. Saya tidak mengetahuinya tetapi jangan khawatir. saya berjanji akan mencari orang itu di Istana secepat mungkin.”

Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Jacques. Aku tidak ingin merepotkan seluruh Istana. Panggilkan saja dokter bila hujan salju telah berhenti.”

“Tetapi Princess…,” kata Jacques.

Princess Minerva segera memotong perkataan Jacques. “Lakukan saja apa yang kukatakan, Jacques. Aku yakin aku dapat merawat burung ini hingga engkau memanggilkan seorang dokter hewan untukku.”

“Baik, Princess Minerva.”

Princess Minerva tersenyum dan membalikkan badannya.

Mrs. Wve masih berdiri di tempatnya semula. Wajah wanita tua itu masih menampakkan kemarahan yang dipendamnya. Tetapi kemarahan itu segera hilang ketika ia melihat senyuman Princess Minerva.

“Mari kita merawat burung malang ini,” kata Princess Minerva.

Mrs. Wve tersenyum. Wanita itu masih tetap tersenyum saat mendekati Princess Minerva yang menantinya.

“Kami akan merawat burung ini, Jacques,” kata Princess Minerva, “Tolong gantikan tugasku menjadi tuan rumah bagi Duke of Blueberry. Esok pagi aku akan menemui mereka.”

“Baik, Princess Minerva,” kata Jacques sambil membungkuk hormat.

Princess Minerva tersenyum kemudian ia pergi meninggalkan tempat itu bersama Mrs. Wve. Sepanjang jalan Princess Minerva berusaha keras mengalihkan perhatiannya dengan memperhatikan burung yang terkapar di lengannya. Sayap burung layang-layang itu terluka dan darah beku mengotori sayang hitam burung itu.

“Apakah engkau tahu apa yang harus kulakukan pada luka burung ini, Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva pada Mrs. Vye yang tengah kebingungan di Ruang Duduk kamarnya.

Mrs. Vye terkejut melihat Princess Minerva berdiri di samping Mrs. Wve dengan menggenakan mantel hijau cerah. Di tangannya, ia memeluk seekor burung.

Mrs. Vye mengambil burung itu dari lengan Princess Minerva. “Saya tidak tahu, Princess.”

“Tolong kaucarikan sehelai kain yang cukup tebal untuk burung ini, Mrs. Wve.”

“Baik, Princess.” Mrs. Wve segera meninggalkan ruangan itu untuk mencari kain seperti yang diminta Princess Minerva.

Setelah kepergian Mrs. Wve, Princess Minerva melepaskan mantelnya kemudian ia meraih burung itu dari tangan Mrs. Vye. Diselimutinya burung itu dengan mantel tebalnya kemudian ia duduk di depan perapian.

Mata burung itu yang semula terpejam mulai membuka kembali saat merasakan kehangatan dari perapian.

Princess Minerva tersenyum melihat itu. “Kasihan engkau, burung kecil. Engkau tidak hanya terluka tetapi juga kedinginan. Tetapi jangan khawatir aku akan merawatmu agar engkau sembuh.”

Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata itu.

“Saya akan membantu Anda merawat burung ini, Princess Minerva,” kata Mrs. Vye.

“Terima kasih, Mrs. Vye. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengobati luka burung ini,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.

Princess Minerva kembali memperhatikan burung di tangannya. Tetapi tak lama kemudian ia kembali mengangkat kepalanya saat mendengar suara Mrs. Wve.

Mrs. Wve segera menyerahkan sehelai kain pada Princess Minerva. “Hanya ini yang saya temukan, Princess.”

“Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Kain ini sudah cukup menghangatkan tubuh burung ini,” kata Princess Minerva sambil menggantikan mantelnya yang semula menyelimuti tubuh burung di pangkuannya dengan kain yang dibawa Mrs. Wve.

“Engkau tampak lucu dengan kain putih ini, burung kecil,” kata Princess Minerva sambil mengamati burung yang telah diselimutinya dengan kain putih yang dibawa Mrs. Wve, “Tetapi sayang sekali aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk merawat lukamu.”

“Sayang sekali saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Andai saya tahu saya tentu akan membantu Anda, Princess.”

“Aku mengerti, Mrs. Wve. Jangan engkau pikirkan hal ini. Jacques telah berjanji untuk memanggilkan dokter hewan untuk merawat burung ini,” kata Princess.

Suara ketukan pintu membuat Princess Minerva berhenti memperhatikan burung yang berada di pangkuannya.

Mrs. Vye membuka pintu itu dan mempersilakan orang itu masuk.

“Maafkan saya mengganggu Anda, Princess. Kata Jacques Anda mencari seseorang yang dapat merawat luka burung,” kata seorang pelayan wanita yang telah berdiri di tengah Ruang Duduk.

“Apakah engkau tahu bagaimana mengobati luka burung ini?” tanya Princess Minerva penuh harap.

Pelayan itu mengangguk. “Saya bisa melakukannya, Princess. Bolehkan saya melihat burung itu?”

Princess Minerva mendekati pelayan itu dan menunjukkan burung di tangannya. “Burung ini terluka dan kedinginan,” katanya pada pelayan itu.

Pelayan itu mengambil burung itu dan berkata, “Saya akan merawatnya, Princess. Serahkan saja burung malang ini pada saya, Anda tidak perlu khawatir.”

Princess Minerva tersenyum. “Terima kasih. Aku senang engkau mau merawat burung ini.”

“Anda terlalu membesar-besarkan, Princess Minerva. Saya hanya membantu Anda semampu saya,” kata pelayan itu sambil membalas senyuman Princess Minerva.

“Princess, Anda sudah tidak perlu mengkhawatirkan keadaan burung malang itu lagi,” kata Mrs. Wve, “Sekarang Anda harus memperhatikan keadaan Anda sendiri. Anda tampak pucat dan Anda harus beristirahat.”

Pelayan itu menatap wajah Princess Minerva dan berkata, “Jangan mengkhawatirkan keadaan burung ini, Princess Minerva. Mrs. Wve benar, wajah Anda tampak pucat. Sebaiknya Anda beristirahat.”

“Princess Minerva, berisitrahatlah. Anda tampak pucat,” kata Mrs. Vye ikut membujuk Princess Minerva.

Princess Minerva tersenyum mendengar ketiga wanita itu membujuknya. “Kalian ini lucu. Aku belum mengatakan apa-apa tetapi kalian telah berusaha membujukku.”

Mrs. Wve tersenyum. “Biasanya Anda sangat sulit bila disuruh beristirahat dengan tenang tanpa memikirkan apa-apa,” katanya menuduh.

“Jangan khawatir, Mrs. Wve. Kali ini aku akan menuruti kata-katamu,” kata Princess Minerva, “Hari ini aku merasa sangat lelah.”

Ketiga wanita itu tersenyum puas mendengar kata-kata Princess Minerva. Mrs. Wve segera mengiringi Princess Minerva ke kamarnya sementara Mrs. Vye membantu pelayan tadi merawat burung yang ditemukan Princess Minerva.

Seperti biasanya Mrs. Wve menyuruh Princess Minerva meminum obatnya sebelum tidur. Dan setelah menurunkan tirai putih yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva, Mrs. Wve meninggalkan kamar itu.

Princess Minerva tidak dapat memejamkan matanya walaupun ia telah meminum obatnya yang mengandung obat tidur. Biasanya Princess Minerva selalu cepat tertidur setelah meminum obatnya walaupun ia selalu memikirkan Alexander tetapi kali ini obat itu tidak berhasil membawa Princess Minerva ke alam mimpi dan berhenti memikirkan Alexander.

Kenangan akan kejadian yang baru saja terjadi membuat Princess Minerva menangis.

Alexander tetap seperti yang dikenangnya. Pria itu sama sekali tidak berubah namun Princess Minerva merasa pria itu lebih tampan dan lebih tinggi dari yang diingatnya. Satu-satunya yang berubah pada pria itu adalah sorot matanya. Kemarahan dan kebencian yang tampak di mata Alexander lebih besar dari yang dilihat Princess Minerva di Obbeyville. Kata-kata pria itu juga menjadi semakin tajam dan dingin. Rasa marah, curiga dan juga kebencian yang terkandung di suaranya membuat Princess Minerva semakin sedih.

Air mata Princess Minerva telah merebak di matanya saat ia mendengar kata-kata tajam pria yang dicintainya namun ia teringat akan kata-kata Alexander, “Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh.”

Princess Minerva menahan air matanya yang hampir membasahi wajahnya yang semakin memucat ketika melihat Alexander berdiri di depannya dengan sorot mata yang menakutkan. Tubuhnya yang tinggi seakan-akan ingin melumat Princess Minerva juga matanya yang menatap tajam.

Tidak hanya air matanya saja yang ditahan ketika Princess terpaku di hadapan pria itu. Princess Minerva juga menahan tubuhnya yang menggigil. Saat itu Princess Minerva tahu tubuhnya menggigil bukan karena dinginnya udara tetapi karena rasa takutnya melihat Alexander.

Saat Mrs. Wve memanggilnya, Princess Minerva merasa ia tidak mampu lagi menahan air matanya yang siap membasahi pipinya. Panggilan Mrs. Wve benar-benar menyelamatkan Princess Minerva dari hadapan pria itu.

Dengan susah payah, Princess Minerva berusaha tersenyum saat ia menghampiri wanita itu dan dengan susah payah pula ia terus menahan air matanya.

Princess Minerva tidak ingin seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Ia juga tidak ingin membuat siapapun menjadi curiga sebab ia tidak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan yang akan ditujukan padanya bila mereka merasa curiga. Princess Minerva juga tidak tahu bagaimana menceritakan semua yang telah dialaminya bersama Alexander tanpa mengatakan perasaannya yang sebenarnya.

Bukan perasaan cintanya pada Alexander yang membuat Princess enggan mengatakan hal itu tetapi lebih karena perasaan sakitnya karena cinta itu. Princess Minerva tahu apa yang dirasakannya akan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Bila ia merasa gembira, orang-orang di sekitarnya juga merasa gembira sebaliknya bila ia merasa sedih semua orang juga merasa sedih. Karena itulah Princess Minerva selalu menjaga perasaannya. Ia selalu tersenyum walaupun ia merasa sedih. Tetapi kali ini ia merasa kesulitan menutupi kesedihannya dengan senyumnya. Hanya kebiasaannya menutupi kesedihannya dengan senyuman yang membuatnya berhasil mengelabuhi orang-orang.

Di depan Mrs. Wve maupun di hadapan semua orang yang dijumpainya setelah pertemuannya dengan Alexander yang tak terduga di halaman Istana, Princess Minerva tersenyum dengan wajar.

Kini setelah ia sendirian di kamarnya, kesedihan yang terus ditahannya tidak terbendung lagi. Air mata Princess Minerva terus mengalir membasahi wajahnya. Princess menyembunyikan isakannya di balik bantalnya. Ia tidak ingin wanita-wanita yang berada di Ruang Duduk mendengar isakannya. Princess Minerva tidak ingin membuat orang lain juga merasa sedih.

Setelah bertemu kembali dengan Alexander setelah perjumpaan terakhir mereka yang buruk di Obbeyville, Princess Minerva kini merasa yakin dugaannya tepat. Alexander semakin membencinya ketika mereka bertemu.

Mengenai janjinya untuk bertemu dengan Duke of Blueberry esok hari, telah dipikirkan masak-masak oleh Princess Minerva. Princess Minerva memutuskan untuk melakukan tugasnya walaupun itu berarti ia menambah kebencian Alexander padanya. Princess Minerva telah memutuskan untuk mengambil resiko itu dan ia siap melihat kebencian di mata Alexander bertambah besar.

Air mata Princess Minerva mengalir semakin deras ketika ia teringat kebencian di mata Alexander.

“Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku,” kata Princess Minerva, “Tetapi jangan khawatir. Aku tidak akan sering menemuimu. Mungkin besok pagi adalah pertemuan kita yang terakhir dan setelah itu engkau tidak perlu khawatir lagi akan bertemu denganku. Aku akan menghilang dari hadapanmu seperti yang engkau inginkan.”

Membayangkan kembali kenyataan ia tidak akan dapat bertemu dengan Alexander walaupun ia sangat menginginkannya, membuat Princess Minerva merasa semakin sedih dan semakin banyak menitikkan air mata.

Princess Minerva mencoba berhenti memikirkan Alexander dengan mengalihkan pikirannya ke burung layang-layang yang ditemukannya. Tetapi hal itu tidak dapat membuat Princess Minerva berhenti merasa sedih. Bahkan Princess Minerva menjadi semakin sedih ketika ia menyadari kesamaan dirinya dengan burung layang-layang itu.

Burung layang-layang itu bukan hanya kedinginan tetapi juga terluka. Persis seperti Princess Minerva yang juga merasa kedinginan dalam kesepian yang menyelimuti dirinya dan terluka karena perasaan cintanya pada Alexander.

Dan seperti halnya dirinya, burung itu juga merasa kesepian. Burung layang-layang itu telah ditinggal temannya tetapi ia dapat berkumpul kembali dengan teman-temannya setelah musim semi tiba.

Sedangkan Princess Minerva akan selalu merasa kesepian. Tidak ada yang dapat menggantikan kedudukan Alexander di hatinya. Princess Minerva tahu ia akan selalu merasa kesepian dan hampa tanpa pria itu di sisinya walaupun ia berada di keramaian.

Tidak ada yang dapat disalahkan Princess Minerva selain dirinya sendiri yang telah menyulut api kemarahan yang penuh kebencian pada diri pria itu. Ia telah bersalah pada pria itu dan ia harus berani menerima resiko dari perbuatannya sendiri yang membiarkan wanita yang dicintai Alexander mengkhianati cintanya.

No comments:

Post a Comment