Princess Minerva memincingkan matanya. Sinar matahari yang menyilaukan membuat ia sulit melihat tempat ia berada. Tanpa sadar ia menutupi arah datangnya sinar menyilaukan itu dengan tangannya.
Tiba-tiba sesosok pria menutupi sinar yang menyilaukan itu. Pria itu berdiri tepat di depan jendela menuju serambi yang memantulkan sinar matahari yang menyilaukan itu.
Mula-mula Princess Minerva melihat tubuh pria itu tampak hitam dengan sinar matahari di sekelilingnya yang membuatnya silau. Princess Minerva berusaha mengenali sosok itu dan ketika ia telah mengenalinya, ia tersenyum dan berkata lemah, “Al….”
Perkataan Princess Minerva disambut dengan pelukan yang tiba-tiba.
“Minerva, aku khawatir sekali. Kukira engkau akan selamanya menjadi putri tidur,” kata Pangeran Alcon sambil mempererat pelukannya.
“Al…,” sekali lagi Minerva memanggil Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon semakin mempererat pelukannya seolah-olah tidak ingin melepaskan Princess lagi.
Princess Minerva tersenyum di pelukan kakaknya. Ia meletakkan kepalanya di pundak Pangeran Alcon dan menutup matanya. Princess Minerva tahu saat ia terbaring, ia sering dipeluk kakaknya. Sering dalam mimpinya ia merasakan hangatnya tubuh seseorang melindunginya dari udara dingin di sekelilingnya.
Pangeran Alcon kebingungan dengan kediaman Princess Minerva.
“Engkau baik-baik saja, Minerva?” tanya Pangeran cemas.
Princess Minerva mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Mengapa engkau diam saja?”
Princess Minerva tersenyum. “Aku merindukan segala sesuatu tentangmu, Al. Aku rindu kaupeluk seperti ini.”
Pangeran meletakkan kepalanya di atas kepala Princess Minerva. “Aku juga sangat merindukanmu, Minerva,” katanya sambil membelai rambut Princess Minerva.
Princess Minerva melihat sekeliling kamarnya dari pundak Pangeran Alcon.
Kamarnya sama sekali tidak berubah sejak ia meninggalkannya tahun lalu. Tirai-tirai putih masih menutupi jendela panjang menuju serambi. Demikian pula tirai-tirai yang menggantung pada tiang tempat tidurnya yang besar. Bunga-bunga masih memenuhi ruangan itu, di dekat jendela, di pojok ruangan juga di atas meja rias yang antik.
Pangeran Alcon yang mengetahui adiknya tengah memperhatikan ruangna yang telah lama ditinggalkannya, tersenyum sambil terus membelai Princess Minerva.
“Al,” kata Princess Minerva tiba-tiba.
“Ada apa, Minerva?”
“Aku ingin ke serambi.”
Pangeran terkejut mendengarnya. Ia menjauhkan tubuh Princess Minerva dari pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva yang kebingungan.
“Tidak, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil menggelengkan kepalanya.
“Tetapi, Al…. Aku ingin sekali melihat keadaan di luar. Rasanya sudah lama sekali aku terus berada di sini,” kata Princess Minerva.
“Benar. Engkau terus terbaring diam di sini lama sekali. Rasanya satu abad engkau menjadi putri tidur.”
“Satu abad?” tanya Princess Minerva sambil tersenyum, “Lama sekali.”
“Benar. Sekarang engkau harus diam di sini.”
“Ayolah, Al. Aku merasa seperti boneka bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi,” bujuk Princess Minerva, “Aku ingin sekali melihat cuaca di luar.”
“Tidak, Minerva. Aku lebih senang engkau menjadi boneka yang manis daripada menjadi putri tidur yang cantik,” kata Pangeran Alcon, “Lagipula musim gugur hampir berganti.”
“Lama sekali aku tertidur,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum. “Anak nakal. Sejak tadi aku mengatakan engkau telah menjadi putri tidur selama satu abad tetapi engkau tidak mendengarkannya.”
“Ayolah, Al, ijinkan aku melihat keadaan luar. Bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi biarlah aku melihat keadaan luar melalui jendela,” kata Princess Minerva.
“Baiklah, Minerva. Aku mengijinkan engkau melihat keadaan luar melalui serambi,” kata Pangeran.
“Al, aku ingin berjalan sendiri,” kata Princess Minerva ketika Pangeran Alcon hendak mengangkat tubuhnya.
Pangeran menggelengkan kepalanya. “Tidak, Minerva. Engkau terbaring cukup lama di tempat tidur ini, aku khawatir engkau tidak cukup kuat untuk berjalan. Aku akan menggendongmu ke sana.”
“Al, aku ingin berjalan sendiri. Aku dapat berjalan ke sana, Al.”
“Bila engkau memaksa berjalan ke sana sendirian, Minerva, aku tidak akan mengijinkanmu melihat keadaan luar sampai musim semi.”
“Aku bosan berada di atas tempat tidur terus, Al. Aku ingin melihat keadaan di luar,” kata Princess Minerva.
Pangeran memeluk tubuh Princess Minerva dengan satu tangannya dan tangannya yang lain menata bantal Princess Minerva. Setelah merasa tumpukan bantal itu cukup nyaman, Pangeran meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati di atas bantal itu.
“Sekarang engkau akan merasa nyaman,” kata Pangeran.
Princess Minerva memandang Pangeran sambil tersenyum. “Engkau jahat sekali, Al. Engkau mengurungku di kamarku tanpa mengijinkan aku melihat keadaan di luar. Engkau tahu aku selalu merindukan halaman Istana yang luas.”
“Aku juga yakin engkau merindukan semua penghuni Istana,” kata Pangeran.
Tiba-tiba Pangeran terdiam seakan-akan teringat sesuatu yang penting. “Sejak tadi aku terus di sini tanpa memberi tahu mereka kalau engkau telah sadar. Aku akan memberi tahu mereka, mereka pasti senang sekali,” kata Pangeran.
Princess Minerva menahan Pangeran yang hendak meninggalkannya. “Jangan pergi, Al.”
Pangeran Alcon memandang heran ke wajah adiknya.
“Mengapa engkau menahanku, Minerva? Biasanya engkau selalu mengingatkan aku akan tugas-tugasku dan selalu memintaku mengerjakannya setiap kali aku ingin menghabiskan waktu bersamamu tetapi sekarang engkau menahanku. Aku merasa aneh. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Minerva?”
Princess Minerva tersenyum sambil memiringkan kepalanya memandang wajah kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum melihat adiknya sambil berpikir siapa yang tidak akan merasa tertarik bila melihat Princess Minerva dalam keadaan seperti ini, tersenyum manis sambil memiringkan kepalanya.
Melihat senyuman itu, Princess Minerva semakin menyadari kemiripan kakaknya dengan Alexander. Cara tersenyum mereka sama. Mereka juga memiliki senyum nakal yang sama. Cara memandang mereka kepada Princess Minerva hampir sama. Yang membuat pandangan kedua pria itu kepada Princess Minerva berbeda adalah sinar yang terpancar di sana saat memandang Princess Minerva.
Pangeran Alcon memandang Princess Minerva penuh kasih sayang, demikian pula Alexander tetapi mata pria itu lebih tampak tajam dan penuh tanda tanya saat menatap Princess Minerva.
Ketika Princess Minerva memandang wajah kakaknya, ia merasa seperti memandang wajah Alexander, Alexander yang telah mengatakan kata-kata kasar yang tidak dapat dilupakannya hingga kini. Teringat kata-kata terakhir Alexander yang didengarnya, Princess Minerva merasa sedih. Ia tahu ketika ia meninggalkan Obbeyville itu adalah saat terakhir ia dapat berjumpa dan mendengarkan suara Alexander yang sangat dicintainya.
Walaupun banyak kemiripan Alexander dengan kakaknya, Pangeran Alcon, tetapi Princess Minerva menyadari ia mencintai Alexander bukan karena kemiripannya tetapi karena Alexander adalah Alexander. Princess Minerva telah menyadari itu pada saat-saat terakhir ia berada di Obbeyville.
Princess Minerva sadar apa yang dikatakan Alexander tidak akan diingkari pria itu. Sejak mengenal Alexander, Princess Minerva telah mengenali watak pria itu yang tidak ingin siapapun menghalangi keinginannya. Alexander tidak dapat ditahan bila ia mempunyai keinginan. Dan keinginan terbesar Alexander yang diketahui Princess Minerva adalah tidak melihat wajahnya lagi. Princess Minerva menjadi semakin sedih memikirkan ia tidak akan pernah berjumpa lagi dengan Alexander yang sangat dicintainya tetapi tidak menyukainya.
Saat ini Princess Minerva sadar, sejak pertama kali ia bertemu dengan Alexander, ia telah mencintai pria itu tetapi ia tidak berani mengakuinya karena ia takut. Ia takut hatinya tersakiti dan ia semakin enggan mengakuinya ketika Alexander semakin akrab dengan Lady Debora.
Princess Minerva teringat kembali saat Alexander dan Lady Debora berdua. Mereka tampak sangat mesra sekali.
“Mengapa engkau menangis, Minerva?” tanya Pangeran.
“Aku tidak menangis,” kata Princess Minerva berdusta.
“Engkau menangis,” kata Pangeran sambil menyeka air mata yang membasahi mata Princess Minerva, “Lihatlah ini.”
Princess Minerva berusaha tersenyum dalam kesedihan hatinya, “Aku menangis karena aku sangat merindukanmu, Al. Aku senang sekali dapat berjumpa kembali denganmu sehingga aku menangis.”
Pangeran menatap wajah Princess Minerva. Ia tahu Princess Minerva tidak mengatakan yang sebenarnya tetapi ia pura-pura percaya.
Princess Minerva tidak menyadari kakaknya terus melihat wajahnya yang menjadi sayu ketika Princess Minerva mengenang kembali saat ia berada di Obbeyville dan kenangannya bersama Alexander.
“Aku juga sangat merindukanmu, Minerva.”
“Di mana Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva, “Di mana Eido?”
Pangeran Alcon tersenyum, “Akhirnya engkau menanyakan hal itu. Aku baru saja berpikir hingga kapan engkau tidak bertanya mengenai Mrs. Vye maupun Eido.”
“Di mana mereka, Al? Apakah mereka telah kembali ke Obbeyville?” tanya Princess Minerva cemas.
“Tidak, Minerva. Mereka berada di sini. Bahkan Mrs. Vye terus menemanimu selama engkau tidak sadar bersama Mrs. Wve.”
“Di mana Mrs. Wve, Al? Aku rindu sekali padanya. Aku ingin segera berjumpa semua orang yang selalu kurindukan ketika aku berada di Obbeyville.”
“Engkau selalu merindukan kami?” tanya Pangeran Alcon tak percaya.
Princess Minerva tersenyum, “Walaupun aku tidak dapat mengingat masa laluku tetapi aku selalu merindukan kalian, Al. Aku merindukan kalian walau aku tidak ingat nama dan wajah kalian.”
Pangeran Alcon tiba-tiba memeluk Princess Minerva. “Aku senang engkau selalu merindukan aku, Minerva. Semula kukira hanya aku saja yang merindukanmu.”
“Jangan seperti itu, Al. Aku menyayangi kalian. Aku pasti meridukan kalian walaupun aku kehilangan ingatan. Sekarang jawablah di mana mereka, Al?”
“Mereka semua berada di Istana ini, Minerva. Saat ini Mrs. Vye dan Mrs. Wve pasti sedang bercakap-cakap di Ruang Duduk,” kata Pangeran Alcon, “Tunggulah di sini. Aku akan memanggil mereka.”
Pangeran menghilang ke pintu yang membatasi Ruang Duduk dengan ruang tempat Princess Minerva berada.
Tak lama kemudian Pangeran Alcon kembali bersama dua orang wanita tua yang membelalak terkejut dan senang melihat Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum menyambut mereka.
Setelah Mrs. Vye dan Mrs. Wve mengetahui Princess Minerva telah sadar kembali, semua orang di Istana mengetahuinya juga. Semua orang merasa sangat senang mendengarnya. Raja dan Ratu segera menghampiri Princess Minerva yang terus berbaring di tempat tidurnya sambil bercanda dengan Pangeran Alcon.
Dengan bangkitnya sang putri tidur dari tidur panjangnya, seluruh Istana kembali menjadi ceria. Keceriaan itu seakan-akan menjalari seluruh Istana sehingga semua tumbuhan tampak lebih ceria.
Walau Princess Minerva sadar kambali, ia tetap berada di atas tempat tidurnya dengan Pangeran Alcon yang selalu setia menemaninya dan Mrs. Wve serta Mrs. Vye yang selalu berada di Ruang Duduk.
Suatu hari saat Pangeran Alcon menemani Princess Minerva, Pangeran berkata,
“Apakah engkau tidak bosan mendengarkan pembicaraan kedua wanita itu yang seakan-akan tidak ada akhirnya itu?”
Princess Minerva tersenyum. Ia mendengarkan suara percakapan Mrs. Wve dengan Mrs. Vye di Ruang Duduk yang telah menjadi bagian dari hidupnya akhir-akhir ini.
“Mereka memang cocok, ya, Al?”
Pangeran mengangguk. “Mereka memang cocok sekali. Bila mereka berkumpul, mereka akan selalu berbicara hingga tidak ada habisnya.”
Princess Minerva tersenyum mendengar keluhan kakaknya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye memang sangat cocok. Keduanya juga memiliki rupa yang sama. Setiap orang yang melihat mereka berdua pasti mengira mereka bersaudara. Mrs. Wve memiliki tubuh yang sama gemuk dengan Mrs. Vye. Wajah mereka juga tampak mirip. Dari semua kecocokan Mrs. Wve dan Mrs. Vye, yang paling mencolok adalah kecocokan kedua wanita itu saat berbincang-bincang. Kedua wanita tua itu setiap hari menghabiskan waktunya dengan berbicang-bincang. Perbincangan mereka tidak pernah berakhir. Selalu saja ada yang dibicarakan mereka berdua. Bila hari ini mereka membicarakan masa lalu mereka, maka esok mereka akan membicarakan hal yang lain.
“Sejak Mrs. Vye ada di sini, Mrs. Wve jarang memperhatikanmu,” kata Pangeran, “Aku akan memperingatkan Mrs. Wve.”
Princess Minerva tersenyum, “Biarkanlah mereka, Al. Mereka memang cocok sekali dan tidak dapat dipisahkan. Sejak dulu Mrs. Wve hanya mengawalku pergi ke manapun. Ia tidak mempunyai teman berbicara sekarang ia mempunyai teman yang cocok.”
“Ya,” keluh Pangeran sambil meletakkan kepalanya di dekat tangan Princess Minerva, “Tetapi mereka berbicara tidak ada akhirnya membuat aku merasa bosan mendengarnya.”
Princess Minerva meletakkan tangannya di atas kepala kakaknya, “Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangi mereka berdua.”
“Apakah engkau tidak menyayangiku?” tanya Pangeran sambil melirik tajam pada Princess Minerva.
Tatapan tajam kakaknya membuat Princess Minerva kembali teringat mata tajam Alexander saat terakhir kali ia melihat pria itu. Princess Minerva segera menutup matanya.
“Aku juga menyayangimu, Al. Tetapi engkau harus mengerti. Mrs. Wve pasti merasa bosan dan kesepian karena harus selalu menemaniku ke manapun aku pergi. Selama itu ia tidak mempunyai teman yang seusia dengannya. Ia tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Sekarang ia mendapatkannya dan demikianlah jadinya.”
“Karena itulah sampai sekarang engkau belum bertanya pada Mrs. Vye apakah ia mau tinggal di Istana?” tanya Pangeran.
Princess Minerva menatap wajah kakaknya, “Aku tidak tahu, Al. Aku merasa Mrs. Vye pasti setuju bila ia kuminta tinggal di sini tetapi ia juga memiliki teman yang menyayanginya di Obbeyville. Aku tidak ingin membuatnya bingung.”
“Sekarang waktunya kita memanfaatkan kepandaianmu menarik perhatian orang dan kepandaianku memanfaatkan kesempatan,” kata Pangeran.
“Apa yang kaumaksud, Al?”
“Engkau harus bertanya kepada Mrs. Vye, Minerva. Kau tahu itu. Dan sekarang kita berdua yang akan bertanya pada Mrs. Vye. Tunggulah di sini.”
Pangeran Alcon segera menghilang sebelum Princess Minerva sempat menghalanginya.
Sesaat kemudian Pangeran kembali dengan Mrs. Vye.
“Ada keperluan apa Anda memanggil saya, Princess?”
Princess Minerva tersenyum ,”Saya telah sering mengatakan kepada Anda, Mrs. Vye. Jangan memanggil saya Princess Minerva. Saya tahu Anda belum terbiasa dengan panggilan itu. Panggilah saya Maria seperti saat kita berada di Obbeyville.”
Mrs. Vye hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Duduklah di kursi ini, Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil menunjuk kursi yang terletak di samping tempat tidur Princess Minerva.
Pangeran duduk di tepi tempat tidur Princess Minerva dan memulai percakapan, “Kami ingin bertanya bagaimana perasaan Anda selama berada di Istana?”
“Jawablah yang jujur, Mrs. Vye. Kami hanya ingin mengetahuinya,” kata Princess Minerva.
“Saya merasa senang sekali dapat berada di Istana semegah ini tetapi kadang saya juga merasa tempat ini terlalu mewah untuk saya,” jawab Mrs. Vye.
“Jangan khawatir, Mrs. Vye. Itu karena Anda belum terbiasa dengan suasana Istana. Anda telah lama tinggal di sini, Anda akan terbiasa dengan semua kemewahan ini,” kata Princess Minerva.
“Bagaimana pendapat Anda tentang Mrs. Wve?” tanya Pangeran tidak membuang kesempatan.
“Saya merasa Mrs. Wve teman bicara yang menyenangkan. Saya dan ia merasa cocok satu sama lain,” jawab Mrs. Vye jujur.
Princess Minerva tersenyum, “Kami juga merasa demikian, Mrs. Vye. Kami merasa kalian cocok satu sama lain hingga rasanya tidak mungkin terpisahkan lagi.”
“Kami ingin bertanya apakah Anda mau terus tinggal di Istana?” tanya Pangeran.
Mrs. Vye tampak bingung.
Princess Minerva yang menyadari hal itu segera berkata, “Kami tidak memaksa Anda, Mrs. Vye. Tetapi saya dan juga Mrs. Wve pasti merasa senang bila Anda mau tinggal bersama kami. Dan bila tiba saatnya untuk saya pergi ke tempat lain, Anda dapat memutuskan apakah Anda ikut dengan kami atau tidak.”
“Bukan itu yang saya khawatirkan, Princess.”
“Saya mengerti Anda mengkhawatirkan Mrs. Fat, Mr. Liesting dan Mrs. Dahrien. Mengenai mereka saya juga telah memikirkannya tetapi saya masih belum menemukan jalan keluar yang terbaik bagi mereka dan keluarga Sidewinder,” kata Princess Minerva, “Dan mengenai semakin retaknya hubungan Anda dengan keluarga Sidewinder saya juga merasa harus bertanggung jawab.”
Mrs. Vye cepat-cepat berkata, “Jangan khawatirkan kami, Princess. Khawatirkan saja kesehatan Anda. Mengenai hubungan saya yang tidak begitu baik dengan Baroness Lora, Anda telah mengetahuinya. Anda sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Saya sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan keluarga itu.”
Pangeran tertawa. “Jika engkau berhasil membuat Minerva diam, aku akan mengucapkan selamat kepadamu. Selama ini Minerva sangat sulit disuruh diam, tetapi sejak ia menghilang, ia menjadi lebih penurut. Sebenarnya apa yang terjadi selama engkau berada di sana, Minerva?”
“Engkau telah mengetahuinya dari Mrs. Vye, bukan?”
Pangeran mengangguk, “Tetapi aku belum mengetahuinya darimu.”
“Ceritanya akan sama saja, Al,” kata Princess Minerva, “Sekarang kita sedang bertanya pada Mrs. Vye.”
Pangeran memalingkan pandangannya ke wajah Mrs. Vye yang masih diwarnai kebigungannya.
“Pikirkanlah hal ini, Mrs. Vye. Kami tidak memaksamu. Dan mengenai kawan Anda, Eido, kami juga telah bertanya apakah ia mau tinggal di sini. Dan seperti Anda, ia masih merasa bingung.”
“Saya berjanji akan memikirkannya, Pangeran.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya sangat senang sekali bila Anda mau tinggal bersama saya. Mrs. Wve pasti merasa senang mempunyai teman yang dapat diajaknya berbagi masa lalu,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.
Pertanyaan yang diajukan Princess Minerva dan kakaknya benar-benar telah membuat Mrs. Vye merasa bingung. Setelah berpikir lama dan bercakap-cakap dengan Eido, akhirnya mereka berdua membuat keputusan yang sama, keputusan yang membuat Princess Minerva merasa senang sekali.
Tetapi Mrs. Wve lebih terlihat senang dengan keputusn Mrs. Vye daripada Princess. Sepanjang hari Mrs. Wve bercakap-cakap dengan Mrs. Vye setelah Mrs. Vye memutuskan untuk tinggal di Istana. Suara percakapan kedua wanita itu terdengar hingga kamar Princess Minerva dan itu membuat Pangeran Alcon menjadi bosan.
Princess Minerva yang mengetahui itu hanya tersenyum. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Pangeran sama sekali tidak mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya walaupun ia telah cukup sehat.
Tetapi apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar.
Princess Minerva bukanlah seorang gadis yang mau duduk diam sepanjang hari. Memang pada mulanya ia mampu mengatasi kebosanannya tetapi lama kelamaan ia benar-benar merasa bosan dan ingin segera meninggalkan tempat tidur. Bagi Princess Minerva, semakin ia diam saja itu artinya ia semakin memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander.
Tetapi memikirkan Alexander bukanlah suatu hal yang membuatnya senang. Ia selalu merasa sedih dan ingin menangis bila teringat pria itu. Ingatannya akan kata-kata terakhir Alexander dan wajah Alexander sebelum ia meninggakan tempat itu benar-benar telah melekat di hatinya sehingga setiap kali ia memikirkan pria itu, yang muncul hanyalah saat yang menyakitkan hatinya itu. Setiap Princess Minerva memejamkan matanya, yang terlihat hanyalah wajah Alexander yang dingin dan penuh kemarahan.
Pada suatu hari Princess Minerva memanfaatkan kebosanan kakaknya.
“Aku benar-benar merasa jenuh mendengar percakapan mereka,” keluh Pangeran, “Mengapa engkau bisa tahan dengan semua ini?”
“Sabarlah, Al. Memang beginilah yang seharusnya terjadi. Selama ini aku selalu melihat Mrs. Wve pendiam tetapi sejak kedatangan Mrs. Vye, ia menjadi lebih banyak berbicara.”
“Engkau senang melihat aku jenuh?” tanya Pangeran.
“Aku tidak ingin engkau merasa jenuh, Al. Tetapi jangan khawatir, sekarang aku punya pemecahannya.”
“Apa itu?” tanya Pangeran ingin tahu.
“Ijinkan aku meninggalkan tempat tidurku,” jawab Princess Minerva tenang.
Pangeran segera menggelengkan kepalanya mendengar jawaban itu. “Tidak, Minerva. Aku tidak akan mengijinkanmu.”
“Ayolah, Al, aku benar-benar merasa bosan duduk diam di sini sepanjang hari,” bujuk Princess Minerva.
Pangeran menatap wajah Princess Minerva yang penuh permohonan.
“Engkau memang pandai memohon,” kata Pangeran.
Princess Minerva tersenyum penuh kemenangan mendengarnya.
“Baiklah, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkan engkau berjalan. Akulah yang akan membawamu meninggalkan tempat tidurmu.”
“Al, aku dapat berjalan sendiri.”
“Aku tahu, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkanmu berjalan sampai aku benar-benar yakin engkau cukup sehat.”
“Al, engkau memperlakukanku seperti aku ini seorang bayi yang baru belajar berjalan.”
Pangeran tersenyum nakal yang membuat Princess Minerva kembali teringat pada Alexander.
“Saat ini aku memang merasa engkau seorang bayi yang perlu dijaga agar tidak nakal.”
Pangeran mengangkat tubuh Princess Minerva dan berkata, “Sekarang ke mana kita akan pergi?”
Princess Minerva tersenyum senang. Ia tahu ia tidak akan lagi memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander dan ia berharap dengan demikian ia dapat sedikit demi sedikit melupakan Alexander dan kenangan pahitnya. Tetapi Princess Minerva juga menyadari ia sulit melakukan itu. Princess Minerva percaya ia tidak akan dapat melupakan Alexander walaupun pria itu telah menyakitinya. Ia sangat mencintai pria itu bahkan terlalu mencintai pria itu sehingga memikirkan saat di Obbeyville saja mampu membuat hatinya terasa teriris. Kepercayaan Princess Minerva jauh lebih tepat dibandingkan harapannya. Ia sama sekali tidak dapat melupakan Alexander. Pikirannya tentang pria itu terus saja melekat di kepalanya. Alexander telah bersemayam tidak hanya di hatinya tetapi juga di pikirannya.
Kebiasaan Princess Minerva yang selalu bersikap tenang membuat tidak seorangpun menyadari itu. Ia tetap mampu bersikap tenang dan selalu tersenyum walau hatinya sedang bersedih.
Sejak Pangeran Alcon mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya, Princess Minerva benar-benar memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sepanjang hari ia duduk di depan pianonya sambil memainkan lagu-lagu kesukaan kakaknya. Dengan permainan pianonya, Princess Minerva semakin menceriakan suasana di Istana Plesaides. Permainannya yang penuh perasaan terdengar ke seluruh penjuru Istana.
Tidak seorang pun yang menyadari di balik semua itu Princess Minerva merasa sangat sedih. Princess Minerva memang pandai menyembunyikan perasaan hatinya yang sebenarnya. Dengan sikapnya yang selalu tenang dan penuh senyuman, ia tetap terlihat ceria dan mempesona.
Princess Minerva menyadari hari-hari terus berlalu sejak ia meninggalkan Obbeyville. Dan ia merasa telah lama sekali ia meninggalkan Obbeyville yang mendapat tempat di hatinya. Rasanya baru kemarin ia berada di Obbeyville padahal telah lebih dari empat bulan ia meninggalkan tempat itu.
Princess Minerva yang menurut setelah Pangeran Alcon memutuskan hanya dirinyalah yang boleh membawa Princess Minerva meninggalkan tempat tidurnya, akhirnya mulai merasa bosan. Princess Minerva mulai tidak senang harus menanti kakaknya bila ia hendak meninggalkan tempat tidurnya. Ia merasa dirinya telah memberi beban tambahan di pundak kakaknya. Princess Minerva mengakui sejak ia sadar dari tidur panjangnya, ia selalu melihat kakaknya di kamarnya. Setiap saat ia terbangun dari tidurnya, wajah kakaknya selalu ada di kamarnya. Pangeran Alcon jua telah memindahkan ruang kerjanya ke Ruang Duduk Princess Minerva. Princess Minerva tahu itu tetapi ia tidak dapat mencegah kakaknya. Ia mengerti seperti halnya seluruh penghuni Istana, Pangeran merasa rindu padanya dan ingin menghabiskan waktu sepanjang hari bersamanya.
Raja dan Ratu yang mengerti keadaan itu mengalah. Mereka lebih menyibukkan diri mereka dengan urusan kerajaan. Mereka juga telah memberi banyak kesempatan bagi kedua kakak beradik itu untuk selalu berdua. Tidak hanya Raja dan Ratu saja yang mengerti. Semua orang di Istana mengerti itu. Mereka tidak banyak menganggu ketika Pangeran Alcon sedang bersama Princess Minerva yang mereka sayangi. Mrs. Wve dan Mrs. Vye juga mengerti masalah itu. Mereka lebih banyak berbicara di luar kamar Princess Minerva daripada di dalam kamar menganggu kakak beradik itu.
Hari-hari terakhir ini Princess Minerva merasa sikap Pangeran Alcon menjadi aneh. Kakaknya sering terlihat termenung memikirkan sesuatu. Tetapi Pangeran tidak mau berkata apa-apa walaupun Princess Minerva telah membujuknya.
Princess Minerva sedang bermain piano ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye sedang berjalan-jalan di halaman Istana sehingga Pangeran sendiri yang membuka pintu itu.
“Selamat siang, Princess Minerva. Bagaimana keadaan Anda?” tanya Kendsley.
Princess Minerva yang mendengar sapaan itu segera berjalan meninggalkan piano dan mendekati Menteri Dalam Negeri yang tersenyum padanya.
Pangeran Alcon yang telah membiarkan Princess Minerva berjalan sendiri diam saja.
“Selamat siang, Kendsley. Lama kita tidak berjumpa,” sapa Princess Minerva.
“Ya, Anda setiap hari berada di kamar Anda.”
Princess Minerva memalingkan kepalanya kepada kakaknya yang tersenyum nakal, “Ia mengurungku di sini sejak aku sadar. Dan untuk dapat berjalan sendiri, aku benar-benar harus berusaha keras.”
Pangeran Alcon tersenyum.
Pangeran Alcon ingat sekali saat ia dikejutkan oleh munculnya Princess Minerva di Ruang Duduk. Saat itu Pangeran menduga Princess Minerva masih tertidur.
Tidak sedikitpun ia menduga adiknya tengah duduk di Ruang Duduk sambil bercakap-cakap dengan Mrs. Wve dan Mrs. Vye.
Princess Minerva segera menghampiri Pangeran Alcon yang terpaku di pintu.
“Mengapa engkau meninggalkan tempat tidurmu?” tanya Pangeran.
“Karena aku mempunyai kaki untuk berjalan dan aku tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk sampai di sini,” jawab Princess Minerva tenang, “Lama kelamaan sang ‘bayi’ juga akan mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Pangeran Alcon menyerah pada keinginan adiknya dan sejak saat itu ia tidak lagi membopong adiknya ke tempat yang diinginkan adiknya. Ia telah membiarkan ‘bayi’nya berjalan sendiri.
“Ada keperluan apa engkau mencariku, Kendsley?” tanya Pangeran.
“Sejak Anda mengumumkan berita kembalinya Princess, Anda belum memberi penjelasan kapan Anda akan mengadakan pesta itu. Masyarakat mempertanyakannya,” kata Kendsley.
“Pesta apa?” tanya Princess Minerva tak mengerti.
Pangeran tersenyum pada Princess Minerva. “Aku mengerti, Kendsley. Aku akan mengumumkannya dalam waktu dekat ini.”
“Akan saya sampaikan perkataan Pangeran pada masyarakat,” kata Kendsley.
Setelah Menteri Dalam Negeri meninggalkan tempat itu, Princess Minerva mendekati Pangeran Alcon dan bertanya, “Pesta apa, Al?”
Pangeran Alcon memegang pundak adiknya. “Duduklah dulu.”
Pangeran Alcon mendudukkannya tepat di depan perapian yang menyala terang. Setelah itu ia duduk di hadapan Princess Minerva.
“Pesta itu kuadakan untuk membuat masyarakat mengenalmu,” kata Pangeran, “Dan engkau tidak dapat menghindari pesta ini. Tahun ini engkau tidak akan pergi ke Clayment.”
Princess Minerva tersenyum, “Aku tahu, Al. Musim gugur telah berlalu dan musim dingin telah berlalu hampir satu bulan. Tidak mungkin ladi bagiku untuk ke Clayment. Bila aku memaksa ke sana, aku pasti jatuh sakit selama di perjalanan.”
Pangeran Alcon tersenyum puas, “Bagus. Aku senang engkau mau mengerti.”
“Tetapi, Al mengapa engkau harus mengadakan pesta untuk itu bila engkau tidak ingin peristiwa ini terjadi lagi. Masih banyak cara lain agar penduduk Kerajaan mengenalku,” kata Princess Minerva.
“Memang masih banyak cara lain tetapi aku terlanjur berjanji pada masyarakat. Engkau paling tidak suka melihat orang melanggar janjinya, bukan ?”
Princess Minerva membenarkan ucapan Pangeran Alcon.
“Karena itu engkau mau bukan hadir dalam pesta itu?”
“Kapan pesta itu akan kauadakan?”
“Aku belum tahu. Aku belum memutuskannya secara pasti. Tetapi dalam beberapa hari ini aku telah berpikir untuk mengadakannya bertepatan dengan hari Natal.”
Princess Minerva cepat-cepat berkata, “Tidak, Al. Engkau jangan mengadakannya tepat pada hari Natal.”
“Mengapa tidak, Minerva?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Al, pada hari Natal orang-orang umumnya lebih suka merayakannya bersama keluarganya. Lebih baik engkau mengadakannya sesudah atau sebelum hari Natal itu.”
Pangeran tak mengerti. “Mengapa tidak, Minerva? Kurasa tidak ada salahnya bila kita mengadakannya tepat pada hari Natal.”
Princess Minerva tersenyum pengertian. “Memang tidak ada masalah. Tetapi kita harus menghargai keinginan setiap orang yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya, Al. Adakan pesta itu sebelum atau sesudah hari Natal.”
“Baiklah, Minerva. Bila itu yang kauhendaki. Aku tidak ingin engkau tiba-tiba pergi seperti pesta ulang tahunmu itu,” kata Pangeran, “Daripada aku kehilangan engkau lagi lebih baik aku menuruti kehendakmu.”
“Jadi, kapan engkau akan mengadakannya?”
Pangeran berpikir sambil menimbang untung ruginya bila pesta itu diadakan sebelum atau sesudah hari Natal.
Setelah menemukan jawabannya, Pangeran tersenyum dan berkata, “Aku akan mengadakannya pada kedua-duanya.”
“Sebelum dan sesudah Natal?” tanya Princess Minerva tak percaya, “Mengapa engkau mengadakannya dua kali, Al? Sekali saja sudah cukup.”
“Bukan itu maksudku, Minerva sayang,” kata Pangeran, “Aku akan mengadakannya sebelum hari Natal dan tepat pada hari Natal. Dengan demikian keinginanmu dan keinginanku sama-sama terkabul.”
“Al, bagaimana dengan mereka yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya?” tanya Princess Minerva.
“Aku telah memikirkannya, Minerva. Bila mereka ingin merayakan Natal bersama keluarganya, mereka cukup hadir pada pesta pertama tetapi bila mereka mau merayakan Natal bersama kita, mereka boleh hadir lagi di pesta kedua.”
“Kapan pesta pertama itu akan kauselenggarakan?” tanya Princess Minerva.
“Mungkin tanggal dua puluh.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Jangan mengadakannya pada tanggal itu. Bagaimana dengan mereka yang ingin berkumpul dengan keluarganya yang tempat tinggalnya sangat jauh dari sini?”
Pangeran terdiam.
Princess Minerva memanfaatkan kesibukan berpikir Pangeran. “Paling tidak adakanlah sepuluh hari sebelum Natal.”
“Baiklah,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta pertama pada pertengahan Desember dan pesta kedua tepat pada hari Natal.”
“Siapa yang akan kauundang, Al? Engkau belum memutuskannya,” kata Princess Minerva mengingatkan.
“Engkau salah, Minerva sayang. Sebelum aku mengumumkan kemunculanmu pada penduduk, aku telah mengetahui siapa saja yang akan kuundang. Aku akan mengundang semua bangsawan yang ada di Kerajaan Zirva.”
Princess Minerva terkejut. Ia sadar bila semua bangsawan diundang dalam pesta itu, maka kemungkinan besar ia akan bertemu kembali dengan Alexander.
Tetapi Princess Minerva tahu Alexander pasti tidak senang bertemu dengannya. Princess Minerva tahu pria itu akan mengeluarkan kata-kata yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Al?”
“Tidak. Aku ingin sekali bertemu dengan Baroness Lora dan Lady Debora,” kata Pangeran geram.
“Al, aku tidak mengijinkanmu bertemu dengan mereka hanya karena engkau merasa marah pada perlakuan mereka terhadapku,” kata Princess Minerva.
“Minerva, mereka telah memperlakukanmu dengan buruk. Aku ingin mengetahui seperti apa wajah wanita yang menghinamu,” kata Pangeran.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Walaupun mereka tidak menyukaiku tetapi mereka masih mengijinkan aku tinggal di Obbeyville. Sekasar apapun kata-kata mereka, mereka tetap berjasa kepadaku.”
“Engkau memang terlalu baik hati, Minerva. Engkau bahkan tidak merasa marah kepada mereka,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum memandang wajah adiknya.
Pangeran Alcon senang sekali memandangi wajah cantik adiknya. Ia tidak pernah merasa bosan melihat wajah cantik itu dengan senyumannya yang manis.
Setiap kali melihatnya, Pangeran Alcon berpikir siapakah yang tidak akan tertarik melihat adiknya. Jawabannya adalah tidak ada. Semua orang tertarik melihat wajah Princess Minerva yang cantik dengan senyumannya yang menawan hati dan matanya yang ungu jernih. Demikian pula tutur katanya yang lemah lembut akan membuat siapa saja semakin tertarik padanya.
“Berkat mereka aku dapat berada di sini kembali,” kata Princess Minerva.
“Baiklah, Minerva. Aku mengerti berkat mereka engkau dapat berada di sini. Dan karena mereka pula engkau masih dapat hidup hingga kini.”
Princess Minerva tersenyum mendengar suara kakaknya yang dibuat setenang mungkin tetapi tidak dapat menyembunyikan kegeraman yang muncul terutama saat ia mengatakan ‘mereka’. Princess Minerva tahu kakaknya pasti tidak menyukai Baroness Lora dan Lady Debora setelah mendengar peristiwa yang dialaminya selama berada di Obbeyville.
“Masalah itu telah selesai, Al. Sekarang maukah engkau menceritakan masalahmu yang lain?”
“Masalah apa?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Jangan berbohong kepadaku, Al,” kata Princess Minerva, “Aku tahu engkau sedang menghadapi suatu masalah yang sulit. Katakanlah kepadaku mungkin aku dapat membantumu.”
Pangeran tertawa, “Apakah engkau selalu dapat membaca pikiran orang, Minerva?”
“Aku tidak dapat membaca pikiran orang, Al, tetapi aku tahu engkau sedang menghadapi masalah yang serius.”
“Aku baru saja menyelesaikan satu-satunya masalah yang menjadi beban pikiranku akhir-akhir ini.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Engkau masih mempunyai masalah yang lain. Aku tahu itu.”
“Rasanya aku tidak pandai menyembunyikan suatu masalah,” gumam Pangeran.
Princess Minerva tersenyum, “Karena itu, Al, jangan berbohong lagi kepadaku. Katakan apa masalahmu itu.”
Pangeran terdiam. Pangeran memandang wajah Princess Minerva selama beberapa saat kemudian ia menuju jendela yang selalu tertutup.
Princess Minerva melihat kakaknya tampak kebingungan. Ia mendekati Pangeran Alcon yang sedang memandang keluar melalui jendela.
“Katakanlah kepadaku, Al. Aku pasti dapat membantumu,” bujuk Princess Minerva.
Pangeran masih tetap diam. “Aku kebingungan, Minerva,” katanya setelah beberapa saat.
“Apa yang membuatmu bingung seperti ini, Al. Aku tidak pernah melihat engkau segelisah ini,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon membalikkan badannya dan memeluk Princess Minerva.
“Aku bingung, Minerva. Aku tidak ingin meninggalkanmu tetapi aku telah berjanji pada mereka,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva menengadah memandang wajah Pangeran Alcon yang kebingungan. “Engkau akan pergi, Al?”
Pangeran Alcon menatap wajah Princess Minerva dan mengangguk.
“Kapan engkau akan pergi?” tanya Princess Minerva.
“Menurut rencana akhir bulan ini aku harus pergi,” jawab Pangeran Alcon, “Tetapi aku tidak ingin meninggalkanmu. Tidak setelah semua ini terjadi. Aku tidak ingin engkau menghilang lagi tanpa aku ketahui di mana engkau berada.”
Princess Minerva menatap lekat-lekat wajah kakaknya yang kebingungan, “Engkau telah berjanji pada mereka?”
“Ya, aku berjanji pada mereka tahun lalu. Saat itu aku tidak tahu ini semua akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya tidak mungkin membatalkan janji yang telah kubuat setahun yang lalu.”
“Engkau tahu, Al, aku tidak senang seseorang melanggar janjinya,” kata Princess Minerva tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon tersenyum, “Aku tahu, Minerva sayang. Karena itu aku merasa bingung.”
“Pergilah, Al. Jangan khawatirkan aku. Aku janji tidak akan ke mana-mana selama engkau tidak berada di Istana. Papa, Mama, Mrs. Wve, Mrs. Vye dan semua orang di Istana akan memastikan aku selalu berada di dalam Istana,” kata Princess Minerva.
“Engkau tidak mengerti, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil menggelengkan kepalanya, “Bila Papa dan Mama juga berada di sini, aku tidak akan bingung. Tetapi mereka berdua juga telah berjanji pada kerajaan tetangga kita untuk juga hadir dalam pesta musim dingin mereka.”
“Papa dan Mama juga akan pergi?” tanya Princess Minerva meyakinkan dirinya sendiri.
“Engkau memang nakal, Minerva. Aku telah mengatakannya kepadamu tetapi engkau tidak mendengarkannya,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum, “Sekarang dengarkan baik-baik. Papa dan Mama juga akan menghadiri pesta musim dingin kerajaan tetangga kita.”
Princess Minerva tersenyum, “Pergilah, Al. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”
“Aku tahu engkau tidak akan meninggalkan Istana tetapi aku khawatir engkau menolak meminum obatmu,” kata Pangeran sambil tersenyum nakal.
Princess Minerva tersenyum, “Engkau jahat, Al. Aku selalu meminum obatku walaupun aku tidak suka obat itu membuatku mengantuk. Aku percaya engkau meminta Dokter Donter memberi campuran obat tidur dalam tiap obat itu.”
“Dokter Donter sendiri yang memberinya. Aku sama sekali tidak memintanya melakukan itu tetapi ia telah mengerti kalau engkau paling sulit disuruh diam.”
“Aku memang merasa bosan, Al. Aku paling tidak suka bila disuruh duduk diam seharian,” kata Princess Minerva membenarkan ucapan kakaknya.
“Itulah yang kukhawatirkan. Aku khawatir engkau mulai melakukan segala macam kegiatanmu selama engkau berada di Istana. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana selama engkau masih lemah.”
“Jangan khawatir, Al. Di sini masih ada Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang akan menjagaku,” kata Princess Minerva, “Sekarang aku mempunyai dua orang pengasuh yang selalu menjagaku.”
“Aku tahu mereka akan mampu menjagamu dengan baik,” kata Pangeran, “Tetapi aku lebih mempercayai diriku sendiri daripada orang lain.”
Princess Minerva tersenyum, “Al, aku tahu engkau mengkhawatirkan aku tetapi jangan kaulupakan janjimu. Engkau tahu aku paling tidak senang melihat seseorang melanggar janjinya.”
Pangeran memandang sedih pada Princess Minerva yang masih berada di pelukannya. “Aku tahu itu. Aku ingin sekali membatalkan janji yang kubuat tahun lalu itu.”
“Engkau telah berjanji pada mereka tahun lalu untuk menghadiri pesta musim dingin mereka,” kata Princess Minerva mengingatkan, “Dan jangan lupa pada kedudukanmu, Al. Engkau putra mahkota Kerajaan Zirva.”
“Karena itu pula aku merasa bingung, Minerva,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan kakaknya. Ia mengangkat tangannya dan memegang wajah Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon menggenggam tangan dingin Princess Minerva yang menyentuh wajahnya sambil terus memandang wajah adiknya yang sedang tersenyum.
“Al, seorang Pangeran tidak boleh melanggar janjinya. Engkau akan disegani penduduk bila engkau selalu menepati janjimu tetapi bila engkau selalu melanggar janjimu, masyarakat tidak akan mempercayaimu.”
Pangeran terus memandang wajah Princess Minerva.
“Engkau harus belajar menjadi raja yang baik bagi masyarakat dari hal-hal yang kecil,” kata Princess Minerva, “Memang janjimu kepada Raja Pyre tidak dapat dikatakan kecil tetapi engkau tahu engkau harus menepatinya.”
Pangeran Alcon mengangguk, “Aku tahu itu, Minerva.”
“Aku senang engkau mengetahuinya. Aku berjanji tidak akan melakukan tindakan apa pun yang akan membuat aku menjadi sakit selama engkau pergi. Aku akan menuruti segala perkataan kedua pengasuhku,” kata Princess Minerva sambil tersenyum manis.
Pangeran membalas senyuman Princess Minerva dengan senyum nakal yang kekanak-kanakan, “Aku tahu engkau memang pandai membujuk orang, Princess Minerva. Engkau selalu membujuk orang dengan senyumanmu yang manis itu dan membuat semua orang sulit menghindari bujukanmu.”
Kata-kata Pangeran Alcon membuat Princess Minerva menyadari suatu hal yang selama ini tidak pernah dipikirkannya.
Kata-kata Alexander tiba-tiba terbayang kembali di ingatannya, “Cukup sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik tetapi berhati iblis.”
Princess Minerva sadar mungkin karena senyumannya itu yang membuat Alexander merasa ia adalah wanita perayu yang ulung. Karena dengan senyumannya yang manis itu, ia mampu membuat siapa saja menurutinya. Princess Minerva segera menyembunyikan kesedihan hatinya di balik senyumannya secepat Princess Minerva menyadari hal itu.
“Apakah itu berarti engkau akan pergi menepati janjimu?”
Pangeran Alcon cemberut, “Rupanya engkau sangat bersemangat menyuruhku meninggalkanmu.”
“Bukan, Al. Aku juga tidak ingin engkau meninggalkanku tetapi aku ingin engkau menepati kata-katamu.”
Pangeran Alcon tersenyum dan memeluk Princess Minerva lagi, “Aku akan pergi menepati janjiku sesuai kehendakmu, Tuan Puteri, tetapi aku akan segera kembali. Aku janji aku akan segera kembali setelah pesta itu selesai.”
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Pangeran Alcon.
Seperti yang telah dikatakan Pangeran pada Princess, Raja dan Ratu juga ikut pergi ke kerajaan tetangga mereka. Beberapa hari menjelang keberangkatan mereka, semua orang di Istana sibuk menyiapkan keberangkatan itu. Menjelang keberangkatan itu, Pangeran Alcon menjadi semakin sering berada di kamar adiknya. Pangeran Alcon benar-benar tampak enggan meninggalkan adiknya. Namun sejak Princess Minerva berhasil membujuk Pangeran, Pangeran tidak pernah mengeluh atau merasa bingung lagi.
Satu-satunya yang dirasakan Pangeran ketika hari keberangkatannya semakin dekat adalah rasa sedih harus berpisah dengan Princess Minerva yang baru saja kembali setelah tak tentu rimbanya selama tiga bulan lebih. Bahkan hampir setengah tahun bila ditambah dengan saat Princess Minerva tak sadarkan diri. Walaupun Pangeran tidak mengatakan apa-apa tentang kesedihannya itu tetapi Princess mengetahuinya. Setiap hari Princess Minerva menghibur kakaknya juga kedua orang tuanya yang juga enggan berpisah dengannya. Raja dan Ratu memang tampak sedih karena harus meninggalkan Princess Minerva yang tidak begitu sehat tetapi Pangeran Alcon lebih sedih lagi.
Tidak dapat disangkal lagi Princess Minerva lebih akrab dengan kakaknya daripada kedua orang tuanya. Walaupun demikian Princess Minerva tetap menyayangi kedua orang tuanya sebesar rasa sayangnya pada kakaknya. Raja dan Ratu juga mengerti melihat Pangeran Alcon lebih akrab dengan Princess Minerva daripada dengan mereka.
Sejak kejadian yang menimpa Princess saat Princess berusia empat tahun, Pangeran Alcon berubah total. Pangeran yang semula tidak menyukai adiknya menjadi sangat menyayanginya bahkan lebih menyayangi adiknya daripada nyawanya sendiri.
Tiba-tiba sesosok pria menutupi sinar yang menyilaukan itu. Pria itu berdiri tepat di depan jendela menuju serambi yang memantulkan sinar matahari yang menyilaukan itu.
Mula-mula Princess Minerva melihat tubuh pria itu tampak hitam dengan sinar matahari di sekelilingnya yang membuatnya silau. Princess Minerva berusaha mengenali sosok itu dan ketika ia telah mengenalinya, ia tersenyum dan berkata lemah, “Al….”
Perkataan Princess Minerva disambut dengan pelukan yang tiba-tiba.
“Minerva, aku khawatir sekali. Kukira engkau akan selamanya menjadi putri tidur,” kata Pangeran Alcon sambil mempererat pelukannya.
“Al…,” sekali lagi Minerva memanggil Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon semakin mempererat pelukannya seolah-olah tidak ingin melepaskan Princess lagi.
Princess Minerva tersenyum di pelukan kakaknya. Ia meletakkan kepalanya di pundak Pangeran Alcon dan menutup matanya. Princess Minerva tahu saat ia terbaring, ia sering dipeluk kakaknya. Sering dalam mimpinya ia merasakan hangatnya tubuh seseorang melindunginya dari udara dingin di sekelilingnya.
Pangeran Alcon kebingungan dengan kediaman Princess Minerva.
“Engkau baik-baik saja, Minerva?” tanya Pangeran cemas.
Princess Minerva mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Mengapa engkau diam saja?”
Princess Minerva tersenyum. “Aku merindukan segala sesuatu tentangmu, Al. Aku rindu kaupeluk seperti ini.”
Pangeran meletakkan kepalanya di atas kepala Princess Minerva. “Aku juga sangat merindukanmu, Minerva,” katanya sambil membelai rambut Princess Minerva.
Princess Minerva melihat sekeliling kamarnya dari pundak Pangeran Alcon.
Kamarnya sama sekali tidak berubah sejak ia meninggalkannya tahun lalu. Tirai-tirai putih masih menutupi jendela panjang menuju serambi. Demikian pula tirai-tirai yang menggantung pada tiang tempat tidurnya yang besar. Bunga-bunga masih memenuhi ruangan itu, di dekat jendela, di pojok ruangan juga di atas meja rias yang antik.
Pangeran Alcon yang mengetahui adiknya tengah memperhatikan ruangna yang telah lama ditinggalkannya, tersenyum sambil terus membelai Princess Minerva.
“Al,” kata Princess Minerva tiba-tiba.
“Ada apa, Minerva?”
“Aku ingin ke serambi.”
Pangeran terkejut mendengarnya. Ia menjauhkan tubuh Princess Minerva dari pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva yang kebingungan.
“Tidak, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil menggelengkan kepalanya.
“Tetapi, Al…. Aku ingin sekali melihat keadaan di luar. Rasanya sudah lama sekali aku terus berada di sini,” kata Princess Minerva.
“Benar. Engkau terus terbaring diam di sini lama sekali. Rasanya satu abad engkau menjadi putri tidur.”
“Satu abad?” tanya Princess Minerva sambil tersenyum, “Lama sekali.”
“Benar. Sekarang engkau harus diam di sini.”
“Ayolah, Al. Aku merasa seperti boneka bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi,” bujuk Princess Minerva, “Aku ingin sekali melihat cuaca di luar.”
“Tidak, Minerva. Aku lebih senang engkau menjadi boneka yang manis daripada menjadi putri tidur yang cantik,” kata Pangeran Alcon, “Lagipula musim gugur hampir berganti.”
“Lama sekali aku tertidur,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum. “Anak nakal. Sejak tadi aku mengatakan engkau telah menjadi putri tidur selama satu abad tetapi engkau tidak mendengarkannya.”
“Ayolah, Al, ijinkan aku melihat keadaan luar. Bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi biarlah aku melihat keadaan luar melalui jendela,” kata Princess Minerva.
“Baiklah, Minerva. Aku mengijinkan engkau melihat keadaan luar melalui serambi,” kata Pangeran.
“Al, aku ingin berjalan sendiri,” kata Princess Minerva ketika Pangeran Alcon hendak mengangkat tubuhnya.
Pangeran menggelengkan kepalanya. “Tidak, Minerva. Engkau terbaring cukup lama di tempat tidur ini, aku khawatir engkau tidak cukup kuat untuk berjalan. Aku akan menggendongmu ke sana.”
“Al, aku ingin berjalan sendiri. Aku dapat berjalan ke sana, Al.”
“Bila engkau memaksa berjalan ke sana sendirian, Minerva, aku tidak akan mengijinkanmu melihat keadaan luar sampai musim semi.”
“Aku bosan berada di atas tempat tidur terus, Al. Aku ingin melihat keadaan di luar,” kata Princess Minerva.
Pangeran memeluk tubuh Princess Minerva dengan satu tangannya dan tangannya yang lain menata bantal Princess Minerva. Setelah merasa tumpukan bantal itu cukup nyaman, Pangeran meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati di atas bantal itu.
“Sekarang engkau akan merasa nyaman,” kata Pangeran.
Princess Minerva memandang Pangeran sambil tersenyum. “Engkau jahat sekali, Al. Engkau mengurungku di kamarku tanpa mengijinkan aku melihat keadaan di luar. Engkau tahu aku selalu merindukan halaman Istana yang luas.”
“Aku juga yakin engkau merindukan semua penghuni Istana,” kata Pangeran.
Tiba-tiba Pangeran terdiam seakan-akan teringat sesuatu yang penting. “Sejak tadi aku terus di sini tanpa memberi tahu mereka kalau engkau telah sadar. Aku akan memberi tahu mereka, mereka pasti senang sekali,” kata Pangeran.
Princess Minerva menahan Pangeran yang hendak meninggalkannya. “Jangan pergi, Al.”
Pangeran Alcon memandang heran ke wajah adiknya.
“Mengapa engkau menahanku, Minerva? Biasanya engkau selalu mengingatkan aku akan tugas-tugasku dan selalu memintaku mengerjakannya setiap kali aku ingin menghabiskan waktu bersamamu tetapi sekarang engkau menahanku. Aku merasa aneh. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Minerva?”
Princess Minerva tersenyum sambil memiringkan kepalanya memandang wajah kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum melihat adiknya sambil berpikir siapa yang tidak akan merasa tertarik bila melihat Princess Minerva dalam keadaan seperti ini, tersenyum manis sambil memiringkan kepalanya.
Melihat senyuman itu, Princess Minerva semakin menyadari kemiripan kakaknya dengan Alexander. Cara tersenyum mereka sama. Mereka juga memiliki senyum nakal yang sama. Cara memandang mereka kepada Princess Minerva hampir sama. Yang membuat pandangan kedua pria itu kepada Princess Minerva berbeda adalah sinar yang terpancar di sana saat memandang Princess Minerva.
Pangeran Alcon memandang Princess Minerva penuh kasih sayang, demikian pula Alexander tetapi mata pria itu lebih tampak tajam dan penuh tanda tanya saat menatap Princess Minerva.
Ketika Princess Minerva memandang wajah kakaknya, ia merasa seperti memandang wajah Alexander, Alexander yang telah mengatakan kata-kata kasar yang tidak dapat dilupakannya hingga kini. Teringat kata-kata terakhir Alexander yang didengarnya, Princess Minerva merasa sedih. Ia tahu ketika ia meninggalkan Obbeyville itu adalah saat terakhir ia dapat berjumpa dan mendengarkan suara Alexander yang sangat dicintainya.
Walaupun banyak kemiripan Alexander dengan kakaknya, Pangeran Alcon, tetapi Princess Minerva menyadari ia mencintai Alexander bukan karena kemiripannya tetapi karena Alexander adalah Alexander. Princess Minerva telah menyadari itu pada saat-saat terakhir ia berada di Obbeyville.
Princess Minerva sadar apa yang dikatakan Alexander tidak akan diingkari pria itu. Sejak mengenal Alexander, Princess Minerva telah mengenali watak pria itu yang tidak ingin siapapun menghalangi keinginannya. Alexander tidak dapat ditahan bila ia mempunyai keinginan. Dan keinginan terbesar Alexander yang diketahui Princess Minerva adalah tidak melihat wajahnya lagi. Princess Minerva menjadi semakin sedih memikirkan ia tidak akan pernah berjumpa lagi dengan Alexander yang sangat dicintainya tetapi tidak menyukainya.
Saat ini Princess Minerva sadar, sejak pertama kali ia bertemu dengan Alexander, ia telah mencintai pria itu tetapi ia tidak berani mengakuinya karena ia takut. Ia takut hatinya tersakiti dan ia semakin enggan mengakuinya ketika Alexander semakin akrab dengan Lady Debora.
Princess Minerva teringat kembali saat Alexander dan Lady Debora berdua. Mereka tampak sangat mesra sekali.
“Mengapa engkau menangis, Minerva?” tanya Pangeran.
“Aku tidak menangis,” kata Princess Minerva berdusta.
“Engkau menangis,” kata Pangeran sambil menyeka air mata yang membasahi mata Princess Minerva, “Lihatlah ini.”
Princess Minerva berusaha tersenyum dalam kesedihan hatinya, “Aku menangis karena aku sangat merindukanmu, Al. Aku senang sekali dapat berjumpa kembali denganmu sehingga aku menangis.”
Pangeran menatap wajah Princess Minerva. Ia tahu Princess Minerva tidak mengatakan yang sebenarnya tetapi ia pura-pura percaya.
Princess Minerva tidak menyadari kakaknya terus melihat wajahnya yang menjadi sayu ketika Princess Minerva mengenang kembali saat ia berada di Obbeyville dan kenangannya bersama Alexander.
“Aku juga sangat merindukanmu, Minerva.”
“Di mana Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva, “Di mana Eido?”
Pangeran Alcon tersenyum, “Akhirnya engkau menanyakan hal itu. Aku baru saja berpikir hingga kapan engkau tidak bertanya mengenai Mrs. Vye maupun Eido.”
“Di mana mereka, Al? Apakah mereka telah kembali ke Obbeyville?” tanya Princess Minerva cemas.
“Tidak, Minerva. Mereka berada di sini. Bahkan Mrs. Vye terus menemanimu selama engkau tidak sadar bersama Mrs. Wve.”
“Di mana Mrs. Wve, Al? Aku rindu sekali padanya. Aku ingin segera berjumpa semua orang yang selalu kurindukan ketika aku berada di Obbeyville.”
“Engkau selalu merindukan kami?” tanya Pangeran Alcon tak percaya.
Princess Minerva tersenyum, “Walaupun aku tidak dapat mengingat masa laluku tetapi aku selalu merindukan kalian, Al. Aku merindukan kalian walau aku tidak ingat nama dan wajah kalian.”
Pangeran Alcon tiba-tiba memeluk Princess Minerva. “Aku senang engkau selalu merindukan aku, Minerva. Semula kukira hanya aku saja yang merindukanmu.”
“Jangan seperti itu, Al. Aku menyayangi kalian. Aku pasti meridukan kalian walaupun aku kehilangan ingatan. Sekarang jawablah di mana mereka, Al?”
“Mereka semua berada di Istana ini, Minerva. Saat ini Mrs. Vye dan Mrs. Wve pasti sedang bercakap-cakap di Ruang Duduk,” kata Pangeran Alcon, “Tunggulah di sini. Aku akan memanggil mereka.”
Pangeran menghilang ke pintu yang membatasi Ruang Duduk dengan ruang tempat Princess Minerva berada.
Tak lama kemudian Pangeran Alcon kembali bersama dua orang wanita tua yang membelalak terkejut dan senang melihat Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum menyambut mereka.
Setelah Mrs. Vye dan Mrs. Wve mengetahui Princess Minerva telah sadar kembali, semua orang di Istana mengetahuinya juga. Semua orang merasa sangat senang mendengarnya. Raja dan Ratu segera menghampiri Princess Minerva yang terus berbaring di tempat tidurnya sambil bercanda dengan Pangeran Alcon.
Dengan bangkitnya sang putri tidur dari tidur panjangnya, seluruh Istana kembali menjadi ceria. Keceriaan itu seakan-akan menjalari seluruh Istana sehingga semua tumbuhan tampak lebih ceria.
Walau Princess Minerva sadar kambali, ia tetap berada di atas tempat tidurnya dengan Pangeran Alcon yang selalu setia menemaninya dan Mrs. Wve serta Mrs. Vye yang selalu berada di Ruang Duduk.
Suatu hari saat Pangeran Alcon menemani Princess Minerva, Pangeran berkata,
“Apakah engkau tidak bosan mendengarkan pembicaraan kedua wanita itu yang seakan-akan tidak ada akhirnya itu?”
Princess Minerva tersenyum. Ia mendengarkan suara percakapan Mrs. Wve dengan Mrs. Vye di Ruang Duduk yang telah menjadi bagian dari hidupnya akhir-akhir ini.
“Mereka memang cocok, ya, Al?”
Pangeran mengangguk. “Mereka memang cocok sekali. Bila mereka berkumpul, mereka akan selalu berbicara hingga tidak ada habisnya.”
Princess Minerva tersenyum mendengar keluhan kakaknya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye memang sangat cocok. Keduanya juga memiliki rupa yang sama. Setiap orang yang melihat mereka berdua pasti mengira mereka bersaudara. Mrs. Wve memiliki tubuh yang sama gemuk dengan Mrs. Vye. Wajah mereka juga tampak mirip. Dari semua kecocokan Mrs. Wve dan Mrs. Vye, yang paling mencolok adalah kecocokan kedua wanita itu saat berbincang-bincang. Kedua wanita tua itu setiap hari menghabiskan waktunya dengan berbicang-bincang. Perbincangan mereka tidak pernah berakhir. Selalu saja ada yang dibicarakan mereka berdua. Bila hari ini mereka membicarakan masa lalu mereka, maka esok mereka akan membicarakan hal yang lain.
“Sejak Mrs. Vye ada di sini, Mrs. Wve jarang memperhatikanmu,” kata Pangeran, “Aku akan memperingatkan Mrs. Wve.”
Princess Minerva tersenyum, “Biarkanlah mereka, Al. Mereka memang cocok sekali dan tidak dapat dipisahkan. Sejak dulu Mrs. Wve hanya mengawalku pergi ke manapun. Ia tidak mempunyai teman berbicara sekarang ia mempunyai teman yang cocok.”
“Ya,” keluh Pangeran sambil meletakkan kepalanya di dekat tangan Princess Minerva, “Tetapi mereka berbicara tidak ada akhirnya membuat aku merasa bosan mendengarnya.”
Princess Minerva meletakkan tangannya di atas kepala kakaknya, “Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangi mereka berdua.”
“Apakah engkau tidak menyayangiku?” tanya Pangeran sambil melirik tajam pada Princess Minerva.
Tatapan tajam kakaknya membuat Princess Minerva kembali teringat mata tajam Alexander saat terakhir kali ia melihat pria itu. Princess Minerva segera menutup matanya.
“Aku juga menyayangimu, Al. Tetapi engkau harus mengerti. Mrs. Wve pasti merasa bosan dan kesepian karena harus selalu menemaniku ke manapun aku pergi. Selama itu ia tidak mempunyai teman yang seusia dengannya. Ia tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Sekarang ia mendapatkannya dan demikianlah jadinya.”
“Karena itulah sampai sekarang engkau belum bertanya pada Mrs. Vye apakah ia mau tinggal di Istana?” tanya Pangeran.
Princess Minerva menatap wajah kakaknya, “Aku tidak tahu, Al. Aku merasa Mrs. Vye pasti setuju bila ia kuminta tinggal di sini tetapi ia juga memiliki teman yang menyayanginya di Obbeyville. Aku tidak ingin membuatnya bingung.”
“Sekarang waktunya kita memanfaatkan kepandaianmu menarik perhatian orang dan kepandaianku memanfaatkan kesempatan,” kata Pangeran.
“Apa yang kaumaksud, Al?”
“Engkau harus bertanya kepada Mrs. Vye, Minerva. Kau tahu itu. Dan sekarang kita berdua yang akan bertanya pada Mrs. Vye. Tunggulah di sini.”
Pangeran Alcon segera menghilang sebelum Princess Minerva sempat menghalanginya.
Sesaat kemudian Pangeran kembali dengan Mrs. Vye.
“Ada keperluan apa Anda memanggil saya, Princess?”
Princess Minerva tersenyum ,”Saya telah sering mengatakan kepada Anda, Mrs. Vye. Jangan memanggil saya Princess Minerva. Saya tahu Anda belum terbiasa dengan panggilan itu. Panggilah saya Maria seperti saat kita berada di Obbeyville.”
Mrs. Vye hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Duduklah di kursi ini, Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil menunjuk kursi yang terletak di samping tempat tidur Princess Minerva.
Pangeran duduk di tepi tempat tidur Princess Minerva dan memulai percakapan, “Kami ingin bertanya bagaimana perasaan Anda selama berada di Istana?”
“Jawablah yang jujur, Mrs. Vye. Kami hanya ingin mengetahuinya,” kata Princess Minerva.
“Saya merasa senang sekali dapat berada di Istana semegah ini tetapi kadang saya juga merasa tempat ini terlalu mewah untuk saya,” jawab Mrs. Vye.
“Jangan khawatir, Mrs. Vye. Itu karena Anda belum terbiasa dengan suasana Istana. Anda telah lama tinggal di sini, Anda akan terbiasa dengan semua kemewahan ini,” kata Princess Minerva.
“Bagaimana pendapat Anda tentang Mrs. Wve?” tanya Pangeran tidak membuang kesempatan.
“Saya merasa Mrs. Wve teman bicara yang menyenangkan. Saya dan ia merasa cocok satu sama lain,” jawab Mrs. Vye jujur.
Princess Minerva tersenyum, “Kami juga merasa demikian, Mrs. Vye. Kami merasa kalian cocok satu sama lain hingga rasanya tidak mungkin terpisahkan lagi.”
“Kami ingin bertanya apakah Anda mau terus tinggal di Istana?” tanya Pangeran.
Mrs. Vye tampak bingung.
Princess Minerva yang menyadari hal itu segera berkata, “Kami tidak memaksa Anda, Mrs. Vye. Tetapi saya dan juga Mrs. Wve pasti merasa senang bila Anda mau tinggal bersama kami. Dan bila tiba saatnya untuk saya pergi ke tempat lain, Anda dapat memutuskan apakah Anda ikut dengan kami atau tidak.”
“Bukan itu yang saya khawatirkan, Princess.”
“Saya mengerti Anda mengkhawatirkan Mrs. Fat, Mr. Liesting dan Mrs. Dahrien. Mengenai mereka saya juga telah memikirkannya tetapi saya masih belum menemukan jalan keluar yang terbaik bagi mereka dan keluarga Sidewinder,” kata Princess Minerva, “Dan mengenai semakin retaknya hubungan Anda dengan keluarga Sidewinder saya juga merasa harus bertanggung jawab.”
Mrs. Vye cepat-cepat berkata, “Jangan khawatirkan kami, Princess. Khawatirkan saja kesehatan Anda. Mengenai hubungan saya yang tidak begitu baik dengan Baroness Lora, Anda telah mengetahuinya. Anda sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Saya sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan keluarga itu.”
Pangeran tertawa. “Jika engkau berhasil membuat Minerva diam, aku akan mengucapkan selamat kepadamu. Selama ini Minerva sangat sulit disuruh diam, tetapi sejak ia menghilang, ia menjadi lebih penurut. Sebenarnya apa yang terjadi selama engkau berada di sana, Minerva?”
“Engkau telah mengetahuinya dari Mrs. Vye, bukan?”
Pangeran mengangguk, “Tetapi aku belum mengetahuinya darimu.”
“Ceritanya akan sama saja, Al,” kata Princess Minerva, “Sekarang kita sedang bertanya pada Mrs. Vye.”
Pangeran memalingkan pandangannya ke wajah Mrs. Vye yang masih diwarnai kebigungannya.
“Pikirkanlah hal ini, Mrs. Vye. Kami tidak memaksamu. Dan mengenai kawan Anda, Eido, kami juga telah bertanya apakah ia mau tinggal di sini. Dan seperti Anda, ia masih merasa bingung.”
“Saya berjanji akan memikirkannya, Pangeran.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya sangat senang sekali bila Anda mau tinggal bersama saya. Mrs. Wve pasti merasa senang mempunyai teman yang dapat diajaknya berbagi masa lalu,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.
Pertanyaan yang diajukan Princess Minerva dan kakaknya benar-benar telah membuat Mrs. Vye merasa bingung. Setelah berpikir lama dan bercakap-cakap dengan Eido, akhirnya mereka berdua membuat keputusan yang sama, keputusan yang membuat Princess Minerva merasa senang sekali.
Tetapi Mrs. Wve lebih terlihat senang dengan keputusn Mrs. Vye daripada Princess. Sepanjang hari Mrs. Wve bercakap-cakap dengan Mrs. Vye setelah Mrs. Vye memutuskan untuk tinggal di Istana. Suara percakapan kedua wanita itu terdengar hingga kamar Princess Minerva dan itu membuat Pangeran Alcon menjadi bosan.
Princess Minerva yang mengetahui itu hanya tersenyum. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Pangeran sama sekali tidak mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya walaupun ia telah cukup sehat.
Tetapi apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar.
Princess Minerva bukanlah seorang gadis yang mau duduk diam sepanjang hari. Memang pada mulanya ia mampu mengatasi kebosanannya tetapi lama kelamaan ia benar-benar merasa bosan dan ingin segera meninggalkan tempat tidur. Bagi Princess Minerva, semakin ia diam saja itu artinya ia semakin memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander.
Tetapi memikirkan Alexander bukanlah suatu hal yang membuatnya senang. Ia selalu merasa sedih dan ingin menangis bila teringat pria itu. Ingatannya akan kata-kata terakhir Alexander dan wajah Alexander sebelum ia meninggakan tempat itu benar-benar telah melekat di hatinya sehingga setiap kali ia memikirkan pria itu, yang muncul hanyalah saat yang menyakitkan hatinya itu. Setiap Princess Minerva memejamkan matanya, yang terlihat hanyalah wajah Alexander yang dingin dan penuh kemarahan.
Pada suatu hari Princess Minerva memanfaatkan kebosanan kakaknya.
“Aku benar-benar merasa jenuh mendengar percakapan mereka,” keluh Pangeran, “Mengapa engkau bisa tahan dengan semua ini?”
“Sabarlah, Al. Memang beginilah yang seharusnya terjadi. Selama ini aku selalu melihat Mrs. Wve pendiam tetapi sejak kedatangan Mrs. Vye, ia menjadi lebih banyak berbicara.”
“Engkau senang melihat aku jenuh?” tanya Pangeran.
“Aku tidak ingin engkau merasa jenuh, Al. Tetapi jangan khawatir, sekarang aku punya pemecahannya.”
“Apa itu?” tanya Pangeran ingin tahu.
“Ijinkan aku meninggalkan tempat tidurku,” jawab Princess Minerva tenang.
Pangeran segera menggelengkan kepalanya mendengar jawaban itu. “Tidak, Minerva. Aku tidak akan mengijinkanmu.”
“Ayolah, Al, aku benar-benar merasa bosan duduk diam di sini sepanjang hari,” bujuk Princess Minerva.
Pangeran menatap wajah Princess Minerva yang penuh permohonan.
“Engkau memang pandai memohon,” kata Pangeran.
Princess Minerva tersenyum penuh kemenangan mendengarnya.
“Baiklah, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkan engkau berjalan. Akulah yang akan membawamu meninggalkan tempat tidurmu.”
“Al, aku dapat berjalan sendiri.”
“Aku tahu, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkanmu berjalan sampai aku benar-benar yakin engkau cukup sehat.”
“Al, engkau memperlakukanku seperti aku ini seorang bayi yang baru belajar berjalan.”
Pangeran tersenyum nakal yang membuat Princess Minerva kembali teringat pada Alexander.
“Saat ini aku memang merasa engkau seorang bayi yang perlu dijaga agar tidak nakal.”
Pangeran mengangkat tubuh Princess Minerva dan berkata, “Sekarang ke mana kita akan pergi?”
Princess Minerva tersenyum senang. Ia tahu ia tidak akan lagi memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander dan ia berharap dengan demikian ia dapat sedikit demi sedikit melupakan Alexander dan kenangan pahitnya. Tetapi Princess Minerva juga menyadari ia sulit melakukan itu. Princess Minerva percaya ia tidak akan dapat melupakan Alexander walaupun pria itu telah menyakitinya. Ia sangat mencintai pria itu bahkan terlalu mencintai pria itu sehingga memikirkan saat di Obbeyville saja mampu membuat hatinya terasa teriris. Kepercayaan Princess Minerva jauh lebih tepat dibandingkan harapannya. Ia sama sekali tidak dapat melupakan Alexander. Pikirannya tentang pria itu terus saja melekat di kepalanya. Alexander telah bersemayam tidak hanya di hatinya tetapi juga di pikirannya.
Kebiasaan Princess Minerva yang selalu bersikap tenang membuat tidak seorangpun menyadari itu. Ia tetap mampu bersikap tenang dan selalu tersenyum walau hatinya sedang bersedih.
Sejak Pangeran Alcon mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya, Princess Minerva benar-benar memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sepanjang hari ia duduk di depan pianonya sambil memainkan lagu-lagu kesukaan kakaknya. Dengan permainan pianonya, Princess Minerva semakin menceriakan suasana di Istana Plesaides. Permainannya yang penuh perasaan terdengar ke seluruh penjuru Istana.
Tidak seorang pun yang menyadari di balik semua itu Princess Minerva merasa sangat sedih. Princess Minerva memang pandai menyembunyikan perasaan hatinya yang sebenarnya. Dengan sikapnya yang selalu tenang dan penuh senyuman, ia tetap terlihat ceria dan mempesona.
Princess Minerva menyadari hari-hari terus berlalu sejak ia meninggalkan Obbeyville. Dan ia merasa telah lama sekali ia meninggalkan Obbeyville yang mendapat tempat di hatinya. Rasanya baru kemarin ia berada di Obbeyville padahal telah lebih dari empat bulan ia meninggalkan tempat itu.
Princess Minerva yang menurut setelah Pangeran Alcon memutuskan hanya dirinyalah yang boleh membawa Princess Minerva meninggalkan tempat tidurnya, akhirnya mulai merasa bosan. Princess Minerva mulai tidak senang harus menanti kakaknya bila ia hendak meninggalkan tempat tidurnya. Ia merasa dirinya telah memberi beban tambahan di pundak kakaknya. Princess Minerva mengakui sejak ia sadar dari tidur panjangnya, ia selalu melihat kakaknya di kamarnya. Setiap saat ia terbangun dari tidurnya, wajah kakaknya selalu ada di kamarnya. Pangeran Alcon jua telah memindahkan ruang kerjanya ke Ruang Duduk Princess Minerva. Princess Minerva tahu itu tetapi ia tidak dapat mencegah kakaknya. Ia mengerti seperti halnya seluruh penghuni Istana, Pangeran merasa rindu padanya dan ingin menghabiskan waktu sepanjang hari bersamanya.
Raja dan Ratu yang mengerti keadaan itu mengalah. Mereka lebih menyibukkan diri mereka dengan urusan kerajaan. Mereka juga telah memberi banyak kesempatan bagi kedua kakak beradik itu untuk selalu berdua. Tidak hanya Raja dan Ratu saja yang mengerti. Semua orang di Istana mengerti itu. Mereka tidak banyak menganggu ketika Pangeran Alcon sedang bersama Princess Minerva yang mereka sayangi. Mrs. Wve dan Mrs. Vye juga mengerti masalah itu. Mereka lebih banyak berbicara di luar kamar Princess Minerva daripada di dalam kamar menganggu kakak beradik itu.
Hari-hari terakhir ini Princess Minerva merasa sikap Pangeran Alcon menjadi aneh. Kakaknya sering terlihat termenung memikirkan sesuatu. Tetapi Pangeran tidak mau berkata apa-apa walaupun Princess Minerva telah membujuknya.
Princess Minerva sedang bermain piano ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye sedang berjalan-jalan di halaman Istana sehingga Pangeran sendiri yang membuka pintu itu.
“Selamat siang, Princess Minerva. Bagaimana keadaan Anda?” tanya Kendsley.
Princess Minerva yang mendengar sapaan itu segera berjalan meninggalkan piano dan mendekati Menteri Dalam Negeri yang tersenyum padanya.
Pangeran Alcon yang telah membiarkan Princess Minerva berjalan sendiri diam saja.
“Selamat siang, Kendsley. Lama kita tidak berjumpa,” sapa Princess Minerva.
“Ya, Anda setiap hari berada di kamar Anda.”
Princess Minerva memalingkan kepalanya kepada kakaknya yang tersenyum nakal, “Ia mengurungku di sini sejak aku sadar. Dan untuk dapat berjalan sendiri, aku benar-benar harus berusaha keras.”
Pangeran Alcon tersenyum.
Pangeran Alcon ingat sekali saat ia dikejutkan oleh munculnya Princess Minerva di Ruang Duduk. Saat itu Pangeran menduga Princess Minerva masih tertidur.
Tidak sedikitpun ia menduga adiknya tengah duduk di Ruang Duduk sambil bercakap-cakap dengan Mrs. Wve dan Mrs. Vye.
Princess Minerva segera menghampiri Pangeran Alcon yang terpaku di pintu.
“Mengapa engkau meninggalkan tempat tidurmu?” tanya Pangeran.
“Karena aku mempunyai kaki untuk berjalan dan aku tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk sampai di sini,” jawab Princess Minerva tenang, “Lama kelamaan sang ‘bayi’ juga akan mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Pangeran Alcon menyerah pada keinginan adiknya dan sejak saat itu ia tidak lagi membopong adiknya ke tempat yang diinginkan adiknya. Ia telah membiarkan ‘bayi’nya berjalan sendiri.
“Ada keperluan apa engkau mencariku, Kendsley?” tanya Pangeran.
“Sejak Anda mengumumkan berita kembalinya Princess, Anda belum memberi penjelasan kapan Anda akan mengadakan pesta itu. Masyarakat mempertanyakannya,” kata Kendsley.
“Pesta apa?” tanya Princess Minerva tak mengerti.
Pangeran tersenyum pada Princess Minerva. “Aku mengerti, Kendsley. Aku akan mengumumkannya dalam waktu dekat ini.”
“Akan saya sampaikan perkataan Pangeran pada masyarakat,” kata Kendsley.
Setelah Menteri Dalam Negeri meninggalkan tempat itu, Princess Minerva mendekati Pangeran Alcon dan bertanya, “Pesta apa, Al?”
Pangeran Alcon memegang pundak adiknya. “Duduklah dulu.”
Pangeran Alcon mendudukkannya tepat di depan perapian yang menyala terang. Setelah itu ia duduk di hadapan Princess Minerva.
“Pesta itu kuadakan untuk membuat masyarakat mengenalmu,” kata Pangeran, “Dan engkau tidak dapat menghindari pesta ini. Tahun ini engkau tidak akan pergi ke Clayment.”
Princess Minerva tersenyum, “Aku tahu, Al. Musim gugur telah berlalu dan musim dingin telah berlalu hampir satu bulan. Tidak mungkin ladi bagiku untuk ke Clayment. Bila aku memaksa ke sana, aku pasti jatuh sakit selama di perjalanan.”
Pangeran Alcon tersenyum puas, “Bagus. Aku senang engkau mau mengerti.”
“Tetapi, Al mengapa engkau harus mengadakan pesta untuk itu bila engkau tidak ingin peristiwa ini terjadi lagi. Masih banyak cara lain agar penduduk Kerajaan mengenalku,” kata Princess Minerva.
“Memang masih banyak cara lain tetapi aku terlanjur berjanji pada masyarakat. Engkau paling tidak suka melihat orang melanggar janjinya, bukan ?”
Princess Minerva membenarkan ucapan Pangeran Alcon.
“Karena itu engkau mau bukan hadir dalam pesta itu?”
“Kapan pesta itu akan kauadakan?”
“Aku belum tahu. Aku belum memutuskannya secara pasti. Tetapi dalam beberapa hari ini aku telah berpikir untuk mengadakannya bertepatan dengan hari Natal.”
Princess Minerva cepat-cepat berkata, “Tidak, Al. Engkau jangan mengadakannya tepat pada hari Natal.”
“Mengapa tidak, Minerva?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Al, pada hari Natal orang-orang umumnya lebih suka merayakannya bersama keluarganya. Lebih baik engkau mengadakannya sesudah atau sebelum hari Natal itu.”
Pangeran tak mengerti. “Mengapa tidak, Minerva? Kurasa tidak ada salahnya bila kita mengadakannya tepat pada hari Natal.”
Princess Minerva tersenyum pengertian. “Memang tidak ada masalah. Tetapi kita harus menghargai keinginan setiap orang yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya, Al. Adakan pesta itu sebelum atau sesudah hari Natal.”
“Baiklah, Minerva. Bila itu yang kauhendaki. Aku tidak ingin engkau tiba-tiba pergi seperti pesta ulang tahunmu itu,” kata Pangeran, “Daripada aku kehilangan engkau lagi lebih baik aku menuruti kehendakmu.”
“Jadi, kapan engkau akan mengadakannya?”
Pangeran berpikir sambil menimbang untung ruginya bila pesta itu diadakan sebelum atau sesudah hari Natal.
Setelah menemukan jawabannya, Pangeran tersenyum dan berkata, “Aku akan mengadakannya pada kedua-duanya.”
“Sebelum dan sesudah Natal?” tanya Princess Minerva tak percaya, “Mengapa engkau mengadakannya dua kali, Al? Sekali saja sudah cukup.”
“Bukan itu maksudku, Minerva sayang,” kata Pangeran, “Aku akan mengadakannya sebelum hari Natal dan tepat pada hari Natal. Dengan demikian keinginanmu dan keinginanku sama-sama terkabul.”
“Al, bagaimana dengan mereka yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya?” tanya Princess Minerva.
“Aku telah memikirkannya, Minerva. Bila mereka ingin merayakan Natal bersama keluarganya, mereka cukup hadir pada pesta pertama tetapi bila mereka mau merayakan Natal bersama kita, mereka boleh hadir lagi di pesta kedua.”
“Kapan pesta pertama itu akan kauselenggarakan?” tanya Princess Minerva.
“Mungkin tanggal dua puluh.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Jangan mengadakannya pada tanggal itu. Bagaimana dengan mereka yang ingin berkumpul dengan keluarganya yang tempat tinggalnya sangat jauh dari sini?”
Pangeran terdiam.
Princess Minerva memanfaatkan kesibukan berpikir Pangeran. “Paling tidak adakanlah sepuluh hari sebelum Natal.”
“Baiklah,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta pertama pada pertengahan Desember dan pesta kedua tepat pada hari Natal.”
“Siapa yang akan kauundang, Al? Engkau belum memutuskannya,” kata Princess Minerva mengingatkan.
“Engkau salah, Minerva sayang. Sebelum aku mengumumkan kemunculanmu pada penduduk, aku telah mengetahui siapa saja yang akan kuundang. Aku akan mengundang semua bangsawan yang ada di Kerajaan Zirva.”
Princess Minerva terkejut. Ia sadar bila semua bangsawan diundang dalam pesta itu, maka kemungkinan besar ia akan bertemu kembali dengan Alexander.
Tetapi Princess Minerva tahu Alexander pasti tidak senang bertemu dengannya. Princess Minerva tahu pria itu akan mengeluarkan kata-kata yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Al?”
“Tidak. Aku ingin sekali bertemu dengan Baroness Lora dan Lady Debora,” kata Pangeran geram.
“Al, aku tidak mengijinkanmu bertemu dengan mereka hanya karena engkau merasa marah pada perlakuan mereka terhadapku,” kata Princess Minerva.
“Minerva, mereka telah memperlakukanmu dengan buruk. Aku ingin mengetahui seperti apa wajah wanita yang menghinamu,” kata Pangeran.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Walaupun mereka tidak menyukaiku tetapi mereka masih mengijinkan aku tinggal di Obbeyville. Sekasar apapun kata-kata mereka, mereka tetap berjasa kepadaku.”
“Engkau memang terlalu baik hati, Minerva. Engkau bahkan tidak merasa marah kepada mereka,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum memandang wajah adiknya.
Pangeran Alcon senang sekali memandangi wajah cantik adiknya. Ia tidak pernah merasa bosan melihat wajah cantik itu dengan senyumannya yang manis.
Setiap kali melihatnya, Pangeran Alcon berpikir siapakah yang tidak akan tertarik melihat adiknya. Jawabannya adalah tidak ada. Semua orang tertarik melihat wajah Princess Minerva yang cantik dengan senyumannya yang menawan hati dan matanya yang ungu jernih. Demikian pula tutur katanya yang lemah lembut akan membuat siapa saja semakin tertarik padanya.
“Berkat mereka aku dapat berada di sini kembali,” kata Princess Minerva.
“Baiklah, Minerva. Aku mengerti berkat mereka engkau dapat berada di sini. Dan karena mereka pula engkau masih dapat hidup hingga kini.”
Princess Minerva tersenyum mendengar suara kakaknya yang dibuat setenang mungkin tetapi tidak dapat menyembunyikan kegeraman yang muncul terutama saat ia mengatakan ‘mereka’. Princess Minerva tahu kakaknya pasti tidak menyukai Baroness Lora dan Lady Debora setelah mendengar peristiwa yang dialaminya selama berada di Obbeyville.
“Masalah itu telah selesai, Al. Sekarang maukah engkau menceritakan masalahmu yang lain?”
“Masalah apa?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Jangan berbohong kepadaku, Al,” kata Princess Minerva, “Aku tahu engkau sedang menghadapi suatu masalah yang sulit. Katakanlah kepadaku mungkin aku dapat membantumu.”
Pangeran tertawa, “Apakah engkau selalu dapat membaca pikiran orang, Minerva?”
“Aku tidak dapat membaca pikiran orang, Al, tetapi aku tahu engkau sedang menghadapi masalah yang serius.”
“Aku baru saja menyelesaikan satu-satunya masalah yang menjadi beban pikiranku akhir-akhir ini.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Engkau masih mempunyai masalah yang lain. Aku tahu itu.”
“Rasanya aku tidak pandai menyembunyikan suatu masalah,” gumam Pangeran.
Princess Minerva tersenyum, “Karena itu, Al, jangan berbohong lagi kepadaku. Katakan apa masalahmu itu.”
Pangeran terdiam. Pangeran memandang wajah Princess Minerva selama beberapa saat kemudian ia menuju jendela yang selalu tertutup.
Princess Minerva melihat kakaknya tampak kebingungan. Ia mendekati Pangeran Alcon yang sedang memandang keluar melalui jendela.
“Katakanlah kepadaku, Al. Aku pasti dapat membantumu,” bujuk Princess Minerva.
Pangeran masih tetap diam. “Aku kebingungan, Minerva,” katanya setelah beberapa saat.
“Apa yang membuatmu bingung seperti ini, Al. Aku tidak pernah melihat engkau segelisah ini,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon membalikkan badannya dan memeluk Princess Minerva.
“Aku bingung, Minerva. Aku tidak ingin meninggalkanmu tetapi aku telah berjanji pada mereka,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva menengadah memandang wajah Pangeran Alcon yang kebingungan. “Engkau akan pergi, Al?”
Pangeran Alcon menatap wajah Princess Minerva dan mengangguk.
“Kapan engkau akan pergi?” tanya Princess Minerva.
“Menurut rencana akhir bulan ini aku harus pergi,” jawab Pangeran Alcon, “Tetapi aku tidak ingin meninggalkanmu. Tidak setelah semua ini terjadi. Aku tidak ingin engkau menghilang lagi tanpa aku ketahui di mana engkau berada.”
Princess Minerva menatap lekat-lekat wajah kakaknya yang kebingungan, “Engkau telah berjanji pada mereka?”
“Ya, aku berjanji pada mereka tahun lalu. Saat itu aku tidak tahu ini semua akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya tidak mungkin membatalkan janji yang telah kubuat setahun yang lalu.”
“Engkau tahu, Al, aku tidak senang seseorang melanggar janjinya,” kata Princess Minerva tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon tersenyum, “Aku tahu, Minerva sayang. Karena itu aku merasa bingung.”
“Pergilah, Al. Jangan khawatirkan aku. Aku janji tidak akan ke mana-mana selama engkau tidak berada di Istana. Papa, Mama, Mrs. Wve, Mrs. Vye dan semua orang di Istana akan memastikan aku selalu berada di dalam Istana,” kata Princess Minerva.
“Engkau tidak mengerti, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil menggelengkan kepalanya, “Bila Papa dan Mama juga berada di sini, aku tidak akan bingung. Tetapi mereka berdua juga telah berjanji pada kerajaan tetangga kita untuk juga hadir dalam pesta musim dingin mereka.”
“Papa dan Mama juga akan pergi?” tanya Princess Minerva meyakinkan dirinya sendiri.
“Engkau memang nakal, Minerva. Aku telah mengatakannya kepadamu tetapi engkau tidak mendengarkannya,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum, “Sekarang dengarkan baik-baik. Papa dan Mama juga akan menghadiri pesta musim dingin kerajaan tetangga kita.”
Princess Minerva tersenyum, “Pergilah, Al. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”
“Aku tahu engkau tidak akan meninggalkan Istana tetapi aku khawatir engkau menolak meminum obatmu,” kata Pangeran sambil tersenyum nakal.
Princess Minerva tersenyum, “Engkau jahat, Al. Aku selalu meminum obatku walaupun aku tidak suka obat itu membuatku mengantuk. Aku percaya engkau meminta Dokter Donter memberi campuran obat tidur dalam tiap obat itu.”
“Dokter Donter sendiri yang memberinya. Aku sama sekali tidak memintanya melakukan itu tetapi ia telah mengerti kalau engkau paling sulit disuruh diam.”
“Aku memang merasa bosan, Al. Aku paling tidak suka bila disuruh duduk diam seharian,” kata Princess Minerva membenarkan ucapan kakaknya.
“Itulah yang kukhawatirkan. Aku khawatir engkau mulai melakukan segala macam kegiatanmu selama engkau berada di Istana. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana selama engkau masih lemah.”
“Jangan khawatir, Al. Di sini masih ada Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang akan menjagaku,” kata Princess Minerva, “Sekarang aku mempunyai dua orang pengasuh yang selalu menjagaku.”
“Aku tahu mereka akan mampu menjagamu dengan baik,” kata Pangeran, “Tetapi aku lebih mempercayai diriku sendiri daripada orang lain.”
Princess Minerva tersenyum, “Al, aku tahu engkau mengkhawatirkan aku tetapi jangan kaulupakan janjimu. Engkau tahu aku paling tidak senang melihat seseorang melanggar janjinya.”
Pangeran memandang sedih pada Princess Minerva yang masih berada di pelukannya. “Aku tahu itu. Aku ingin sekali membatalkan janji yang kubuat tahun lalu itu.”
“Engkau telah berjanji pada mereka tahun lalu untuk menghadiri pesta musim dingin mereka,” kata Princess Minerva mengingatkan, “Dan jangan lupa pada kedudukanmu, Al. Engkau putra mahkota Kerajaan Zirva.”
“Karena itu pula aku merasa bingung, Minerva,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan kakaknya. Ia mengangkat tangannya dan memegang wajah Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon menggenggam tangan dingin Princess Minerva yang menyentuh wajahnya sambil terus memandang wajah adiknya yang sedang tersenyum.
“Al, seorang Pangeran tidak boleh melanggar janjinya. Engkau akan disegani penduduk bila engkau selalu menepati janjimu tetapi bila engkau selalu melanggar janjimu, masyarakat tidak akan mempercayaimu.”
Pangeran terus memandang wajah Princess Minerva.
“Engkau harus belajar menjadi raja yang baik bagi masyarakat dari hal-hal yang kecil,” kata Princess Minerva, “Memang janjimu kepada Raja Pyre tidak dapat dikatakan kecil tetapi engkau tahu engkau harus menepatinya.”
Pangeran Alcon mengangguk, “Aku tahu itu, Minerva.”
“Aku senang engkau mengetahuinya. Aku berjanji tidak akan melakukan tindakan apa pun yang akan membuat aku menjadi sakit selama engkau pergi. Aku akan menuruti segala perkataan kedua pengasuhku,” kata Princess Minerva sambil tersenyum manis.
Pangeran membalas senyuman Princess Minerva dengan senyum nakal yang kekanak-kanakan, “Aku tahu engkau memang pandai membujuk orang, Princess Minerva. Engkau selalu membujuk orang dengan senyumanmu yang manis itu dan membuat semua orang sulit menghindari bujukanmu.”
Kata-kata Pangeran Alcon membuat Princess Minerva menyadari suatu hal yang selama ini tidak pernah dipikirkannya.
Kata-kata Alexander tiba-tiba terbayang kembali di ingatannya, “Cukup sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik tetapi berhati iblis.”
Princess Minerva sadar mungkin karena senyumannya itu yang membuat Alexander merasa ia adalah wanita perayu yang ulung. Karena dengan senyumannya yang manis itu, ia mampu membuat siapa saja menurutinya. Princess Minerva segera menyembunyikan kesedihan hatinya di balik senyumannya secepat Princess Minerva menyadari hal itu.
“Apakah itu berarti engkau akan pergi menepati janjimu?”
Pangeran Alcon cemberut, “Rupanya engkau sangat bersemangat menyuruhku meninggalkanmu.”
“Bukan, Al. Aku juga tidak ingin engkau meninggalkanku tetapi aku ingin engkau menepati kata-katamu.”
Pangeran Alcon tersenyum dan memeluk Princess Minerva lagi, “Aku akan pergi menepati janjiku sesuai kehendakmu, Tuan Puteri, tetapi aku akan segera kembali. Aku janji aku akan segera kembali setelah pesta itu selesai.”
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Pangeran Alcon.
Seperti yang telah dikatakan Pangeran pada Princess, Raja dan Ratu juga ikut pergi ke kerajaan tetangga mereka. Beberapa hari menjelang keberangkatan mereka, semua orang di Istana sibuk menyiapkan keberangkatan itu. Menjelang keberangkatan itu, Pangeran Alcon menjadi semakin sering berada di kamar adiknya. Pangeran Alcon benar-benar tampak enggan meninggalkan adiknya. Namun sejak Princess Minerva berhasil membujuk Pangeran, Pangeran tidak pernah mengeluh atau merasa bingung lagi.
Satu-satunya yang dirasakan Pangeran ketika hari keberangkatannya semakin dekat adalah rasa sedih harus berpisah dengan Princess Minerva yang baru saja kembali setelah tak tentu rimbanya selama tiga bulan lebih. Bahkan hampir setengah tahun bila ditambah dengan saat Princess Minerva tak sadarkan diri. Walaupun Pangeran tidak mengatakan apa-apa tentang kesedihannya itu tetapi Princess mengetahuinya. Setiap hari Princess Minerva menghibur kakaknya juga kedua orang tuanya yang juga enggan berpisah dengannya. Raja dan Ratu memang tampak sedih karena harus meninggalkan Princess Minerva yang tidak begitu sehat tetapi Pangeran Alcon lebih sedih lagi.
Tidak dapat disangkal lagi Princess Minerva lebih akrab dengan kakaknya daripada kedua orang tuanya. Walaupun demikian Princess Minerva tetap menyayangi kedua orang tuanya sebesar rasa sayangnya pada kakaknya. Raja dan Ratu juga mengerti melihat Pangeran Alcon lebih akrab dengan Princess Minerva daripada dengan mereka.
Sejak kejadian yang menimpa Princess saat Princess berusia empat tahun, Pangeran Alcon berubah total. Pangeran yang semula tidak menyukai adiknya menjadi sangat menyayanginya bahkan lebih menyayangi adiknya daripada nyawanya sendiri.
No comments:
Post a Comment