Friday, May 11, 2007

Gadis Misterius-Chapter 13

Ketika Maria bertemu dengan Alexander keesokan harinya, Maria telah merencanakan untuk membicarakan masalah hilangnya Princess Mincerva segera setelah ia bertemu.

Kemarin ketika mereka berada di Blueberry House tidak ada yang dapat dilakukan Maria untuk membuat ia dan Alexander hanya berdua. Dan pagi ini Maria tidak mau membuang waktu yang ada.

“Selamat pagi,” kata Maria.

“Selamat pagi, Maria.”

“Anda telah mendengar berita itu?” tanya Maria walaupun ia telah tahu jawabannya.

“Ya. Engkau juga telah membacanya bukan? Aku terkejut sekali ketika membacanya. Aku rasa semua orang juga terkejut mendengarnya terutama setelah berita kemarin.”

“Saya hanya ingin memperingatkan Anda untuk tidak menuju Death Rocks. Lebih baik Anda menghindari tempat itu bila Anda ingin selamat.”

“Engkau berkata seperti aku akan menghadapi pasukan iblis bila aku ke Death Rocks.”

“Itulah yang Anda hadapi bila Anda ke sana,” kata Maria.

“Aku ingin ke sana. Aku ingin melihat tempat kecelakaan yang menimpa Princess.”

“Saya juga ingin ke sana tetapi tempat itu terlalu berbahaya untuk didekati dengan sembarangan, bila Anda bersikeras ke sana, saya mengusulkan untuk pergi di pagi hari,” kata Maria.

“Mengapa demikian, Maria?”

“Karena ada yang harus saya lakukan sebelum Anda ke sana. Saya harus mempersiapkan kedatangan Anda di sana. Katakanlah memintakan ijin kepada penghuni tebing itu. Dan satu pesan saya, kembalilah sebelum matahari tenggelam.”

Alexander tersenyum mendengar kata-kata Maria, “Engkau telah mengingat sesuatu yang penting? Engkau bersikeras mencegahku ke Death Rocks.”

“Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda, tetapi memang benar tempat itu berbahaya dan saya seharusnya mencegah Anda ke tempat itu.”

“Tetapi engkau tidak dapat menghentikan saya bukan?”

“Ya, karena Anda memang tidak dapat dihentikan,” kata Maria sambil tersenyum.

“Akhirnya…”

“Akhirnya?” tanya Maria keheranan.

“Akhirnya engkau tersenyum,” kata Alexander sambil menarik tubuh Maria, “Sejak tadi engkau berbicara dengan serius sekali tidak seperti Maria yang selama ini kukenal senang tersenyum.”

Maria tersenyum geli, “Karena hal itu memang sangat serius, maka saya harus mengatakannya dengan serius pula.”

“Kalau engkau tersenyum, engkau sangat cantik. Tetapi lebih cantik lagi bila engkau tertawa. Dan sayang sekali aku tidak dapat membuatmu tertawa, engkau hanya pernah sekali tertawa yaitu ketika kita melihat matahari terbit, setelah itu tidak pernah lagi,” kata Alexander.

Alexander menunduk tetapi kemudian segera melepaskan Maria.

“Aku ingin menciummu tetapi engkau sekarang telah menjadi bidadari. Aku baru saja menyadarinya,” kata Alexander, “Benarkah itu, Maria? Jarang ada orang yang mengetahui itu. Walaupun hampir seluruh buku itu telah kauartikan untuk kami, tetapi aku tidak mengetahui masalah larangn mendekati Death Rocks itu.”

“Saya tidak ingat, saya hanya ingat saya harus mencegah orang yang hendak ke sana.”

“Engkau pasti bidadari yang diutus untuk mencegah kami semua mendekati Death Rocks. Dan Bila tugasmu telah usai, engkau akan kembali ke Holly Mountain.”

“Saya tidak tahu,” kata Maria.

“Sekarang katakan kepadaku apa yang harus kulakukan,” kata Alexander.

“Hanya satu yang hendak saya katakan kepada Anda, jangan pergi ke Death Rocks hari ini pergilah ke sana esok pagi,” kata Maria.

“Hanya itu?” tanya Alexander, “Aku merasa engkau masih ingin mengatakan yang lain dan banyak yang akan kaukatakan.”

“Untuk sementara hari ini cukup ini saja,” kata Maria.

“Tidakkah engkau menyadari, Maria, engkau menjadi seorang yang sangat berbeda dari Maria yang biasanya bila engkau berbicara dengan serius,” kata Alexander.

“Apa yang saya katakan ini memang penting karena ini menyangkut keselamatan Anda bila Anda ingin selamat,” kata Maria.

“Engkau akan ke mana?” tanya Alexander ketika melihat Maria sejak tadi hendak pergi.

Maria tersenyum. “Menyelesaikan tugas terakhir saya.”

“Dan setelah itu engkau akan menghilang?” tanya Alexander cemas.

“Saya tidak tahu. Tolong jangan cegah saya melakukan tugas terakhir saya di pagi ini,” kata Maria melihat Alexander hendak mencegahnya pergi.

“Tetapi kita baru saja bertemu, Maria. Dan engkau seperti ingin segera menghindar dariku. Apakah ini semua karena berita yang menggemparkan itu?”

“Saya tidak tahu. Tetapi saya memang harus segera menyelesaikan tugas terakhir saya di pagi hari ini bila saya tidak ingin menyesal di kemudian hari.”

“Semua orang sibuk membicarakan Princess,” kata Alexander.

“Saya tahu. Semua orang pasti terkejut bila mendengar nama seseorang yang penting yang tidak pernah didengarnya apalagi bila ia adalah putri raja,” kata Maria.

“Aku ingin tahu apakah berita itu benar,” kata Alexander.

Maria tersenyum, “Seperti yang Anda katakan. Kita hanya dapat menanti berita selanjutnya. Saya kira berita tentang Princess akan terus berlangsung hingga semuanya menjadi jelas. Bahkan mungkin ketika semuanya menjadi jelas, mereka tidak akan berhenti membicarakan dirinya.”

“Aku juga menduga seperti itu,” kata Alexander, “Aku yakin Trown Townie sangat tertarik mendengar berita pagi ini.”

“Mengingat betapa semangatnya ia kemarin saat menceritakan hal itu kepada kita, saya menduga ia pasti juga ikut dalam rombongan orang yang ingin menemukan Princess,” kata Maria.

“Apakah aku harus menemukannnya dan mencegahnya pergi?” tanya Alexander sambil tersenyum.

Maria tahu Alexander bertanya tidak dengan sungguh-sungguh tetapi Maria menganggap pertanyaan itu serius apalagi di keadaan seperti ini. Di mana semua orang ingin pergi ke Death Rocks yang sebenarnya merupakan tempat berbahaya.

“Bila Anda bertemu dengannya, cegahlah ia,” kata Maria dengan tersenyum, “Dan sekarang jangan menghalangi saya lagi.”

Walaupun Maria telah meminta Alexander untuk tidak menghalanginya, tetapi pria itu tetap menghalangi Maria.

Alexander menarik tangan Maria ketika gadis itu hendak pergi.

“Engkau akan ke mana?” tanya Alexander, “Aku akan mengantarmu.”

Maria menggeleng dan tersenyum, “Anda akan menyesal bila ikut saya.”

“Aku tidak akan menyesal, Maria. Aku telah cukup mengenalmu dan selama ini engkau tidak pernah membuatku merasa menyesal,” kata Alexander bersikeras.

“Saya tahu Anda memang tidak dapat dicegah dan Anda tidak ingin dicegah siapa pun bila Anda memiliki suatu keinginan,” kata Maria.

“Engkau telah mengetahuinya karena itu engkau harus mengijinkan aku mengantarmu.”

“Baiklah,” kata Maria mengalah, “Saya ingin menemui Quiya.”

“Untuk menyelesaikan ‘ijin’ku?”

“Hanya itu yang dapat saya lakukan untuk saat ini,” kata Maria.

Alexander mengantar Maria ke rumah Quiya.

Tidak ada yang berbicara ketika mereka berjalan mendekati rumah itu. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Quiya dan Quiyi terkejut ketika melihat Maria datang bersama Alexander. Sedangkan Ityu tampak sangat senang. Anak itu berlari menyambutnya.

“Selamat pagi,” kata Ityu.

“Selamat pagi, Ityu. Bagaimana pelajaranmu? Apakah engkau sudah menguasai apa yang aku ajarkan kepadamu?” kata Maria.

“Hampir. Saya akan belajar terus sampai saya bisa membaca dengan lancar seperti Anda,” kata Ityu.

“Selamat pagi, Quiya. Dapatkah saya berbicara berdua saja dengan Anda?” kata Maria dengan tegas.

Ketegasan Maria mengeluarkan setiap patah kata membuat Alexander merasa terkejut.

Selama hampir tiga bulan ia mengenal Maria, ia selalu mendengar tutur kata gadis itu selalu lembut. Tidak pernah terdengar ketegasan di dalam nada bicaranya tetapi apa yang dikatakannya selalu diperbuat orang lain.

Alexander hanya dapat menduga apa yang akan dibicarakan Maria dengan Quiya adalah sesuatu yang sangat penting sehingga Maria berkata tegas.

“Tentu saja,” kata Quiya.

Quiya segera membawa Maria ke sebuah ruangan kecil yang penuh peralatan yang sering digunakannya untuk melakukan upacara di Sungai Alleghei.

Dalam keadaan biasa, Maria akan memperhatikan alat-alat itu. Tetapi kini ia tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada hal yang lain. Ia sangat mencemaskan keselamatan Alexander bila pria itu tetap bersikeras ke Death Rocks.

“Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Quiya.

“Anda telah mengetahui Death Rocks dan mitos yang terpendam di sana?”

“Saya kurang tahu mengenai itu,” jawab Quiya.

“Anda telah mendengar berita menghilangnya Princess di Death Rocks?” tanya Maria lagi.

“Ya. Berita itu membuat saya sempat terkejut.”

“Apakah Anda menyadari bahaya yang timbul bila orang-orang memaksa diri mereka ke Death Rocks?”

Melihat Quiya tidak mengerti apa yang dikatakannya, Maria berkata lagi,

“Kali ini saya akan menceritakan mitos ketiga itu kepada Anda. Sebagai salah satu dari suku Deady dan sebagai seorang dari ketiga Quiya Anda berhak mengetahuinya.”

Quiya duduk diam menatap wajah Maria yang tetap tenang namun serius.

“Di Obbeyville, penduduk percaya ketika sinar matahari di musim panas telah memerah di ujung barat, mereka harus segera menyembunyikan dirinya karena dari sanalah para iblis itu muncul. Di ujung barat tempat matahari tenggelam itu adalah Death Rocks. Dan dari sanalah para iblis berasal.”

“Death Rocks adalah tempat tinggal para iblis?” kata Quiya tak percaya.

“Itulah sebabnya berbahaya bila setiap orang dengan gegabah mendekati tempat itu. Dan itu pula sebabnya mitos ketiga itu disembunyikan. Suku Deady takut bila penduduk lainnya mengetahuinya, mereka tidak akan diterima di manapun karena mereka dianggap sebagai ‘anak-anak setan’.”

“Dulu mitos itu tidak disembunyikan. Banyak orang selain suku itu yang juga mengetahuinya karena itu ada buku kuno itu yang menceritakan keseluruhan mitos yang ada di Kerajaan Zirva.”

“Mengapa kemudian suku Deady memutuskan untuk menyembunyikannya?” tanya Quiya.

“Hal itu terjadi ketika suku Deady memiliki musuh, suku Hodly yang tinggal di Holly Mountain. Kedua suku itu bermusuhan seperti para dewa di Holly Mountain dengan setan di Deady. Semula kedua suku itu hidup rukun, tetapi segalanya berubah ketika nafsu serakah manusia tidak terbendung lagi. keduanya mulai bersaing dalam segala hal dan akhirnya menimbulkan permusuhan yang sangat hebat. Seperti para dewa dan setan, mereka juga saling berperang.”

“Aku tidak pernah mendengar nama suku Hodly,” kata Quiya.

“Suku itu punah,” kata Maria sedih, “Berbeda dengan perang antara dewa dengan iblis, suku itu mengalami kekalahan total. Tidak seorang pun di antara suku itu yang tersisa dan mitos di sana tidak pernah terdengar.”

“Tragis sekali,” kata Quiya.

Maria mengangguk. “Setelah perang itu selesai, suku Deady mulai menyadari bahwa mitos yang ada di antara mereka itu tidak menguntungkan, karena itu mereka berusaha menyembunyikan mitos itu dari pengetahuan orang di luar suku itu. Mereka tidak ingin seorangpun tahu bahwa mereka tinggal di Death Rocks yang merupakan tempat bersemayamnya para iblis. Mereka tidak ingin mendapat sebutan seperti yang diberikan suku Hodly, ‘anak-anak setan’.”

“Sekarang saya mengerti mengapa mitos itu disembunyikan dari pihak manapun di luar suku itu,” kata Quiya, “Tetapi mengapa Anda mengetahuinya?”

“Hingga saat ini saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria, “Saya juga harus mengatakan kepada Anda bahwa sesungguhnya iblis yang tinggal di Death Rocks adalah dewa yang menentang dewa-dewa yang tinggal di Holly Mountain.”

“Cerita ini sangat luar biasa hingga saya merasa sukar untuk mempercayainya.”

“Apa yang saya katakan ini adalah yang saya ketahui. Saya tidak mengkhayal,” kata Maria tenang, “Suku Deady benar-benar masih ada di pedalaman Death Rocks dan mereka terus menyembunyikan mitos itu dari orang di luar mereka sendiri.”

“Setelah mereka menyembunyikan mitos itu, sebagian dari mereka menyebar ke berbagai penjuru dan sebagian menyembunyikan diri di Death Rocks?”

“Ya, demikianlah yang terjadi.”

“Orang tua saya telah lama berada di luar Death Rocks tetapi keduanya sama-sama keturunan asli suku itu, di antara nenek moyang mereka belum ada percampuran dengan suku lain. Sedangkan ayah istri saya asli dari Death Rocks. Walaupun begitu, ia tidak pernah bercerita apa-apa mengenai itu.”

“Sekarang banyak suku Deady yang membaur dengan suku lain dan semakin sedikit orang yang benar-benar keturunan suku itu. mungkin itulah yang membuat ayah Quiyi kurang mempercayai Anda,” kata Maria.

“Ya, sekarang saya tahu itu. Dan apakah yang dapat saya bantu? Anda tiba-tiba memutuskan untuk menceritakannya kepada saya tentu karena Anda ingin saya membantu Anda?”

“Anda benar, Quiya. Saya bukan orang dalam suku Deady karena itu saya tidak dapat berbuat banyak tetapi saya tahu Anda bisa melakukannya. Dapatkah Anda mengadakan upacara untuk melindungi mereka yang pergi ke Death Rocks?” tanya Maria.

“Anda memang seorang bidadari yang diutus untuk menolong orang-orang yang akan ke Death Rocks,” kata Quiya.

“Saya tidak tahu tentang itu, tetapi saya ingin mengetahui apakah Anda dapat melakukannya hari ini dan di dalam rumah ini?”

Quiya berpikir sambil melihat sekeliling ruangan, “Saya tidak tahu. Sukar untuk mengatakannya. Selama ini upacara yang saya adakan selalu diadakan di luar ruangan selain itu Anda memintanya dengan sangat mendesak.”

“Saya berharap kepada Anda, Quiya. Keselamatan mereka tergantung pada Anda,” kata Maria.

Quiya mengangkat bahunya, “Bila Anda memaksa, saya akan mencobanya.”

“Terima kasih, Quiya. Saya tahu Anda dapat melakukannya,” kata Maria.

Melihat kelegaan yang terpancar di mata Maria, Quiya tersenyum, “Rupanya Anda sangat mencintainya sehingga Anda sangat mencemaskannya.”

“Dia?” tanya Maria tak mengerti.

“Pria yang sering bersama Anda. Sejak penduduk Obbeyville melihat Anda berduaan dengannya, penduduk Obbeyville sering membicarakan Anda berdua.”

Maria tersenyum, “Mereka akan lebih membicarakan saya bila mereka tahu apa yang saya katakan ini kepada Anda. Tetapi saya percaya mereka tidak akan tahu karena Anda juga tidak akan menceritakannya kepada siapa pun.”

“Tentu, saya berjanji.”

Maria meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega bercampur bingung.

Ia mencoba menyadari perasaannya yang sebenarnya kepada Alexander. Tetapi ia masih sukar menjawab pertanyaan yang terus menggema di telinganya sejak percakapannnya dengan Quiya.

“Apakah memang benar aku mencintai Alexander?” tanya Maria pada dirinya sendiri, “Apakah itu bukan karena Alexander mirip seseorang di masa laluku? Apakah aku menyukai Alexander karena ia mirip dengan pria di masa laluku itu?”

Sampai hari telah berganti, Maria masih tidak dapat menjawab pertanyaan yang terus menggema itu sehingga membuat ia sukar tidur.

Ketika Maria bangun, hujan tengah mengguyur tanah.

Tidak ada yang dapat dilakukan Maria di dini hari yang dingin itu, karenanya Maria duduk menghadap jendela sambil terus memikirkan masa lalunya dan pertanyaan yang terus bergaung di telinganya.

Untuk pertama kalinya sejak ia berada di Obbeyville, Maria bertanya kepada dirinya sendiri, “Sebenarnya siapakah aku? Mengapa aku mengetahui banyak tentang mitos itu? Apakah yang dikatakan Quiya memang benar? Apakah aku seorang bidadari?”

Maria terus memikirkan semuanya sambil mengawasi hujan yang terus turun dengan derasnya.

Di akhir musim panas, alam tengah mempersiapkan datangnya musim yang baru, musim gugur. Hujan telah mulai mengguyur bumi bahkan tak jarang menyebabkan badai.

Tak terasa hampir tiga bulan Maria berada Obbeyville tanpa sedikitpun ia dapat mengingat masa lalunya, seolah-olah masa lalunya telah benar-benar terkubur di kegelapan yang pekat.

Maria tidak tahu apakah ia akan terus berada di Obbeyville bila Alexander dan Lady Debora menikah.

Memikirkan kemungkinan itu, membuat Maria sedih dan ingin menangis tetapi kebiasaannya yang selalu menahan perasaan membuatnya tidak melakukannya.

Bahkan ketika Maria memikirkan kemungkinan itu, ia tidak dapat menyadari perasaannya yang sebenarnya kepada Alexander.

“Apakah aku sedih karena Al mirip dengan pria di masa laluku? Apakah aku sedih karena bila Al menikah bagiku itu sama seperti pernikahan pria di masa laluku?” tanya Maria pada dirinya sendiri.

“Pria di masa laluku, siapakah engkau? Mengapa aku tidak dapat mengingatmu bahkan tidak pernah dapat melihat wajahmu dengan jelas setiap kali aku merasa seperti berada di sisimu? Aku sangat merindukanmu, pria masa laluku.”

Perasaan rindu yang terus memenuhi dadanya sejak ia mengingat keberadaan pria itu, tidak terbendung lagi.

Untuk pertama kalinya pula sejak Maria berada di Obbeyville, ia meneteskan air mata.

“Aku tidak mengerti semua ini seakan-akan tidak ada seorangpun yang ingin aku mengingat kembali masa laluku,” bisiknya pada hujan di luar yang mulai mereda.

“Pria di masa laluku, bantulah aku. Aku tidak tahan dengan semua ini, aku tahu engkau selalu menjagaku, selalu melindungiku. Kini aku berharap engkau melindungi aku pula. Aku ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintai Alexander ataukah aku mencintainya karena ia mirip denganmu,” kata Maria sambil menggenggam erat-erat kalung yang melingkari lehernya.

“Apakah kalung ini juga darimu, pria di masa laluku?” tanya Maria pada sosok pria yang muncul di balik kabut masa lalunya.

Maria melihat hujan telah mereda. Tetes air di dedaunan yang menguning berjatuhan ke tanah diselingi dengan jatuhnya dedaunan di tanah yang basah.

Maria menyeka air mata yang masih tersisa di pipinya. Tetapi ia tidak bangkit dari tepi jendela itu. Ia tetap duduk di sana sambil mengawasi suasana pagi hari.

“Aku takut,” kata Maria pada dirinya sendiri, “Pagi ini mereka akan ke Death Rocks dan aku tidak tahu apa yang akan menimpa mereka. Aku tidak ingin mereka pergi ke sana di pagi yang basah seperti ini. Tentu perjalanan ke Death Rocks akan menjadi semakin sulit karenanya.”

Maria terdiam sambil mengawasi kereta kuda milik keluarga Blueberry yang mendekati Sidewinder House.

“Apa yang dapat kulakukan. Mereka akan pergi. Terlalu terlambat untuk mencegah mereka.”

“Mengapa aku sangat ingin mencegah mereka pergi ke sana?” tanya Maria.

Maria terdiam tetapi pandangan matanya tetap terpaku pada sosok pria yang tengah menuruni kereta kuda itu.

“Tentu karena aku tidak ingin sesuatu yang tak kuharapkan terjadi pada mereka.”

Jawaban yang dibuat Maria untuk menjawab pertanyaannya sendiri tidak membuat ia merasa puas. Ia merasa jawaban itu tidak tepat. Ketika ia melihat Lady Debora keluar dari Sidewinder House dengan berseri-seri di sisi Alexander, ia mengetahuinya.

“Aku tidak ingin mereka pergi berdua. Mengapa?”

Pertanyaan yang baru saja muncul membuat Maria terdiam entah untuk ke berapa kalinya sejak gadis itu duduk merenung di depan jendela.

“Itu karena engkau mencintainya tetapi engkau enggan mengakuinya karena engkau takut menyadari cintamu tak terbalas,” kata suara hati kecilnya.

Maria sadar apa yang dikatakan hati kecilnya itu memang benar. Ia mencintai Alexander sejak pertama kali mereka bertemu tetapi ia enggan mengakuinya karena tidak ingin sakit hati.

Ia tidak ingin sakit hati melihat Lady Debora dan Alexander tampak semakin akrab setiap harinya sejak Alexander mengundang mereka ke rumahnya, karena itu ia tidak pernah mengakuinya.

Maria kembali menitikkan air mata.

“Percuma. Semuanya telah terlambat. Lady Debora memang lebih pantas untuk Alexander daripada aku, Alexander pasti telah menyadari hal itu. Aku tidak ingin melihat mereka pergi berdua. Aku takut menghadapi hari ini.”

Maria memandang sayu pada langit yang terus menurunkan hujan dan mencoba membayangkan wajah seseorang yang sering muncul di tiap mimpinya tetapi tak pernah dapat dilihatnya dengan jelas, seolah-olah pria itu berada di dalam kabut yang pekat seperti masa lalunya.

“Pria di masa laluku, datanglah dan lindungilah aku, aku takut sekali. Aku takut menghadapi hari ini. Sejak aku bangun, aku melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak aku kecil, aku merenungkan diriku sendiri.”

Maria mempererat genggamannya pada leontin kalungnya.

“Selama ini aku tidak pernah melakukannya tetapi hari ini aku melakukannya dan aku tidak pernah takut menghadapi hari-hari yang harus kujalani tetapi pagi ini aku merasa taku. Aku merasa sesuatu akan terjadi hari ini, sesuatu yang tidak dapat kuhindari.”

Setelah menyeka air matanya yang terus mengalir di pipinya, Maria berkata dengan penuh keyakinan.

“Jika ini memang yang telah ditakdirkan dewa, maka aku akan menjalaninya seperti biasanya. Biarlah aku terus mencintai Al walaupun ia tidak mencintaiku. Akan kujaga baik-baik perasaanku ini.”

“Tetapi belum tentu ia tidak menyukaimu, mungkin saja ia seperti Duchess. Sebenarnya ia enggan melakukannya tetapi karena ia ingin mengajakmu pergi, maka ia beralasan ingin mengajak Lady Debora pergi,” kata hati kecilnya memberinya harapan, “Selain itu engkau harus ingat Lady Debora mempunyai niat untuk menikahi Pangeran bila ia berhasil menemukan Princess.”

“Ya, itu mungkin saja. Aku terlalu mudah putus asa,” kata Maria meyakinkan dirinya sendiri, “Tetapi aku tidak dapat berharap lebih bila mengingat sikap kedua orang itu.”

Maria menyeka air mata yang kembali membasahi pelupuk matanya dan membulatkan tekad untuk melihat ke halaman Sidewinder House.

Ia terkejut ketika melihat kereta itu masih berada di sana.

Suara ketukan di pintu kamarnya, membuat Maria segera bengkit dari tempatnya semula.

“Maria, Alexander mengajakmu pergi. Engkau harus segera bersiap,” kata Mrs. Vye.

Tanpa menanti apapun kata Maria, wanita itu segera menyiapkan Maria untuk pergi.

Maria diam saja. Ia tidak berusaha mencegah Mrs. Vye, bahkan ketika ia dibawa Mrs. Vye ke sisi Alexander.

“Aku rasa gaunmu kali ini cukup tebal sehingga aku tidak perlu khawatir engkau kedinginan,” kata Alexander.

“Sayang sekali hujan terus mengguyur bumi sejak tadi sehingga jalan-jalan menjadi licin. Anda harus berhati-hati agar tidak terjadi apa-apa selama perjalanan Anda ke Death Rocks.”

“Karena itulah engkau aku ajak. Aku tahu engkau pasti mengetahui apa yang harus kulakukan di pagi yang basah ini,” kata Alexander.

“Anda harus memutari tebing itu. Bila dari Obbeyville kita terus berjalan ke barat, kita akan segera sampai ke Death Rocks tetapi jalan itu berbahaya terutama di jalan yang licin setelah hujan semalam. Satu-satu jalan yang paling aman adalah memutari Death Rocks dan dari Foentza kita menuju ke tujuan kita semula. Memang jalan itu lebih membutuhkan waktu lebih lama tetapi lebih aman,” kata Maria.

“Aku tahu engkau dapat mengatasi masalah ini,” kata Alexander.

Selama perjalanan, Maria menyibukkan diri dengan menatap pemandangan yang mereka lalui.

Tetapi perhatiannya tidak benar-benar tercurah ke sana.

Maria teringat pada pagi sebelumnya ketika Lady Debora membaca koran dengan penuh semangat. Dan ketika wanita itu menemukan apa yang dicarinya, ia berseru senang.

“Berita itu memang benar. Panggilkan Mr. Liesting, Maria,” katanya.

Maria segera meninggalkan kamar itu dan kembali bersama Mr. Liesting.

“Antarkan surat ini,” kata Lady Debora sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Mr. Liesting.

Setelah menerima surat itu, Mr. Liesting segera menghilang.

Maria telah menduga kepada siapa Lady Debora mengirimkan surat itu.

Kali ini Lady Debora tidak terburu-buru menyiapkan dirinya. Wanita itu hanya duduk di depan meja rias sambil mencari-cari perhiasan.

Maria meraih koran yang diletakkan Lady Debora di tempat tidurnya dan membaca halaman pertama yang bertuliskan besar-besar.


PRINCESS MINERVA RESMI DINYATAKAN MENGHILANG



Akhirnya Istana mengeluarkan penjelasannya setelah melihat reaksi masyarakat terhadap berita hilangnya Princess Minerva.

Menteri Dalam Negeri dalam pidatonya di depan Istana Plesaides mengatakan Princess Minerva telah menghilang di Death Rocks sejak tiga bulan yang lalu. Princess menghilang dalam kecelakaan kereta yang menimpanya di Death Rocks. Saat itu Princess dalam perjalanan menuju Small Cottage dari Castil Yonga di balik Death Rocks.

Menteri Dalam Negeri juga menjelaskan sebab Princess jarang terlihat. “Princess bukan ingin menghindari kita tetapi Princess harus menghindar dari cuaca yang dapat menyebabkannya sakit. Sebenarnya Princess juga tidak ingin sering meninggalkan Xoechbee tetapi karena kondisi kesehatannya, maka ia terpaksa melakukannya.”

Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri, pihak Istana juga meminta masyarakat tetap tenang karena usaha pencarian Princess sudah dilakukan sejak kecelakaan itu dan masih terus dilakukan hingga kini.

Pangeran Alcon yang juga hadir dalam acara pidato itu mengatakan, “Aku percaya adikku masih hidup karena itu kalian tidak perlu khawatir. Kami telah mengusahakan mencarinya tetapi kami tidak menolak bantuan kalian. Kami akan sangat senang bila salah seorang dari kalian yang menemukan seorang gadis tak dikenal di antara kalian, segera melaporkan kepada kami.”

Ketika masyarakat yang berkumpul di depan Istana Plesaides menanyakan keadaan Ratu, Pangeran menjawab, “Paduka Ratu memang terkejut ketika mendengar berita ini tetapi beliau sehat-sehat saja hanya agak terguncang. Kalian tidak perlu khawatir. Paduka Raja juga sehat-sehat saja.”

Setelah mendengar penjelasan singkat dari Istana, masyarakat tampak lega. Dengan demikian Istana telah secara resmi menyatakan Princes Minerva menghilang sejak tiga bulan yang lalu dan hingga kini belum ditemukan.


Berita kedua mengenai Princess Minerva membuat penduduk Kerajaan Zirva yang kebingungan dengan kebenaran berita yang terdahulu merasa lega.

Maria yakin setelah keluarnya pernyataan resmi Istana, banyak penduduk yang mencoba menemukan Princess di Death Rocks.

Maria merasa lega ketika Quiya mengatakan ia telah melakukan apa yang diminta Maria sebelumnya dan ia berharap orang-orang yang pergi ke sana akan selamat seperti harapannya.

Seperti yang dikatakan Maria, perjalanan menuju Death Rocks dengan memutar terlebih dahulu membuat perjalanan itu menjadi semakin lama tetapi lebih aman.

Maria terlalu sibuk dengan pemandangan yang terlihat olehnya dan pikiran-pikirannya sehingga ia tidak menyadari ketika mereka telah tiba di tempat itu.

“Engkau tidak turun?”

Pertanyaan Alexander membuatnya terkejut. Ia memalingkan wajahnya dan menatap wajah Alexander yang berada sangat dekat darinya.

Walaupun jantungnya berdebar sangat keras, Maria tetap berkata tenang, “Saya akan segera turun.”

“Lekaslah bila engkau ingin melihat pemandangan di luar. Lebih indah pemandangan yang tampak jelas daripada yang kita lihat melalui jendela,” kata Alexander.

Maria menatap ke tempat duduk di depannya yang telah kosong. Maria tidak menyadari Lady Debora telah meninggalkan kereta itu.

“Lady Debora sangat bersemangat sekali. Sejak tadi ia menanti tidak sabar saat-saat ini. Ia segera melompat turun ketika kita tiba,” kata Alexander.

Alexander membantu Maria turun dari kereta.

Maria tidak memperhatikan Lady Debora yang segera menyambut mesra Alexander yang baru saja turun dari kereta.

Perhatian Maria kini sepenuhnya tercurah kepada pemandangan yang terhampar di depannya.

Angin dingin yang meminkan rambutnya tidak membuat Maria bergeming ketika ia berdiri hampir di ujung tebing yang curam itu.

Holly Mountain yang menjulang tinggi tepat di hadapannya masih tertutup kabut putih dari puncak hingga kaki gunung.

Sungai Alleghei yang bermata air di Holly Mountain tampak berkilauan tertimpa sinar matahari. Sungai itu terus memanjang membentuk pita.

Saat Maria memandang sungai itu, Maria ingat ia pernah ke tempat ini.

Pita putih kebiru-biruan di antara hijaunya dedaunan yang diingatnya ketika ia dalam perjalanan menuju Blueberry House bersama Lady Debora dan Alexander, adalah Sungai Alleghei yang terlihat dari Death Rocks.

Sungai itu mendekati Death Rocks tetapi ketika jaraknya semakin kecil, pita itu menjauh dan terus mengalir tenang seolah enggan menyentuh Death Rocks.

Atap-atap rumah penduduk yang menyembul di antara hijaunya hutan tampak seperti titik kecil yang menodai warna hijau permadani.

Maria terus menatap pemandangan di depannya sambil terus berusaha mengingat masa lalunya.

Maria tahu bila ia dapat mengetahui mengapa ia merasa ngeri ketika ia berdiri dan menatap pemandangan yang indah itu, ia akan mampu menyingkap kabut masa lalunya.

Tetapi seperti biasanya, sesuatu menghalangi Maria. Kali ini halangan itu lebih kuat dari sebelumnya.

Maria terus mencoba membuka tirai itu. Maria seolah-olah melihat sesuatu yang berwarna kemerahan menyelubungi puncak Holly Mountain yang berkabut. Udara yang dingin menerpa tubuhnya yang terasa ringan.

Maria merasa tubuhnya seperti meluncur ke bawah tanpa ada yang menahannya.

Sesaat kemudian Maria benar-benar jatuh. Maria hampir saja jatuh menimpa tanah jika Alexander tidak segera menangkapnya.

Alexander sejak tadi mengawasi Maria dan ia menyadari wajah Maria yang terus memucat. Ia tidak dapat berbuat apa-apa karena Lady Debora merangkul erat-erat tangannya.

Ketika gadis itu jatuh, Alexander segera menyentakkan tangan Lady Debora dan menangkap Maria sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah.

Lady Debora sangat terkejut dengan tindakan Alexander yang cepat itu dan ia menjadi jengkel ketika melihat Alexander telah membopong Maria ke kereta.

“Sebaiknya kita segera pulang saat ini, Lady Debora,” kata Alexander.

Lady Debora menjadi semakin jengkel ketika Alexander tidak membantunya naik kereta.

Pria itu naik lebih dulu ke kereta dan ketika ia tiba di dalam kereta, ia melihat Alexander sedang memangku Maria seperti memangku anak kecil.

Alexander sama sekali tidak mempedulikan Lady Debora bahka ketika wanita itu bertanya, “Apa yang terjadi pada Maria?”

Wajah Maria yang sangat pucat membuatnya terlalu cemas untuk memikirkan yang lain. Ia khawatir Maria akan pingsan selama berhari-hari lagi.

Kusir kuda menjalankan keretanya tidak melewati Foentza tetapi melalui jalan yang lebih pendek menuju Obbeyville, seperti yang diperintahkan Alexander.

Lady Debora merasa marah karena tidak dipedulikan oleh Alexander. Alexander terus memperhatikan Maria sejak tadi dan menganggap di sana tidak ada orang lain selain mereka berdua.

Alexander tidak menyadari keberadaan Lady Debora di kereta yang sama dengannya.

Lady Debora yang mengetahui hal itu hanya diam menahan amarah. Ia tahu percuma ia berusaha menarik perhatian Alexander dari Maria bila ia telah menganggap kata-katanya hanya sebagai angin lalu.

Ketika mereka semakin mendekati Obbeyville, Maria membuka matanya.

“Aku khawatir engkau akan terus menutup matamu,” kata Alexander tidak menyadari keberadaan Lady Debora.

“Terima kasih. Saya sudah lebih baik sekarang. Anda pasti lelah memangku saya selama perjalanan yang panjang,” kata Maria.

Permohonan untuk dibiarkan meninggalkan pelukan yang diberikan Alexander tersirat di matanya ketika ia memandang pria itu.

Alexander menyadarinya tetapi ia pura-pura tidak peduli bahkan ketika Lady Debora berkata,

“Ia sudah sadar sekarang. Kurasa engkau bisa berhenti memangkunya,” kata wanita itu.

“Ia masih sangat pucat dan lemah, Lady Debora. Aku tidak ingin ada yang jatuh sakit selama bersamaku,” kata Alexander.

Lady Debora memandang penuh kebencian kepada Maria yang memilih untuk menyembunyikan pandangan matanya ke langit-langit kereta yang berwarna hitam.

“Apakah engkau merasa pusing?” tanya Alexander.

Maria menggelengkan kepalanya.

“Sebaiknya engkau segera beristirahat setibanya kita di Obbeyville. Mrs. Vye pasti sedih bila engkau sakit,” kata Alexander dengan kelembutan yang membuat Lady Debora semakin jengkel.

“Saya sudah tidak apa-apa. Saya merasa lebih baik sekarang dan saya tidak merasa membutuhkan istirahat,” kata Maria menolak usul itu.

“Dengarkan, Maria. Engkau masih lemah dan jangan terlalu banyak bergerak agar engkau tidak jatuh sakit.”

Maria tersenyum, “Anda berbicara seakan-akan Anda ini dokter.”

Alexander membalas senyuman Maria dan berkata, “Saat ini aku memang menjadi doktermu.”

Keduanya berbicara tanpa ingat keberadaan Lady Debora di antara mereka.

Lady Debora memandang jengkel kepada mereka berdua tanpa melakukan apa-apa. Ia tahu seandainya ia berteriak, ia tetap tidak akan dapat membuat Alexander melepaskan Maria.

Lady Debora merasa sangat lega ketika mereka telah tiba di Obbeyville. Baginya, dengan tibanya mereka di Obbeyville berarti ia dapat merebut kembali perhatian Alexander. Dan ia sangat kecewa ketika Alexander tidak membantunya turun dari kereta.

Pria itu masih sangat cemas dengan keadaan Maria. Alexander membopong Maria ke pondok Mrs. Vye sekalipun Maria menolaknya.

Setelah yakin Maria tidak akan meninggalkan kamarnya, Alexander kembali menemui Lady Debora yang tampak jengkel.

“Mengapa engkau memperhatikan dia?” tanya Lady Debora.

“Ia memang memerlukan perhatian,” jawab Alexander.

“Baiklah, ia memang memerlukan perhatian. Tetapi bagaimana denganku, apakah aku tidak memerlukan perhatian?”

“Engkau telah mendapat cukup banyak perhatian dan Maria lebih membutuhkan banyak perhatian saat ini,” kata Alexander.

“Apa baiknya ia dibandingkan dengan aku?” tanya Lady Debora.

“Maafkan saya, saya tidak ingin membicarakannya. Sekarang saya mohon diri untuk pulang,” kata Alexander dengan kedinginan yang sopan.

Lady Debora menahan amarahnya ketika melihat Alexander menuju kereta kudanya dan menghilang di balik pintu kereta itu.

Dengan langkah kesal, ia menaiki tangga dan membanting pintu kamarnya.

Saat itu Baroness Lora tidak berada di Sidewinder House sehingga ia tidak tahu apa yang telah terjadi.

Tak lama setelah Lady Debora membanting pintu kamarnya, Maria muncul di ujung bawah tangga itu.

Ia mendengar suara pintu itu ketika ia tiba di depan pintu masuk Sidewinder House.

Mrs. Vye tidak tahu ia berada di sana. Seperti halnya Alexander, ia menduga Maria sedang tertidur.

Maria pura-pura tidur ketika Alexander dan Mrs. Vye menemaninya. Ia tahu mereka tidak akan pergi sebelum yakin ia tidak akan pergi sebelum yakin ia akan beristirahat.

Tetapi mereka tidak mengetahui Maria hanya pura-pura tidur.

“Ia telah tertidur,” kata Mrs. Vye.

“Sebaiknya kita meninggalkannya agar ia bisa tidur dengan tenang,” kata Alexander.

Mrs. Vye segera meninggalkan kamar Maria sedangkan Alexander masih mengawasi Maria yang pura-pura tidur.

Maria tahu Alexander masih berada di kamarnya dan ia khawatir Alexander tahu ia hanya pura-pura saja.

Alexander mendekati Maria. Ia menyentuh wajah Maria sebelum mencium pipi gadis itu. Setelah itu ia meniggalkan kamar Maria.

Maria terkejut sekali dengan tindakan Alexander yang tidak diduganya. Jantungnya masih berdebar keras ketika terdengar suara Mrs. Vye dan Alexander menjauhi pondok itu.

Sesaat setelah kepergian mereka, ia segera bangkit dan meninggalkan pondok Mrs. Vye setelah kereta kuda Alexander menghilang.

Maria beruntung tidak ada yang melihatnya meninggalkan pondok Mrs. Vye.

Ia baru akan menuju kamar Lady Debora ketika pintu depan diketuk seseorang.

Maria membuka pintu itu dan terkejut melihat Marcel berdiri di sana. Maria beruntung pria itu tidak mengenalinya.

“Selamat siang. Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Maria.

“Aku ingin bertemu Lady Debora,” kata Marcel.

Maria memandang ke tangga kemudian berkata, “Masuklah. Saya akan segera memanggil Lady Debora.”

Tanpa berkata apa-apa Marcel segera mengikuti Maria memasuki Ruang Besar.

Setelah membungkuk hormat, Maria segera menuju kamar Lady Debora.

Dengan cemas, ia mengetuk pintu kamar itu.

“Masuk,” bentak Lady Debora dari dalam.

“Apa yang kauinginkan?” bentak Lady Debora ketika melihatnya muncul dari balik pintu.

“Tuan Muda Marcel ingin menemui Anda, Tuan Puteri. Ia sedang menanti di Ruang Besar.”

“Marcel datang!?” tanya Lady Debora antusias.

“Ya, Tuan Puteri.”

“Cepat bantu aku berdandan,” kata Lady Debora tanpa mempedulikan lagi kejengkelannya pada Maria.

Setelah yakin penampilannya menarik, Lady Debora bersiap-siap menemui Marcel. Ia membuka pintu dan hendak melangkah keluar ketika ia tiba-tiba berhenti.

“Jangan biarkan siapapun menggangguku!” katanya.

“Tetapi Tuan Puteri bagaimana bila Tuan Muda Alexander juga ingin menemui Anda?” tanya Maria tanpa mengerti mengapa ia bertanya seperti itu.

“Ia tidak akan datang. Dan bila ia datang, jangan engkau ijinkan untuk bertemu denganku. Mengerti?”

“Mengapa Anda bisa memilih dua pria dalam waktu yang bersamaan?” tanya Maria.

“Untuk apa engkau turut campur. Lakukan saja apa yang kukatakan. Ingat, aku tidak ingin diganggu.”

Maria menggelengkan kepalanya, “Saya heran mengapa seorang wanita bisa tertarik pada dua pria pada waktu yang bersamaan. Sebenarnya siapakah yang yang Anda cintai di antara mereka?”

“Itu bukan urusanmu, anak kecil. Siapapun yang aku cintai itu bukan urusanmu,” kata Lady Debora sambil membanting pintu.

Maria mencoba menasehati Lady Debora tetapi ia gagal. Ia tahu sifat menurun Lady Debora yang diperolehnya dari Baroness Lora tidak dapat dirubah. Maria tidak dapat berbuat apa-apa karenanya.

Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa saat kemudian membuat Maria segera berlari membuka pintu itu.

Maria terkejut sama seperti pria itu yang terkejut melihatnya.

“Mengapa engkau di sini, Maria? Bukankah engkau kusuruh tidur?” tanya Alexander.

“Maafkan saya, tetapi saya tidak dapat melanggar kewajiban saya. Mengapa Anda kembali?”

“Aku ingin bertemu Lady Debora. Apakah ia ada?”

“Ia ada di Ruang Duduk tetapi saat ini ia tidak ingin diganggu,” kata Maria.

“Aku harus menemuinya,” kata Alexander bersikeras.

“Jangan! Lady Debora telah berulang kali mengatakan kepadaku bahwa ia tidak ingin diganggu,” Maria mencoba mencegah Alexander.

“Maria, engkau telah tahu aku tidak dapat dicegah. Sekarang minggirlah aku ingin menemuinya,” kata Alexander sambil mendorong lembut Maria ke sampingnya.

“Jangan, Anda tidak boleh menemuinya,” cegah Maria.

Maria mencoba mencegah pria itu membuka pintu yang menghubungkan Ruang Besar dengan Ruang Duduk, tetapi terlambat.

Maria melihat wajah Alexander tampak tegang. Ia tidak berani melihat apa yang telah dilihat Alexander sehingga pria itu tampak sangat marah tetapi ia tetap melihatnya. Maria terkejut ketika melihat Lady Debora sedang merangkulkan tangannya dengan mesra di sekeliling leher Marcel.

Maria menatap cemas Alexander. Pria itu tampak geram sekali. Topi yang dibawanya dilemparkan ke dalam ruangan itu dan mengejutkan kedua orang itu.

Topi yang dikenakan Lady Debora ketika ia pergi ke Death Rocks jatuh di dekat kaki Lady Debora. Wanita itu menatap pintu yang terbuka dan terkejut.

Alexander bergegas meninggalkan ruangan itu.

Maria mengejar pria itu. Ia cemas sekali melihat kemarahan pria itu.

Alexander membalikkan badan ketika melihatnya mendekat.

“Seharusnya sejak dulu aku sadar siapa engkau. Engkau sama saja seperti Lady Debora. Kalian tak lebih dari wanita yang hanya mengincar harta pria kaya.”

“Tetapi, Al…” kata Maria mencoba membela dirinya.

“Jangan memanggilku Al!” bentak Alexander, “Cukup sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik tetapi berhati iblis.”

“Engkau tidak mengerti,” kata Maria dengan sedih.

“Ya, sejak awal aku memang tidak mengerti siapa sebenarnya dirimu tetapi sekarang aku tahu. Engkau tidak lebih dari wanita murahan. Aku mengucapkan selamat untukmu, engkau berhasil membuatku yakin engkau adalah bidadari. Ya, mungkin engkau memang bidadari tetapi bidadari yang berhati iblis,” kata Alexander tajam.

Maria terkejut mendengar kata-kata kasar itu. Ia tidak pernah mengharapkan cinta Alexander tetapi ia juga tidak mengharapkan pria itu mengatakan kata-kata sekasar itu kepadanya.

“Mengapa? Engkau tidak dapat membela dirimu lagi karena aku telah membuka kemisteriusan yang selama ini menutupimu. Aku curiga engkau sejak awal tidak pernah hilang ingatan, engkau hanya pura-pura saja.”

Maria tidak menyadari air mata mulai membasahi mata ungunya.

“Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh. Aku tidak ingin melihatmu lagi.”

Alexander membuktikan ucapannya dengan menaiki kereta kudanya dan segera menghilang di jalan.

Maria menghapus air matanya yang tak mau berhenti turun.

Hatinya terasa bagaikan teriris-iris. Ia merasa sedih mendengar kata-kata kasar yang ditujukan Alexander padanya. Ia ingin menangis tersedu-sedu tetapi suara langkah kaki seseorang membuatnya tidak melakukannya.

Marcel segera meninggalkan Sidewinder House seperti Alexander.

Lady Debora berteriak-teriak di depan pintu memanggil Marcel tetapi pria itu tidak peduli.

“Marcel, engkau hendak ke mana?” seru Lady Debora tanpa mendapat jawaban dari Marcel.

Marcel terus melangkahkan kakinya meninggalkan Sidewinder House. Dan ketika pria itu mengendarai kudanya menjauh dari Sidewinder House, Lady Debora masuk ke dalam rumah.

Maria segera berlari mengikuti Lady Debora yang dengan marah-marah memasuki Sidewinder House.

Lady Debora membalikkan badannya ketika mengetahui Maria mengikutinya.

“Apa lagi yang kauinginkan?” bentaknya.

“Maafkan saya. Saya….”

“Cukup sudah engkau merusak semua rencanaku,” potong Lady Debora.

Maria mendekati Lady Debora yang hampir tiba di ujung tangga dan berkata, “Saya telah mencoba melarang…”

Sekali lagi Lady Debora memotong perkataan Maria, “Ya, engkau telah melarang. Melarang apa? Melarang Alexander mencintaiku? Padahal aku yakin Alexander sudah hampir jatuh cinta padaku tetapi engkau mengacaukannya. Aku muak melihatmu. Pergi!”

Tindakan Lady Debora yang tak diduga itu membuat Maria tidak dapat menjaga keseimbangannya sehingga tubuhnya terhempas begitu saja dari ujung tangga itu.

Lady Debora tidak peduli melihat jatuh terguling dari tangga itu, ia terus melangkahkan kakinya ke kamarnya dan membantingnya dengan keras.

Mrs. Vye yang berada di tempat itu memanggil cemas Maria yang terus terguling di tangga kayu yang keras itu.

“Maria… Maria…. Oh, Maria…, Maria….”

No comments:

Post a Comment