Friday, April 6, 2007

Orang Ketiga-Chapter 9

Waktu terasa berjalan sangat lambat ketika Fulvia menantikan hari yang dijanjikannya dengan Brent. Tetapi ia terasa berlalu dengan cepat ketika Fulvia menyadari hari itu sudah ada di depan matanya.

Hal ini membuat Fulvia sangat gembira. Hari yang dinanti-nantikannya akan tiba.

Bukan hanya Fulvia yang menyadari hal itu. Jehona yang selama ini sangat mendukung rencananya, hari ini berkata,

“Sungguh tak terasa. Sudah hampir satu bulan kau berada di sini. Tak lama lagi kau akan meninggalkan kami.”

Fulvia tersenyum tetapi itu masih tidak cukup untuk menutupi kesedihannya mendengar nada-nada sedih dalam suara wanita itu.

Fulvia sadar setelah ia mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tidak akan bisa setiap hari datang ke tempat itu. Ia juga tidak akan bisa sesering ini pergi ke sana.

Di satu sisi ia sudah tidak mempunyai alasan lagi dan di sisi lain ia tidak akan bisa menemukan seseorang yang mau menemaninya datang ke tempat ini tanpa mempertanyakan hubungan mereka.

Irving bukanlah orang yang dapat diandalkan Fulvia. Fulvia yakinIrving tidak akan keberatan mengantarnya. Ia juga tidak perlu kebingungan menjelaskan perkenalannya dengan mereka karena Irving telah mengetahuinya.

Audrey juga bukan orang yang bisa dipilih Fulvia. Sekarang Lewis terus mengurung diri di kamar dan itu membuat Audrey lebih tenang. Sekarang Audrey mempunyai banyak waktu untuk melakukan banyak hal selain sepanjang hari bersedih memikirkan kondisi suaminya.

Setiap hari Audrey selalu disibukkan urusan memulihkan kondisi Greenwalls dan merawat Lewis.

Kondisi keuangan mereka memang tidak memungkinkan untuk memulihkan keadaan Greenwalls sepenuhnya tetapi Audrey telah berusaha untuk merapikan kembali rumah yang pernah terkenal oleh hijaunya tanaman yang memagarinya itu.

Fulvia juga dapat melihat perubahan perlahan di pekarangan Greenwalls dalam kunjungannya akhir-akhir ini.

Irving juga pernah berkomentar ‘Tampaknya mereka sudah mulai melakukan sesuatu dengan tempat ini’ ketika mereka melihat beberapa pelayan yang tersisa dalam keluarga kecil itu sedang sibuk merapikan semak-semak.

Dari keluarganya, Fulvia juga mendengar Countess Horace sering pergi ke Greenwalls di siang hari untuk membantu Audrey. Trevor secara diam-diam mulai menghitung total biaya yang diperlukan untuk memulihkan kondisi Greenwalls.

Fulvia menyukai keadaan ini. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri berkunjung ke Greenwalls sepulang dari tempat kerjanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa dilakukannya.

Tentu saja tidak ada yang dapat dilakukan Fulvia karena Audrey juga tidak akan pernah merepotkan orang lain terlebih keluarganya sendiri.

Setelah berhari-hari tidak pergi memastikan keberadaan barang yang diincarnya, Fulvia memutuskan untuk pergi melihatnya sore ini.

Sehari tidak pergi ke Greenwalls tidak akan membuat Audrey heran. Sebaliknya, Audrey akan merasa senang karena inilah keinginan wanita itu sendiri. Tetapi hal ini membuat Irving heran.

“Ada sesuatu yang ingin saya pastikan,” kata Fulvia memberi alasannya.

“Ke mana?” tanya Irving.

“Ke sebuah toko di dekat tempat ini.”

“Toko apa?”

Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia menyadarinya. Selama ini ia hanya memperhatikan kotak musik itu dan tidak pernah mengingat apa nama toko itu.

“Saya tidak pernah memperhatikan nama toko itu,” katanya menyesal kemudian ia segera menambahkan, “Tetapi saya tahu di mana lokasinya. Kita bisa melewatinya dalam perjalanan menuju kereta Anda.”

“Bukan masalah bagiku,” kata Irving singkat tanpa menghentikan langkah kakinya.

Kini setelah mengetahui rahasia Fulvia, Irving selalu menjemput gadis itu di toko itu. Karena permintaan Fulvia yang ingin menyembunyikan identitasnya, kereta keluarga Engelschalf tetaplah berhenti di tempat biasa. Irvinglah yang mengantar dan menjemput gadis itu ke tempat kerjanya.

Berjalan berdampingan seperti ini kadang membuat Fulvia merasa mereka seperti sepasang kekasih andai mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Tetapi tentu saja itu tidak akan pernah terjadi karena mereka hanyalah teman biasa.

Langkah kaki Fulvia terhenti.

Irving heran.

Mata Fulvia bersinar-sinar melihat kotak musik di balik kaca itu. Ia begitu lega dan gembira mendengar musik yang merdu itu masih mengalun di tempat yang sama.

Irving mengikuti pandangan Fulvia.

“Cantik bukan?” Fulvia berkata, “Aku suka menatap mereka berdansa dengan anggun diiringi musik yang merdu itu. Lihatlah pemuda itu ketika ia menatap gadis itu. Ia tampak begitu mengagumi gadis itu dan gadis itu tampak begitu bahagia.”

Irving diam melihat sepasang muda-mudi yang berdiri kaku di atas lantai dansa mereka yang kecil. Ia tidak melihat sesuatu pun yang menarik dari benda kaku itu.

“Aku ingin musik mereka menghiasi Unsdrell,” mata Fulvia bersinar-sinar ketika menatap Irving.

Irving membuang muka. “Kita tidak ada waktu berlama-lama di sini,” katanya berlalu, “Kau tidak ingin orang tuamu curiga, bukan?”

Fulvia menatap sepasang boneka kayu itu. “Sedikit lagi,” ia berbisik seolah ingin memberitahu mereka, “Aku akan membawa kalian pulang.”

Fulvia pun meninggalkan tempat itu dan mengikuti Irving dengan riang.

Mata Irving melirik sinis Fulvia yang berjalan dengan riang di sisinya. Ia salah. Fulvia tidak berbeda dari wanita-wanita itu. Fulvia hanyalah mempunyai cara yang unik untuk mendapatkan keinginannya.

“Hari ini saya ingin sekali segera pulang,” kata Fulvia ketika sampai di sisi Irving, “Saya sudah tidak sabar menanti esok.”

Irving mengacuhkan nada gembira dalam suara itu. Tentu saja Fulvia akan sangat menantikan hari esok. Rencananya telah berjalan dengan sempurna.

Apa yang dipikirkan Irving tidaklah salah. Fulvia begitu bersemangat menanti datangnya hari esok. Kegembiraanya itu tergambar jelas di wajahnya.

“Apa yang membuatmu gembira seperti ini?” tanya Countess dalam makan malam.

“Aku terus melihatmu tersenyum gembira sejak kedatanganmu,” Count Clarck sependapat, “Apakah terjadi sesuatu yang baik selama kepergian kalian hari ini?”

“Apakah ada perkembangan yang baik di antara kalian?” Countess berkata dengan penuh ingin tahu.

Fulvia terperanjat. “Tidak ada. Tidak ada apa-apa di antara kami,” Fulvia mewaspadai keingintahuan ibunya itu.

Semenjak secara tidak sengaja Countess melihat Irving menciumnya, Countess tertarik untuk mengetahui hubungan di antara mereka. Fulvia telah berulang kali menjelaskan bahwa mereka hanyalah teman. Tetapi sepertinya Countess tidak pernah mempercayai itu. Tidak setelah setiap hari mereka pergi berdua selama dua minggu terakhir ini.

“Tadi aku hanya melihat sesuatu yang menarik,” Fulvia melanjutkan dengan penuh semangat, “Aku sangat menyukainya.”

“Apakah itu?” tanya Countess tertarik.

Jika Countess tertarik untuk mengetahui lebih banyak mengenai benda itu, Count Clarck was-was. “Kau tidak meminta Irving membelikannya untukmu, bukan?” tanyanya waspada.

“Tentu tidak,” sahut Fulvia, “Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.”

Fulvia tidak pernah melakukan hal itu bukan karena Count Clarck tidak menyukainya tetapi lebih karena ia sendiri. Fulvia tidak suka meminta seseorang memberinya apa yang diinginkannya secara cuma-cuma. Fulvia juga tidak suka menerima sesuatu di hari-hari biasa.

Trevor dan Richie akan rela melakukan apa saja untuk menyenangkan Fulvia termasuk membelikan semua barang yang diinginkan Fulvia. Mereka juga siap merebut hati Fulvia dengan setumpuk hadiah. Mereka bisa melakukan itu semua tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Di satu sisi Fulvia tidak akan pernah menerimanya dan di sisi lain mereka tahu Fulvia tidak menyukai pemberian cuma-cuma. Karena itulah mereka selalu memanfaatkan hari ulang tahun gadis itu dengan baik dan juga hari Natal. Mereka hanya dapat berlomba untuk memberikan hadiah yang terbaik bagi Fulvia di dua hari itu dalam setahun karena hanya pada hari itu saja Fulvia mau menerima pemberian secara cuma-cuma.

Ketika kedua sepupu itu mengetahui dengan baik apa yang disukai Fulvia dan apa yang tidak disukai Fulvia, Irving masih belum dapat mengerti gadis itu. Dalam matanya Fulvia tidak jauh berbeda dengan semua wanita yang dikenalinya, wanita yang hanya memanfaatkan kecantikan mereka untuk kepuasan mereka sendiri.

Setelah mengantar pulang Fulvia, ia kembali ke toko tempat Fulvia menunjukkan kotak musik itu padanya. Ia membeli kotak musik itu dan meminta mereka untuk mengirimkannya ke Unsdrell besok.

Irving tidak pernah menyukai wanita-wanita seperti itu, tetapi ia selalu membelikan apa yang mereka inginkan. Dan bila ia telah jenuh dengan wanita itu, ia akan mengirimkan bunga mawar beserta pemberiannya itu.

Namun bila wanita itu masih menarik hatinya, ia hanya akan mengirimkan hadiah yang dipilih sendiri oleh wanita tersebut. Tentu saja ia tetap akan mengirimkan mawar merahnya pada wanita itu. Hanya saja saat itu belum waktunya. Mawar merahnya akan terkirim ke tempat wanita itu bila ia telah jenuh dengannya, bila ia telah menemukan wanita baru yang menarik hatinya.

Untuk kali ini, Irving tidak mengirimkan mawar merahnya. Ia masih ingin tahu lebih banyak tentang Fulvia. Irving masih ingin mengerti isi buku terbuka dengan bahasanya yang sulit dimengerti ini.

Dan mawar merahnya…

Irving ragu apakah ia bisa mengirimkan mawar merahnya pada gadis itu. Mereka tidak mempunyai hubungan seperti yang biasa ia miliki bersama wanita-wanita lain.

Mereka hanya teman, kata Fulvia.

Tepatnya Fulvia memanfaatkannya dengan caranya yang unik, menurut Irving.

Besok pagi ketika Irving menjemputnya, Fulvia tentu belum menerima pemberiannya itu. Fulvia baru akan melihatnya sepulangnya dari kota. Dan Irving ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis itu esok lusa.

Irving ingin tahu bagaimana reaksi gadis yang sulit dimengerti itu. Tetapi ia bisa meyakinkan Fulvia pasti akan sangat gembira seperti wanita-wanita itu. Karena itulah ia tidak terlalu terkejut ketika keesokan sorenya Fulvia berkata dengan gembira,

“Terima kasih, M’lord. Terima kasih atas segala bantuan Anda selama ini.”

Irving tersenyum puas pada dirinya sendiri. Ia puas bukan karena keberhasilannya membuat Fulvia gembira tetapi terlebih pada tebakannya yang tepat.

“Besok Anda tidak perlu lagi mengantar jemput saya. Saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan.”

Tentu saja Fulvia tidak perlu lagi menjalankan rencana anehnya yang melelahkan ini. Ia sudah mendapatkan apa yang telah diinginkannya. Dan ia pasti telah mengetahuinya bahkan sebelum ia melihat sendiri benda itu. Irving mengakui kecerdikan Fulvia dan kepercayaan dirinya yang jauh lebih besar dari Clementine itu.

Ketika Irving merasa sangat puas dengan tebakannya itu, Fulvia merasa sangat puas dengan keberhasilannya.

Sesaat yang lalu sebelum ia meninggalkan tempat kerjanya selama sebulan ini, Brent memberikan uang seperti yang mereka sepakati sebelumnya.

“Ini adalah kesepakatan di antara kita,” kata Brent sambil memberikan kantung uang kepada Fulvia, “Tidak lebih dan tidak kurang.”

“Terima kasih,” Fulvia menerimanya dengan gembira, “Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Terima kasih atas bantuan kalian mewujudkan keinginan saya.”

“Tidak perlu sungkan,” kata Jehona, “Kami juga patut berterima kasih padamu. Engkau banyak membantu kami selama sebulan ini.”

“Saya senang dapat membantu,” Fulvia tersenyum lalu ia menatap Tim yang berdiri di sisi Jehona, “Saya akan mengkhawatirkan kalian setelah ini.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan kami,” Brent berkata dengan penuh keyakinan, “Tim telah menjadi seorang anak yang patuh setelah kau mengajarinya. Aku yakin ia tidak akan terlalu merepotkan kami.”

“Aku tidak akan kewalahan lagi selama Tim tidak membuat keributan,” timpal Jehona mantap.

Fulvia mencondongkan badannya ke Tim, “Berjanjilah padaku kau akan patuh pada kedua orang tuamu.”

Tim menyadari makna yang lebih dalam dalam perkataan itu dan ia bertanya sedih, “Apakah besok kau tidak datang lagi?”

“Aku masih akan datang menengokmu,” Fulvia membesarkan hati anak itu, “Aku berjanji akan meluangkan waktu untuk melihat keadaanmu.”

Jawaban itu membuat Tim semakin kecewa.

Raut wajah anak itu membuat Fulvia tidak tega.

“Jangan bertindak kekanak-kanakan!” hardik Jehona – menyadari suasana saat itu, “Fulvia tidak akan ke mana-mana. Ia masih bisa datang setiap saat.”

“Benarkah?” Tim menatap Fulvia lekat-lekat.

“Tentu,” janji Fulvia, “Dan aku akan membawakan makanan kesukaanmu setiap kali aku datang.”

Kesedihan di wajah Tim berubah menjadi senyum lebar. “Kau telah berjanji,” katanya memperingati. “Kau tidak boleh lupa.”

“Aku tidak akan lupa,” Fulvia tersenyum lembut.

“Yang mengingkari janji adalah pembohong!” Tim berkata dengan penuh semangat.

Fulvia tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa datang sesering ini setelah hari ini. Ia hanya bisa menjanjikan untuk melihat mereka ketika ia mempunyai waktu.

Fulvia juga tahu ia tidak akan bisa melihat Irving sesering ini setelah hari ini. Ia juga sadar hubungan baik di antara mereka yang terjalin selama ini akan meregang dan ia tidak ingin itu terjadi. Fulvia tetap ingin berteman dengan Irving besok dan untuk seterusnya. Maka, ia berkata dengan sungguh-sungguh,

“Walaupun kita tidak bertemu lagi, dapatkah kita menjadi teman?”

Irving terkejut.

“Saya rasa saya mulai menyukai Anda dan…,” Fulvia tersipu-sipu, “Saya akan sangat sedih sekali bila kita memutuskan hubungan begitu saja setelah ini.”

“Apakah gadis ini mempunyai rencana baru lagi?” pikir Irving. Irving tidak benar-benar dapat mengerti Fulvia tetapi ia tahu Fulvia tidak jauh berbeda dari semua wanita yang pernah dikenalnya.

“Tentu,” Irving memberikan jawabannya.

Senyum di wajah Fulvia semakin melebar.

Tidak ada yang dapat menggantikan kegembiraannya hari ini. Jerih payahnya selama sebulan ini telah membawa hasil. Fulvia sudah tidak sabar untuk segera membeli kotak musik itu. Ia tidak sabar untuk segera membawanya pulang.

Kemarin ia telah meyakinkan untuk terakhir kalinya bahwa kotak musik itu masih ada di sana menantinya. Hari ini pun Fulvia yakin ia masih menantinya dengan setia. Dan besok Fulvia akan membawanya pulang.

“Apakah Anda bersedia menemani saya ke tempat biasa untuk terakhir kalinya sebelum mengantar saya pulang?”

Saat ini Fulvia ingin sekali segera menemui Audrey. Ia ingin membagikan kebahagiannya ini kepada Audrey yang telah mendukungnya selama ini.

“Tentu.”

Fulvia tahu Irving takkan menolak. Irving tidak pernah menolak mengantarkannya ke Greenwalls. Ia terus mengantarkannya ke rumah kakak sepupunya ini berturut-turut dalam beberapa hari ini.

Pelayan mereka pun telah mengenali kereta kuda keluarga Engelschalf. Mereka selalu bergegas menyambut kedatangan mereka begitu melihat kereta keluarga Engelschalf memasuki pekarangan Greenwalls.

Demikian pula hari ini. Ketika kereta berhenti di depan pintu masuk, seorang pelayan membuka pintu.

“Selamat datang,” ia memberikan sambutannya.

Dan seperti biasa pula, Fulvia bertanya “Apakah Audrey ada di dalam?” walaupun Fulvia tahu Audrey pasti ada di dalam. Ini sudah menjadi kebiasaan Fulvia setiap kali ia berkunjung ke Greenwalls. Sekarang pun ini tetap menjadi kebiasaannya. Fulvia tidak pernah merasa ini adalah kebiasaan yang buruk. Ia hanya ingin memastikan kedatangannya tidak sia-sia.

“Nyonya tidak ada di rumah,” jawab pelayan itu, “Ia bersama Tuan Lewis pergi ke Osbesque pagi ini.”

“Mereka pergi ke Osbesque?” Fulvia mengulangi dengan penuh rasa tidak percaya.

“Tuan Lewis dan Nyonya Audrey pergi sejak pagi,” pelayan itu mengulang dengan lebih jelas, “Mereka berencana untuk menginap di sana malam ini.”

Fulvia terperangah. Ia tidak pernah mendengar rencana Audrey ini. Kemarin ia juga datang menemui mereka tetapi Audrey tidak mengatakan apa-apa.

“Aku mengerti,” kata Fulvia kecewa.

“Kau ingin ke Osbesque?”

Fulvia terperanjat. “Tidak,” jawabnya panik.

Fulvia tidak akan menyusul Audrey ke Osbesque walaupun ia sangat ingin tahu apa yang membuat keduanya pulang setelah sekian lamanya. Fulvia memilih untuk menahan keinginan itu daripada menimbulkan ingin tahu keluarga Garfinkelnn melihat kemunculannya bersama Irving.

“Saya tidak ingin menganggu pertemuan keluarga mereka,” kata Fulvia, “Lagipula saya ingin segera pulang.”

Irving memperhatikan Fulvia yang membalikkan badan ke kereta kudanya. Tentu saja Fulvia ingin segera pulang. Ia tentunya telah tidak sabar melihat benda itu.

Keyakinan Irving bertambah kuat ketika ia melihat Fulvia berlari-lari kecil memasuki Unsdrell setelah mengucapkan selamat tinggal padanya.

Fulvia bergegas menuju kamarnya. Fulvia begitu tidak sabar menanti hari esok. Rasanya ia ingin sekali langsung melompati waktu ke esok siang.

Besok Fulvia akan pergi membeli kotak musik itu. Besok ia akan dapat membawanya pulang.

Senyum Fulvia kian lebar ketika ia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent.

Fulvia duduk di meja riasnya dan mengeluarkan isi kantung itu.

Fulvia tahu Brent tidak akan menipunya. Fulvia hanya ingin sekali melihat uang hasil kerja kerasnya selama sebulan ini.

Tengah Fulvia sibuk menghitung dan menatapi uang-uang itu dengan matanya yang berbinar-binar, seseorang mengetuk pintunya.

Ketukan di pintu itu membuat Fulvia terkejut dan panik. Fulvia segera memasukkan kembali uang itu dan menyembunyikannya di dalam laci meja riasnya.

Fulvia tidak ingin seorangpun melihatnya.

Ketukan di pintu kembali terdengar. “Apakah Anda di dalam, Tuan Puteri?”

Fulvia sadar orang yang mengetuk pintu kamarnya bukan Davies ataupun ibunya. “Aku di dalam,” kata Fulvia lega, “Masuklah.”

Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita melangkah masuk.

“Ada apa?” tanya Fulvia.

“Anda mendapat kiriman, Tuan Puteri,” pelayan itu menyodorkan sebuah kotak merah muda berukuran sedang kepada Fulvia, “Siang ini seorang pria mengantarkannya. Katanya ini untuk Anda.”

Fulvia memperhatikan kotak itu. Tidak ada tulisan ataupun gambar pada permukaannya yang dilapisi kain merah muda itu. Beberapa bunga kain yang berwarna senada menghiasi salah satu sudut penutup kotak itu.

Fulvia bisa memastikan ini bukanlah ulahTrevor maupun Richie terlebih lagi Davies. Ketiganya tahu ia tidak akan pernah menerima pemberian mereka.

“Dari siapakah?” gumam Fulvia heran sambil menerima kotak itu.

“Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Saya hanya diminta untuk memberikan kotak ini pada Anda begitu Anda tiba.”

“Aku mengerti,” kata Fulvia sambil membuka tutup kotak itu.

Pelayan itu masih berada di sana untuk menanti perintah Fulvia.

Mata Fulvia terbelalak melihat isi kotak itu. Tangannya meraih secarik kertas di dalam kotak.

Fulvia tidak tahu harus mengucapkan apa tapi ia tahu apa yang harus dilakukannya. Maka iapun menuju meja kecil di sisi tempat tidurnya dan mengambil selembar kertas serta pena dan mulai menulis.


-----0-----


Irving bangun lebih siang hari ini. Ia juga menikmati waktu makan paginya lebih lama dari beberapa hari terakhir ini.

Hari ini ia tidak perlu menjemput Fulvia.

Hari ini ia bisa melakukan semua yang ingin dilakukannya tanpa perlu memusingkan diri dengan jadwal menjemput Fulvia.

Setelah menghabiskan sarapannya seorang diri di Ruang Makan, Irving melangkahkan kaki ke Ruang Baca.

Irving masih tidak tertarik untuk menemui wanita-wanita penggemarnya. Ia masih ingin meneruskan kegiatan membaca yang telah ditekuninya belakangan ini.

Mata Irving menangkap sesuatu di meja bacanya.

Irving keheranan melihat kotak di meja bacanya. Ia mengenal kotak itu. Ia tidak mungkin salah ingat pada hadiah yang dibelinya untuk Fulvia – hadiah yang dipilih sendiri oleh gadis itu.

Apalagi maksud gadis itu menunjukkan kotak musik itu padanya bila bukan karena gadis itu ingin ia memberinya sebagai hadiah? Ia tidak mungkin salah! Semua wanita selalu bersikap seperti itu. Mereka sengaja menunjukkan ketertarikannya pada sebuah benda di depannya karena mereka ingin ia membelinya untuk mereka. Dan Fulvia adalah satu dari mereka.

“Seorang lagi,” dengusnya.

Ini bukan sekali atau dua kalinya gadis yang dikirimi hadiah olehnya mengembalikan pemberiannya. Ia tahu mengapa mereka mengirimkan kembali hadiah itu padanya. Ia yakin gadis itu pun mempunyai tujuan yang sama: mereka menuntut lebih dari hadiah itu!

Karena itulah ia tidak tertarik untuk melihat secarik surat yang terikat bersama kotak itu. Dan ia memindahkan kotak itu ke lantai untuk kemudian diurus oleh pengurus rumah tangganya.

Pedro tentu tahu apa yang harus dilakukannya dengan hadiah itu termasuk mengirimkan mawar merahnya.

Irving telah mengerti gadis itu dan ia tidak perlu lagi meneruskan hubungan dengan gadis cerdik yang berbahaya itu.

Irving meninggalkan Ruang Baca. Keberadaan kotak itu telah membuang hasratnya untuk membaca buku di sana.

Ketika melintasi Hall, Irving melihat ayahnya baru saja pulang.

“Kau tidak pergi?” tanya Duke keheranan melihat putranya masih di rumah.

“Aku tidak punya keperluan,” jawab Irving tanpa menghentikan langkahnya ke Ruang Perpustakaan.

Duke Engelschalf juga tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Irving tidak pernah suka setiap pertanyaannya.

Bagi Irving, hari ini berlalu dengan tenang. Ia tidak perlu terus memperhatikan waktu dan cemas terlambat. Ia juga tidak perlu terus memperingati dirinya untuk tidak terlalu larut dalam kegiatan membacanya.

“Tuan Muda,” Pedro menghadap.

Irving keheranan melihat kotak merah di tangan Pedro. Ini kedua kalinya ia melihat kotak itu di hari ini.

“Mereka mengatakan benda ini tidak dapat dikembalikan karena ia tidak memiliki cacat apa-apa.”

“Dikembalikan?” Irving tidak mengerti, “Apa maksudmu?”

“Bukankah Anda ingin saya melakukan sesuai yang ditulis di dalam surat yang disertakan dalam kotak ini?” Pedro juga kebingungan dan ia menambahkan, “Seperti biasanya.”

“Apa isi surat itu?” tanya Irving gusar, “Berikan padaku.”

Dengan tanggap, Pedro memberikan secarik surat tulisan tangan Fulvia kepada Irving.

Saya sungguh berterima kasih atas pemberian Anda ini tetapi maafkan ketidaksopanan saya. Saya tidak dapat menerima pemberian ini. Bila Anda benar-benar ingin memberikannya kepada saya sebagai hadiah, tolong kembalikanlah kotak musik ini. Biarlah saya yang membelinya dengan keringat saya sendiri. Sesuatu yang berharga adalah sesuatu yang diperoleh dengan jerih payah. Tanpa mengurangi hormat saya pada Anda, saya mengucapkan banyak terima kasih.

Fulvia.


Irving menatap Pedro.

“Apa yang harus saya lakukan?”

Irving termenung.

Pedro pun menanti perintah tuannya dengan setia.

Irving tidak mengerti. Ia tidak dapat memahami permainan apa yang tengah dimainkan oleh Fulvia. Bukankah ia sangat menginginkan kotak musik ini? Bukankah ia sengaja memberitahunya? Bukankah ia sengaja menunjukkan benda ini padanya?

Apa pun permainan yang sedang dimainkan Fulvia, Irving tidak akan terperangkap ke dalamnya. Ia tahu seribu satu permainan wanita untuk menjerat pria!

Fulvia salah besar bila ia mengira ia lebih pandai dari Irving. Irving lebih licik dan lebih berpengalaman dari Fulvia dalam hal ini!

“Berikan benda sial itu padaku,” akhirnya Irving berkata.

No comments:

Post a Comment