Saturday, April 7, 2007

Orang Ketiga-Chapter 10

Fulvia duduk termenung di dalam kamarnya.

Setelah berhari-hari menghabiskan waktu di kota, kini tiba-tiba saja Fulvia merasa jenuh berada di dalam rumah.

Fulvia ingin sekali keluar tetapi ia tidak mempunyai tujuan.

Fulvia ingin sekali mencari seseorang untuk berbicara tetapi tidak ada seorang pun yang mempunyai waktu untuknya. Count pergi entah ke mana semenjak makan pagi. Davies pergi menemui Lady Margot. Dan Countess menyibukkan diri entah dengan urusan apa. Hari ini Trevor maupun Richie juga tidak muncul.

Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak Fulvia bahwa ia akan bosan berada di dalam rumah.

Berpikir ulang tentang kedua kakak sepupunya itu, Fulvia merasa kedatangan mereka ke Unsdrell tidaklah sia-sia. Mereka selalu saja mempunyai cara untuk membuatnya tidak jenuh.

Hari ini tentu saja mereka tidak datang. Mereka tentunya masih mengira hari ini pun ia pergi ke kota.

Fulvia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent dan mendesah. Ia tidak dapat membeli kotak musik itu sekarang.

Irving telah membeli kotak musik itu untuknya namun Fulvia tidak dapat menerima pemberian itu. Kemarin malam Fulvia telah mengirimkannya kembali dan sekarang Fulvia hanya dapat berharap Irving segera mengembalikan kotak musik itu.

Fulvia ingin segera membawa pulang kotak musik itu.

“Aku mendengar kau sedang bermurung diri.”

Fulvia terkejut. Tangannya segera menyembunyikan kantung uang itu ke dalam saku gaunnya dan ia melihat Margot melangkah masuk kamarnya dengan senyumannya yang manis.

“Kau tidak keberatan aku langsung masuk tanpa seijinmu bukan?”

“Tidak,” kata Fulvia lalu ia bertanya, “Apa yang membuatmu kemari?”

“Davies. Ia mengatakan kau mungkin akan jenuh maka ia memboyongku pulang.”

Margot duduk di sisi Fulvia.

“Pria itu…,” keluh Margot, “Ia selalu saja memikirkanmu.” Margot menatap Fulvia lekat-lekat, “Aku iri padamu.”

Fulvia terperanjat. “Jangan berpikir terlalu banyak,” ujar Fulvia, “Kami adalah kakak adik. Aku tidak mungkin merebut Davies darimu. Selain itu, sudah menjadi sifatnya selalu mengkhawatirkanku.”

“Aku tahu,” Margot tersenyum, “Karena itu pulalah aku mencintainya.”

Fulvia lega.

“Katakan, Fulvia, apa yang membuatmu melamun.”

“Aku tidak sedang melamun.”

“Benarkah itu?” Margot tidak percaya, “Sesaat yang lalu aku begitu yakin kau tidak akan sadar walau di sampingmu ada bom meledak.”

“Sungguh,” Fulvia meyakinkan, “Aku hanya merasa bosan. Biasanya Trevor dan Richie datang menggangguku tetapi hari ini mereka tidak muncul dan itu membuatku merasa sangat jenuh.”

“Kau benar,” Margot menyadarinya, “Biasanya kedua kakak sepupumu itu selalu berada di sekitarmu. Ke mana mereka? Mengapa mereka tidak muncul?”

“Mungkin mereka tidak tahu hari ini aku ada di rumah.”

“Aku dapat memahaminya,” kata Margot lagi, “Davies mengatakan padaku hari ini kau tidak pergi keluar rumah. Irving tidak menjemputmu?”

Fulvia terperanjat. “Bagaimana kau tahu?”

“Tentu saja Davies,” Margot tersenyum penuh kemenangan.

Fulvia merasa bodoh. Tentu saja Davies telah mengatakan semuanya pada Margot.

Di awal Fulvia meminta bantuan Irving, ia tidak pernah memikirkan apa yang mungkin dikatakan orang lain tetapi semenjak Countess Kylie menyalahartikan sikap Irving padanya di hari Minggu yang lalu Fulvia mulai mencemaskan keputusannya yang lalu itu.

Sedikitpun Fulvia tidak pernah memikirkannya. Fulvia tidak pernah menduga mereka akan menjadi bahan pembicaraan.

Sekarang semuanya sudah terlambat.

Irving pasti tidak menyukai gosip baru ini.

“Hari ini kalian akan pergi ke mana?”

“Apakah kau pikir kakakmu itu akan mengajakku pergi?” Margot mengeluh. “Ia tidak pernah mengajakku pergi ke mana pun selain ke tempat ini.”

Fulvia tersenyum. Ia tahu Margot hanya bercanda.

“Aku lebih suka berpikir ia tidak tahu harus mengajakmu pergi ke mana,” hiburnya, “Dan Unsdrell adalah satu-satunya hal yang bisa dipikirkan olehnya.”

“Membawaku pulang kemudian meninggalkanku?” tanya Margot, “Kurasa tidak.”

“Davies pergi?” Fulvia tidak percaya.

“Ya, ia pergi meninggalkanku ke Osbesque. Sepertinya kaum pria keluarga kalian sedang berkumpul di Osbesque untuk membicarakan suatu masalah.”

Fulvia termenung. “Aku mendengar Lewis menginap di sana kemarin. Apakah ini berkaitan dengannya?”

“Aku tidak tahu. Davies tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”

“Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk,” gumam Fulvia.

“Tidak akan,” Margot meyakinkan, “Davies pergi ke Osbesque dengan wajah gembira. Pasti tidak terjadi sesuatu yang buruk.”

Fulvia juga mengharapkannya.

“Katakan, Margot, bagaimana menurutmu kalau kita berbincang-bincang di Ruang Duduk sambil menikmati makanan kecil?”

“Aku sangat mendukung idemu itu,” kata Margot gembira.

Mereka meninggalkan kamar Fulvia.

“Biarlah kaum pria itu meributkan masalah mereka sendiri,” kata Margot bergurau, “Yang terpenting kita juga bisa menikmati waktu kita sendiri.”

Fulvia tertawa mendengarnya.

Margot benar-benar wanita yang menarik. Fulvia yakin Davies juga melihatnya demikian. Margot sangat memahami sifat kakaknya. Walaupun ia terdengar sering mengeluhkan sifat Davies itu, tetapi sesungguhnya ia hanya bercanda. Seperti yang sering dikatakan Margot padanya, sifat-sifat Davies itulah yang membuatnya tertarik.

Fulvia menyukai Margot. Ia yakin mereka dapat menjadi kakak adik yang akrab.

Dalam waktu singkat mereka telah duduk di dalam Ruang Duduk dengan teh di antara mereka dan makanan ringan lainnya.

“Mengapa aku tidak melihat Countess Kylie?” tanya Margot.

“Sejak pagi Mama sibuk. Entah apa yang disibukkannya. Mungkin ia mempunyai rencana minum teh bersama Bibi Yolanda dan Bibi Horace. Atau mungkin mereka tengah merencanakan liburan musim panas ini.”

“Keluarga kalian benar-benar akrab,” puji Margot, “Benar-benar membuat orang lain iri.”

“Ya,” Fulvia sependapat. “Mereka benar-benar akrab hingga orang lain percaya mereka adalah kakak adik bukan sepupu jauh.”

“Bagaimanakah hubungan keluarga kalian?” tanya Margot, “Selama ini aku hanya tahu kalian masih berhubungan kerabat tetapi aku tidak melihat kemiripan di antara kalian.”

“Aku juga tidak mengetahuinya dengan jelas,” jawab Fulvia, “Sejak aku lahir aku sudah tahu kami masih berkerabat.”

“Apakah kau tidak pernah menanyakannya?”

“Apakah itu penting?” Fulvia balas bertanya dengan polos, “Aku rasa kami tahu kami masih berhubungan kerabat sudah cukup. Untuk apa mengetahui lebih banyak?”

Margot tersenyum. Ia sudah banyak mendengar sifat Fulvia dari Davies. Fulvia adalah gadis seperti ini. Ia sangat memperhatikan orang lain tetapi ia tidak mau tahu terlalu banyak. Bagi Fulvia, tahu sudah cukup. Tidak perlu bertanya lebih banyak lagi. Mungkin sifat inilah yang membuatnya berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya yang selalu ingin tahu.

“Sudah kuduga kalian ada di sini.”

“Audrey!” Fulvia terperanjat melihat kakak sepupunya itu tiba-tiba muncul. “Mengapa kau ada di sini?”

“Mereka mengusirku,” jawab Audrey santai.

“Mengusirmu?” Margot bertanya heran, “Bukankah kaum pria keluarga kalian sedang membicarakan masalah kalian?”

“Benar. Mereka sedang membicarakan masalah kami,” Audrey duduk di kursi depan Fulvia, “Tetapi kaum pria keluarga kami itu tidak mau campur tangan wanita. Karena itulah Richie mengusirku ke sini untuk mengabarkan temuannya padamu, Fulvia. Tetapi aku tidak keberatan. Aku juga tidak mau ikut campur masalah Lewis.”

“Lewis?” Fulvia terperanjat, “Apakah terjadi sesuatu dengannya? Apakah kalian bertengkar lagi?”

Audrey tersenyum melihat kepanikan Fulvia itu.

“Tidak, Fulvia,” Audrey menenangkan gadis itu, “Tidak terjadi apa-apa dengan kami. Lewis hanya tiba-tiba saja mengusulkan untuk pulang ke Osbesque dan membicarakan masalah kami dengan orang tuaku.”

“Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan,” Audrey cepat-cepat menambahkan melihat raut wajah Fulvia yang mulai berubah, “Lewis meminta bantuan orang tuaku untuk memulihkan keadaan Greenwalls dan usaha keluarganya. Sekarang para pria itu sedang sibuk membicarakan rencana mereka.”

Fulvia lega mendengarnya. “Aku senang Lewis sudah kembali seperti semula.”

“Aku juga sangat gembira,” kata Audrey, “Kemarin pagi ia benar-benar mengagetkanku ketika tiba-tiba berkata, ‘Audrey, kita pulang.’ Aku benar-benar senang ia sudah kembali seperti semula. Aku tahu hari ini akan datang.”

“Audrey, bukankah tadi kau mengatakan Richie memintamu mengabarkan temuannya pada Fulvia,” Margot mengingatkan, “Apakah itu?”

“Richie mengatakan ia mendengar ada Festival Topeng,” kata Audrey, “Ia berkata kau pasti akan tertarik.”

“Apakah kau akan pergi juga, Audrey?” tanya Fulvia menatap kakak sepupunya lekat-lekat, “Kau sudah lama tidak meninggalkan Greenwalls.”

“Tentu saja,” sahut Audrey, “Lewis bahkan berjanji untuk mengenakan topeng yang sesuai denganku.”

Fulvia tersenyum gembira.

“Aku berharap Davies juga akan mengajakku,” keluh Margot.

“Pasti, Davies,” kata Audrey, “Tadi aku mendengar Davies berkata kau pasti ingin pergi ke sana dan ia akan mengajakmu.”

“Benarkah itu?” Margot berseru gembira.

“Oh, ini benar-benar luar biasa,” Fulvia merasa hari ini benar-benar merupakan hari bahagianya, “Tidakkah kau dengar itu, Margot, Davies akan mengajakmu. Kita bisa pergi bersama-sama.”

“Kapankah festival itu diadakan?” Margot bertanya lebih lanjut, “Apakah minggu depan?”

“Masih dua bulan lagi. Tepatnya seminggu setelah pesta ulang tahun Duke of Wyndham.”

Jawaban Audrey itu membuat Margot kecewa.

“Jangan bersedih seperti itu, Margot,” Fulvia membesarkan hati wanita itu, “Dua bulan bukanlah waktu yang lama. Kau bisa mempersiapkan segalanya sebelum waktu itu. Aku pun juga harus mulai memikirkan apa yang harus aku kenakan. Pertama-tama aku harus berpikir dengan siapakah aku akan pergi. Audrey, kau pasti pergi dengan Lewis. Kemudian Margot dengan Davies. Tinggallah aku, Trevor dan Richie. Aku ingin pergi berduaan seperti kalian tetapi rasanya aku harus pergi bertiga lagi.”

“Kau bisa pergi dengan Irving,” Audrey mengusulkan.

“Itu tidak mungkin. Irving pasti sudah mempunyai janji dan ia belum tentu mau pergi ke sana.”

Pernyataan Fulvia itu membuat Audrey maupun Margot terperangah.

“Fulvia, apakah kau tidak mendengar kabar-kabar itu?” tanya Audrey keheranan. “Semua orang membicarakannya.”

Fulvia hanya menatap kakak sepupunya itu.

“Irving sudah berubah,” lanjut Margot, “Ia sudah tidak pernah lagi terlihat keluar bersama wanita mana pun. Ia juga tidak pernah berganti-ganti pasangan.”

“Sekarang ia sudah berubah menjadi seorang pria yang setia,” Audrey menegaskan.

“Benarkah itu?” Fulvia tidak percaya.

Audrey dan Margot saling berpandangan heran.

“Kau tidak tahu?” tanya Margot tidak percaya.

“Siapakah wanita itu?” Fulvia balik bertanya penuh ingin tahu. “Aku senang akhirnya Irving dapat berubah menjadi seorang pria yang setia.”

Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.

“Kau tidak tahu siapa wanita itu?”

“Kau tidak cemburu padanya?” Audrey menyelidiki.

“Cemburu?” Fulvia balik bertanya.

Fulvia terdiam.

“Mungkin,” katanya sambil tersenyum, “Tetapi aku sungguh berbahagia untuk wanita itu.”

Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.

“Kau tidak tahu siapa wanita itu?” Margot menyelidiki, “Bukankah kau pergi bersama Irving beberapa hari ini?”

Fulvia terperanjat. Semua orang tentu menduga mereka terus berduaan sepanjang hari dalam beberapa hari mendatang ini tetapi kenyatannya bukan seperti itu. Fulvia tidak tahu bagaimana menjelaskan ini dan ia hanya dapat memohon bantuan Audrey melalui tatapannya.

“Aku melihat Irving sangat memperhatikanmu,” Audrey tersenyum penuh arti, “Aku yakin ia mulai tertarik padamu.”

Seketika wajah Fulvia memerah. “Jangan menuduh yang tidak-tidak. Kami hanya teman. Hanya teman,” ia menegaskan.

“Aku tidak mendengarnya seperti ini,” desak Margot, “Aku telah mendengar semuanya dari Davies.”

“Apakah Mama memberitahu Davies?” Fulvia bertanya penuh waspada.

“Memberitahu apa?” Audrey dan Margot bertanya penuh ingin tahu.

“Tidak ada. Tidak ada,” Fulvia mengelak dengan panik.

Audrey mencurigai kepanikan Fulvia demikian pula Margot.

“Apakah kalian sedang membicarakanku?”

“Mama!” Fulvia terkejut melihat Countess Kylie muncul di pintu.

“Tidak, Bibi Kylie,” kata Audrey.

“Bagaimana mungkin kami membicarakan Anda?” tambah Margot.

“Kami sedang membicarakan Fulvia dan Irving,” Audrey tersenyum penuh arti sambil melirik Fulvia.

Fulvia merasa sedang dipojokkan.

“Berbicara tentang Irving,” kata Countess, “Ia datang mencarimu, Fulvia.”

Spontan Audrey dan Margot menatap Fulvia penuh ingin tahu.

“Mencariku?” Fulvia heran.

“Aku memintanya menantimu di Ruang Tamu.”

“Aku segera ke sana,” Fulvia beranjak bangkit.

Kedua wanita itu memperhatikan Fulvia yang terburu-buru meninggalkan mereka.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Countess Kylie tertarik.

“Kami membicarakan kabar terbesar abad ini, Bibi,” jawab Audrey.

Margot tertawa mendengarnya.

Fulvia cepat-cepat menutup pintu. Ia tidak mau lagi mendengar pembicaraan yang menyudutkan dirinya itu.

Irving berdiri di Ruang Tamu dengan wajah tidak senangnya.

“Anda mencari saya, M’lord?” tanya Fulvia heran melihat raut wajah pria itu.

“Aku tidak bisa menerima tindakanmu ini!” kata Irving tegas.

Fulvia tidak mengerti.

“Aku tidak menerima penolakan,” Irving menyodorkan kotak merah pada Fulvia.

“Oh.”

“Bukan ‘oh’ yang ingin aku terima!”

Fulvia tersenyum lembut. “Seperti yang saya katakan, tanpa mengurangi hormat dan terima kasih saya pada Anda, saya tidak dapat menerima hadiah Anda.”

“Kau tidak mempunyai alasan menolaknya!” Irving bersikeras.

“Saya lebih tidak mempunyai alasan menerimanya,” dengan tenang Fulvia menjelaskan, “Saya tidak sedang berulang tahun. Saya tidak sedang dalam peringatan apa pun. Saya tidak patut menerimanya. Saya menghormati Anda sebagai teman saya dan saya sangat berterima kasih atas segala yang Anda lakukan untuk saya. Dan bila Anda berkenan, saya lebih ingin memberi sesuatu untuk Anda daripada menerima sesuatu dari Anda. Saya tahu tidak ada yang dapat membalas segala budi yang Anda lakukan untuk saya. Hanya sepatah kata ‘terima kasih’ yang dapat saya berikan untuk Anda saat ini.”

Irving terhenyak.

“Saya sungguh tersanjung oleh perhatian Anda pada saya, tetapi saya tidak dapat menerima cuma-cuma pemberian ini. Saya tidak akan menyangkal saya sangat menginginkan kotak musik ini lebih dari apa pun. Walau demikian, sungguh tidak lucu bila saya memberikan hadiah pemberian Anda kepada orang tua saya sebagai hadiah pernikahan.”

Entah mengapa Irving seperti kehabisan kata-katanya.

“Saya ingin memberi mereka sebuah hadiah yang saya peroleh dari hasil kerja keras saya. Saya ingin mereka tahu saya menghargai jerih payah mereka dalam membesarkan saya.”

“Mereka tidak menerima pengembalian kotak musik ini kecuali ia cacat atau rusak,” Irving berkata seolah memberitahu dirinya sendiri.

“Oh,” Fulvia terkejut.

“Aku juga tidak dapat menyimpannya,” Irving menatap Fulvia penuh harap.

“Bila demikian,” Fulvia berpikir cepat, “Maka yang bisa saya lakukan adalah membelinya dari Anda.”

Irving membelalak.

“Katakanlah Anda membantu saya membelinya karena Anda tahu kekhawatiran saya,” Fulvia melanjutkan tanpa memberi kesempatan pada Irving untuk berbicara.

“Saya tidak tahu berapa Anda membelinya,” Fulvia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kantung kecil. “Saya hanya menyiapkan uang sejumlah harga yang pernah saya tanyakan. Semoga saya tidak merugikan Anda.”

“Terima kasih,” Fulvia mengambil kotak itu dari tangan Irving dan memberikan kantung yang penuh berisi uang itu pada Irving. “Saya sungguh berterima kasih atas kebaikan Anda. Anda telah menyelamatkan kotak berharga ini dari pembeli lain dan mengantarkannya pada saya. Berkat Anda saya dapat menghemat waktu saya.”

Fulvia tersenyum gembira. Pipinya yang kemerahan tampak merona merah oleh kegembiraannya. Matanya yang keunguan tampak terharu.

“Tak perlu sungkan,” Irving tidak tahu harus berkata apa.

“Bila Anda tidak keberatan,” Fulvia masih tersenyum gembira, “Saya ingin segera menyembunyikan benda ini di kamar saya sebelum seorang pun dari keluarga saya melihatnya.”

Irving tertegun.

“Saya akan segera kembali setelah saya menyembunyikannya di tempat yang aman,” kata Fulvia lagi.

“Tidak perlu. Aku sudah tidak mempunyai kepentingan di sini. Aku akan segera kembali ke Nerryland.”

Fulvia kecewa mendengarnya.

“Ijinkan saya mengantar kepulangan Anda,” Fulvia berkata sopan.

Irving tidak berkata apa-apa. Ia masih tetap berdiam diri ketika mereka telah sampai di depan Unsdrell.

“Terima kasih,” Fulvia mengulangi dengan penuh syukur, “Saya benar-benar berterima kasih atas semua kebaikan Anda selama ini. Saya berharap saya dapat membalasnya suatu hari nanti.”

“Tidak perlu sungkan,” Irving merasa aneh mendengar nada suaranya yang penuh kebingungan, ketakjuban dan entah perasaan apa lagi yang tercampur aduk dalam suaranya seperti dalam benaknya saat ini.

Fulvia tersenyum manis.

Irving tertegun melihat senyum yang mempercantik wajah oval gadis itu. Mata biru keunguannya terlihat semakin cerah dengan senyum yang tersembunyi di baliknya.

“Unsdrell akan selalu terbuka untuk Anda,” senyum manis Fulvia tidak menghilang.

“Aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi,” Irving mendapatkan kembali dirinya.

“Selamat jalan.”

Irving menatap gadis itu lekat-lekat. Tangannya terulur.

Jantung Fulvia berdebar-debar melihat pandangan mata yang memabukkan itu. Ia hanya pernah melihat sinar lembut dalam mata biru tua itu sekali.

“Selamat siang,” Irving menarik kembali tangannya dan ia bergegas masuk dalam kereta kudanya.

Fulvia tertegun. Kekecewaan merebak dari sisi terdalam hatinya dan ia mengawasi kepergian kereta kuda itu dengan hati hampa.

Teringat kotak di tangannya, Fulvia bergegas kembali ke kamarnya. Fulvia menyembunyikan kotak itu di bawah tempat tidurnya, tempat yang paling aman menurutnya dan pergi ke Ruang Duduk untuk menemui keluarganya.

Derai tawa mereka terdengar begitu keras ketika Fulvia berada di sekitar Ruang Duduk dan suara itu semakin keras ketika semakin dekat.

“Apa yang kalian bicarakan?” Fulvia bertanya penuh ingin tahu.

Tawa ketiganya berhenti. Mereka menatap Fulvia dengan heran.

“Kau sudah kembali?” tanya Audrey heran.

“Di mana Irving?” Margot tertarik.

“Ia sudah pulang,” jawab Fulvia sambil mendekat, “Ia masih mempunyai keperluan.”

“Apa yang dibicarakannya denganmu?” Margot terus bertanya.

“Tidak ada,” jawab Fulvia, “Ia tidak membicarakan apa pun denganku.”

“Benarkah itu?” Margot bergeser untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Fulvia.

“Benar,” Fulvia bersikeras untuk tidak membicarakan hal itu.

“Jangan mendesaknya,” Countess membuat Fulvia merasa lega, “Aku yakin ia masih malu untuk mengatakannya pada kita.”

Perkataan Countess itu membuat Fulvia merasa salah tingkah.

Ketiganya menatap rona merah di pipi Fulvia dengan penuh ingin tahu.

Fulvia berpikir cepat untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Apakah yang kalian bicarakan barusan?” Fulvia berpura-pura tidak menyadari tatapan mereka, “Tampaknya menarik sekali.”

“Kurasa saat ini memang percuma mendesaknya,” keluh Audrey.

Keluhan Audrey itu membuat Fulvia merasa semakin tidak nyaman. Sekarang ia tidak mempunyai alasan untuk meninggalkan tempat ini. Selain itu adalah hal yang sangat tidak sopan untuk meninggalkan mereka begitu saja.

“Kami sedang membicarakan Festival Topeng mendatang,” kata Countess.

Fulvia tertarik. “Apakah Mama juga akan pergi?”

“Mungkin,” Countess tersenyum dan menambahkan, “Bila ayahmu juga mau pergi.”

“Aku akan membujuk Papa,” Fulvia menawarkan diri, “Aku yakin Papa pasti mau mendengarku.”

“Aku juga yakin kau akan lebih berhasil daripada aku,” Countess tersenyum melihat semangat putrinya itu.

“Dan, Audrey,” Fulvia mengalihkan pandangan, “Apakah kau bisa membujuk Paman Meyer dan Bibi Horace?”

Audrey kebingungan.

“Pasti akan sangat menyenangkan sekali untuk pergi beramai-ramai ke sana,” Fulvia berkata penuh semangat, “Aku akan membujuk Paman Graham dan Bibi Yolanda." Lalu Fulvia melihat Margot. “Kau juga bisa mengajak orang tuamu,” katanya penuh semangat.

Margot tersenyum. “Kau juga bisa mengundang Irving.”

Wajah Fulvia langsung memerah.

Ketiga wanita itu tertawa.

Fulvia merasa hari ini ia tidak akan bisa melepaskan diri dari suasana yang memojokkan dirinya ini.


-----0-----



Irving menimang-nimang kantung uang. Pikirannya bercampur aduk dan hatinya galau. Bukan ini yang ia harapkan dari Fulvia. Bukan ini rencananya semula.

Beberapa saat lalu ia begitu yakin ia telah mengerti Fulvia. Fulvia tidak berbeda dari apa yang ada dalam pikirannya. Ia hanyalah seorang gadis ingusan yang mempunyai cara unik untuk mendapatkan keinginannya.

Beberapa saat lalu ia pergi menemui Fulvia untuk membuat gadis itu menjelaskan semua rencananya yang aneh ini.

Beberapa saat lalu ia ingin membuat gadis itu mengungkapkan semua rencana liciknya.

Dan sekarang gadis itu kembali menjungkirbalikkan pikirannya.

Irving tidak mengerti. Bahasa dalam buku yang terbuka lebar itu masih sulit dimengerti olehnya. Ia dapat membaca tulisan itu tetapi ia tidak dapat mengerti bahasa yang digunakannya. Ia tidak dapat menangkap isi buku itu.

Irving meremas kantung itu. “Sial!” tangannya bergerak melempar benda itu.

Senyum manis Fulvia merekah.

Tangan Irving terhenti.

“Aku tidak mengerti gadis ingusan itu,” geramnya. Irving membuka laci meja bacanya dan melempar kantung itu ke dalamnya.

1 comment:

  1. http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/05/kisa-nyata-seorang-gadis-bermuka-gajah.html

    http://detik206.blogspot.com/2017/05/domino206_27.html

    http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/05/mengidap-penyakit-aneh-pria-ini.html

    http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/05/isis-menyerang-bom-mobil-meledak-di.html

    DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

    SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN:)

    UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683

    ReplyDelete