Sunday, April 8, 2007

Orang Ketiga-Chapter 11

Fulvia termenung.

Ia sudah tahu ia akan sedih setelah semua ini berakhir tetapi ia tidak pernah menyangka ia akan sesedih ini.

Fulvia merindukan saat-saat Irving datang menjemputnya. Fulvia ingin sekali kembali ke masa-masa itu. Waktu kebersamaan mereka tidaklah panjang dan tidaklah dipenuhi perbincangan tetapi itu sudah cukup membuat Fulvia gembira.

Kadang Fulvia menyesal mengapa dulu ia tidak banyak bertanya pada Irving mengenai dirinya. Andai saja ia mengetahui lebih banyak tentang pria itu, Fulvia mungkin dapat menggunakannya sebagai alasan untuk menemuinya.

Kadang Fulvia berpikir untuk meminta Trevor dan Richie menemaninya mencari Irving. Mereka adalah teman. Dan seorang teman tidak perlu mencari alasan untuk bertemu. Tetapi Fulvia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan keinginannya pada kedua kakak sepupunya itu.

Di sisi lain, Fulvia yakin Davies tidak akan membiarkannya mencari Irving. Sikap Davies setiap kali Irving datang sudah menjelaskan ketidaksukaannya pada Irving.

Countess Kylie tentu tidak keberatan dengan keinginannya dan Count Clarck pasti tidak akan melarangnya. Count Clarck hanya akan memperingatinya untuk hati-hati.

Sekarang kedatangan Trevor dan Richie terasa bagaikan angin lalu. Fulvia sudah tidak terlalu berminat untuk menghadapi kedua sepupunya itu. Ia tidak terlalu mempunyai semangat untuk mengikuti ajakan mereka.

Hati dan pikiran Fulvia tercurah sepenuhnya pada kenangan-kenangan singkat bersama Irving. Minatnya terarah pada keinginan untuk bertemu Irving.

Fulvia merasa ia benar-benar telah jatuh cinta pada Irving.

Fulvia mengharapkan pertemuan dengan Irving lagi tetapi itu tidak mungkin. Irving sekarang mungkin telah berada dalam pelukan wanita yang konon telah menundukkannya itu. Irving sekarang mungkin sedang bersama wanita itu menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka.

Fulvia iri pada wanita itu. Ia berharap ialah wanita yang beruntung itu.

Fulvia mendesah panjang.

Ini hanyalah mimpi. Irving tidak mungkin jatuh cinta pada seorang gadis ingusan sepertinya.

Fulvia mendesah lagi.

“Ada apa, Fulvia?” tanya Richie cemas. “Kulihat kau terus mendesah hari ini.”

“Tidak ada apa-apa,” Fulvia mengelak kemudian ia segera mengalihkan perhatian mereka, “Ke mana kita akan pergi hari ini?”

“Bagaimana kalau kita ke kota?” Richie mengusulkan.

“Tidak. Kita tidak akan ke mana-mana,” Trevor tidak sependapat.

“Apa maksudmu?” Richie tidak dapat menerima pendapat Trevor.

“Fulvia sudah lama tidak berdiam diri di rumah. Fulvia pasti sudah merindukan masa-masa tenang di dalam tempat ini,” Trevor menjelaskan dengan sengit. “Ia pasti ingin berkumpul dengan keluarganya.”

“Apa kau ingin berkata aku ingin menculik Fulvia?”

Fulvia mendesah. Inilah kakak-kakak sepupunya.

Desahan itu terdengar oleh kedua sepupu itu dan spontan mereka menatap Fulvia lekat-lekat.

Tatapan mereka membuat Fulvia terkejut.

“Bagaimana kalau kita ke gunung?” Fulvia mengusulkan.

“Gunung?” keduanya bertanya heran.

“Kalian tahu, aku merasa seperti berada di puncak dunia ketika berdiri di atas tebing tinggi,” Fulvia menjelaskan dengan penuh semangat, “Dari sana aku bisa melihat rumah-rumah kecil penduduk yang dikeliingi pegunungan tinggi. Aku bisa melihat hamparan hijau pepohonan. Aku juga bisa melihat laut di kejauhan.”

“Tidak!” Trevor dan Richie berseru serempak.

Fulvia terkejut.

“Gunung adalah tempat yang sangat berbahaya,” kata Trevor tegas.

“Apa yang akan terjadi bila kau tersesat di sana?” timpal Richie.

Fulvia mendesah panjang. Ternyata memang hanya Irving yang bisa menjaganya tanpa mengekangnya.

“Kau mendesah lagi,” keluh Trevor.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Richie pula.

“Tidak. Tidak ada apa-apa,” Fulvia memeluk lengan keduanya, “Jadi, ke mana kita akan pergi?”

Di saat Fulvia terus membuat kedua kakak sepupunya khawatir dengan desahannya yang tidak berujung itu, beberapa mil dari tempat itu Irving mengurung dirinya di Ruang Baca.

Tidak ada yang dilakukannya selama berhari-hari ini selain mengurung diri dan membaca. Tindakannya itu tentu saja membuat Duke yang tidak pernah menyukai petualangan-petualangan cintanya, gembira. Tetapi di sisi lain Duke juga mulai mencemaskan suasana hati putra tunggalnya itu.

Duke tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungannya dengan Irving tidaklah akrab. Bahkan dapat dikatakan mereka hampir seperti orang asing satu sama lain.

Duke tahu Irving menyalahkan dirinya atas kepergian ibunya. Irving terus menyalahkannya atas peristiwa yang terjadi tujuh belas tahun lalu ia. Duke pun sependapat dengannya. Ialah yang harus disalahkan sehingga istrinya kabur bersama kekasih gelapnya, Nelson.

Semua tahu Duke sangat mencintai istrinya tetapi semua juga tahu Duke gila judi. Itulah yang dilakukannya setiap hari hingga ia sering mengabaikan istrinya. Sikapnya inilah yang membuat Duchess dengan mudah jatuh dalam pelukan pria lain.

Apapun yang terjadi, Duke percaya putranya dapat mengatasinya. Duke percaya padanya.

Bila Duke memilih untuk membiarkan Irving, maka tidak demikian halnya dengan Clementine, sepupu Irving yang cantik itu.

Clementine telah mengenal Irving jauh sebelum Irving terkenal. Clementine telah jatuh cinta pada Irving jauh sebelum wanita-wanita itu. Mereka telah tumbuh besar bersama. Clementine tahu Irving tidak akan pernah menolaknya. Irving juga tidak akan pernah memberikan bunga mawar merah padanya karena mereka tidaklah terpisahkan. Inilah kelebihannya dibandingkan wanita-wanita itu tetapi ini jugalah kekurangannya. Clementine tidak akan pernah mendapatkan Irving karena mereka adalah sepupu!

“Apa yang kaulakukan hari ini?” Clementine melingkarkan tangan di leher Irving yang sedang duduk membaca buku.

“Apa maumu?” Irving bertanya kesal.

Clementine duduk di sisi Irving. “Aku mendengar kau tidak pernah keluar rumah lagi akhir-akhir ini,” ia menatap Irving penuh ingin tahu, “Apakah penggemar-penggemarmu itu telah meninggalkanmu?”

Irving mengacuhkannya. Ia terus membaca bukunya seolah-olah tidak ada gangguan dari wanita itu.

“Apa yang terjadi padamu? Kau seperti bukan Irving yang kukenal lagi,” Clementine mengeluh, “Apakah kau putus cinta?”

“Jangan ganggu aku,” Irving berkata tajam. Ia sedang tidak dalam suasana hati untuk meladeni Clementine.

Irving sudah tidak pernah keluar rumah lagi semenjak pertemuan terakhirnya dengan Fulvia. Ia juga tidak pernah menemui gadis itu lagi walau ia ingin bertemu dengannya lagi. Irving tahu ia tidak bisa. Ia tidak mempunyai alasan untuk menemui gadis itu dan gadis itu belum tentu mau menemuinya.

Irving sudah mencoba untuk kembali pada kebiasaan lamanya sebelum ia bertemu Fulvia tetapi ia tidak bisa. Ia tidak memiliki keinginan untuk bertemu dengan wanita lain selain Fulvia.

Fulvia telah membuat Irving merasa semua wanita di dunia ini sangat membosankan kecuali dirinya. Semua wanita terasa seperti buku yang terbuka bagi Irving tak terkecuali Fulvia. Hanya saja tulisan dalam buku Fulvia sangatlah tidak mudah dimengerti. Selalu dan selalu ada yang membuat Irving merasa tidak pernah bosan bersama gadis itu.

Irving tidak pernah menyadarinya ketika ia masih bertemu Fulvia setiap harinya. Dan kini setelah beberapa hari tidak bertemu dengannya, Irving sadar ia mulai terpikat pada gadis itu.

Entah kapan ia mulai tertarik padanya. Entah kapan Fulvia mulai menjerat hatinya. Irving tidak pernah tahu. Semua ini hanya terjadi begitu saja dalam pertemuan mereka yang sering namun singkat dan tanpa banyak pembicaraan itu.

Pepatah kuno itu benar. Kadang kita terlalu dekat untuk menyadari perasaan kita.

“Ayolah, Irving,” Clementine berkata manja, “Jangan bersedih hati seperti itu hanya karena seorang wanita. Aku bisa menggantikan kedudukannya.”

“Kau sudah gila.”

Clementine bertopang dagu. “Ya, aku sudah gila karena kau. Sungguh sayang sekali kita adalah sepupu. Bila tidak, maka aku akan meminta Papa menikahkanku denganmu.”

Mata Irving langsung bersinar tajam. “Jangan bermimpi. Aku tidak akan pernah tertarik untuk menikah terutama denganmu.”

“Itulah salah satu alasan kau mematahkan sekian banyak hati para wanita,” keluh Clementine.

“Aku tidak ingin mendengar ceramahmu,” Irving menjauhi Clementine.

“Irving,” Clementine mengekor Irving, “Temani aku,” ia menarik tangan Irving.

“Aku tidak ingin pergi.”

“Ayolah,” desak Clementine dengan manja, “Sepanjang hari kau terus mengurung diri membaca buku. Apakah kau tidak bosan? Temanilah aku sebentar.”

Irving benar-benar tidak menikmati gangguan ini dan ia berseru, “Jangan ganggu aku!”

Clementine terdiam. Seruan penuh kemarahan itu telah menjelaskan padanya suasana hati Irving saat ini. Clementine tahu Irving benar-benar marah kali ini dan ia akan ada dalam masalah bila ia terus mengusik pria ini.

Clementine memperhatikan Irving yang meninggalkan Ruang Baca dengan suasana hatinya yang masih dipenuhi kemarahan itu.

Irving boleh tidak mengakuinya tetapi seisi dunia tahu pria itu telah berubah.

Clementine ingin tahu apakah yang membuat Irving berubah. Atau mungkin tepatnya, siapa?


-----0-----


“Dia tidak datang lagi?” tanya Countess ingin tahu.

“Dia?” Fulvia kebingungan.

“Irving,” Countess Kylie menjelaskan, “Mengapa Irving tidak datang menjemputmu lagi?”

Fulvia terperanjat. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada keluarganya tanpa membuat mereka mengetahui rahasianya.

“Irving sibuk,” Fulvia mengatakan apa yang terlintas dalam pikirannya.

Countess tampak tidak dapat menerima jawaban yang diucapkan dengan kepanikan itu.

“Bagaimana kalian akan merayakan pesta pernikahan kalian besok lusa?” Fulvia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.

“Aku belum memikirkannya,” kata Countess, “Apakah kau mempunyai ide, Clarck?”

“Aku tidak tahu,” jawab Count Clarck.

“Bagaimana kalau kita mengundang semua orang ke sini?” Fulvia mengusulkan, “Pasti akan menyenangkan sekali dapat makan bersama-sama mereka semua. Lewis juga pasti akan datang kali ini, bukan? Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan bersama-sama.”

“Aku sependapat,” sahut Countess senang, “Kita juga mengundang Irving.”

“Irving?” Fulvia terkejut.

“Mengapa!? Apakah kita harus mengundangnya?” Davies tidak dapat menerima usulan Countess.

“Kurasa tidak ada salahnya mengundang Irving,” kata Countess santai, “Lagipula ia akan menjadi bagian keluarga kita.”

Wajah Fulvia langsung memerah. “Tidak ada cerita seperti itu Mama,” Fulvia mengelak.

Mata Davies melotot lebar.

“Kita juga bisa mengundang Margot,” Countess benar-benar tidak mempedulikan keberatan putranya. “Ia juga akan segera menjadi bagian keluarga kita,” Countess tersenyum penuh arti.

Wajah Davies bersemu.

Fulvia tersenyum melihatnya. “Kau senang, bukan?” Fulvia menggoda kakaknya, “Kalau kau tidak berani mengundangnya, aku akan membantumu.”

“Jangan usil!” Davies tidak menyukai godaan itu, “Urusi saja masalahmu sendiri.”

“Masalahku?” Fulvia tidak mengerti.

“Bagaimana?” Davies balas menggoda Fulvia, “Apakah aku perlu membantumu mengundang Irving?”

Fulvia terperanjat. Ia benar-benar melupakan usul ibunya itu.

“T-tidak,” Fulvia cepat-cepat mengelak, “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Semua sudah diputuskan,” Countess berkata gembira.

Keduanya terdiam. Mereka memperhatikan Countess yang benar-benar larut dalam kegembiraannya itu.

Fulvia termenung. Ia tidak tahu bagaimana mengundang Irving. Ia tidak yakin Irving akan bersedia datang. Ia tidak yakin Irving akan menyukai pertemuan keluarga ini.

Selama ini Irving tidak pernah menolak menemaninya ke Greenwalls. Ia juga tidak pernah tampak keberatan ketika ia harus berdiam diri di sana sementara Fulvia bercakap-cakap dengan Audrey.

Tetapi kali ini lain. Fulvia tidak tahu bagaimana tanggapan Irving atas undangannya ini. Fulvia juga tidak tahu bagaimana ia harus mengundang pria itu.

Bila Fulvia bisa, ia ingin sekali mengundang Brent, Jehona beserta kedua putranya. Tentu saja Fulvia tidak bisa. Ia pasti akan kewalahan menjelaskan pada keluarganya bagaimana ia bisa mengenal mereka dan mengapa ia mengundang mereka.

Fulvia berpikir keras. Bagaimanakah ia harus mengundang Irving? Bagaimana ia harus membawa seorang pria asing dalam pertemuan keluarganya tanpa membuat setiap orang mencurigai mereka?

Fulvia pusing.

Sepanjang malam ia terus memikirkannya.

Terpikir oleh Fulvia untuk membohongi keluarganya dengan mengatakan Irving tidak mempunyai waktu. Fulvia yakin tidak akan ada yang tahu kebohongannya ini. Orang tuanya tentu dapat menerima alasan ini.

Sayangnya, pikiran itu telah terbaca oleh Davies.

“Ada apa, Fulvia?” tanya Davies ketika mereka berkumpul untuk makan pagi, “Apakah kau sedang mencari cara untuk menghindari Irving? Jangan katakan padaku kau berencana membohongi kami dengan mengatakan Irving sibuk atau semacamnya.”

Fulvia terperanjat. “Tidak ada hal semacam itu.”

“Benarkah?” Davies curiga.

“Benar,” Fulvia meyakinkan, “Aku hanya sedang berpikir bagaimana mengundang Irving.”

“Apakah aku perlu membantumu?” cemooh Davies.

“Tidak perlu!” sahut Fulvia, “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Apakah aku perlu mengantarmu ke Nerryland?” Davies tersenyum licik, “Aku harus memastikan kau pergi ke sana hari ini.”

“Jangan usil!” Fulvia tidak menyukai cara Davies menggodanya, “Kau juga perlu memikirkan cara mengundang Margot.”

“Aku sudah memikirkannya,” Davies berkata ringan, “Pagi ini aku berencana menemuinya. Aku bisa mengantarmu ke Nerryland sebelum menemui Margot.”

“Itu adalah ide bagus,” kata Countess menyetujui. “Segeralah kalian menemui mereka.”

“Kau dengar itu?” Davies berkata puas.

Fulvia tidak menyukai ini. Ia jauh lebih tidak menyukai saat-saat Davies mencemooh kedatangan Irving.

Tiba-tiba saja Fulvia menyadarinya. Sepertinya Davies sudah tidak terlalu mempermasalahkan hubungannya dengan Irving!

“Davies,” Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat, “Kau sudah tidak membenci Irving?”

Davies terperanjat. “Siapa yang mengatakannya!?” Davies bertanya kesal, “Aku membencinya. Aku sangat membenci pria seperti itu.”

Fulvia tertegun.

Davies memperhatikan Fulvia. Tiba-tiba ia khawatir Fulvia akan membencinya karenanya.

“Beberapa saat lalu aku merasa kau mulai menyukai Irving,” gumam Fulvia, “Kau bahkan seperti mendesak aku untuk segera mempunyai hubungan serius dengan Irving.”

“Siapa yang mengatakannya!?” Davies marah, “Aku tidak akan membiarkan pria berbahaya seperti itu berada di dekatmu! Aku tidak akan pernah menyetujui hubungan kalian! Pria semacam itu hanya akan membuatmu terluka.”

Fulvia menatap Davies.

Davies tersekat. Ia mengkhawatirkan tindakan Fulvia berikutnya. Ia tidak siap untuk mendengar adik yang paling dicintainya itu berkata, ‘Aku membencimu.’ Ia tidak akan pernah pernah siap!

“Sepertinya kau sudah mulai tertular Trevor dan Richie,” Fulvia tersenyum geli.

Davies terkejut. Apakah yang diketahui Fulvia tentang pertengkaran keduanya untuk memperebutkan dirinya?

“Tetapi aku akan lebih kaget kalau mendengar mereka yang mengatakan hal itu.”

Davies memperhatikan Fulvia. Fulvia bukanlah gadis yang bisa diremehkan. Ia adalah gadis yang pandai. Davies merasa ia tidak akan terkejut bila suatu ketika nanti Fulvia berkata, ‘Aku tahu mereka selalu bertengkar memperebutkanku.’

“Sudah. Sudah,” Countess menghentikan gurauan di antara keduanya, “Sebaiknya kalian segera menghabiskan sarapan kalian dan berangkat.”

“Baik,” kata keduanya dan mereka segera menghabiskan sarapan mereka tanpa gurauan lagi.

Setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap.

Ketika Fulvia tiba di luar, kereta keluarga Silverschatz menantinya tak jauh dari Davies yang duduk di punggung kudanya.

“Kau tidak naik kereta?” Fulvia bertanya heran.

“Aku akan pergi sendiri,” jawab Davies, “Biarlah mereka yang mengantarmu ke Nerryland.” Lalu ia menambahkan dengan senyum nakalnya, “Aku yakin kau tidak akan lari.”

Fulvia ingin sekali membantah kakaknya tetapi Davies telah memacu kudanya dan berkata, “Selamat tinggal.”

Fulvia pun memberitahukan tujuannya pada kusir kuda dan sesaat kemudian mereka telah meluncur ke Nerryland.

Ketika Fulvia berdiri di depan bangunan Nerryland Palace yang megah, Fulvia menjadi ragu. Dan ketika ia menanti seseorang membukakan pintu untuknya, kecemasannya kian menjadi-jadi.

Apakah Irving ada di rumah? Apakah Irving bersedia menemuinya? Apakah Irving tidak mempunyai tamu lain?

Seorang pelayan muda akhirnya muncul di depan Fulvia.

“Saya mencari Irving,” kata Fulvia begitu melihat pelayan itu.

“Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?” tanya pelayan itu.

“Tidak,” jawab Fulvia lalu dengan was-was ia bertanya, “Apakah aku harus membuat perjanjian dulu sebelum bertemu Irving?”

“Beberapa hari ini Tuan Muda tidak ingin diganggu siapa pun. Ia juga menolak menerima tamu yang datang tanpa janji terlebih dahulu.”

Fulvia sedih.

Pria muda itu tertegun melihat kesedihan Fulvia.

“Saya tidak yakin Tuan Muda akan bersedia menerima Anda,” pelayan itu membesarkan hati Fulvia, “Tetapi saya akan mencobanya. Saya akan memberitahu kedatangan Anda pada Tuan Muda.”

“Terima kasih,” Fulvia tidak terlalu berharap untuk dapat bertemu Irving.

“Dapatkah Anda memberitahu identitas Anda pada saya?”

Fulvia mengangguk. “Saya adalah putri Count of Silverschatz.”

“Masuklah ke dalam, M’lady,” pelayan itu mempersilakan Fulvia masuk, “Saya akan segera melaporkan kedatangan Anda pada Tuan Muda.”

Fulvia mengangguk. Ia tidak berharap terlalu banyak untuk dapat bertemu Irving.

Pelayan itu bergegas menuju Ruang Baca tempat Irving mengurung dirinya akhir-akhir ini.

“Ada apa?” Irving bertanya tidak senang melihat kedatangan pelayan yang menurutnya telah menganggu ketenangannya itu.

“Putri Count of Silverschatz ingin bertemu dengan Anda, Tuan Muda.”

‘Fulvia!’ benak Irving menyadarinya.

“Apa keperluannya?”

“Saya tidak tahu, Tuan Muda. Ia tidak mengatakan tujuannya pada saya.”

“Di mana dia?” Irving berdiri.

“Ia menanti Anda di pintu masuk.”

Irving tidak bertanya dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung beranjak untuk menemui Fulvia, gadis yang terus menghantuinya itu.

Fulvia menunduk menatap permukaan lantai yang bersih. Tangannya mempermainkan topinya dengan gusar. Ia tampak begitu gelisah. Sebentar ia menatap ke dalam Nerryland dan sebentar kemudian ia menatap kereta kuda yang menantinya di luar.

Fulvia ragu. Haruskah ia terus menanti ketika ia yakin Irving tidak akan menemuinya? Mengapa Irving harus menemuinya? Mereka sudah tidak mempunyai hubungan lagi.

Langkah-langkah berat yang mendekat dengan cepat menarik perhatian Fulvia.

Fulvia tertegun melihat Irving berjalan mendekat dengan tidak sabar.

“Maaf telah membuatmu menunggu.”

Fulvia tidak dapat mengungkapkan kegembiraannya mendengar suara berat yang dirindukannya itu.

Irving merasakan sebuah kepuasan melihat gadis itu. Ia tidak pernah mempunyai perasaan ingin bertemu seseorang yang begitu mendalam seperti ini. Ia tidak pernah mempunyai perasaan ini terhadap wanita mana pun.

“Mari kita berbicara di dalam,” Irving mengundang.

Saat ini Fulvia juga ingin berbicara panjang lebar dengan pria itu. Itulah yang yang paling diinginkannya di dunia ini detik ini.

“Saya tidak dapat berlama-lama di sini,” kata Fulvia sedih, “Saat ini Trevor maupun Richie pasti sudah tiba di Unsdrell.”

Perasaan asing muncul di benak Irving mendengar Fulvia menyebut nama kedua pria yang terus memperebutkan Fulvia itu.

“Saya datang untuk menyampaikan undangan ibu saya,” Fulvia menjelaskan tujuannya, “Besok kami akan mengadakan acara makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun pernikahan orang tua saya.”

Irving tertegun.

“Ini adalah acara makan malam biasa antar keluarga kami,” Fulvia cepat-cepat menambahkan, “Saya tidak memaksa Anda untuk datang. Saya bisa mengerti andai Anda tidak bisa datang.”

“Pukul berapa?”

Fulvia terkejut.

3 comments:

  1. Hei..
    tau nama penulis buku ini?

    ReplyDelete
  2. Hi, penulis buku ini adalah saya: Sherls. Salam kenal.

    Cheers,
    Sherls

    ReplyDelete
  3. HALLO BOSS YUK DAFTARKAN SEGERA DI DOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

    SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN BOSS ^_^

    UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683/WA(+855 8748 0626) SILAHKAN DIADD YA:-)

    DOMINO206.COM MENYEDIAKAN 7 PERMAINAN BOSKU
    - ADUR-Q
    - DOMINO99
    - BANDAR-Q
    - POKER
    - BANDAR POKER
    - SAKONG
    - CAPSA SUSUN

    UNTUK BANK KAMI : BCA-BRI-BNI-DANAMON-MANDIRI
    KAMI TUNGGU KEHADIRAN BOSS YA^^

    ReplyDelete