Monday, April 9, 2007

Orang Ketiga-Chapter 12

Hari ini adalah hari yang sangat dinantikan Fulvia. Dua puluh tujuh tahun yang lalu pada hari yang sama kedua orang tuanya mengikat janji.

Tetapi bukan itulah yang sangat dinanti-nantikan Fulvia.

Semua orang dalam keluarga Silverschatz tahu apa yang dinanti-nantikan gadis itu atau tepatnya siapa.

Pagi ini setelah menyelesaikan makan paginya, Fulvia memberikan hadiah pilihannya kepada orang tuanya.

Seperti tebakan Fulvia, Countess Kylie sangat gembira menerima hadiah itu dan ia terus mendengarkan musiknya yang lembut itu di dalam kamarnya.

Fulvia gembira karenanya.

Sejak siang ini seluruh pelayan Silverschatz sibuk menyiapkan pesta kecil untuk merayakan ulang tahun pernikahan Count dan Countess. Tidak ada sesuatu yang perlu disiapkan khusus untuk pesta ini selain makanan yang lebih bervariasi dan porsi yang lebih besar, tentunya.

Tidak seperti biasanya, hari ini akan ada empat belas orang yang berkumpul di Silverschatz untuk makan malam bersama.

Sore hari ketika matahari mulai condong di barat, Davies pergi untuk menjemput Margot.

Count dan Countess tampak seperti biasa. Sementara itu Fulvia sudah tidak sabar menantikan kehadiran seseorang.

Begitu Davies pergi, Fulvia juga segera berdandan dan menanti di pintu masuk.

Keluarga Garfinkelnn yang datang pertama kali keheranan melihatnya berdiri di sana.

“Kau menantiku?” tanya Trevor.

“Tidak,” jawab Fulvia lalu ia bertanya, “Di mana Audrey?”

“Ia akan datang bersama Lewis,” jawab Countess Horace, “Aku percaya tak lama lagi mereka akan muncul.”

“Aku senang mendengarnya,” Fulvia tersenyum gembira, “Mama dan Papa telah menanti kalian di Ruang Makan.”

“Mereka telah bersiap di sana?” tanya Count Meyer heran.

“Mama ingin makan malam ini segera dimulai begitu tamu-tamunya lengkap,” kata Fulvia menerangkan, “Dan Mama pikir akan lebih menyenangkan berbicara dengan perut kenyang.”

Countess Horace tertawa, “Aku mengerti.”

“Tampaknya mereka ingin kita segera bergabung dengan mereka,” Count Meyer tersenyum.

“Aku akan menemanimu di sini, Fulvia,” sahut Trevor.

“Tidak perlu, Trevor. Aku akan mendapat masalah bila membiarkan tamu Mama ikut menanti di pintu masuk.”

“Hari ini Fulvia bertugas menyambut tamu,” kata Count, “Kau ikut kami memberi selamat pada tuan rumah.”

Trevor pun mengikuti mereka tanpa bantahan.

Fulvia tersenyum melihat kepergian keluarga Garfinkelnn.

Sesaat kemudian sebuah kereta yang dikenali Fulvia dengan baik berhenti di depannya.

“Selamat datang,” Fulvia menyambut pria yang baru turun dari dalam kereta itu, “Saya telah menanti kedatangan Anda.”

“Aku berharap aku tidak terlambat,” kata Irving.

“Tidak,” Fulvia tersenyum, “Anda adalah tamu kedua.”

“Aku datang sepagi itu?”

Fulvia hanya tersenyum. Ia membawa Irving memasuki Unsdrell.

Sekali lagi terdengar roda-roda kereta mendekat. Ketika Fulvia membalikkan badannya, ia melihat Lewis tengah membantu Audrey turun dari dalam kereta.

“Irving?” Audrey berdiri di depan kereta dengan heran, “Kau juga datang?”

“Kuharap kita belum terlambat,” kata Lewis pula.

“Lewis!” Fulvia berseru gembira, “Kau juga datang.” Fulvia mendekati mereka.

Irving mencengkal tangan Fulvia.

Fulvia keheranan melihat raut tidak senang Irving.

Audrey juga menyadarinya. “Sebaiknya kita segera memberi selamat pada Paman dan Bibi,” katanya sambil menggandeng suaminya masuk.

“Benar,” Lewis juga menyadari rasa tidak suka Irving padanya, “Aku lihat tamu kalian sudah tiba semua.”

“Belum,” Fulvia membenarkan, “Richie dan orang tuanya belum datang.”

“Keluarga Ousterhouwl belum muncul?” Lewis bertanya heran.

Audrey tertawa kecil. “Aku takkan heran bila lagi-lagi Countess Yolanda membuat mereka terlambat.”

“Kalian masih di sini?”

Mereka terkejut.

“Aku kira kalian sudah berkumpul di Ruang Makan,” Davies melangkah masuk diiringi Margot.

Mata Davies menangkap sosok Irving di sisi Fulvia. Ia menatap tajam jari jemari Irving yang melingkari pergelangan tangan kanan Fulvia itu.

“Anda juga datang?” Margot bertanya heran lalu ia melihat Davies dan menuduhnya, “Kau tidak memberitahuku.”

“Untuk apa?” tanya Davies.

Fulvia tahu ia harus segera bertindak. “Mengapa kita tidak masuk bersama-sama?” katanya mengusulkan, “Mama pasti senang melihat kedatangan kita semua.”

“Aku yakin ia akan lebih senang andai Earl of Ousterhouwl sekeluarga muncul bersama-sama kita,” timpal Lewis.

“Mereka belum datang?” Davies bertanya heran, “Kupikir Richie tidak mau kedahuluan…”

“Di mana Countess Kylie?” Margot memotong lalu ia melirik tajam Davies.

Davies tidak menyukainya.

“Mama telah menanti kita di Ruang Makan,” jawab Fulvia.

Audrey yang juga menyadari arti tindakan Margot segera menyahut, “Mari kita bergegas ke sana. Bibi Kylie pasti sudah tidak sabar menanti kita.”

“Benar,” Margot merangkul tangan Davies dan menariknya masuk.

Audrey juga segera mengikutinya sambil menggandeng Lewis.

Tinggallah Fulvia kebingungan melihat tingkah Margot dan Audrey.

“Sebaiknya kita tidak membuang waktu,” Fulvia menatap Irving.

“Tentu,” Irving mengapit tangan Fulvia di sikunya dan saat itulah Fulvia menyadari Irving masih memegang tangannya.

Belum lama Fulvia memasuki Ruang Makan bersama Irving, Richie muncul dengan wajah kesalnya.

“Akhirnya kau datang juga,” Trevor berkata setengah mengejek.

“Mama membuat kami terlambat,” Richie menyalahkan ibunya yang muncul beberapa saat kemudian.

Richie melihat kursi di depan Trevor yang kosong dan tanpa banyak bicara ia duduk di sana.

Begitu setiap orang duduk di tempat mereka masing-masing, Countess Kylie meminta pelayan untuk mengantarkan makan malam mereka.

“Akhirnya kita bisa berkumpul bersama-sama,” Fulvia tersenyum gembira melihat keluarganya yang telah berkumpul bersama di Ruang Makan.

Belum pernah ia melihat Ruang Makan Silverschatz sepenuh ini. Tidak semenjak setahun lalu. Dan kali ini meja makan lebih penuh karena bertambahnya dua orang, Margot dan Irving.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Di sisi kanan meja makan yang panjang itulah keluarga Silverschatz duduk. Dimulai dari Count Clarck, Countess Kylie, Davies dan Margot kemudian Fulvia dan Irving. Dan yang terakhir adalah Trevor. Di sisi kiri, Earl of Ousterhouwl duduk didampingi istrinya. Demikian pula Count of Garfinkelnn dan Lewis. Dan sebagai penutupnya adalah Richie.

Fulvia tidak tahu mengapa mereka duduk berpasang-pasangan seperti ini tetapi beginilah mereka mengambil posisi beberapa saat lalu. Ini hanya terjadi begitu saja tanpa ada yang mengatur.

“Benar,” Countess Horace sependapat. “Pertemuan keluarga kita kali ini lebih ramai dari yang sebelumnya.” Countess Horace melihat Margot yang duduk di sisi Davies sambil tersenyum kemudian pada Irving.

“Aku bisa memahami kedatangan Margot, tetapi Irving?” Countess Yolanda bertanya-tanya.

“Ya,” Earl Graham sependapat, “Aku tidak menduga Irving juga akan datang.”

Fulvia sudah tahu mereka pasti akan mempertanyakan keberadaan Irving dan ia hanya mempunyai satu jawaban,

“Mama yang mengundangnya.”

“Benarkah itu, Kylie?” tanya Countess Yolanda tertarik.

“Aku melakukannya demi Fulvia.”

Fulvia terperanjat.

“Aku melihat hubungan mereka mulai mendekat akhir-akhir ini.”

“Tidak,” Fulvia cepat-cepat membantah, “Mama salah sangka. Kami hanya teman biasa.”

“Benarkah itu?” Countess Kylie menyelidiki, “Bukankah kalian telah menghabiskan waktu bersama-sama selama ini?”

“Apa maksudnya?” tanya Countess Yolanda tertarik.

“Fulvia pergi bersama Irving selama beberapa hari terakhir ini,” kata Audrey, “Mereka juga sering datang mengunjungiku.”

“Ya,” timpal Lewis membenarkan, “Dan aku mendapat pelajaran dari Irving.”

Audrey tersenyum melihat suaminya. Bekas tinju Irving telah hilang dari wajahnya tetapi bekas di hatinya tidak akan pernah hilang. Tinju itu telah menyadarkan Lewis dari kesalahannya selama ini.

“Irving membawa Fulvia pergi setiap hari?” ulang Trevor tidak percaya.

“Selama sebulan ini?” timpal Richie.

Davies adalah orang pertama yang menyadar kejanggalan itu.

“Kalian tidak tahu selama ini Fulvia pergi bersama Irving?” Audrey mengulangi dengan takjub.

“Kami tidak tahu,” kata Trevor.

“Benar. Kami tidak tahu,” Richie mengulang pernyataan Trevor.

Audrey menatap Davies dengan heran.

Davies pun tidak dapat mengatakan apa-apa. Ia juga tidak mengerti. Bukankah selama ini Irving selalu mencari Fulvia karena dua sepupu itu.

Fulvia panik. Ia harus segera mencari akal sebelum mereka semua curiga.

“Irving membantuku mendapatkan hadiah ulang tahun pernikahan Papa Mama,” Fulvia mengatakan apa yang terlintas di pikirannya.

Semua menatap gadis yang sedang berusaha keras menutupi kepanikannya itu.

Audrey tiba-tiba menyadari semua kesalahpahaman ini. Fulvia pasti lupa mengatakan padanya ia mempunyai Irving sebagai pelindungnya setelah Davies hampir menangkap basah kebohongannya itu.

Audrey masih ingat Fulvia bersikeras untuk tidak membiarkan keluarganya tahu. Audrey memahami bahaya yang akan ia hadapi bila ia membongkar rahasia gadis itu. Maka ia memutuskan untuk membantunya.

“Ya,” kata Audrey, “Aku ingat Fulvia pernah mengatakan padaku ia ingin membeli sebuah hadiah yang sangat istimewa.”

“Hadiah apa?” tanya Trevor dan Richie serempak. “Hadiah apa sehingga Fulvia harus pergi setiap hari selama berbulan-bulan!?”

“Hanya sebulan,” Fulvia meralat.

“Dan mengapa harus Irving!?” keduanya bertanya serempak lagi.

Fulvia benar-benar kewalahan sekarang.

“Ia yang meminta bantuanku,” Irving yang sejak awal berdiam diri, membuka suara.

“Benar,” Fulvia segera menimpali, “Aku bertemu dengannya ketika aku sedang pusing memikirkan hadiah itu. Kemudian aku meminta bantuannya.” Lalu Fulvia menatap kedua kakak sepupunya dan berkata penuh penyesalan. “Aku sungguh tidak menyangka kalian akan marah seperti ini. Saat itu aku hanya berpikir Irving pasti bersedia membantuku dan aku tidak memikirkan perasaan kalian. Maafkan aku.”

Tatapan sedih Fulvia itu membuat kedua sepupu itu berdiam diri. Keduanya saling bertatapan dan larut dalam pikiran mereka sendiri.

“Sudahlah,” Count Meyer memotong pembicaraan itu, “Untuk apa kalian mempermasalahkan masalah yang sudah lewat.”

“Bukankah ini bagus?” timpal Countess Kylie, “Sekarang Davies mempunyai Margot dan Fulvia mempunyai Irving.”

“Kapankah giliran kalian?” Countess Horace menatap Trevor dan Richie.

Lagi-lagi mereka membuat Fulvia terperanjat. Bagaimana ia harus menjelaskan kesalahpahaman ini tanpa mengungkit rahasianya?

Fulvia memang sudah mendapatkan hadiah istimewa untuk kedua orang tuanya tetapi ia tetap tidak dapat memberitahu mereka rahasianya itu. Akibatnya pasti akan sangat fatal bila mereka mengetahuinya.

Dalam ketiga keluarga ini, cukup Audrey yang tahu.

“Aku juga ingin segera bertemu calon menantuku,” timpal Countess Yolanda.

Pembicaraan ini benar-benar membuat Fulvia merasa tidak nyaman. Diam-diam Fulvia melirik Irving yang tetap berdiam diri di sisinya dan ia mulai berpikir,

‘Apakah yang dipikirkan Irving? Apakah ia menyukai pembicaraan ini? Irving pasti tidak menyukai pembicaraan yang membosankan ini.’

“Mereka pasti akan segera mendapatkan pasangannya,” Count Clarck.

“Tidak perlu kaudesak mereka. Mereka pasti segera mencari pasangannya,” timpal Earl Graham.

“Dan bila mereka tidak juga mendapatkannya, kalian bisa mulai mencari jodoh untuk mereka,” tambah Count Meyer, orang yang paling suka bercanda dan mempunyai pandangan yang unik di antara mereka.

Fulvia merasa pembicaraan ini sudah benar-benar membuatnya tidak nyaman.

“Bisakah kita membicarakan yang lain?” pinta Fulvia, “Pembicaraan kalian sudah membuatku merasa bersalah. Kita mengundang Irving dan Margot bukan untuk mendengarkan masalah ini bukan? Kita mengundang mereka untuk berbagi kebahagiaan bersama kita.”

Mereka terdiam.

Count Meyer tertawa. “Tampaknya si kecil Fulvia sudah mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini,” katanya bercanda, “Mungkin kita memang harus membicarakan yang lain.”

Audrey tersenyum. “Kurasa ia benar. Aku juga mulai merasa pembicaraan ini sungguh membuat beberapa orang merasa tidak nyaman,” katanya sambil melirik Trevor dan Richie yang masih berunding dengan pandangan mata mereka.

“Beberapa orang sudah ingin menyendiri,” Margot menimpali sambil menatap Fulvia yang tersipu-sipu di sisi Irving yang tampak tak terusik oleh pembicaraan ketiga keluarga ini beberapa saat lalu.

“Dan beberapa ingin menyelesaikan permasalahan di antara mereka,” Davies berdiri dan mengulurkan tangan pada Margot, “Aku ingin berbicara denganmu. Kau punya waktu?”

“Tentu,” Margot menyambutnya dengan menerima uluran tangan Davies.

Keduanya meninggalkan Ruang Makan diiringi tatapan tertarik para ibu dalam tiga keluarga itu.

“Aku mempunyai beberapa hal yang ingin aku rundingkan bersama kalian,” Lewis ikut berdiri, “Aku telah memikirkannya masak-masak sejak kemarin dan aku ingin tahu apa pendapat kalian.”

“Tentu saja,” Count Meyer berdiri, “Aku selalu siap kapan pun kau membutuhkanku.”

“Kita bisa membicarakannya di Ruang Kerjaku,” Count Clarck mengusulkan.

“Ide yang bagus,” Count Audrey tak ketinggalan.

“Kaum pria itu tampaknya sudah mulai,” gumam Countess Yolanda melihat kepergian keempat pria itu.

“Kita juga bisa mencari kesibukan yang lain,” usul Countess Kylie, “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang di Ruang Duduk?”

“Ide yang bagus,” timpal Countess Horace sambil tersenyum penuh arti, “Kita bisa melanjutkan pembicaraan kita yang terpotong beberapa saat lalu itu.”

Fulvia yakin para ibu dalam ketiga keluarga ini pasti akan meneruskan pembicaraan mengenai jodoh putra-putri mereka.

Fulvia melihat Irving. “Apakah Anda ingin melakukan sesuatu?” tanyanya, “Ataukah Anda sudah ingin pulang? Acara makan malam ini tampaknya sudah usai.”

“Irving akan berbicara dengan kami,” Trevor memutuskan.

“Benar,” timpal Richie, “Kami mempunyai hal penting yang ingin kami bicarakan dengannya.”

Tiba-tiba Fulvia mencurigai semangat membara keduanya. “Apa yang ingin kalian bicarakan dengannya?” tanyanya penuh curiga.

“Tidak ada,” Trevor menolak menjawab.

“Ini adalah masalah antara kaum pria,” Richie menegaskan, “Benarkah, Irving?”

Irving tidak mengerti apa yang sedang dikatakan dua pria itu.

Kedua sepupu itu berdiri di sisi Irving.

Irving pun tahu mereka ingin membicarakan sesuatu yang penting dengannya. Irving berdiri.

“Jangan melakukan sesuatu padanya,” Fulvia memperingatkan dengan tajam.

Irving terkejut. Ia menatap Fulvia lekat-lekat. Tampaknya gadis ini tahu apa yang sedang direncanakan kedua sepupunya.

“Jangan khawatir,” Trevor berjanji, “Kami hanya ingin berbicara dengannya.”

“Membicarakan masalah pria,” timpal Richie.

Fulvia masih tidak dapat mempercayai tingkah kedua sepupunya yang tiba-tiba menjadi sangat akrab itu.

“Tinggallah kita berdua,” kata Audrey sepeninggal tiga pria itu.

Fulvia melihat kakak sepupunya yang duduk di seberang.

“Fulvia,” Audrey berpindah duduk di sisi Fulvia, “Mengapa engkau tidak memberitahuku mengenai Irving?”

“Apakah aku tidak memberitahumu?” Fulvia bingung.

“Tidak. Kau tidak pernah mengatakan peran Irving dalam rahasiamu itu,” Audrey menegaskan.

Fulvia terdiam. Ia mengingat-ingat kejadian yang telah lampau. Ia merasa ia telah mengatakan pada Audrey. Hari itu setelah Irving setuju untuk membantunya, Fulvia segera memutuskan untuk memberitahu Audrey dan…

“Aku ingat,” ujar Fulvia, “Hari itu aku ingin memberitahumu tetapi kau mengusirku. Hari itu kau mengurung diri di kamar sehingga aku sangat mencemaskanmu.”

“Kau memang tidak pernah berubah,” keluh Audrey, “Setiap kali kau sedang memfokuskan diri pada sesuatu, engkau selalu melupakan yang lain.”

“Tidak,” Fulvia tidak sependapat, “Aku tidak seperti itu.”

“Aku sudah melihatnya beberapa kali,” Audrey berkata penuh kemenangan, “Aku sering meihatmu mengabaikan Irving ketika kau sudah berbicara denganku sehingga aku harus segera mencari cara mengingatkanmu atas keberadaan Irving.”

Fulvia tersipu. Audrey benar. Ia sering melupakan keberadaan Irving selama ia berada di Greenwalls dan ia tidak akan ingat pulang bila bukan karena Audrey yang mengingatkannya.


-----0-----


‘Bagaimana kalian mengharapkan aku menilai perasaan gadis itu kalau aku sendiri tidak mengerti dia!?’ hati Irving berteriak, ‘Bagaimana kalian mengharapkan aku berkata bila aku sendiri berharap dia mencintaiku!?’

Kedua sepupu itu menatap Irving dengan penuh antusias.

Irving melihat keduanya dengan putus asa. “Aku tidak tahu.”

“Apa maksudmu?” protes Trevor.

“Kau pasti tahu!?” Richie juga tidak terima. “Bukankah kau terus menemui Fulvia selama ini untuk mengetahui siapa yang di antara kami yang lebih dicintai Fulvia?”

“Tidak. Aku..”

“Davies!” sahut Trevor, “Pasti Davies yang mengatur semua ini untuk kita.”

“Benar,” Richie sependapat, “Pasti Davies yang melakukan semua ini.”

Irving kebingungan.

“Siapapun yang lebih dicintai Fulvia, kami tidak akan menuntutmu. Kami hanya ingin tahu siapa di antara kami yang lebih dicintai Fulvia,” Trevor meyakinkan dengan penuh antusias.

“Aku bukan?” tanya Richie percaya diri, “Aku yang lebih dicintai Fulvia.”

“Tidak, aku!”

“Aku!” bantah Richie. “Fulvia tidak pernah lupa merajut hadiah Natal untukku.”

“Fulvia selalu ingat untuk merayakan pesta ulang tahunku!” Trevor tak mau kalah.

“Fulvia selalu ingat membelikan sesuatu tiap kali ia pergi ke luar kota!”

“Fulvia tidak pernah lupa mengajakku setiap kali ia hendak berpergian!”

“Fulvia selalu menyisakan jatahku setiap kali aku datang terlambat!”

Tidak salah kedua pria itu memperebutkan Fulvia.

Dulu Irving menertawakan pertengkaran mereka. Sekarang ia merasa ia turut terperangkap di dalamnya.

Fulvia adalah malaikat tetapi ia bukan sembarang malaikat.

Fulvia adalah bidadari tetapi ia bukan sembarang bidadari.

Fulvia adalah dewi tetapi ia bukan sembarang dewi.

Ia adalah Fulvia dan ia nyata!

Ia adalah malaikatnya!

Ia adalah bidadarinya!

Ia adalah dewinya!

Entah kapan ia terperangkap dalam pertengkaran konyol ini. Entah kapan ia terjerat oleh pesona gadis itu. Ia tidak tahu dan ia tidak menyadarinya.

Sekilas gadis itu tampak begitu genit – seperti wanita berambut pirang yang selama ini dikenalnya. Tetapi ketika ia mulai mengenal gadis itu, ia yakin gadis itu cerdik serta licik. Dan ketika ia semakin mengenal gadis itu, ia sadar gadis itu begitu dewasa di balik wajahnya yang kekanak-kanakan dan ia begitu lembut.
Ia tahu bagaimana mengontrol dirinya.

Ia tahu bagaimana menempatkan dirinya.

Ia tahu bagaimana memperlakukan orang lain.

Fulvia bukan saja pandai tetapi juga cerdas.

Tahulah Irving sekarang mengapa kedua pria itu terus memperebutkan Fulvia.

Mengertilah Irving sekarang mengapa Davies sangat menjaga Fulvia.

Sadarlah Irving sekarang mengapa keluarga itu menyembunyikan Fulvia.

Irving termenung melihat kedua sepupu yang terus membandingkan perlakukan Fulvia terhadap mereka.

Fulvia selalu memperhatikan mereka.

Fulvia tahu apa yang dapat membuat Trevor bahagia seperti ia tahu apa yang dapat menyenangkan Richie.

“Fulvia mencintai kalian berdua sama besarnya,” Irving memotong pertengkaran kedua orang itu.

Seketika mereka memelototi Irving.

“Aku tidak melihat Fulvia mencintai seorang dari kalian lebih dari yang lain. Ia mencintai kalian sama besarnya.”

“Tidak mungkin!” bantah mereka bersamaan.

“Maaf tapi hanya itu yang dapat kukatakan,” kata Irving, “Bila kalian ingin tahu, mengapa kalian tidak menanyakannya pada Fulvia?”

“Andai Fulvia mau mengatakannya maka hal itu akan sangat mudah bagi kami,” keluh Richie.

“Ia tidak pernah mau mengatakannya pada kami.”

“Ya, selama yang bertanya adalah kami,” tambah Richie.

“Maaf aku tidak bisa membantu,” Irving berdiri.

Kedua pria itu menatap Irving dengan lesu.

“HEI!” Trevor tiba-tiba berseru.

Mereka heran.

“Kau bisa menanyakannya pada Fulvia!?” Trevor berseru girang.

“Kau adalah orang luar,” Richie mulai mengerti, “Dan Fulvia telah menganggapmu sebagai temannya.”

Walau demikian Irving masih tidak mengerti apa yang ada di pikiran kedua pria itu.

“Fulvia tidak pernah mau mengatakannya pada kami tetapi kami yakin ia mau mengatakannya pada orang ketiga,” kata Trevor penuh semangat.

“Benar. Karena itulah diperlukan bantuan orang ketiga,” timpal Richie.

Irving terdiam.

“Fulvia pasti mau mengatakannya padamu!” kedua pria itu menepuk pundak Irving dengan puas.


-----0-----


“Aku tidak mengerti,” kata Margot, “Bukankah kau mengatakan Irving menemui Fulvia karena permintaan dua orang itu?”

“Aku juga tidak mengerti. Bila bukan karena Trevor dan Richie, mengapa Irving terus mencari Fulvia?”

“Tidak mungkin salah!” Margot menyahut gembira.

“Apa?”

“Irving tertarik pada Fulvia,” Margot berkata penuh semangat, “Karena itulah ia terus menemui Fulvia.”

“Omong kosong!” Davies tidak menyukai ide itu, “Irving hanya ingin mempermainkan Fulvia!”

“Tidakkah kau memperhatikan cara Irving menatap Fulvia sepanjang makan malam tadi?” tanya Margot, “Ia menatap Irving seperti seorang pria yang tengah dilanda cinta.”

“Ia selalu seperti itu,” cemooh Davies.

Margot mengangkat bahunya. Ia tidak ingin berdebat dengan Davies mengenai Fulvia dan Irving. Margot tahu Davies tidak pernah menyukai hubungan keduanya walau sesungguhnya ia setuju.

“Davies!”

Mereka membalik badan.

“Davies!”

Trevor dan Richie berlari mendekat dengan riang.

“Davies!” Richie memeluk Davies, “Kau memang saudara yang baik.”

“Tak percuma selama ini aku terus bergantung padamu,” Trevor menambahkan.

“Ada apa?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu,” kata Richie, “Kau pasti telah mengatur semua ini demi kami.”

Davies menatap Margot.

Margot juga tidak mengerti.

“Apa yang kalian katakan?”

“Ayolah, Davies,” kata Trevor penuh semangat, “Kau pasti sengaja mengatur pertemuan Irving dan Fulvia setiap harinya juga hari ini.”

Davies benar-benar tidak mengerti jalan pikiran keduanya.

“Kau memang seorang saudara yang baik,” kata Richie tak kalah antusiasnya.

“Sebentar lagi kami akan tahu siapa yang akan menjadi adik iparmu,” timpal Trevor.

“Dan itu pasti aku!”

“Aku!” sahut Trevor, “Pasti aku!”

Davies melihat keduanya mulai bertengkar. “Mari kita menjauh,” Davies membawa Margot menjauhi kedua sepupu yang mulai bertengkar lagi itu.

“Davies,” gumam Margot, “Masalah ini menjadi semakin rumit.”

“Kau benar,” Davies sependapat, “Semua tidak semudah yang aku pikirkan. Bahkan sekarang mereka mengira aku sengaja menyuruh Irving bertemu Fulvia setiap hari demi mereka. Bagaimana mungkin aku menyodorkan Fulvia pada pria semacam itu!?”

“Mereka benar-benar telah salah paham.”

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka,” keluh Davies.

“Ini akan gawat sekali,” kata Margot cemas.

Davies tidak mengerti.

“Kedua musuh bebuyutan itu pasti menyalahkanmu kalau Fulvia memilih Irving,” Margot menatap Davies lekat-lekat, “Mereka pasti tidak melepaskanmu kalau keduanya bersatu.”

Davies mengeluh panjang. “Mengapa aku harus terlibat dalam masalah ini?”


-----0-----


Fulvia meninggalkan Ruang Makan.

Pelayan telah mulai merapikan kembali Ruang Makan dan Audrey telah pergi menemui Lewis.

Dari Audrey, Fulvia mendengar bahwa Lewis berencana untuk memulihkan keadaan Greenwalls dan usaha ayahnya. Lewis mulai mengumpulkan kembali orang-orang yang dulu pernah bekerja pada ayahnya dan ia juga mulai menemui rekan-rekan dagang ayahnya. Count Garfinkelnn juga bersedia memberi pinjaman uang untuk membuka kembali usaha mereka. Trevor juga telah menawarkan diri untuk membantu mereka.

Hari-hari mendatang Audrey akan sibuk membantu suaminya.

Fulvia turut berbahagia mendengarnya.

Seseorang berjalan mendekat.

Fulvia keheranan melihat Irving berjalan seorang diri. “Di manakah Trevor dan Richie?” tanyanya heran, “Apakah kalian telah menyelesaikan urusan kalian?”

“Fulvia,” Irving berkata serius, “Bisakah kita berbicara berdua?”

Fulvia semakin heran mendengar keseriusan Irving.

“Tentu,” kata Fulvia, “Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?”

“Bisakah kita berbicara tanpa didengar orang lain?”

Fulvia tidak mengerti permintaan itu, namun ia berkata, “Kita bisa berbicara di Perpustakaan. Saya yakin tidak akan ada yang menganggu kita di sana.”

Irving tidak menanggapi. Ia hanya berjalan mengikuti Fulvia.

Seperti dugaan Fulvia, tidak seorang pun yang nampak di Ruang Perpustakaan Unsdrell. Ia mempersilakan Irving masuk dan menutup pintu rapat-rapat.

“Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” Fulvia mengulangi pertanyaannya.

Tiba-tiba Irving tidak tahu bagaimana harus memulai semua ini.

“Bagaimanakah pendapatmu tentang Trevor dan Richie?”

“Mereka adalah kakak yang baik,” jawab Fulvia keheranan, “Mengapa Anda menanyakannya? Apakah ini ada hubungannya dengan mereka?”

Tiba-tiba Fulvia menyadarinya, “Apakah mereka meminta Anda untuk membuat saya memilih seorang di antara mereka?”

Entah mengapa Irving tidak terkejut mendengarnya.

“Kau telah menebaknya,” Irving menekan kegetiran hatinya, “Kau harus memilih seorang di antara mereka.”

“Mengapa?” Fulvia keheranan. “Mengapa saya harus memilih seorang dari mereka?”

“Mereka mencintaimu. Kau tahu mereka sering memperebutkanmu. Mereka siap berkorban apa saja untuk mendapatkan cintamu.”

“Anda?”

Irving berdiam diri.

“Apakah Anda tidak mencintai saya?”

“Mereka telah banyak berkorban untukmu,” Irving memunggungi Fulvia. Takkan pernah ia membiarkan Fulvia membaca perasaannya. Tidak akan! “Mereka benar-benar mencintaimu.”

“Saya tidak akan pernah memilih seorang dari mereka. Anda tahu itu.”

“Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau tidak bisa menghancurkan lebih banyak lagi perasaan orang lain.”

“Saya bukan Anda.”

“Engkau sadar kau lebih kejam dari aku,” cibir Irving – mengingatkan Fulvia akan kata-katanya sendiri.

“Setidaknya saya telah berusaha untuk tidak menyakiti mereka.”

“Tindakanmu saat ini hanya menyakiti mereka.”

“Saya tidak mencintai mereka lebih besar dari cinta saya pada Anda.”

Andai keadaannya tidak seperti ini, Irving akan merasa sangat bahagia tetapi kenyataannya bukan seperti ini. Irving merasa begitu kotor. Ia merasa begitu tertekan. Bagaimana ia bisa menjadi seorang yang sama dengan orang yang merebut ibunya dari ayahnya?

Irving tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka!

“Pilihlah seorang dari mereka,” Irving tidak dapat menyembunyikan kepahitan hatinya, “Kau tidak mempunyai pilihan lain.”

“Anda begitu egois,” kata Fulvia kesal, “Anda tidak bisa memaksa saya memilih seorang di antara mereka ketika Anda tahu saya mencintai Anda lebih dari mereka.”

“Kaulah yang egois!” Irving tiba-tiba membalikkan badannya dan mencengkeram pundak Fulvia, “Apa kau tahu apa yang kurasakan? Apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi orang ketiga?”

Fulvia terhenyak menatap mata tajam Irving yang siap menelannya itu.

“Apa kau mengerti perasaanku!?” bentak Irving, “Aku merasa jijik! Aku merasa kotor! Bagaimana aku bisa menjadi orang ketiga di antara hubungan kalian!? Aku membencinya! Aku membenci kenyataan ini! Aku benci membiarkan diriku terjerat dalam perangkapmu. Aku benci membiarkan diriku jatuh cinta padamu!”

Fulvia terpaku. Mata ungunya meredup.

Irving membalikkan badannya. “Pilihlah seorang dari mereka dan semuanya berakhir!” katanya dingin dan meninggalkan Fulvia yang masih terpaku tanpa kata-kata.

Fulvia terus memandangi punggung yang kian menjauh itu.

Inikah mawar merahnya dari Irving?

Inikah cara perpisahan mereka yang dipilih Irving?

Inikah satu-satunya cara mengakhiri hubungan mereka?

Inilah mawar merah dari Irving.

Mawar yang paling berduri…

Air mata Fulvia menetes.

‘Apakah jatuh cinta adalah sebuah kesalahan?’

No comments:

Post a Comment