Tuesday, April 10, 2007

Orang Ketiga-Chapter 13

Irving melihat undangan itu dan ia tahu ia akan bertemu dengan Fulvia lagi.

Sudah sebulan lebih lamanya ia tidak bertemu Fulvia.

Sudah sebulan lebih ia tidak direpotkan oleh dua pria itu.

Sudah sebulan lebih ia tidak mendengar berita mereka.

Sebulan lebih gadis itu tidak pernah mencarinya lagi setelah sore itu.

Sebulan lebih gadis itu tidak pernah menampakkan dirinya lagi di hadapannya.

Ini artinya Fulvia telah memilih seorang dari mereka!

Hati Irving hancur membayangkan Fulvia bergandengan tangan dengan seorang dari mereka.

‘Siapapun pilihan Fulvia, bukan urusanku,’ Irving berusaha menyingkirkan pedih di hatinya.

Ia akan menunjukkan pada Fulvia bahwa ia tidak pernah terjerat perangkapnya, bahwa ia tidak pernah menyesali perpisahan mereka.

Ia akan menunjukkan Fulvia tidak lebih dari salah seorang gadis yang pernah melintas dalam hidupnya!

Ya, ia akan menunjukkannya.

Setelah sekian lama menyembunyikan diri dari segala bentuk pertemuan dengan dirinya, ia yakin Fulvia tidak akan bisa menghindari pesta ini. Itupun kalau dia tiba-tiba mengalami gangguan mental.

Menilik sifat manjanya dan gaya hidupnya, Irving bisa meyakinkan seisi dunia ini Fulvia akan hadir dalam pesta ulang tahun Duke of Wyndham.

Semua orang tahu bagaimana terkenalnya keluarga Wyndham. Semua tahu bagaimana melimpah ruahnya harta kekayaan mereka. Irving pun bisa memastikan harta keluarga Wyndham melebihi kekayaan keluarganya.

Bila selama ini tidak ada satu pertemuan pun yang bisa mempertemukan mereka, maka inilah satu-satunya yang dapat mempertemukan mereka.

Di mana tempat Fulvia bila bukan di pesta-pesta kalangan orang ternama?

Di mana tempat gadis manja itu bila bukan di sisi pria-pria kaya?

Di mana tempat gadis binal itu bila bukan di pelukan pria-pria berharta?

Di mana pun ia berada, Irving tidak peduli.

Itulah keyakinan Irving. Tetapi keyakinan tetaplah sebuah keyakinan.

Seminggu kemudian ketika hari di mana pesta tersebut diselenggarakan, Irving tidak dapat menghentikan dirinya untuk tidak memperhatikan pintu masuk.

Bukanlah kebiasaan Irving untuk datang pertama kali dalam suatu pesta tetapi sore ini ia menjadi tamu pertama yang hadir.

Sulit bagi Irving untuk mengingkari keinginannya untuk segera bertemu Fulvia. Bagaimanapun terlukanya dirinya oleh sikap Fulvia, Irving tidak dapat memungkiri bahwa ia masih mencintai gadis itu. Dan kenyataan ini membuatnya kian membenci Fulvia. Sama seperti ia membenci bagian dari dirinya yang mencintai Fulvia.

Sejak awal di sanalah ia berdiri. Ia berdiri di sudut Hall yang gelap dan terhindar dari keramaian tetapi cukup jelas untuk memperhatikan tamu yang perlahan-lahan meramaikan suasana.

Sejak awal di sanalah ia memperhatikan setiap tamu yang hadir dengan mata jelinya.

Matanya yang biasanya mencari-cari wanita cantik untuk menemaninya selama pesta, mencari-cari sesosok gadis yang dirindukan oleh bagian dirinya yang dibencinya.

Wanita-wanita cantik di depannya pasti tidak akan menolak menemaninya sepanjang malam ini. Mereka juga pasti tidak akan menolak untuk menghabiskan malam bersamanya. Mereka akan rela melakukan apa saja hanya untuk mendapat perhatian darinya.

Tapi hari ini Irving tidak tertarik pada mereka.

Irving ingin mengingkari perasaan itu tetapi ia kalah oleh bagian lain dari dirinya.

Dan, di sanalah ia bersembunyi sembari menantikan kehadiran gadis yang bahkan dalam mimpi pun dirindukannya itu.

Tepat satu jam Irving berdiri di sudut Hall, kereta keluarga Silverschatz tiba di halaman Windport.

Irving yang semula bersandar santai di sudut gelap itu langsung berdiri tegak bagai seorang prajurit yang siap menyambut kehadiran atasannya.

Satu per satu keluarga Silverschatz turun dari kereta.

Irving dapat melihat Trevor turun duluan kemudian disusul oleh ayahnya dan kemudian ibunya.

Fulvia tidak ada bersama mereka!

‘Tentu saja,’ ia mengejek dirinya sendiri, ‘Ia tentu datang bersama pria pilihannya.’

Keluarga Silverschatz baru saja turun dari kereta ketika kereta keluarga Garfinkelnn datang disusul kereta keluarga Ousterhouwl.

Ketiga keluarga itu terkenal oleh dekatnya hubungan keluarga mereka. Takkan heran bila mereka datang bersamaan.

Irving juga tidak akan heran melihat Fulvia turun dari salah satu kereta keluarga itu.

Satu per satu penumpang kereta keluarga Garfinkelnn turun. Demikian pula penumpang kereta keluarga Ousterhouwl.

Irving tertegun.

Irving heran.

Fulvia tidak ada!

Ia tidak melihat Fulvia bersama rombongan itu. Ia tidak melihat Fulvia bersama Trevor maupun Richie. Ia juga tidak melihat Fulvia bersama keluarganya.

‘Permainan apa yang dimainkan gadis ingusan itu?’ alam bawah sadarnya memperingatkan.

Apa pun itu, Irving akan memastikan gadis itu tidak akan berhasil mengelabuhinya. Tidak setelah semua yang terjadi di antara mereka!

Irving melangkah keluar dari tempatnya bersembunyi.

“Selamat sore,” Irving menyapa, “Kulihat hubungan keluarga kalian memang seerat yang dikabarkan.”

“Kami adalah teman sepermainan sejak kecil,” kata Richie bangga.

“Ya, aku dapat melihatnya. Tetapi kulihat seorang dari kalian menghilang.”

“Siapa?” tanya Richie dan tiba-tiba ia menyadari kejanggalan dalam kemunculan mereka kali ini, “Apakah yang kau maksud Fulvia?”

“Fulvia tidak mau datang,” keluh Trevor.

“Tampaknya kami telah membuatnya marah,” tambah Richie suram.

Irving tidak menangkap maksud mereka.

“Bukankah ia telah menentukan pilihannya?”

“Ya…,” gumam kedua pria itu bersamaan dan menatap Irving.

Otak Irving langsung memperingatkannya akan bahaya yang menghadang. ‘Mereka tahu!’ hatinya was-was.

“Ia memilih untuk menjadi biarawati,” kata Davies.

Irving terperanjat. Ia menatap pria yang berdiri di belakangnya itu. “Biarawati?” ulangnya tidak percaya.

“Mereka berdua telah membuatnya lelah. Ia tidak dapat memilih seorang dari mereka tanpa melukai perasaan yang lain. Yang lebih penting adalah ia tidak dapat mengingkari dirinya sendiri. Ia mencintai mereka berdua seperti mereka mencintai aku. Mereka berdua tahu itu tetapi tidak pernah mengakuinya. Mereka hanya bisa memperebutkan Fulvia tanpa menyadari bagaimana Fulvia merasa tertekan oleh perseteruan mereka.”

“Fulvia berkata cinta sejatinya tidak ada pada kami. Cinta sejatinya adalah sebuah kesalahan besar,” kata Trevor murung.

“Kesalahan besar,” Irving tersekat.

“Ia tidak mau menyakiti orang lain. Ia tidak mau menjadi sumber kesalahan orang lain. Ia tidak mau menjadi sumber pertengkaran orang lain lagi,” Richie sepakat.

“Maksud kalian…,” desis Irving.

“Ia telah memutuskan untuk tidak menikah,” Davies menjelaskan, “Bila memilih adalah sebuah kesalahan maka lebih baik tidak memilih, katanya.”

Irving menatap Davies tanpa kata-kata.

Ia merasa sesuatu ditarik dengan paksa dari dalam dirinya.

Irving tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas kenyataan yang tidak terduga ini.

Irving tidak mengerti apa yang dipikiran Fulvia.

Tetapi mereka yang berdiri di sekitarnya mengerti apa yang tengah dipikirkan Irving.

“Kau tidak menduganya, bukan?” ujar Richie, “Aku juga tidak menduga Fulvia akan memilih jalan senekat itu.”

“Kurasa Fulvia benar-benar kesal oleh pertengkaran kami,” Trevor menyesal, “Tidak seharusnya kami bertengkar terus hingga semua menjadi seperti ini. Tanpa kami sadari, kami telah memberikan beban bagi Fulvia.”

“Sudah sejak awal kukatakan sikap kalian itu akan mengekang kebebasan Fulvia,” Davies menyalahkan kedua sepupunya itu, “Fulvia mungkin mencintai salah seorang dari kalian tetapi bagaimana ia bisa memilih bila seorang dari kalian harus terluka sementara yang lain bersenang-senang atas keputusannya itu?”

“Ya, kami mengakui salah.”

“Sekarang aku dapat mengerti mengapa Fulvia selalu menolak memilih seorang di antara kami,” tambah Trevor, “Ia mencintai kami berdua sama besarnya hingga ia tidak ingin kami terluka. Tetapi kami telah membuatnya terluka.”

“Ia begitu takut melukai kami hingga ia memilih jalan ini,” timpal Richie.

Irving tertegun.

Tidak!

Itu tidak benar!

Mereka salah!

Mereka tidak tahu siapa yang memaksa Fulvia mengambil jalan ini.

Mereka tidak mengerti situasi yang sebenarnya.

“Percuma saja kalian menyesal,” Davies berkata dengan sinisnya, “Fulvia telah memutuskan yang terbaik yang dapat ia lakukan.”

“Yang dapat kalian lakukan sekarang adalah mendukungnya,” Davies membalikkan badan dan meninggalkan mereka.

‘Mendukungnya?’ Irving tertegun.

Apakah ini berarti ia harus rela melepaskan Fulvia lagi? Melepaskannya ketika ia memperoleh sebuah kesempatan? Dan untuk selama-lamanya?

Irving berpikir keras.

Ia tidak pernah berpikir sekeras ini semenjak tujuh belas tahun lalu.

Ia tidak pernah berpikir sepanjang malam semenjak ibunya pergi meninggalkan rumah bersama Nelson, kekasih gelapnya.

Tapi ini berbeda. Bila tujuh belas tahun silam ia memikirkan bagaimana membalas dendam kepada wanita-wanita binal yang hanya dapat melukai perasaan pria seperti ibunya melukai ayahnya, maka kali ini ia berpikir keras apa yang dapat ia lakukan untuk Fulvia dan dirinya sendiri. Bila saat ia berusia delapan tahun itu ia memutuskan untuk membuat kaum wanita itu bertekuk lutut di hadapannya dan memohon cintanya, kali ini ia memutuskan untuk menemui Fulvia.

Irving akan membuat Fulvia mengatakan sendiri semua yang didengarnya dari keluarga gadis itu!

Maka pagi itu begitu Irving selesai menyantap sarapan pagi yang disediakan untuknya, Irving langsung melesat ke Unsdrell.

Irving tidak peduli apakah gadisnya itu telah bangun atau tidak. Irving tidak peduli seberapa pagi kehadirannya di Unsdrell. Irving hanya tahu ia tidak dapat menanti lebih lama lagi. Irving ingin bertemu Fulvia bukan nanti bukan esok tetapi saat ini juga!


-----0-----


Fulvia muncul di pintu dengan senyumnya yang menawan.

Bukan ini sikap yang Irving harapkan dari Fulvia.

Irving mengharapkan Fulvia muncul dengan penuh kemarahan atau mungkin kekecewaan. Senyum manis yang mengembang di wajah manis itu seolah berkata pada Irving bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Dan itu membuat Irving semakin terluka.

“Selamat siang, M’lord,” sapa Fulvia.

Orang lain! Fulvia memperlakukannya seperti orang yang baru pertama kali ditemuinya!

“Selamat siang, Fulvia,” Irving menyembunyikan kepahitannya di antara suara dinginnya, “Kau tampaknya lebih segar bugar dari yang kudengar.”

Fulvia tertawa kecil.

Suara tawa itu seperti menertawakan kerinduannya dan Irving merasa sangat terpukul. Ia datang bukan untuk memperdalam jarak di antara mereka.

“Mereka terlalu membesar-besarkan,” Fulvia tidak dapat menutupi tawa gelinya, “Janganlah Anda terlalu percaya pada mereka.”

“Setidaknya aku boleh mempercayai perasaanku, bukan?” Irving bertanya lembut.

Fulvia terdiam.

“Kau selalu mengatakan bahwa aku tidak bisa terus mempermainkan perasaanku sendiri,” Irving mengingatkan Fulvia.

Fulvia tidak ingin menjawab pertanyaan itu.

Mata biru gelap itu menatap Fulvia dengan penuh kerinduan.

“Saya turut berbahagia Anda menyadarinya,” Fulvia menghindari tatapan itu.

“Sayangnya, aku tidak dapat melihatnya.”

“Perasaan Anda mengetahuinya,” Fulvia tidak ingin berbicara banyak.

“Perasaanku mengatakan kau mempunyai banyak kegalauan hati.”

Fulvia tidak menanggapi.

Irving terus memandang punggung itu. Fulvia begitu dekat darinya tetapi ia merasa Fulvia berada di tempat yang jauh – tempat yang tak teraih olehnya. Tiada jalan yang menghubungkan tempat Fulvia dengannya. Tiada kata-kata yang dapat menjembatani perasaannya dengan Fulvia.

“Bila tidak ada yang Anda butuhkan dari saya,” kata Fulvia dingin, “Ijinkan saya meneruskan kesibukan saya.”

Irving kaget. Fulvia akan meninggalkannya!

“Mereka ingin tahu mengapa kau bersikeras tidak keluar bersama seorang pun dari mereka,” otaknya berputar cepat mencari topik pembicaraan dengan Fulvia.

Fulvia membalik badannya. Matanya yang dingin menatap Irving lekat-lekat.

“Anda tahu jawabannya,” katanya pedih dan melalui Irving.

Irving terpaku dan ketika ia membalikkan badan, Fulvia telah meninggalkan ruangan itu.

Inikah jawaban Fulvia? Inikah keputusan Fulvia?

Sudah tidak ada tempat baginya di hati Fulvia. Sudah tidak ada gunanya ia berlama-lama di tempat ini.

Dengan lesu, Irving meninggalkan Ruang Tamu.

“Kudengar kau datang menemui Fulvia,” seseorang mencegat Irving di pintu masuk Unsdrell.

Irving menatap Davies. Ia tidak ingin memberi penjelasan apa pun pada pria itu. Ia sedang tidak dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria yang selalu berseberangan jalan dengannya itu.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian,” Davies berkata dengan nada mengancamnya, “Tetapi aku ingin kau menyelesaikan apa yang telah kaumulai ini.”

Davies mendekati Irving.

Dari caranya berjalan, caranya menatap Irving, terlihat jelas bahwa pria itu ingin sekali membunuh Irving, pria yang ia percaya bertanggung jawab atas semua ini! Dan Irving sadar akan kesalahannya itu.

“Kalau kau butuh bantuan, jangan segan untuk mengatakannya padaku,” katanya sebelum berlalu.

Irving terkejut. Ia mengawasi Davies yang terus melangkah santai ke dalam gedung megah itu.

Davies memang seorang kakak yang baik. Ia tahu bagaimana melindungi adiknya dan ia tahu apa yang dapat dilakukan seorang kakak membahagiakan adik satu-satunya.

Mungkin selama ini Irving telah salah menilai Davies.

Dalam hatinya Irving berjanji pada Davies untuk membuat Fulvia kembali tersenyum dengan senyum menawannya yang dulu. Dan untuk itu Irving tahu ia harus memulai semuanya dari awal. Dari Trevor dan Richie memohon bantuannya.


-----0-----


“Tuan Muda Richie dan Tuan Muda Trevor ingin bertemu, Tuan Puteri.”

Fulvia mengangkat kepala dari buku. “Aku sibuk,” katanya singkat.

“Apakah sekarang kau sedemikian sibuknya hingga kau tidak bisa bertemu kami walau hanya sesaat?” Richie muncul dari belakang pelayan itu.

Fulvia melihat keduanya tanpa rasa tertarik. “Kalau kalian datang untuk membujukku, lupakan saja. Aku tidak akan merubah keputusanku.”

“Kami juga tahu tidak ada gunanya membujukmu,” kata Trevor, “Kami sudah menyerah.”

“Apa mau kalian?” Fulvia bertanya curiga.

“Kami datang untuk mengantar surat Irving,” jawab Richie.

“Irving?” Fulvia heran, “Apa yang ia inginkan?”

“Kami juga tidak tahu,” Trevor menatap Richie.

Beberapa saat yang lalu Irving mengundang mereka berdua ke rumahnya. Ia tidak mengatakan tujuannya pada mereka berdua. Ia hanya berkata,

“Apakah kalian ingin menggagalkan keinginan Fulvia?”

Tentu saja itu adalah hal yang paling diinginkan keduanya.

Semenjak Fulvia mengumumkan keputusannya sebulan lalu, keduanya terus membujuk Fulvia. Hampir setiap saat keduanya berusaha membuat Fulvia membatalkan keputusannya itu. Tetapi keteguhan hati Fulvia tidak pernah goyah.

Davies juga tidak bisa diandalkan lagi. Ia mendukung keputusan Fulvia bahkan ia menyuruh mereka untuk berhenti menganggu Fulvia.

Count Clarck beserta Countess Kylie juga tidak ingin campur tangan dalam keputusan putrinya itu. Mereka percaya Fulvia telah melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dua keluarga yang lain juga lepas tangan.

Tidak ada yang dapat membantu keduanya.

“Aku dapat membantu kalian.”

“Percuma saja,” kata Trevor.

“Kami telah berusaha dan Fulvia tetap tidak merubah keputusannya,” Richie sependapat.

“Apakah kalian tidak mempercayaiku?”

“Semuanya akan sia-sia,” Richie berkata sedih, “Semuanya telah terlambat.”

Irving tidak mengerti.

“Fulvia telah mempersiapkan semuanya. Ia telah mendaftarkan diri ke sekolah biara dan ia diterima. Minggu depan ia akan berangkat ke sana.”

Irving terbelalak. “Minggu depan…?”

“Tepatnya lima hari lagi,” kata Richie.

“Apakah yang bisa kaulakukan dalam lima hari?” tanya Trevor, “Sementara kami yang sudah sebulan ini tidak berhasil membujuknya.”

“Tidak,” Irving berkata penuh percaya diri, “Pasti ada cara.”

“Mengapa?” tanya Trevor, “Mengapa engkau begitu yakin?”

“Karena aku juga tidak ingin Fulvia mengambil keputusan ini,” jawab Irving, “Aku telah membuat dia mengambil keputusan ini dan aku pulalah yang bisa membuatnya membatalkannya.”

Keduanya menatap Irving lekat-lekat.

“Baiklah,” kata Richie, “Kami percaya padamu.”

“Apa yang kau ingin kami lakukan?” tanya Trevor.

Dan di sinilah sekarang mereka berada, mengantar surat Irving kepada Fulvia.

Keduanya sudah hampir yakin Fulvia tidak akan menerima surat itu ketika Fulvia berkata,

“Berikan surat itu padaku.”

Trevor memberikan surat Irving pada Fulvia.

Mereka memperhatikan Fulvia membuka surat itu. Mereka tidak tahu apa isi surat itu. Mereka tidak bertanya apapun pada Irving. Mereka percaya Irving mempunyai cara untuk membatalkan keputusan Fulvia ini.

Fulvia membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan tangan Irving.

Sekali aku telah membantumu menyimpan kotak musik untuk hadiah ulang tahun pernikahan orang tuamu. Dapatkah sekarang kau membantuku menemukan buket bunga yang indah untuk almarhum ibuku tercinta?

Irving

Fulvia menutup surat itu dan mengeluarkan secarik kertas dari laci mejanya. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai menulis.

Kedua pria itu memperhatikan Fulvia tanpa berani bertanya apa-apa.


-----0-----


Melalui surat ini, saya menyatakan dengan penuh penyesalan saya tidak dapat membantu Anda.

Salam sejahtera,

Fulvia

Irving kecewa.

Ia merasa satu jalan antara dia dan Fulvia telah tertutup lagi.

Tidak banyak jalan yang dapat ia jalani untuk mendekati Fulvia.

Tidak adakah cara yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan hati Fulvia lagi?

Tidak adakah yang bisa membuat Fulvia membatalkan keputusannya ini?

Melihat raut wajah Irving, mereka tahu apa yang dikatakan Fulvia dalam surat itu. Dan mereka turut merasa sedih untuk Irving.

“Maafkan kami, Irving,” Trevor turut bersedih.

“Aku tahu. Aku tahu ini akan sia-sia,” kata Richie pula.

“Ini adalah karma,” kata Irving, “Davies telah memperingatiku untuk tidak menyakiti Fulvia dan aku telah mempersalahkan cinta di antara kami.”

“APA!?” pekik kedua pria itu bersamaan – mencengkeram kerah baju Irving.

“KAU!??” mereka mengepalkan tangan mereka – siap meninju Irving.

“Aku tidak menyukai kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Aku tidak ingin menjadi Nelson kedua.”

Kedua pria itu melepaskan Irving dan duduk termenung di kursi mereka masing-masing.

“Aku tidak menyalahkanmu,” kata Trevor. “Sejujurnya, sejak awal kami sempat khawatir Fulvia akan jatuh cinta padamu.”

“Tetapi kami berpikir Fulvia tidak mungkin jatuh cinta pria sepertimu. Ia mungkin tidak mengenalmu tetapi ia tahu reputasimu dan ia selalu mengatakan ia tidak menyukai pria sepertimu yang suka mempermainkan perasaan,” ujar Richie.

“Dan kau pun tidak akan jatuh cinta pada Fulvia,” tambah Trevor.

“Kami begitu yakin tetapi Davies lebih bijak,” keluh Richie, “Ia terus memperingatkan kami sebelum kami mempertemukan kalian. Davies tahu reputasimu tetapi ia lebih paham Fulvia. Ia tahu kalian berdua sangat kontras tetapi kalian berdua juga saling melengkapi.”

“Davies juga memperingati kami,” Trevor memberitahu.

Irving termenung.

“Apakah kau pernah mendengar Festival Topeng?” tanya Richie.

Irving melihat mereka.

“Mungkin kau bisa menggunakannya sebagai sebuah kesempatan,” kata Richie lagi.

“Fulvia ingin sekali pergi ke festival itu. Ia bahkan ingin seluruh keluarga kami pergi ke sana bersama-sama,” kata Trevor, “Namun kami mendengar Fulvia telah memutuskan untuk tidak pergi. Ia beralasan ia sudah tidak tertarik dan ia harus meyakinkan semuanya telah siap sebelum ia berangkat ke sekolah biara pilihannya.”

“Fulvia tidak pernah mengakui kesedihannya tetapi ia tidak dapat membohongi kami yang telah mencintainya semenjak kecil.”

“Aku yakin Fulvia akan bersedia bila kau, pria yang dicintainya, mengajaknya.”

Irving menatap mereka.

“Kami tidak bisa membantumu lagi,” kata Richie, “Kau telah merebut Fulvia dari kami dan kau sendiri yang harus berusaha.”

“Setidaknya kami telah memberitahumu sebuah kesempatan,” timpal Trevor.

“Terima kasih.”

“Kami pasti akan merebut Fulvia kembali bila kau menyakiti Fulvia.”

Irving mengangguk.

Ini adalah kesempatan terakhirnya, kesempatan terakhirnya sebelum Fulvia pergi ke sekolah biara. Irving akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.

Apa pun yang terjadi, Irving tidak akan membiarkan Fulvia mengingkari perasaannya sendiri.

Irving tahu Fulvia masih mencintainya.

Irving yakin Fulvia juga merindukannya.

Maka hari itu ia pergi ke Greenwalls.

Davies, seolah mengetahui kedatangannya, telah menantinya di depan pintu.

“Aku tahu kau pasti akan datang,” kata pria itu sambil bersandar di dinding.

Irving tidak mengatakan apa-apa. Ia yakin Davies tahu tujuan kedatangannya.

“Ia ada di dalam kamarnya.”

“Terima kasih,” Irving melangkah masuk.

“Irving,” panggil Davies.

Irving berhenti.

“Kau tahu di mana kamar Fulvia?”

Irving terhenyak. Dalam pikirannya hanya ada Fulvia dan ia benar-benar melupakan hal itu.

“Aku akan mengantarmu,” Davies menepuk pundak Irving dan mendahuluinya.

Irving mengikuti pria itu.

“Kau lebih parah dari Trevor dan Richie,” Davies tersenyum geli, “Tetapi kau lebih baik darinya.”

“Kupikir kau membenciku.”

“Ya,” Davies mengakui, “Aku membencimu karena kau merebut Fulvia dariku. Tetapi aku juga mengakui kau jauh lebih baik daripada keduanya.”

“Lebih baik?” Irving heran, “Bukannya kau selalu menuduhku mempermainkan Fulvia?”

“Aku akui itu juga,” kata Davies, “Tetapi aku sudah tidak khawatir lagi. Fulvia telah menjinakkanmu.”

Irving terdiam. Davies benar. Sedikitpun tidak salah. Semenjak mengenal Fulvia, ia mulai kehilangan rasa tertariknya pada wanita-wanita lain. Dan sekarang seluruh hati, jiwa dan raganya hanya untuk Fulvia dan gadis itu seorang.

Davies berhenti.

“Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini,” katanya, “Kamar Fulvia adalah pintu kedua itu.”

“Terima kasih,” Irving melalui Davies.

“Irving,” lagi-lagi Davies memanggil pria itu.

Irving menoleh.

“Aku tahu kau akan berhasil,” Davies tersenyum.

Irving mengangguk.

“Kami akan menanti kalian di festival itu,” kata Davies dan ia pun meninggalkan tempat itu.

Irving juga segera ke kamar Fulvia.

Begitu berada di depan kamar Fulvia, keragu-raguan menghampiri Irving. Irving tidak yakin Fulvia akan menerimanya.

“Tidak! Aku datang bukan untuk kalah tetapi untuk menang!” Irving membulatkan hatinya dan mengetuk pintu kamar Fulvia.

“Siapa?”

Irving tersekat mendengar suara yang dirindukannya itu.

“Siapakah itu?” Fulvia membuka pintu kamarnya.

Irving terpaku. Tidak pernah ia merasakan sebuah keinginan sebesar ini untuk meraih seorang wanita dalam pelukannya.

Fulvia mematung. Ia menatap Irving lekat-lekat.

Setelah pagi ia meninggalkan Irving di Ruang Tamu, ia begitu yakin Irving tidak akan pernah menemuinya lagi. Fulvia yakin Irving tidak dapat menerima cintanya sama seperti ia tidak dapat menerima kenyataan ia juga mencintai Fulvia.

Fulvia benar. Bahkan setelah menerima surat itu pun ia tahu ia tidak pernah salah.

Irving tidak pernah dapat menerima kenyataan bahwa mereka saling mencintai. Ia juga tidak bisa menghapuskan rasa bersalah karena keputusannya ini. Dan rasa bersalah itulah yang membuatnya menerima tawaran Trevor dan Richie untuk membujuknya membatalkan keputusannya ini.

Saat ini Irving juga pasti datang untuk membujuknya! Membujuknya demi Trevor dan Richie!

“Pergi!!” seru Fulvia kesal. “Pergi!” Fulvia menutup pintu kamarnya.

Irving menahan pintu itu dengan tangannya.

“Aku tidak akan pergi denganmu! Aku tidak mau pergi ke festival itu!”

“Aku tidak mengatakan akan mengajakmu ke sana,” kata Irving tenang.

Fulvia terdiam.

Irving memanfaatkan kesempatan itu dan melangkah masuk.

“Keluar! Aku tidak mau bertemu denganmu.”

“Tapi kau begitu ingin menemuiku,” kata Irving.

Lagi-lagi Fulvia terdiam.

“Kau tidak bisa terus membohongi perasaanmu. Kau tahu itu,” ujar Irving.

Fulvia memunggungi Irving.

Irving meraih pundak Fulvia – menahan gerakannya.

“Kau boleh membohongi semua orang tetapi kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri.”

Fulvia memalingkan wajahnya. Matanya terasa pedas.

“Aku tidak pernah merasa begitu benci diriku sendiri karena sadar telah melukai perasaan seseorang,” kata Irving, “Aku tidak pernah merasa begitu gila karena mencintai seseorang. Aku tidak peduli menjadi orang ketiga atau orang keberapa pun selama aku dapat membuatmu tersenyum. Mencintai seseorang bukanlah kesalahan.”

Fulvia memejamkan matanya.

“Aku datang untuk mengatakan padamu bahwa aku tidak menyesali cintaku padamu. Aku akui aku pernah membenci kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Sekarang aku bersyukur menjadi orang ketiga di antara kalian sebelum orang lain dan orang pertama yang mendapatkan cinta sejatimu.”

Irving melepaskan pundak Fulvia.

“Aku ingin kau tahu aku akan terus mencintaimu apa pun yang terjadi dan sampai kapan pun juga.”

Fulvia tidak bergerak sedikitpun.

“Apakah kau begitu ingin menjadi biarawati?”

Fulvia tidak menjawab.

“Jawab aku, Fulvia, apakah kau benar-benar ingin menjadi biarawati?” desak Irving, “Jangan lari dari kenyataan, Fulvia. Kau tidak pernah ingin menjadi biarawati sebelumnya.”

Fulvia tidak bereaksi.

“Katakan padaku apa yang kukatakan ini tidak benar.”

Irving termenung. Apakah ni artinya kesempatan terakhirnya pun telah tertutup? Ia tidak akan dapat menggoyahkan keputusan Fulvia seperti ia tidak bisa menghancurkan pembatas di antara mereka yang kian lama kian menebal.

Apa haknya merubah keputusan Fulvia? Pada awalnya ia adalah orang yang bertanggung jawab. Ia adalah orang yang mendesak Fulvia pada keputusan ini. Ya, Fulvia berhak membencinya. Fulvia berhak menjalankan keputusannya ini.

Irving pun meninggalkan kamar Fulvia.

No comments:

Post a Comment