Wednesday, April 11, 2007

Orang Ketiga-Chapter 14

Fulvia berdiri di kejauhan – melihat orang-orang yang sedang bersenang-senang dalam Festival Topeng.

Semua orang bertopeng. Semua orang mengenakan kostum terbaik mereka.

Fulvia bertaruh. Ya, ia akan bertaruh dalam festival ini.

Festival ini mungkin akan menjadi kemunculannya yang pertama sebagai seorang makhluk baru. Tapi mungkin juga menjadi kemunculannya yang terakhir.

Ketika Fulvia mendengar suara roda kereta diiringi langkah-langkah lincah kuda menjauh, ia tahu Irving telah pulang. Fulvia ingin mengejar kereta itu namun otaknya menolak keras.

Ia akui ia sempat menangis ketika Irving pergi begitu saja. Untungnya, otaknya mengingatkannya pada kenyataan. Irving datang demi Trevor dan Richie. Tidak ada gunanya ia terus mengharapkan pria itu datang hanya untuknya. Pria itu tidak pernah percaya pada cinta. Bagaimana mungkin ia bisa tiba-tiba mencintainya sepenuh hatinya? Bagaimana mungkin ia akan mempercayai kata-katanya? Ia hanyalah seorang gadis ingusan. Ia bukan wanita-wanita cantik yang pernah menjadi kekasih Irving.

Ya, ia tidak pernah menjadi kekasihnya, Fulvia mengakui dengan sedih. Mereka menghabiskan waktu bersama hanya karena permintaannya sendiri. Irving tidak akan pernah datang menjemputnya bila bukan karena permintaannya. Bahkan di kedatangannya yang terakhir pun ia datang bukan untuk dirinya sendiri.

Cukup sudah! Cerita cinta ini cukup sampai di sini. Tidak ada gunanya terus memperpanjangnya. Pada awalnya Fulvia memang tidak tertarik pada Irving. Irving bukanlah tipe pria yang ia sukai. Sebaliknya, ia tidak menyukai kebiasaan Irving berganti-ganti pasangan. Ia juga tahu Irving bukanlah tipe seorang pria yang setia. Kalaupun sekarang Irving benar-benar jatuh cinta padanya, besok atau lusa hatinya akan beralih pada wanita cantik lain. Ini memang kesalahannya sendiri, jatuh cinta pada orang yang salah. Karenanya, cerita cinta ini harus segera ditutup. Ia sudah membuat keputusan menyangkut masa depannya. Ia sudah mempersiapkan semua ini semenjak sebulan ini. Sekarang sudah terlambat untuk mundur.

Seharusnya itulah yang dilakukan Fulvia. Namun kenyataannya, kepergian Irving meninggalkan satu ganjalan di benaknya. Pertanyaan Irving yang terus menggema di telinga membuat Fulvia berpikir.

Apakah ia benar-benar ingin menjadi seorang biarawati?

Apakah ia ingin menjadi biarawati hanya karena ia ingin melarikan diri kenyataan?

Apa yang membuatnya tiba-tiba ingin masuk sekolah biara?

Fulvia boleh tidak mengakuinya namun Davies tahu ia mengambil keputusan ini karena ia lelah didesak oleh kedua sepupu itu.

Malam itu, setelah Irving meninggalkannya seorang diri di Perpustakaan, kedua sepupu itu datang.

“Kami sudah mendengarnya, Fulvia,” kata mereka serempak, “Engkau sudah memilih seorang dari kami.”

Fulvia segera menghapus air matanya.

Rupanya kedua sepupu itu menyadari air matanya.

“Jangan khawatir,” kata Richie, “Siapa pun yang kaupilih di antara kami, kami tidak akan marah.”

“Benar,” kata Trevor, “Irving berkata kau takut seorang dari kami akan terluka karena itu kau tidak pernah memilih seorang dari kami.”

Apakah ini yang selalu dilakukan Irving pada setiap wanita yang ditinggalkannya? Tidak cukupkah kata-katanya yang lebih menyakitkan dari duri itu?

“Tidak salah kami memilih Irving,” kata Trevor pula.

“Ia memang bisa diandalkan,” Richie sependapat.

Fulvia sudah mengetahuinya dari malam perkenalannya dengan Irving. Tetapi mendengarnya sendiri dari mulut mereka…

“Katakan pada kami siapa di antara kami yang kaupilih!” desak mereka bersamaan.

Alangkah mudahnya kalau ia bisa jatuh cinta pada seorang dari mereka. Alangkah indahnya kalau ia bisa memilih seorang dari mereka namun Fulvia tidak ingin menipu perasaannya.

“Aku tidak memilih seorang pun di antara kalian,” katanya, “Aku mencintai kalian tidak lebih dari seorang kakak.”

“Katakan, Fulvia,” desak Trevor, “Jangan khawatir, kami tidak akan marah.”

“Pasti ada seorang dari kami yang lebih kau cintai,” Richie turut mendesak, “Irving mengatakan kau lebih perhatian padaku.”

“Tidak! Kata Irving, kau lebih menyayangiku.”

“Tidak! Aku!”

“Aku!”

“Aku!”

“Kata Irving, Fulvia sering melihat ke arahku.”

“Kata Irving, Fulvia selalu teringat akan aku!”

Keduanya kembali bertengkar tanpa sedikit pun menyadari perasaan orang yang sedang mereka perebutkan.

Andai Fulvia memang seorang wanita seperti yang dikatakan Irving, tentunya saat ini ia sedang bersuka cita. Namun kenyataannya, perasaannya kian hancur mendengar mereka terus menyebut Irving, Irving, dan Irving.

Mengapa ketika ia bersama Irving, ia tidak pernah ingat Irving pada awalnya diperkenalkan padanya untuk membantunya memutuskan memilih seorang dari mereka?

Dan kedua sepupu ini…

Mengapa mereka memperlakukannya seperti ini? Di saat ia baru saja patah hati?

“Berhenti!” seru Fulvia – membuat keduanya menyadari di mana tempat mereka bertengkar saat ini.

“Fulvia, ini… kami…,” Trevor tampak bersalah.

“Kami tidak bermaksud seperti ini. Kami…,” Richie pun tidak kalah kalang kabut.

“Aku sudah memutuskan,” kata Fulvia tegas, “Aku akan menjadi biarawati!”

Mereka kedua terkejut hingga tidak dapat berkata apa-apa.

Fulvia meninggalkan mereka sebelum seorang pun menghentikannya.

Keesokan harinya, Fulvia menjalankan keputusannya. Ia pergi mendaftarkan diri ke sekolah biara tanpa mempedulikan larangan Richie maupun Trevor. Ia sudah lelah terus berpura-pura tidak mengetahui pertengkaran mereka. Ia tidak mau lagi diperkenalkan pada seorang pria hanya untuk membantunya membuat keputusan. Ia sudah membuat keputusan dan tidak seorang pun perlu mengubahnya.

Ketika Fulvia lelah mendengar desakan mereka untuk mengubah keputusannya, ia dengan jujur mengatakan ia tidak akan pernah mencintai seorang pun dari mereka karena orang lain telah mendapatkan cinta sejatinya. Mereka tidak perlu tahu siapa cinta sejatinya itu karena cinta sejatinya adalah sebuah kesalahan besar. Tidak ada gunanya membicarakan hal itu.

Mungkin Irving benar. Ia tiba-tiba ingin menjadi biarawati karena ingin melarikan diri dari kenyataan. Lalu mengapa? Walau pria yang dicintainya mengakui ia pun jatuh cinta padanya, ia membenci kenyataan itu.

Benarkah itu?

Irving telah mengingkari cinta di antara mereka. Irving telah membenci cinta di antara mereka. Tetapi Irving telah menyadarinya dan ia telah berusaha memperbaiki kesalahannya.

Sementara itu dirinya? Apakah ia telah memaafkan Irving?

Selama ini Fulvia hanya tahu Irving melakukan semua ini demi Trevor dan Richie. Di hari kedua kakak sepupunya itu memperkenalkan Irving, Fulvia sudah menyadari ini adalah rencana keduanya.

Bagaimana mungkin keduanya tiba-tiba memperkenalkan seorang pria padanya sementara mereka selalu berusaha menjauhkan setiap pria yang berusaha mendekatinya?

Bagaimana kedua pria yang senantiasa bertengkar memperebutkan dirinya itu tiba-tiba membantu Irving?

Hanya satu alasan di balik semua ini. Mereka membuat Irving membantu rencana mereka. Mereka pulalah yang membuat Irving memaksanya memilih seorang di antara mereka.

Fulvia termenung.

Apakah pemikirannya ini benar? Apakah pemahamannya ini tidak salah?

Irving tidak menanti perintah Trevor ketika ia melindunginya dari Lewis.

Irving tidak menerima perintah Richie ketika ia mengantar jemputnya setiap hari.

Irving tidak pernah memberitahu Trevor maupun Richie ketika ia membawanya ke gunung.

Keduanya pasti telah menahan Irving bila mereka tahu.

Keduanya pasti telah melarang Irving bila mereka tahu ke mana Irving akan membawanya.

Bukankah gunung adalah tempat yang berbahaya bagi mereka?

Apakah yang telah dilakukannya selama ini? Apakah yang telah ia perbuat?

Tubuh Fulvia jatuh lemas.

Irving berusaha memperbaiki keadaan ini ketika ia menyadari kesalahannya. Irving berusaha memulihkan keadaan yang telah dikacaukannya ini.

Dan ia…

Apakah yang telah ia perbuat selama sebulan ini?

Tidak ada! Ia tidak melakukan apa pun!

Ia tidak berusaha membuat Irving menarik kembali kata-katanya seperti Irving berusaha membatalkan keputusannya.

Ia tidak berusaha meyakinkan Irving seperti Irving berusaha menyadarkan dirinya.

Ia hanya bisa melarikan diri dari kenyataan!

Air mata Fulvia jatuh.

Satu-satunya yang telah ia lakukan hanyalah bersembunyi dari kepedihan. Ia telah mengingkari kesedihannya dengan memutuskan menjadi biarawati.

Ia telah lari dari kenyataan dengan memilih menjadi seorang biarawati.

Air mata Fulvia jatuh semakin deras. Ia ingin berlari pada Irving. Ia ingin menjatuhkan diri pada pelukan pria itu.

Sekarang di sinilah ia berada.

Fulvia mengawasi puluhan penduduk yang memadati taman kota. Ia memperhatikan lautan manusia yang mengenakan topeng itu.

Sesuatu meyakinkan Fulvia bahwa Irving ada di antara mereka.

Fulvia percaya ia akan menemukan Irving.

Dengan bulat tekad, Fulvia melangkah ke kerumunan penduduk.

Fulvia terus melangkah di antara para penduduk. Ia memperhatikan mata yang tersembunyi di balik topeng-topeng itu. Ia mencari-cari mata biru tua yang hanya bersinar lembut untuknya itu.

Seseorang menyenggol Fulvia.

Tubuh Fulvia yang tidak siap, langsung limbung.

Seseorang menangkap Fulvia.

“Maaf,” orang yang menyenggol Fulvia berkata.

“Tidak mengapa,” Fulvia tersenyum.

Fulvia membalikkan badan untuk berterima kasih pada orang yang telah menolongnya itu dan ia tersekat.

Sepasang mata dingin itu menatapnya lekat-lekat.

Fulvia tidak dapat melihat warna mata itu dalam kegelapan malam tetapi ia merasa begitu mengenal tatapan itu. Sesuatu dalam dirinya mengatakan ia merindukan sinar dingin itu.

Musik yang lembut mengalun.

Fulvia melihat sekitarnya.

Setiap orang telah bersiap diri dengan pasangan yang mereka pilih.

Tiba-tiba tubuh Fulvia ditarik.

Fulvia menatap pemilik sepasang mata dingin yang menariknya mendekat itu.

Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia tetap membisu ketika meletakkan tangan kirinya di pinggang Fulvia dan tangan kanannya menggenggam tangan kanan Fulvia dengan lembut.

Sinar mata dingin itu membius Fulvia dan ia meletakkan tangannya yang bebas di pundak pria itu.

Fulvia tidak mendengarkan musik yang mengalun di taman kota. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang berdansa di sekitarnya.

Matanya terpaku pada sepasang mata dingin yang terus menatapnya lekat-lekat itu. Kakinya melangkah mengiringi langkah pria itu.

Cara pria itu menatapnya membuat pipi Fulvia terasa panas. Sinar dingin yang memabukkan sepasang mata itu membius Fulvia.

Tiba-tiba musik dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita.

Fulvia terkejut. Ia mendekatkan diri pada pria itu.

Fulvia dapat merasakan sepasang tangan hangat pria itu di punggungnya. Dan jantungnya berdebar kencang.

“Mari membuka topeng kita!” Fulvia mendengar seseorang berseru.

Fulvia melihat orang-orang mulai membuka topengnya. Fulvia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan ia masih kebingungan ketika ia merasa seseorang melepaskan topengnya.

Sesaat kemudian cahaya terang puluhan lilin menerangi tempat itu.

Sinar terang lilin yang menyala tak jauh di depannya menyilaukan mata Fulvia. Fulvia menunduk untuk melindungi matanya dari cahaya terang itu.

Sepasang tangan merapikan rambut Fulvia yang tertarik oleh topengnya.

“Aku tahu kau akan datang.”

Fulvia tersekat. Sesaat ia merasa nafasnya terputus. Ia mengangkat kepalanya.

Irving tersenyum lembut.

Kaki Fulvia kehilangan tenaganya.

Irving menahan tubuh gadis itu dalam pelukannya.

“A… aku…,” Fulvia berpegangan pada Irving, “Aku begitu cemas… aku…”

Irving tersenyum. “Aku tahu,” katanya lembut, “Aku menantimu sejak tadi.”

“Oh, Irving,” bisik Fulvia.

“Kurasa kau butuh tempat yang lebih tenang,” Irving mengangkat Fulvia dan tanpa mempedulikan pandangan penuh ingin tahu orang lain, ia membawa Fulvia menjauhi kerumunan.

“Kau merasa lebih baik sekarang?” Irving mendudukkan Fulvia di kursi di salah satu sisi taman kota itu.

“Ya…,” Fulvia menunduk malu.

Tiba-tiba saja ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia datang untuk menemui Irving. Ia datang untuk memberi jawaban pada Irving dan kini setelah pria itu berada di sisinya, Fulvia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Aku mempunyai sesuatu untukmu,” Irving mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.

Fulvia tertegun melihat kantung itu. Ia tidak mungkin salah mengenali kantung pemberian Brent untuk menyimpan uang yang akan digunakannya untuk membeli hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya itu.

“Kantung itu…”

“Terimalah,” desak Irving.

Fulvia menerimanya dengan ragu-ragu.

Begitu tangan Fulvia menyentuhnya, Fulvia merasakan sesuatu yang padat dan keras.

Fulvia menatap Irving.

“Bukalah,” Irving tersenyum.

Jari-jemari Fulvia membuka simpul kantung itu. Matanya terbelalak melihat isinya.

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang itu ketika teringat kau berkata kau ingin sekali bermain di pantai,” ujar Irving, “Aku menggunakannya untuk mencari kerang itu.”

Fulvia menatap Irving penuh haru. “Ini… ini…”

Irving tersenyum. “Aku tahu kau pasti akan menyukainya.”

“Ini pasti lebih mahal dari kotak musik itu.”

“Aku tidak memusingkannya.”

“Tapi saya…”

“Aku tahu apa yang akan kaukatakan,” potong Irving, “Aku juga tidak memberikannya secara cuma-cuma.”

Fulvia menatap Irving penuh ingin tahu.

“Menikahlah denganku.”

Fulvia terkejut. “Anda… bukankah Anda…?”

“Aku tahu apa yang kuinginkan,” Irving menegaskan, “Hanya kau satu-satunya wanita yang ingin kunikahi. Kaulah satu-satunya wanita yang kuinginkan mendampingiku. Satu-satunya wanita dari siapa aku ingin keturunanku dilahirkan. Aku telah mendapatkanmu dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Tidak untuk selama-lamanya.”

“Apakah… itu artinya Anda tidak akan jatuh cinta pada wanita lain?”

“Bagaimana kau mengharapkan aku jatuh cinta pada wanita lain sementara hatiku sudah menjadi milikmu sepenuhnya?”

Fulvia tidak dapat mempercayai pendengarannya.

“Dan aku tidak suka ditolak, Fulvia,” Irving memperingatkan, “Kau tahu itu.”

“Ya, Irving,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher pria itu, “Aku tahu.”

“Kuanggap itu sebagai jawabanmu.”

Fulvia tersenyum gembira. Tidak akan ada yang dapat menyatakan perasaannya kali ini. Tidak akan ada yang dapat menggantikan kebahagiannya ini.

Dan ketika Irving memeluknya, Fulvia tahu inilah yang paling diinginkannya.

“Hadiah pertunangan kita,” bisik Irving dan mencium Fulvia.

No comments:

Post a Comment