Thursday, April 5, 2007

Orang Ketiga-Chapter 8

“Ada seorang pria yang menanti Anda, Tuan Puteri,” seorang pelayan memberitahu Fulvia. “Ia mengatakan Anda mempunyai janji dengannya.”

“Janji?” Fulvia heran, “Hari ini aku tidak mempunyai janji dengan siapa pun.”

Hari ini adalah hari Minggu. Ia telah berjanji pada Trevor juga Richie untuk menemani mereka hari ini. Apakah ini adalah salah satu dari permainan mereka?

“Ia menanti Anda di serambi,” kata pelayan itu lagi.

Fulvia bergegas ke serambi. Ia memutuskan untuk melihat siapakah pria itu.

Seperti yang dikatakan pelayan padanya, seorang pria muda berdiri di serambi.

“M’lord?!” Fulvia terkejut, “Mengapa Anda di sini? Bukankah saya telah mengatakan pada Anda bahwa hari ini Anda tidak perlu datang menjemput saya?”

Fulvia ingat jelas ia telah mengatakan pada Irving bahwa ia tidak perlu ke sana pada hari Minggu. Brent mengatakan ia tidak perlu datang di hari Minggu. Hari itu Brent dan keluarganya akan pergi ke gereja demikian pula Fulvia.

“Aku tidak suka setiap hari membohongi keluargamu dan kupikir tidak ada salahnya bila aku benar-benar menjemputmu untuk suatu alasan yang benar.”

Fulvia tersenyum. Ia mengerti keinginan Irving.

“Tunggulah sebentar. Saya akan segera siap,” Fulvia berlari ke dalam kamarnya.

Davies melihat adiknya berlari menuju kamarnya dengan riang.

“Kau mau ke mana?” cegat Davies.

“Irving menjemputku,” jawab Fulvia tanpa berhenti, “Ia ingin mengajakku berjalan-jalan.”

Mata Davies langsung mengawasi Irving yang menanti di depan Unsdrell melalui jendela lorong. Tanpa berpikir panjang, Davies langsung menapaki tangga menuju serambi tempat pria itu sekarang berada.

“Apa yang sedang kaurencanakan?” Davies langsung bertanya sinis.

“Tidak ada,” jawab Irving. Ia benar-benar tidak menikmati cara pria ini memperlakukannya.

Davies selalu mencurigainya seakan-akan ia adalah seorang penipu besar!

“Mau apa kau dengan Fulvia?”

“Aku hanya ingin mengajaknya ke sebuah tempat.”

Sudut mata Davies langsung meruncing. “Kuperingatkan kau, jangan bermain-main dengan Fulvia. Fulvia bukanlah wanita-wanita simpananmu itu.”

“Aku tidak pernah berniat menjadikannya satu dari sekian koleksiku,” Irving menjawab tak kalah sinisnya, “Aku tidak tertarik pada gadis ingusan seperti dia.”

“Mengapa kau terus berada di sekitarnya?”

“Itu adalah urusanku,” jawab Irving dingin.

Davies tahu. Seharusnya sudah dari awal mula ia menghentikan kedua sepupu itu. Seharusnya sudah dari awal ia mencegah Fulvia bertemu Irving.

“Maaf,” Fulvia muncul dengan tergesa-gesa, “Apakah Anda lama menanti saya?”

Fulvia heran melihat kakaknya berada di sana.

“Tidak, M’lady,” Irving mengulurkan tangan mencium punggung tangan Fulvia. Matanya melirik Davies dengan sinar matanya yang setajam pisau, “Saya sungguh merasa terhormat Anda bersedia berdandan dengan cantik untuk saya.”

Fulvia tersipu.

Davies tidak suka cara pria itu memuji Fulvia tapi demi kebaikan Fulvia, ia tahu ia harus dapat menahan diri.

“Selamat bersenang-senang,” Davies memeluk Fulvia dan mencium pipinya lalu ia melirik tajam Irving, “Berhati-hatilah.”

Fulvia tersenyum. “Tentu, Davies.”

“Kuserahkan Fulvia padamu,” Davies mendekati Irving lalu dengan nadanya yang mengancam, ia berbisik, “Kalau sesuatu terjadi pada Fulvia, akulah yang pertama akan mencari perhitungan denganmu.”

Irving tersenyum sinis. “Terima kasih.”

Fulvia keheranan melihat sikap aneh kedua pria itu.

“Mari kita pergi, M’lady,” Irving mengulurkan tangannya.

Fulvia menyambut uluran tangan itu.

Irving langsung mengapit tangan Fulvia di sikunya. Sekali lagi ia menatap sinis Davies sebelum membawa Fulvia ke kereta yang telah menanti mereka.

Davies ingin sekali melempar sesuatu ke pria sinis itu.

Fulvia mengeluarkan kepalanya di jendela kereta. “Davies, tolong katakan pada Papa Mama aku akan kembali sebelum makan malam.”

“Tentu,” Davies melambaikan tangan, “Selamat bersenang-senang.”

Davies geram. Ia benar-benar ingin sekali menghantam muka sombong Irving. Ia ingin sekali mencekik pria itu.

“Apa yang terjadi?”

Davies terperanjat.

“Apakah kau mempunyai tamu yang tak menyenangkan?” Trevor melihat kereta yang telah melewati gerbang Greenwalls.

“Tidak,” Davies berbohong lalu ia bertanya, “Apa yang membuatmu datang sepagi ini?”

“Kau tahu jawabannya, Davies. Aku tidak dapat membiarkan Richie mendahuluiku,” Trevor tersenyum penuh kemenangan. Ia merangkul Davies dan berjalan bersamanya ke dalam, “Apakah Fulvia ada di kamarnya?”

Davies tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tidak ingin mengingkari janjinya kepada Fulvia. Ia juga tidak ingin memberitahu mereka kepergian Fulvia bersama Irving seminggu terakhir ini. Di sisi lain, ia juga tidak mempunyai alasan lain.

“Ia baru saja pergi.”

“APA!?”

Mereka terperanjat.

Richie muncul di pintu masuk dengan wajah geramnya. Pria yang baru datang itu langsung mendekat dan mencengkeram kemeja Davies dengan kesal, “Dan kau membiarkannya pergi!?”

Davies menepiskan tangan Richie. “Ia pergi bersama pria pilihan kalian,” Davies berkata tidak kalah kesal.

Davies sudah tidak dalam suasana hati gembira semenjak mendengar kedatangan Irving dan kedua pria ini semakin memperburuk suasana hatinya dengan menuduhnya.

“Pria pilihan kami?” keduanya bertanya bersamaan.

Davies membuang mukanya. Ia tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Mereka telah merusak suasana hatinya pagi ini.

“Siapa?” keduanya mencegat Davies.

“Jangan ganggu aku!” Davies marah.

Kedua pria itu terkejut.

“Aku tidak mau campur tangan urusan kalian lagi,” Davies pergi meninggalkan kedua pria itu dalam keheranan.

Davies benar-benar kesal. Ia ingin sekali melepaskan diri dari semua ini dan ia tahu ke mana ia bisa mendapatkan kembali kebahagiannya.

Davies pun bersiap untuk menemui kekasihnya, Margot.


-----0-----


“Anda mencampakkan seorang lagi?” Fulvia bertanya.

Irving tidak mengerti.

Fulvia menunjuk sekuntum mawar merah di sudut kereta. Fulvia memang tidak banyak tahu tentang Irving tetapi ia banyak mendengar cerita tentang pria itu dan mawar-mawar merahnya.

“Saya rasa sudah saatnya Anda berhenti mempermainkan perasaan Anda sendiri.”

Irving tidak suka. Apakah gadis ini akan menceramahinya tentang filsafat cintanya seperti ayahnya? Gadis ingusan ini tidak pantas menceramahinya. Gadis ini tidak mengerti apa-apa tentang cinta.

“Mungkin saya tidak pantas mengatakan ini,” Fulvia tersipu-sipu, “Saya juga seperti Anda,” Fulvia membuat Irving tidak mengerti, “Tidak. Mungkin saya lebih buruk dari Anda.”

“Apa yang kaukatakan?”

“Anda tahu, M’lord,” mata Fulvia menerawang ke luar jendela kereta, “Kedua kakak sepupu saya itu, Trevor dan Richie. Mereka menyukai saya dan mereka selalu bertengkar karenanya. Saya tidak mengerti mengapa mereka memperkenalkan Anda pada saya. Saya menduga ini berhubungan dengan pertengkaran mereka.”

Irving terperanjat. Gadis ini tahu!

“Mereka pikir saya tidak tahu tetapi saya mengetahuinya. Saya mengetahuinya semenjak kecil dan saya membiarkannya,” mata Fulvia kembali menatap pria itu, “Apakah Anda tidak berpendapat saya sangat kejam?”

Irving tidak menjawab.

“Keduanya adalah kakak bagi saya. Saya tahu saya tidak akan pernah mencintai mereka melebihi Davies. Saya tahu saya tidak memilih seorang pun di antara mereka tetapi saya tidak sanggup mengatakannya pada mereka.”

Irving tidak tahu bagaimana menghadapi pengakuan ini.

“Ke mana kita akan pergi, M’lord?” Fulvia bertanya manis.

“Apakah engkau ingin pergi ke sebuah tempat?”

“Saya ingin sekali ke pantai,” Fulvia berkata penuh semangat, “Semua orang mengatakan musim panas adalah waktu yang tepat untuk bermain ke pantai.”

“Aku sependapat,” Irving menatap Fulvia lekat-lekat, “Sayangnya aku tidak dapat membawamu ke sana kali ini.”

Fulvia kecewa mendengarnya.

“Tidak ada pantai terdekat yang bisa dicapai dalam satu hari perjalanan pulang pergi,” Irving menjelaskan, “Dan aku yakin Davies akan membunuhku bila aku membawamu pergi lebih dari sore hari.”

Fulvia tertawa geli mengingat sinar mata tajam kakaknya ketika Irving membawanya ke dalam kereta yang telah menanti mereka.

“Ya,” katanya menahan tawa, “Bahkan saya hampir yakin Davies akan membunuh Anda pagi ini bila saya tidak segera keluar.”

“Sebagai penggantinya,” Irving berkata, “Ijinkanlah aku membawamu ke sebuah tempat indah kesukaanku.”

Fulvia terperangah. “Benarkah?”

“Apakah aku pernah berbohong padamu?”


-----0-----


Margot tertawa terbahak-bahak.

“Kau menertawakanku,” kata Davies kesal.

“Kau kalah dari Irving, Davies,” Margot tidak dapat menahan tawanya, “Kau cemburu pada Irving.”

“Irving berbahaya!” Davies marah, “Ia hanya tahu menyakiti Fulvia!”

Kegembiraan Margot menghilang melihat kemarahan Davies yang meluap-luap itu.

“Aku iri pada Fulvia,” gumam Margot murung.

Davies terkejut.

“Fulvia mempunyai Trevor dan Richie yang selalu memperebutkannya. Ia juga mempunyai seorang kakak sangat memperhatikannya,” Margot bertopang dagu dan pandangannya menerawang, “Sedangkan aku hanya mempunyai seorang pria yang tidak mengenal romantis. Ia tidak pernah mengajakku pergi. Ia juga tidak pernah datang menemuiku. Sekarang ia datang tetapi ia membawa masalahnya bukan bunga yang indah ataupun hadiah.”

Davies terperanjat. “Aku tidak bermaksud seperti itu,” Davies duduk di sisi Margot, “Aku… aku…”

Margot meletakkan jari-jari lentiknya di bibir Davies. “Aku tahu,” Margot tersenyum lembut, “Karena itulah aku mencintaimu.”

Davies terpesona.

“Kau tidak pernah tahu bagaimana merayu wanita. Kau juga tidak tahu apa itu romantis,” Margot merangkulkan tangannya di leher Davies, “Tetapi kau rela melakukan apa saja demi orang yang kaucintai.”

Davies memeluk Margot dan mencium bibir wanita itu. “Aku akan melakukan segalanya untuk membahagiakanmu,” bisiknya mesra.

“Kurasa, Davies,” Margot menyandarkan kepala di dada Davies, “Kau harus mulai melepaskan Fulvia.”

“Melepaskan Fulvia!?”

“Tidakkah kau dengar sebuah kabar burung, Davies?” Margot menatap Davies lekat-lekat, “Irving telah mematahkan kian banyak hati para wanita.”

“Itu bukan berita baru,” kata Davies mencemooh.

“Tetapi Irving tidak pernah mengirimkan mawar-mawar merahnya lagi,” Margot menambahkan dengan serius – membuat Davies keheranan, “Irving tidak pernah lagi terlihat bersama wanita mana pun. Semua mengatakan ia telah menjadi lebih jinak. Aku tidak pernah mengetahui apa yang membuat Irving berubah tetapi dari ceritamu itu aku mulai mengerti. Irving tertarik pada Fulvia.”

Davies kehabisan kata-katanya. Audrey pernah mengatakan hal yang sama padanya dan sekarang Margot menegaskannya kembali dengan serius.

“Fulvia adalah gadis baik,” Margot tersenyum, “Ia adalah gadis yang penuh perhatian. Aku tidak akan terkejut bila ia berhasil menundukkan Irving.”

Davies teringat wajah gembira Fulvia ketika Irving menjemputnya pagi ini. Davies tidak pernah melihat wajah adiknya yang dipenuhi kebahagiaan seperti yang dilihatnya pagi ini. Tidak sekalipun Trevor ataupun Richie mengajaknya pergi.

Davies tersenyum.

“Ya,” Davies merangkul pundak Margot, “Fulvia adalah gadis yang manis.”

“Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan musuh bebuyutan itu bila mereka mengetahuinya,” Margot menyandarkan kepala di pundak Davies.

“Siapa tahu,” gumam Davies, “Mereka sendirilah yang mencari masalah.”


-----0-----


Fulvia terpesona.

Di depannya, Fulvia dapat melihat daratan yang membentang luas ke seluruh penjuru. Kumpulan pemukiman penduduk tampak berkumpul di satu tempat dikelilingi hijaunya pepohonan. Di kejauhan tampak gunung-gunung tinggi membentengi kota yang nampak kecil dari tempat tinggi ini. Dan lebih jauh lagi, Fulvia dapat melihat sebuah garis panjang yang membentang dari timur ke barat. Garis itu membatasi laut dan langit biru.

Fulvia membentangkan tangan lebar-lebar. Ia menyukai angin sejuk yang berhembus di tebing tinggi ini.

Fulvia merasa ia tengah berada di puncak dunia. Dari tempatnya yang sangat tinggi, Fulvia dapat melihat semuanya tampak kecil dan indah.

“Ini benar-benar luar biasa,” Fulvia memuji. “Tempat ini pastilah sangat tinggi.”

“Jangan melihat ke bawah,” Irving memperingatkan namun sayang ia terlambat beberapa detik.

Fulvia memandang daratan tepat di bawahnya dan ia merasa kepalanya pusing. Fulvia merasa tubuhnya seolah-olah tertarik ke bawah dan ia tengah jatuh bebas.

Irving memegang lengan Fulvia. “Sudah kuperingatkan,” katanya menuduh Fulvia.

“Terima kasih,” Fulvia memeluk lengan Irving. “Saya hanya ingin tahu seberapa tingginya tempat ini.”

“Apakah perjalanan kita kurang memberi jawaban padamu?”

Fulvia tersenyum mendengar nada tidak senang itu.

Irving benar. Mereka tidak dengan mudah mencapai tempat tinggi ini. Kereta yang mereka tumpangi juga tidak dapat mencapai tempat ini.

Kereta keluarga Engelschalf hanya mengantar mereka hingga ke desa di kaki bukit ini. Selanjutnya, Irving menyewa seekor kuda.

Irving menegaskan perjalanan mereka tidak akan mudah. Irving mendudukkan Fulvia di belakangnya dan meminta Fulvia untuk memeluknya erat-erat.

Duduk di belakang punggung lebar itu, Fulvia tidak dapat melihat seberapa sulitnya medan yang mereka lalui tetapi dari cara Irving mengendalikan kuda, Fulvia tahu perjalanan ke tempat tinggi ini tidak mudah bahkan berbahaya.

Fulvia tidak takut. Ia percaya pada Irving.

Irving adalah pria yang suka mempermainkan wanita tetapi Fulvia tahu Irving tidak pernah bermain dengan wanita yang telah berkeluarga atau pun gadis kecil seperti dirinya. Ia hanya bermain dengan wanita-wanita cantik yang dewasa.

Fulvia tidak khawatir Irving sedang mempermainkannya. Ia mempercayai pria itu dan pria itu telah menjaganya dengan baik hingga saat ini. Irving juga tidak segan menunjukkan perhatiannya.

Fulvia mengangkat kepalanya. “Saya rasa saya mulai tertarik pada Anda,” ujarnya sambil tersenyum.

“Kupikir kau tidak pernah tertarik padaku.”

“Itu adalah dulu sebelum saya mengenal Anda,” Fulvia tersenyum, “Setelah saya mengenal Anda, saya merasa Anda tidaklah seburuk yang saya anggap. Anda juga memiliki sisi baik.”

Fulvia menatap Irving lekat-lekat, “Kecuali kegemaran Anda melompat dari satu wanita ke wanita yang lain itu.” Lalu gadis itu tersenyum penuh arti, “Andai saja Anda adalah seorang pria yang setia, saya pasti telah tergila-gila pada Anda.”

Irving terperangah.

Fulvia melepaskan tangannya dari lengan Irving dan berjalan membelakangi pria itu.

“Sayang sekali,” Fulvia memperhatikan tanah lapang di depannya, “Kita tidak membawa bekal piknik.” Fulvia membersihkan tanah terjal itu dari debu dan duduk di atasnya. “Tentu akan sangat menyenangkan sekali bermalam di sini,” Fulvia menengadahkan kepalanya, “Saya membayangkan bagaimana rasanya tidur di bawah bintang-bintang.”

“Ya,” Irving duduk di sisi Fulvia, “Dan Davies mungkin akan mencekikku.”

Fulvia tertawa. “Saya yakin Davies akan melakukannya. Dan Mama akan menanti kita di pintu dengan ceramahnya sepanjang hari. Kemudian Papa akan menyiapkan sebuah ruangan untuk mengurungku selama sebulan mendatang.”

“Keluargamu sangat memperhatikanmu,” komentar Irving dan ia berbaring di tanah terjal itu. Kedua tangannya terlipat di belakang kepalanya dan kakiya menjulur panjang.

“Mereka sering membuat saya merasa tidak bebas,” Fulvia mengeluh, “Terlebih lagi Trevor dan Richie.”

Irving menutup matanya dan menajamkan pendengarannya.

“Mereka terlalu memperhatikan saya dan itu membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Mereka selalu bersikeras untuk mengawal saya ke mana pun saya pergi. Saya benar-benar harus berusaha keras untuk melepaskan diri dari mereka. Biasanya saya meminta Davies membantu saya tetapi itu sudah tidak mungkin lagi. Sekarang Davies mempunyai Margot.”

Fulvia menarik kakinya merapat dan ia merebahkan kepala di atas lututnya. “Mungkin saya harus segera mencari cara lain.”

Irving tidak menanggapi. Ia juga tidak dapat membantu Fulvia. Ini adalah masalah mereka dan ia tidak mau campur tangan. Kedua pria itu pernah meminta bantuannya tetapi sampai sekarang ia belum memberikan jawabannya.

Malam itu, setelah ia mengantarkan kepulangan Fulvia, kedua sepupu itu mendekatinya.

“Bagaimana?” tanya Richie penuh ingin tahu.

“Aku tidak tahu,” jawab Irving singkat, “Ia tidak mengatakan apa-apa.”

“Bukankah mereka mengatakan kau tahu apa yang dipikirkan wanita hanya dengan melihatnya saja?” Richie mendesak.

“Aku bukan seorang peramal,” sahut Irving tidak senang.

“Apa saja yang kalian bicarakan?” Trevor yang sifatnya lebih tenang dari Richie bertanya.

“Tidak ada,” kata Irving, “Ia hanya berterima kasih padaku dan ia memutuskan untuk pulang.”

“Fulvia pulang!?” kedua pria itu terkejut.

Irving tidak ingin melibatkan diri terlalu lama lagi dengan kedua pria yang sedang dimabuk cinta dan cemburu itu. Ia pun pergi meninggalkan mereka.

Baik Trevor maupun Richie tidak pernah mencarinya lagi semenjak hari itu. Irving sendiri sudah yakin ia telah melepaskan diri dari masalah mereka ketika ia kemudian bertemu Fulvia dan gadis itu menariknya ke dalam sebuah rencana yang sama sekali tidak diduganya.

Irving benar-benar tidak dapat memahami Fulvia.

Sepintas gadis dengan wajah kekanak-kanakannya ini tampak seperti sebuah buku terbuka tetapi… Ya, ia mungkin adalah sebuah buku yang terbuka lebar tetapi tulisan dalam buku itu sangat sulit dimengerti.

Irving mendesah. Entah mengapa ia merasa ia telah melibatkan diri dalam sebuah masalah yang sangat besar dan ia tidak akan dapat melepaskan diri dengan mudah.

“Ada apa?” Fulvia bertanya cemas.

Irving bingung.

“Saya mendengar Anda mendesah,” Fulvia memperhatikan wajah Irving, “Apakah Anda mempunyai masalah?”

“Aku akan mempunyai masalah besar,” tangan Irving terulur mengambil topi di sisi Fulvia yang lain, “Bila kau terserang sinar matahari,” ia meletakkan topi itu di kepala Fulvia.

Fulvia tersenyum. “Udara di sini sangat sejuk dan itu membuat saya melupakan sinar matahari yang terik.”

“Rasanya masalah tidak pernah lepas dariku selama kau berada di sekitarku.”

Fulvia tertawa mendengar keluhan itu. “Anda mencemaskan Davies?” ia tidak dapat menahan rasa gelinya, “Atau Trevor dan Richie?”

“Ketiganya,” jawab Irving singkat dan ia kembali memejamkan mata.

“Jangan khawatir. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu terhadap Anda,” Fulvia membesarkan hati Irving.

Sebaliknya, Irving merasa gadis ini akan memperburuk masalah.

Fulvia melayangkan pandangannya pada langit biru dan pada daratan yang terbentang luas di bawah tebing curam itu.

Fulvia menikmati perjalanan ini. Ia menyukai pemandangan indah ini.

Sementara mereka saling berdiam diri menikmati waktu masing-masing, sang mentari terus menapaki jalur panjangnya di langit biru. Sinarnya yang terik kian memudar seiring merendahnya posisinya.

Fulvia tidak tahu berapa lama mereka berada di sana. Ia hanya tahu ia menikmati waktunya di tempat ini.

“Sudah saatnya kita pulang” Irving tiba-tiba berdiri.

Fulvia terkejut.

“Aku tidak yakin kita dapat mengejar waktu kalau kita tidak bergegas pulang,” ia mengulurkan tangan kepada Fulvia.

Fulvia melihat mentari yang mulai condong di barat dan langit yang kemerahan. Fulvia menerima uluran tangan Irving.

Irving membawanya ke kuda yang sedang sibuk merumput di belakang mereka. Begitu mereka tiba di sisi kuda itu, Irving menggendong Fulvia dan mendudukkannya di belakang pelana kemudian ia duduk di depan Fulvia.

“Berpeganglah yang erat,” kata Irving sesaat sebelum menjalankan kudanya.

Tanpa perlu diperintahpun, Fulvia tahu ia harus mengencangkan pelukannya di punggung pria itu.

Seperti keberangkatan mereka, Fulvia tidak merasa takut sedikitpun oleh cepatnya laju kuda itu menapaki jalanan yang curam dan sempit di punggung bukit itu.

Namun, tidak seperti kepergiannya, mereka tengah berpacu dengan waktu. Fulvia menyadari Irving menjalankan kuda lebih cepat dari keberangkatan mereka.

Dalam waktu singkat mereka tiba di desa di kaki bukit.

Irving bergegas mengembalikan kuda dan memerintahkan kusir kuda untuk mengantar mereka ke Unsdrell.

“Sepertinya kita tidak dapat mengejar waktu.”

“Ya,” Fulvia melihat langit yang telah gelap, “Saya yakin Davies telah berdiri di pintu sambil memasang mukanya yang menakutkan itu.”

“Aku tak meragukannya,” kata Irving tepat ketika kereta berhenti.

Fulvia begitu yakin Davies telah menanti mereka. Karena itu ia merasa sangat heran ketika ia tidak melihat Davies di pintu. Ia juga tidak melihat bayangan kakaknya itu.

Irving juga keheranan. Sesaat lalu ia yakin Davies pasti telah menantinya di depan pintu dengan senjata tajamnya dan sekarang ia tidak dapat menemukan pria itu.

“Sebaiknya saya segera masuk sebelum Davies keluar,” kata Fulvia lalu ia beranjak dari sisi pria itu.

“Fulvia!” Irving menarik tangan Fulvia.

“Ya?” Fulvia membalikkan badannya.

Irving menarik Fulvia ke dalam pelukannya.

Fulvia terkejut. Ia melihat tatapan lembut di mata biru tua itu dan wajahnya memerah.

Irving mendekatkan wajahnya.

Jantung Fulvia berdebar kencang. Jari jemari Fulvia saling bertautan di depan dadanya dan matanya menutup rapat.

“Selamat malam,” Irving mencium dahi gadis itu.

Fulvia terbelalak. Sedetik lalu ia sangat yakin Irving akan mencium bibirnya.

“Kau tidak keberatan aku memberimu ciuman selamat malam, bukan?” kata Irving.

Fulvia masih terpaku di tempatnya ketika pria itu melambaikan tangan padanya dan menaiki kereta kudanya.

Kereta bergerak perlahan meninggalkan Fulvia dan ia semakin menambah kecepatannya ketika ia semakin mendekati Unsdrell.

Fulvia menatap kereta yang semakin menjauh itu dan ia memegang dahinya tepat di tempat Irving menciumnya.

Wajah Fulvia kembali memerah.

“Ia sudah pulang?”

Fulvia terperanjat. “M… Mama?”

Countess Kylie berdiri di pintu sambil tersenyum.

“M…mama kau…,” rona merah di wajah Fulvia semakin jelas.

“Mengapa kau tidak segera kembali ke kamarmu?” Countess masih tersenyum, “Kau sudah lelah bukan?”

Fulvia tersipu-sipu melihat senyum penuh arti ibunya itu.

Countess mendekati putrinya. “Aku akan menyuruh pelayan segera mempersiapkan makan malam untukmu. Aku yakin peringatan Davies telah membuat kalian terburu-buru dan melupakan makan malam kalian.”

Rona merah di wajah Fulvia kian menjadi-jadi.

“Ia pria yang baik.”

“Ya,” Fulvia sependapat, “Ia sangat baik.”

“Kurasa malam ini aku akan mendengar cerita yang menarik,” Countess Kylie meletakkan tangan di punggung Fulvia dan mendorongnya dengan lembut ke dalam Unsdrell.

Senyum di wajah Countess Kylie semakin lebar melihat putrinya yang masih tersipu-sipu itu.

No comments:

Post a Comment