Wednesday, April 4, 2007

Orang Ketiga-Chapter 7

Sudah seminggu lebih Irving menyediakan antar jemput bagi Fulvia.

Sudah seminggu lebih ia muncul di Unsdrell pagi hari dan mengantar Fulvia pulang di sore hari.

Seminggu lebih dan ia belum mendengar apa pun dari gadis itu.

Seminggu lebih dan ia masih belum mempunyai gambaran mengenai rencana gadis itu.

Irving benar-benar tidak mempunyai gambaran tentang tindakan Fulvia dan rencananya itu.

Pagi ini Irving bergegas menghabiskan sarapannya seperti biasa dan segera berangkat ke Unsdrell. Ketika ia tiba di Unsdrell, Fulvia baru saja keluar.

“Anda datang tepat waktu,” sambut Fulvia.

“Aku telah menangkap waktu kau siap,” balas Irving.

Fulvia tersenyum mendengar balasan asal-asalan itu. Tanpa berkata panjang lebar, ia menerima uluran tangan Irving.

Seperti biasa, mereka berdiam diri selama perjalanan menuju kota.

Irving tidak tertarik untuk membuka pembicaraan dengan Fulvia. Demikian pula gadis itu.

Bagi Fulvia, mereka hanyalah teman biasa. Tidak ada suatu hal khusus yang dapat ia bicarakan dengan Irving.

Fulvia tidak ingin menanyakan kabar-kabar burung tentang Irving dan wanita-wanitanya maupun mawar merahnya yang terkenal itu. Fulvia juga tidak ingin bertanya tentang keluarga pria itu. Fulvia tahu pria tidak menyukai topik tentang dirinya dan tiga pemuda dalam hidupnya telah menegaskannya.

Semasa kecil Fulvia suka sekali bertanya banyak hal kepada ketiga kakaknya itu. Ia selalu ingin tahu banyak hal tentang mereka bertiga. Ketiganya juga tidak pernah menutup-nutupi rahasia mereka pada Fulvia. Tetapi dengan beranjaknya usia mereka, Fulvia mulai merasakan ketiganya mulai tertutup padanya. Fulvia pernah menanyakannya pada ibunya dan Countess Kylie berkata, “Setiap orang pasti mempunyai hal yang ia tidak ingin orang lain ketahui dan seorang pria adalah seorang makhluk yang paling peka terhadap hal ini.”

Fulvia dapat memahami hal tersebut. Ia juga mulai menyadari ia juga tidak suka menceritakan semua hal pada keluarganya seperti semasa ia kecil. Rencananya ini adalah salah satu contohnya.

Hari Minggu yang baru lewat ini, kedua kakak sepupunya mulai mengeluhkan kepergiannya selama hari-hari belakangan ini.

“Aku mempunyai urusan di kota,” Fulvia menjelaskan singkat.

“Urusan apa?” Trevor tidak dapat menerima jawab itu, “Jangan katakan padaku kau mengunjungi Audrey. Semua orang sudah tahu Lewis tidak pernah berulah lagi dan Audrey tidak membutuhkanmu lagi.”

Fulvia juga tahu ia tidak bisa menggunakan Audrey sebagai alasannya pada kedua kakak sepupunya ini. Lewis tidak pernah keluar rumah lagi semenjak Irving memukulnya. Sekarang Lewis menghabiskan waktunya untuk mengurung diri di kamar. Hal ini membuat Audrey lebih lega dan bergembira.

Audrey tidak pernah mengatakan apa-apa tentang Irving dan kemarahannya pada hari itu.

Keluarga Garfinkelnn juga tidak pernah menanyakannya. Mereka hanya percaya sesuatu telah terjadi dan itu membuat Lewis menyadari kesalahannya. Sekarang mereka tengah menantikan sesuatu yang lebih baik lagi.

Fulvia juga tidak ingin mengatakan apa pun mengenai peristiwa hari itu. Fulvia tidak dapat membayangkan reaksi kedua kakak sepupunya dan ia terlebih tidak dapat membayangkan kemurkaan Davies mendengar ia pergi ke Greenwalls bersama Irving.

Semenjak Irving muncul untuk menjemputnya di pagi itu, Davies sudah menampakkan rasa tidak sukanya dan ia semakin tidak senang karena Irving terus datang tiap pagi.

“Aku mempunyai urusan penting,” Fulvia menegaskan.

“Apa?” Richie mendesak.

Fulvia kewalahan menghadapi ketidaksabaran kedua kakak sepupunya itu. Fulvia tidak ingin mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti keduanya dan ia juga tidak dapat memberitahu mereka.

“Sudahlah,” Davies muncul tepat pada waktunya, “Hormatilah Fulvia.”

“Bagaimana kau yakin ia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya?” tanya Trevor dan Richie bersamaan.

“Aku…,” Davies ragu-ragu.

Fulvia tahu Davies selalu mencurigai Irving.

“Aku percaya Fulvia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya,” Davies berkata tegas, “Aku dapat menjaminnya.”

Fulvia lega mendengar dukungan Davies itu. Davies bisa saja mengatakan semuanya pada mereka tetapi ia masih memegang janjinya untuk merahasiakan hal ini dari mereka.

Jaminan Davies itu benar-benar bermanfaat. Kedua kakak sepupunya tidak mendesaknya lagi. Sebaliknya, mereka menegaskan berulang kali untuk meluangkan waktu bagi mereka di hari Minggu.

Fulvia telah berjanji pada mereka dan ia dapat memastikan ia tidak mempunyai acara di hari Minggu.

Fulvia tidak mengerti mengapa Davies tidak pernah mempermasalahkan lagi kepergiannya bersama Irving seperti di hari-hari awal lalu. Tetapi hal ini membuat Fulvia gembira.

Kereta berhenti di tempat biasa. Dan seperti biasa pula, Irving turun terlebih dahulu untuk kemudian membantunya.

“Selamat bersenang-senang,” Fulvia tersenyum penuh arti sebelum meninggalkan Irving.

Fulvia yakin Irving akan segera menuju tempat kencannya hari ini dan ia tidak ingin menyita waktu pria itu.

Bila teringat perhatian Irving padanya dan sikapnya yang menghormati wanita itu, Fulvia merasa iri pada teman-teman kencan pria itu. Fulvia juga sempat berandai-andai pria itu adalah pria yang setia.

“Sayangnya,” Fulvia berkata pada dirinya sendiri, “Ia suka melompat dari satu wanita ke wanita yang lain.”

Irving kebingungan melihat senyum penuh arti itu tetapi ia tidak mau terlalu pusing memikirkannya.

“Kembali ke Nerryland,” Irving memberitahukan tujuan mereka selanjutnya kepada kusir kuda sebelum memasuki kereta.

Irving tidak mempunyai janji hari ini dan ia tidak sedang berselera untuk mencari teman kencan baru.

Duke of Engelschalf keluar dari Ruang Baca. Rambutnya yang putih menunjukkan usianya yang sudah tidak muda lagi tetapi wajahnya masih meninggalkan bekas-bekas ketampanannya di masa muda. Tangannya menenteng koran hari ini.

“Dari mana kau?” tanya Duke. “Sudah beberapa hari ini aku memperhatikan kau selalu pergi di pagi hari.”

Irving mengacuhkan pertanyaan itu.

“Kau tidak pergi lagi?” Duke bertanya heran.

“Kau sudah selesai?” Irving mengulurkan tangan.

“Ya, aku sudah selesai membacanya,” Duke menyerahkan koran itu kepada Irving.

Irving membuka pintu Ruang Baca.

“Aku senang kau sudah mulai berubah akhir-akhir ini. Kau memang sudah seharusnya bersikap lebih serius,” Duke of Engelschalf tersenyum.

Irving tidak ingin meneruskan pembicaraan yang membosankan ini. Ia tidak ingin mendengar ayahnya kembali memberikan ceramahnya tentang apa yang harus dilakukannya. Duke yang membiarkan dirinya dibodohi cinta itu tidak mempunyai hak untuk mengatur hidupnya dan petualangan cintanya.

“Aku tahu,” kata Irving dingin lalu ia masuk ke dalam Ruang Baca tanpa mempedulikan ayahnya lagi.

Irving duduk di sofa panjang di Ruang Baca itu dan mulai membaca halaman pertama koran hari ini.

Belum lama ia membaca ketika seseorang mengetuk pintu.

“Masuk,” sahut Irving.

Seorang pelayan muncul. “Maaf menganggu Anda, Tuan Muda,” kata pelayan itu sopan, “Lady Clementine datang menemui Anda, Tuan Muda.”

Irving mengerutkan dahi.

“Apa kabarmu, Irving?” Clementine muncul di belakang pelayan itu.

Irving melanjutkan kegiatannya membaca koran. Ia sudah tahu gadis itu akan muncul sebelum ia menyatakan kesediaannya.

“Jangan begitu kepadaku,” rengek Clementine manja, “Aku datang untuk melihat keadaanmu. Kudengar engkau sudah lama tidak meninggalkan Nerryland.”

“Kau sudah melihatnya,” jawab Irving dingin.

Irving tidak terlalu menyukai sepupunya ini. Ia sangat mirip dengan ibunya dan itu membuatnya semakin tidak menyukainya.

“Jangan bersikap sedingin itu padaku,” Clementine berdiri di belakang Irving dan mengulurkan tangan merangkul pria yang masih duduk dengan santai membaca koran itu. “Apakah kau telah melupakan masa-masa indah di antara kita berdua?”

“Tidak ada masa-masa indah di antara kita,” kata Irving tegas namun dingin.

Mereka memang pernah melewatkan waktu bersama. Mereka tumbuh dewasa bersama sebagai saudara. Hanya sepupu. Tidak lebih dari itu!

“Ayolah, Irving,” Clementine duduk di sisi Irving. Tangannya terlingkar di leher Irving dan ia menempelkan tubuhnya di tubuh pria itu. “Apa kau kira mawar merahmu itu dapat mencampakkanku?”

Irving melepaskan diri.

“Kau tahu, mawar merah adalah tanda kasih sayang bukan tanda perpisahan.”

“Apa maumu?” tanyanya tajam.

Clementine tersenyum gembira. Inilah yang diharapkannya dari Irving. “Aku ingin kau menemaniku hari ini.”

“Aku tidak punya waktu.”

“Ya, tetapi kau punya waktu untuk mengurung dirimu di sini.”

Irving tidak menyukai gadis ini dan ia menunjukkannya dengan jelas.

“Kau bisa mengajak ibumu,” katanya sinis.

“Mama pergi bersama teman-temannya. Ia tidak akan pulang sebelum malam. Hanya engkau yang tersisa.”

Irving menatap tajam sepupunya itu.

Irving yakin Clementine tidak jauh lebih tua dari Fulvia tetapi mereka sangat jauh berbeda.

Clementine adalah gadis manja yang penuh percaya diri. Mata hijau tuanya bersinar penuh percaya diri. Rambut merah membaranya ditata rapi dan berhiaskan batu-batuan indah. Ia tahu bagaimana menonjolkan tubuh moleknya dengan gaun-gaun indahnya.

Fulvia, si gadis yang keemasan, tampak sangat kekanak-kanakan. Rambut keemasannya selalu ditata sekedarnya. Irving hampir tidak pernah melihat hiasan mewah di rambut emasnya itu kecuali di pesta itu, di hari pertama ia bertemu dengannya. Dengan mata biru keunguannya yang selalu bersinar lembut, Fulvia tampak sangat menarik. Tutur kata gadis itu juga lembut tetapi sering kali mulut mungil itu mengucapkan kata-kata yang tidak terduga.

Satu-satunya persamaan di antara keduanya adalah mereka tahu bagiamana memanfaatkan kecantikan mereka.

Bagi Irving, menebak Clementine jauh lebih mudah daripada menebak Fulvia. Dan sekarang ia tahu Clementine pasti akan mengusiknya hari ini dan hari-hari mendatang sampai ia menuruti keinginan gadis itu.

“Aku hanya punya waktu kosong sampai sore hari,” kata Irving.

“Aku janji aku tidak akan menahanmu lebih dari itu,” Clementine merangkul tangan Irving dengan mesra. “Aku hanya ingin kau menemaniku berbelanja di kota.”

Hari ini akan menjadi hari yang menjemukan bagi Irving.


-----0-----



Seorang pria muncul di jendela di samping pintu masuk. “Kau mempunyai gadis cantik di sini,” pria itu berkata sambil menatap Fulvia yang sibuk mengajari Tim sambil menggendong si kecil Sammy di meja kecil dalam ruangan depan itu.

“Jangan mengusiknya, Janus!” Brent memperingati dengan tajam.

“Siapakah dia, Brent?” Janus bertanya ingin tahu, “Aku melihatnya terus berada di sini beberapa minggu terakhir ini.”

“Bukan urusanmu!” bentak Brent, “Jangan kaudekati dia!”

“Kalau kau berani menyentuhnya sejari saja,” Jehona muncul dari dalam dengan wajah garangnya, “Aku tidak akan segan menghajarmu!”

“Jangan bersikap sekasar itu, Jehona. Kau hanya akan memberi contoh yang buruk bagi putramu,” Janus tertawa, “Lagipula aku hanya bercanda.”

Fulvia menyadari mereka tengah membicarakan dirinya dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.

“Tim,” katanya pada anak itu, “Mari kita melanjutkan di dalam.”

Tim menutup buku yang sedang dibacanya bersama Fulvia dan mengikuti gadis itu ke dalam.

Jehona memperhatikan Tim yang berjalan beriringan dengan Fulvia ke dalam.

“Kulihat semenjak kedatangannya, bisnismu menjadi lebih baik,” gumam Sammy sambil memperhatikan Fulvia menghilang di balik pintu.

“Ya, harus kuakui itu,” Brent sependapat.

Janus menyandarkan punggung di bingkai jendela. “Kurasa pembeli-pembelimu hanya tertarik pada kecantikannya. Aku sungguh tidak menyangka engkau mampu menyewa guru secantik itu untuk putramu. Aku berharap aku bisa terus melihatnya.”

“Ia tidak akan berada di sini untuk selama-lamanya,” Brent menegaskan, “Ia bukan bagian tempat ini!”

“Sampai kapankah ia akan berada di sini?” tanya Janus tertarik.

“Apa urusanmu!?” Jehona balik bertanya dengan marah.

“Aku ingin mempersiapkan perpisahanku dengannya,” jawab Janus santai.

“Sebaiknya engkau mempersiapkan kepergianmu sekarang juga,” kata Jehona tajam.

Janus tertawa. “Jangan bersikap sekarang itu padaku, Jehona,” katanya, “Brent tidak keberatan aku mampir ke sini.”

Jehona benar-benar tidak menyukai pemuda ini. Bila bukan karena Janus adalah putra tetangga mereka, tempat dulu mereka menitipkan kuda Fulvia, Jehona pasti sudah menghajarnya. Baginya pemuda pengangguran ini sangat berbahaya bagi Fulvia.

Semenjak ia bertemu Fulvia ketika ia hendak membeli roti, Janus selalu datang tiap hari. Ia selalu berkata ia ingin membeli roti tetapi Jehona tahu itu hanya alasannya saja. Jehona tahu tujuan utama pemuda itu.

Harus diakui Jehona semenjak kedatangan Fulvia di sini, toko mereka mengalami kemajuan yang tidak sedikit. Tiap hari pembeli mereka terutama pembeli pria makin bertambah. Jehona tahu semua itu karena kecantikan Fulvia yang menyebar dengan cepat di antara pembeli dan tetangga mereka.

Bertambahnya pembeli membuat mereka harus menyediakan lebih banyak roti dan itu benar-benar menyita waktu Jehona terutama Brent, sang pemilik toko roti ini.

Sekarang Jehona sudah benar-benar menyerahkan kedua putranya pada Fulvia. Walau Jehona tahu Fulvia adalah anak gadis orang kaya, ia percaya padanya. Gadis itu telah sangat membantunya. Gadis itu juga telah memberikan sesuatu yang tidak bisa mereka berikan pada putranya yaitu pendidikan.

Sebagai seorang penjual roti yang pendapatannya pas-pasan, mereka tidak pernah berpikir untuk memberikan pendidikan pada putranya. Bagi mereka, yang terpenting adalah Tim dapat membantu mereka dan mau meneruskan usaha turun temurun keluarga Brent ini.

Jehona benar-benar berterima kasih pada gadis itu. Dan yang bisa ia lakukan untuk menyatakan terima kasihnya adalah mewujudkan cita-cita mulia gadis itu untuk membahagian kedua orang tuanya.

“Aku akan melihat mereka,” kata Jehona dan meninggalkan kedua pria itu.

“Katakan, Brent, sampai kapan gadis itu akan berada di sini,” Jehona mendengar Janus mendesak suaminya sebelum ia menutup pintu yang membatasi ruang depan tempat Brent bekerja dan ruang kecil yang menjadi ruang makan mereka.

“Ia belum pergi, Nyonya Jehona?” tebak Fulvia melihat raut wajah Jehona.

“Ya,” Jehona duduk di depan Fulvia, “Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkannya mengusikmu.”

Fulvia tersenyum. “Terima kasih.”

“Aku juga tidak menyukainya,” Tim berkata, “Aku akan menjagamu darinya, Fulvia.”

Fulvia menatap anak lelaki itu. “Aku percaya,” katanya sambil tersenyum.

“Tak lama lagi sudah genap sebulan,” Jehona mendesah.

“Ya,” gumam Fulvia, “Waktu benar-benar berlalu dengan cepat.”

“Apa kau berencana memberitahu keluargamu tentang kepergianmu selama sebulan ini?” Jehona tiba-tiba bertanya dengan tertarik.

Fulvia merasa serba salah melihat sepasang mata yang menatap langsung kepadanya dengan penuh rasa ingin tahu itu.

“Saya rasa… saya pikir mereka tidak akan senang mendengarnya.”

“Aku rasa juga demikian,” kata Jehona.

Fulvia tersenyum. Fulvia yakin Davies pasti akan memarahinya sepanjang hari bila ia mengetahui semua ini dan ibunya pasti akan pingsan.

“Apa kau telah memberitahu temanmu itu?”

Fulvia terperanjat.

Kepada Brent dan Jehona yang keheranan melihatnya datang tanpa mengendarai kudanya sendiri, Fulvia menjelaskan bahwa seorang temannya bersedia menyediakan antar jemput baginya. Jehona lalu bertanya mengapa ia tidak membiarkan temannya itu mengantarnya sampai di depan rumah mereka dan menjemputnya di sini pula. Fulvia lalu mengatakan sejujurnya pada mereka bahwa temannya itu tidak tahu apa yang dilakukannya di kota setiap hari. Mereka tidak pernah bertanya lagi setelahnya.

“Belum,” Fulvia berkata dengan penuh rasa bersalah.

Beberapa hari ini Fulvia terus memikirkan masalah ini.

Irving telah bersikap begitu baik padanya. Irving telah bersedia menjemputnya di Unsdrell setiap pagi dan mengantarnya pulang setiap sore. Irving juga tidak pernah keberatan bila mereka pergi ke Greenwalls dulu sebelum pulang. Bahkan semenjak kejadian itu Irving selalu mengantar Fulvia melihat keadaan Audrey sebelum mengantarnya pulang. Irving benar-benar seorang teman yang baik.

Segala kebaikan Irving itu membuat Fulvia merasa bersalah. Fulvia semakin merasa bersalah bila ia teringat kebaikan dan perhatian Irving padanya.

Fulvia ingin mengatakan semua ini pada pria itu tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memulainya. Fulvia juga tidak tahu apa reaksi pria itu setelah mengetahui semua ini. Fulvia benar-benar tidak tahu.

“Aku ingin kau tahu aku tidak ingin mencampuri urusanmu,” kata Jehona bijaksana, “Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa tidak baik kau terus menutupi semua ini darinya.”

Fulvia menatap wanita itu lekat-lekat.

“Aku hanya khawatir temanmu itu merasa kau telah menyalahgunakan kepercayannya padamu. Mungkin setelah ia mengetahui tujuan muliamu ini ia akan membantumu,” Jehona tersenyum, “Kau mempercayainya bukan?”

Fulvia terperangah. Ya, Fulvia mempercayai Irving. Fulvia percaya pria itu. Karena itulah ia tidak pernah takut berduaan bersama pria itu walau ia tidak mengenal pria itu dengan baik.

Fulvia mengangguk. Senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya yang berseri itu.

Fulvia telah memutuskan.


-----0-----



Irving melihat waktunya untuk menjemput Fulvia hampir tiba.

“Kita pulang sekarang,” Irving berdiri.

“Tetapi aku belum menghabiskan minumku,” rengek Clementine.

“Kita tidak punya waktu untuk itu,” Irving menarik tangan gadis itu.

Hari ini Clementine benar-benar membuat Irving kesal. Clementine telah menyita waktunya. Gadis ini telah membuat Irving merasa ia tidak lebih dari seorang kurir pembawa barangnya. Dan gadis ini juga membuat Irving menemaninya menghabiskan waktu minum teh di kota.

“Kau mau ke mana?” Clementine bertanya heran.

“Aku mempunyai urusan,” jawab Irving singkat.

“Urusan apa?” Clementine ingin tahu.

“Bukan urusanmu,” sahut Irving dingin.

Clementine tersenyum. “Jadi itu benar?”

Irving tidak menanggapi.

“Kudengar akhir-akhir ini kau suka menghilang ke suatu tempat dan tampaknya kau juga sudah mengurangi jadwal kencan-kencanmu itu.”

“Jangan percaya pada gosip,” Irving berkata sinis. Irving tidak pernah menikmati gosip-gosip yang beredar tentang dirinya itu.

“Kau benar-benar berubah,” Clementine tersenyum simpul, “Kau seperti bukan Irving yang dulu lagi.”

Irving mengacuhkan komentar itu dan terus menarik gadis itu ke kereta yang terus menanti mereka di depan kedai itu.

Clementine terdiam. Ia tahu kali ini Irving benar-benar marah.

Irving membuka pintu kereta dan mengulurkan tangannya.

Tanpa membantah, Clementine menerima uluran tangan itu.

Irving puas akhirnya Clementine mau berdiam diri menuruti keinginannya.

Irving baru saja menapakkan kaki kanannya ke dalam kereta ketika ia melihat sesosok gadis di seberang yang menarik perhatiannya.

Gadis itu begitu mirip Fulvia tetapi Irving yakin ia bukanlah Fulvia. Gadis itu mengenakan gaun seorang pelayan, bukan gaun indah yang dikenakan Fulvia pagi ini. Gadis itu membungkuk pada seorang anak kecil kemudian ia menuntun anak kecil itu memasuki sebuah toko roti tak jauh dari sana.

“Ada apa, Irving?” Clementine bertanya ingin tahu.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Irving singkat.

Irving tidak mempunyai waktu untuk menjawab ketertarikannya pada sosok gadis yang mirip Fulvia itu.

Sekarang ia tidak mempunyai banyak waktu. Ia harus segera mengantar pulang Clementine sebelum kembali lagi ke kota untuk menjemput Fulvia.

Keterburu-buran Irving tidaklah sia-sia. Ia tiba lebih awal di tempat perjanjiannya dengan Fulvia dari waktu yang mereka janjikan. Irving tidak ingin pergi ke sebuah tempat pun dan ia memutuskan untuk menanti Fulvia di sana.

Irving berdiri di sana sambil memperhatikan orang-orang yang terus berlalu-lalang.

Tiba-tiba Irving teringat komentar Clementine hari ini.

Irving tahu Clementine benar. Ia pun dapat merasakan perubahan dalam dirinya. Irving merasa ia sudah tidak lagi terlalu tertarik untuk menghabiskan waktu bersama sejumlah wanita yang siap menantinya. Minatnya untuk berkencan dengan penggemarnya tampaknya sudah tidak ada. Ia yang biasanya menghabiskan waktu dari satu wanita ke wanita yang lain, sekarang lebih suka mengurung diri di Ruang Baca.

Bunga-bunga mawar di Nerryland pun tumbuh dengan subur dan menghiasi setiap sudut halaman Nerryland. Sudah lama bunga-bunga mawar merah itu tidak dipetik. Sudah lama bunga-bunga mawar merah itu tidak tersentuh.

Ia yang semula merasa dipaksa Fulvia, kini selalu menantikan saat menjemput gadis itu. Baik menjemputnya di Unsdrell maupun menjemputnya di pusat kota.

Irving tahu ia sudah berubah dan ia tahu penyebabnya adalah apa.

Sudah seminggu ini ia mengikuti keinginan Fulvia dan ia masih belum mendapatkan ide tentang rencana gadis itu. Ia tidak tahu bagaimana Fulvia akan menjeratnya dengan tiap hari memintanya mengantar jemput ke kota. Irving tidak mempunyai gambaran apa pun.

Irving mulai ingin tahu apa yang dilakukan Fulvia di pusat kota seorang diri setiap hari.

Selama ini Irving tidak pernah bertanya pada Fulvia. Irving juga tidak pernah peduli. Tetapi beberapa hari belakangan ini ia mulai mencurigai gadis itu. Ia mulai curiga ia telah terlibat dalam sebuah rencana yang tidak diketahuinya, rencana yang tidak ditujukan pada dirinya tetapi pada orang lain.

Semakin ia teringat pada sosok gadis yang dilihatnya beberapa saat lalu, semakin ia mencurigai Fulvia.

Irving memutuskan untuk memeriksanya sendiri dan ia melangkah ke toko roti tempat ia melihat gadis itu masuk bersama seorang anak kecil.

Seorang gadis muda duduk di hadapan seorang anak kecil yang sibuk membaca. Gadis itu mendengarkan anak itu dengan tekun.

Irving tertegun melihat gadis itu.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Fulvia terperanjat. “M’lord!?”

Mata Irving menatap Fulvia tajam-tajam dan penuh kecurigaan.

Jehona melihat mereka berdua dengan bingung. “Fulvia, kau mengenalinya?”

“Ya, Nyonya Jehona,” jawab Fulvia lalu ia bertanya pada Irving, “Mengapa Anda berada di sini?”

“Aku datang untuk menjemputmu.”

Jehona tiba-tiba sadar siapa pria itu. “Fulvia, segera bergantilah,” katanya pada Fulvia, “Jangan membiarkan temanmu menantimu.”

“Baik,” Fulvia bergegas masuk ke dalam dan sesaat kemudian ia muncul dengan gaun yang dikenakannya pagi ini.

“Hari ini cukup sampai di sini,” kata Brent.

“Apakah besok kau akan datang lagi?” Tim menarik gaun Fulvia.

“Ya,” Fulvia berlutut di hadapan Tim.

“Jangan lupa janjimu.”

“Tentu. Selama kau juga tidak melalaikan tugasmu.”

“Aku pasti akan melakukannya!” kata Tim penuh keyakinan.

Fulvia tersenyum.

“Kami tidak akan menahanmu lagi,” kata Jehona – memotong pembicaraan antara Fulvia dan Tim.

“Saya mengerti,” Fulvia berdiri, “Besok saya akan datang lagi.”

Fulvia mengikuti Irving yang telah menantinya di depan.

“Sampai jumpa, Tuan Brent, Nyonya Jehona, dan Tim,” Fulvia berpamitan sebelum berjalan di sisi Irving.

“M’lord,” Fulvia berkata perlahan, “Dapatkah saya meminta Anda untuk merahasiakan hal ini dari keluarga saya?”

Irving tidak mengerti tindakan gadis ini. Ia benar-benar tidak mempunyai gambaran tentang rencana gadis ini.

“Saya tidak ingin menutupi hal ini dari Anda,” Fulvia kembali merasa bersalah, “Tetapi saya tidak dapat menjamin Anda akan tetap membantu saya setelah Anda mengetahuinya.” Fulvia menambahkan, “Saya tidak sedang berkata saya ingin terus menyembunyikannya dari Anda. Siang ini saya tengah berpikir bagaimana memulai semua ini dan karena Anda telah melihatnya sendiri, hal ini akan semakin mudah bagi saya.”

“Apa yang kaulakukan?” Irving mengulang pertanyaannya dengan tajam.

“Seperti yang Anda lihat, saya sedang memberikan pelajaran pada putra mereka,” Fulvia menjelaskan, “Mereka adalah keluarga yang baik. Mereka telah memberikan bantuan yang sangat besar kepada saya. Karena itulah saya memutuskan untuk memberikan pelajaran pada putra mereka.”

“Bantuan apa?” selidik Irving.

“Mereka membantu saya mengumpulkan uang.”

“Uang?” Irving curiga, “Aku tidak percaya kau membutuhkan uang. Aku yakin orang tuamu tidak keberatan memberimu uang sebanyak yang kauinginkan.”

“Ini adalah sesuatu yang istimewa,” Fulvia menjelaskan dengan penuh semangat, “Saya ingin membeli sebuah hadiah untuk orang tua saya. Saya ingin sebuah hadiah istimewa yang saya peroleh dengan jerih payah saya sendiri. Saya mengerti tindakan saya ini sungguh tidak masuk akal. Audrey juga sempat mengatakan saya sudah gila. Tetapi saya benar-benar memberi mereka sebuah hadiah yang sangat spesial. Davies pasti tidak akan marah besar mendengarnya dan orang tua saya mungkin akan pingsan. Karena itulah saya harus menyembunyikan hal ini dari keluarga saya.”

Irving terperangah. “Jadi semua ini karena itu,” gumamnya.

Fulvia menatap pria itu lekat-lekat.

Irving tidak suka sinar mata yang penuh rasa ingin tahu itu.

“Anda khawatir saya seperti mereka?” Fulvia membuat Irving terperanjat, “Saya tidak tertarik pada Anda.”

Irving terdiam.

“Saya tidak menyukai pria seperti Anda,” lanjut Fulvia singkat, “Bagi saya, Anda hanyalah seorang teman dan itulah bagaimana saya mengharapkan Anda memperlakukan saya.”

Irving tidak dapat berkata apa-apa. Selalu dan selalu ia dikejutkan oleh gadis ini. Selalu dan selalu mulutnya dibungkam oleh kata-kata tak terduga gadis ini.

Fulvia tersenyum manis. “Saya sangat senang Anda mau membantu saya dan saya sangat berterima kasih karenanya.”

Irving tertegun. Ia mulai meragukan pengertiannya tentang wanita. Selama ini Irving selalu benar tentang wanita dan ia selalu dapat memperlakukan wanita-wanita itu seperti yang mereka harapkan. Semua kecuali gadis satu ini.

Mereka tiba di sisi kereta kuda keluarga Engelschalf.

“Apakah Anda bersedia menemani saya hari ini?” Fulvia tersenyum manis.

Irving benar-benar tidak dapat menebak pikiran gadis ini.

“Saya ingin pergi ke sebuah tempat,” Fulvia berteka-teki, “Sebuah tempat indah yang telah lama terbengkalai, Greenwalls.”

“Dengan senang hati,” kata Irving kemudian memberitahukan tujuan baru mereka pada kusir kuda.

Sesaat kemudian mereka telah tiba di rumah Audrey.

Mata Irving menatap tajam seekor kuda yang ditambatkan tak jauh dari pintu masuk.

Fulvia juga melihat kuda itu dan ia tidak mempunyai ide siapa tamu Audrey yang lain.

Pelayan membukakan pintu bagi Fulvia.

“Anda juga datang, Tuan Puteri?” sambut pelayan itu, “Tuan Muda Davies juga datang. Sekarang ia bersama Nyonya di Ruang Makan.”

Fulvia terkejut. “Davies datang?”

Irving tidak senang. Dengan malas ia mengikuti langkah-langkah riang Fulvia.

“Davies!” Fulvia berseru riang memanggil kakaknya.

“Fulvia, kau juga datang,” sambut Audrey.

Mata Davies langsung menatap tajam Irving. Ia tahu pria itu pasti ada bersama adiknya.

Irving membalas tatapan tajam itu dengan tatapan dinginnya.

“Mengapa kau bisa berada di sini?” Fulvia memecahkan suasana sengit di antara kedua pria itu.

“Apa kau saja yang boleh datang ke sini?” Davies bertanya kesal.

Fulvia terperanjat. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa heran.”

Audrey tersenyum. “Ia baru saja pulang dari rumah Lady Margot.”

Mata Fulvia membelalak lebar-lebar. “Benarkah itu, Davies?” tanyanya antusias.

Davies membuang mukanya.

Fulvia menangkap rona merah di wajah Davies.

“Oh, Davies,” kata Fulvia gembira, “Akhirnya kau mengalami kemajuan.”

Audrey tersenyum geli melihat ulah sepasang kakak adik itu.

“Mengapa kalian tidak bergabung bersama kami?” undang Audrey. “Kalian tidak mempunyai acara lagi, bukan?”

“Tidak,” jawab Irving singkat dan ia mengambil posisi di depan Audrey.

Fulvia duduk di sisi pria itu.

“Katakan,” Audrey menatap mereka lekat-lekat, “Apa saja yang kalian lakukan hari ini?”

Fulvia terperanjat. “Tidak ada,” ia cepat-cepat menjawab, “Tidak ada yang kami lakukan.”

Pelayan muncul membawa peralatan makan untuk mereka.

Tiba-tiba Fulvia menyadari sebuah keganjilan. “Di mana Lewis?” tanyanya heran. “Apakah ia tidak makan bersama kita?”

“Pelayan akan mengantar makan malam untuknya.”

Seorang pelayan lagi mengantar hidangan malam itu.

“Audrey, apakah kau mempunyai anggur merah?” tanya Davies.

“Anggur? Untuk apa?” Audrey keheranan.

“Apakah kau tidak merasa kalkun bakar kurang lengkap tanpa anggur merah?”

Audrey melihat ayam kalkun di antara mereka yang baru saja diletakkan pelayan. “Aku tidak mempunyainya,” katanya kecewa.

“Aku akan pergi membelinya,” sahut Fulvia dan berdiri.

Irving berdiri. “Aku akan mengantarmu.”

Davies langsung berdiri sambil memelototi Irving.

“Terima kasih, Fulvia,” Audrey cepat-cepat berkata, “Kau sangat membantu.”

“Kami akan segera kembali.”

Mereka berdua menghilang di balik pintu.

Davies geram. Andai saja bukan karena Audrey, ia pasti sudah mencegah mereka.

“Davies,” Audrey menarik kemeja pria itu untuk mendapatkan perhatiannya. “Mengapa kedua musuh bebuyutan itu membiarkan mereka berduaan?”

Davies menoleh.

“Akhir-akhir ini aku sering melihat mereka berdua berjalan bersama-sama,” lanjut Audrey, “Dan itu membuatku heran.”

“Ini semua karena dua pria itu,” Davies kesal, “Mereka mencari Irving untuk mendapatkan jawaban.”

Davies duduk dengan kesal.

“Jadi mereka berdua membiarkan Irving pergi bersama Fulvia untuk mendapatkan jawaban,” gumam Audrey lalu ia berkata serius, “Aku tidak tahu bagaimana pandangan Fulvia tetapi kulihat, Davies, Irving mulai tertarik pada Fulvia.”

“Ya,” Davies mendengus kesal, “Ia tertarik untuk menjadikan Fulvia satu di antara koleksi perempuan-perempuannya.”

“Bukan itu yang kumaksud,” Audrey tidak sependapat, “Tidakkah kau dengar gosip-gosip itu? Semua orang sibuk membicarakan mengapa Irving akhir-akhir ini lebih jinak. Ia sudah hampir tidak pernah lagi terlihat bersama wanita mana pun. Juga tidak pernah terdengar kabar ia berganti pasangan.”

Davies menatap tajam kakak sepupunya itu. “Ternyata kau masih punya waktu mengurusi gosip-gosip itu,” katanya curiga, “Kurasa kami tidak perlu mengkhawatirkan kau lagi.”

Audrey tertawa. “Aku juga tidak akan tertarik kalau bukan karena aku melihat Fulvia datang bersama Irving.”

“Mereka pernah datang ke sini?” Davies curiga.

“Beberapa kali.”

“Apa yang mereka lakukan di sini!?” Davies melonjak bangkit. Emosinya kembali meluap-luap, “Apa yang dilakukan pria itu pada Fulvia!?”

Audrey tersenyum penuh arti. “Kau sangat peduli pada Fulvia.”

“Tentu saja! Dua pria tolol itu telah membiarkan Fulvia jatuh dalam perangkap Irving dan akulah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya.”

“Aku lebih melihatnya kau cemburu karena Fulvia lebih memilih Irving sekarang.”

“Aku!?”

“Ya,” kata Audrey tenang – tidak terusik oleh emosi Davies yang kian memuncak itu, “Apa yang dapat kukatakan tentang seorang kakak yang terus meluap-luap karena adiknya pergi bersama pria lain?”

“Dia itu berbahaya, Audrey! Dia pasti hanya ingin mempermainkan Fulvia!”

“Aku rasa tidak,” Audrey membuat Davies heran dengan kata-katanya yang penuh keyakinan itu, “Irving tidaklah seburuk yang kaukatakan itu. Ia juga mempunyai sisi baik.”

“Apa sisi baiknya?”

“Ia telah membantuku menyadarkan Lewis. Luka memar di wajahnya itu adalah pemberian Irving.”

Davies tercengang.

“Beberapa hari lalu Fulvia datang tepat ketika Lewis sedang marah-marah. Untunglah waktu itu Irving ada di sini. Ia menghentikan Lewis sebelum ia menyakiti Fulvia.”

“Untung?” Davies mengejek.

“Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada Lewis sekarang bila saat itu ia berhasil menyakiti Fulvia. Aku tidak mengkhawatirkan Trevor maupun Richie. Yang lebih kutakuti adalah,” Audrey menatap Davies lekat-lekat. “Reaksimu. Kau memang tidak pernah mengerti wanita, tetapi aku percaya kau akan melakukan apa saja untuk adikmu itu.”

Davies terdiam.

“Irving meninjunya dan memarahinya. Sejak itulah Lewis menjadi lebih tenang. Ia terus mengurung diri di kamar sejak kemarin tetapi aku percaya ia sedang berpikir keras,” Audrey tersenyum.

Senyuman itu membuat Davies terperangah. Sudah lama ia tidak melihat Audrey tersenyum bahagia seperti ini.

“Aku percaya Lewis akan kembali ke masa-masa sebelum semua ini terjadi.”

Davies duduk kembali dan termenung.

No comments:

Post a Comment