Tuesday, April 3, 2007

Orang Ketiga-Chapter 6

Kereta kuda bergerak perlahan memasuki pekarangan Greenwalls.

Greenwalls, rumah yang terkenal oleh pekarangan hijaunya yang membatasi bangunan utama dengan rumah-rumah yang lain itu sudah berubah.

Di sisi kanan kiri tampak tanaman-tanaman yang kering tak terawat. Bunga-bunga liar menampakkan diri di antara rerumputan yang telah meninggi. Bentuk-bentuk indah semak-semak di antara kedua sisi jalan utama sudah tertutup oleh liarnya pertumbuhan semak-semak itu. Di sana sini terlihat retakan tanah yang mongering.

Suasana hijau yang dulu pernah menghiasi pekarangan Greenwalls sudah tidak ada lagi.

Patung-patung yang meramaikan pekarangan Greenwalls juga tampak kotor tak terawat. Tanaman telah tumbuh hingga melilit mereka. Di kejauhan tampak lumut hijau telah turut memberi warna baru pada patung-patung itu.

Air mancur yang dulu terus mengalir di salah satu sisi tempat itu juga tampak kering dan kusam. Warnanya yang cerah kini tampak hijau oleh lumut.

Keadaan tidak jauh berbeda dengan gedung utama Greenwalls. Gedung megah yang dulu bersinar indah dengan warnanya yang putih cerah itu tampak begitu kusam. Di sana-sini masih terlihat jelas bekas kebakaran hebat yang dulu melahap tempat ini.

Jendela-jendela yang terbakar masih meninggalkan bekas kebakaran hebat itu. Dari jendela yang terbengkalai itu terlihat dinding gelap bagian dalam Greenwalls, dinding yang terbakar setahun lalu.

Tempat ini telah terbengkalai semenjak setahun yang lalu. Hanya pintu masuk yang telah dibenahi dan jendela di sekitar pintu itu yang menunjukkan tempat ini masih dihuni.

“Sudah lewat setahun lebih dan tempat ini masih belum juga dibenahi,” komentar Irving.

“Bagaimana Anda tahu?” pertanyaan itu terlempar begitu saja dari mulut Fulvia dan sesaat kemudian Fulvia menyadari kebodohannya.

Kebakaran hebat yang melanda Greenwalls setahun lalu ramai dibicarakan orang. Hampir setiap hari ia mendengar orang-orang membicarakan kebakaran yang melanda rumah pedagang kaya itu. Sangat tidak mungkin Irving tidak mengetahuinya.

“Mereka mengalami kerugian besar akibat kebakaran itu,” Fulvia menjelaskan, “Dan Lewis tidak mau menerima bantuan siapa pun.”

Irving tidak menanggapi.

Kereta berhenti di depan pintu Greenwalls.

Irving turun dan kemudian mengulurkan tangannya.

Fulvia menerima uluran tangan itu dan membiarkan pria itu membantunya turun dari kereta.

Pintu terbuka dan seorang pelayan muncul dengan cemas. “Anda sudah pulang, Tuan?”

Fulvia kebingungan.

Pelayan itu terkejut melihat Fulvialah yang muncul bukan majikannya.

“Syukurlah Anda datang, Tuan Puteri,” pelayan itu berkata penuh kelegaan, “Nyonya terus mengurung dirinya di kamar sejak pagi ini. Ia juga menolak untuk makan.”

Fulvia terperanjat. “Apa yang terjadi?”

“Mereka bertengkar lagi pagi ini kemudian Tuan Lewis pergi hingga sekarang. Saya kurang jelas tentang ini, tetapi sepertinya pertengkaran ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya.”

“Aku akan melihat keadaan Audrey,” Fulvia langsung berlari menuju kamar Audrey.

Pintu kamar Audrey terkunci rapat-rapat. Tidak sebuah suara pun terdengar dari dalam.

“Audrey! Audrey!” Fulvia menggedor pintu, “Buka pintu, Audrey.”

Tidak ada jawaban dari dalam.

“Audrey!” Fulvia berseru panik, “Apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja?”

Tetap tidak terdengar apa pun dari dalam.

“Audrey!”

“Minggir,” sebuah tangan memegang pundak Fulvia dan sesaat kemudian pintu kamar Audrey didobrak dengan paksa.

Fulvia terperanjat Ia benar-benar melupakan keberadaan Irving.

Audrey yang berbaring telungkup di ranjang terkejut.

“Audrey!” Fulvia langsung berlari ke sisi wanita itu. “Kau tidak apa-apa?”

Audrey menatap Fulvia lekat-lekat. “Apa yang kaulakukan di sini?” Pandangan Audrey terarah pada pria yang berdiri di belakang Fulvia.

Audrey menatap lekat-lekat pria bertubuh tegap itu. Rambut keemasannya tampak begitu menawan. Wajahnya yang tampan sungguh mempesona dengan bola mata biru tuanya. Sayangnya, sepasang mata itu bersinar dingin.

Tiba-tiba Fulvia menyadari kebingungan Audrey.

“Ia adalah putra Duke of Engelschalf,” Fulvia memperkenalkan.

“Aku tahu,” suara Audrey masih menampakkan keheranannya. “Bagaimana ia berada di sini?” tanyanya lalu menatap Fulvia penuh pertanyaan.

Fulvia menangkap luka di bibir Audrey.

“Audrey!” pekiknya panik, “Apa yang terjadi padamu!? Apa yang terjadi pada bibirmu!?”

Tangan Fulvia terulur untuk menyentuh luka itu.

“Tidak apa-apa. Aku hanya terjatuh,” Audrey memalingkan kepala.

“Apakah kau ingin aku menginap di sini? Aku akan menemanimu sampai pagi,” Fulvia berkata cemas, “Aku akan tinggal bersamamu.”

“Aku tidak apa-apa, Fulvia,” Audrey meyakinkan. “Tinggalkan aku sendiri.”

“Aku tidak dapat meninggalkanmu,” Fulvia bersikeras.

“Kumohon, Fulvia, tinggalkan aku,” pinta Audrey, “Saat ini aku ingin sendirian.”

“Audrey,” Fulvia memegang pundak Audrey.

Audrey berbalik.

Fulvia terperangah melihat air mata Audrey.

“Tinggalkan aku,” Audrey mendorong Fulvia, “Aku tidak ingin diganggu. Biarkan aku sendiri.”

Fulvia tidak dapat melawan dorongan Audrey yang begitu kuat itu.

“Jangan katakan apapun pada siapa saja,” kata Audrey dan ia menutup pintu rapat-rapat.

“Audrey!” Fulvia menggedor pintu keras-keras, “Buka pintu!”

“Biarkan ia sendiri.”

Fulvia terkejut. Ia menatap pria yang bersandar santai di dinding itu. Sekali lagi Fulvia telah melupakan kehadiran Irving.

“Ia tidak ingin diganggu,” Irving melangkah pergi.

Fulvia bertanya-tanya kapankah pria itu meninggalkan kamar Audrey.

“Audrey akan dapat mengatasi masalahnya.”

“Tetapi luka Audrey…,” Fulvia bertahan di tempatnya. “Luka itu…”

Irving berhenti. “Bukan Lewis yang melakukannya.”

Fulvia menatap punggung Irving.

“Mereka menikah atas dasar cinta, bukan?”

Fulvia terperangah. Ia menatap pintu yang tertutup rapat itu.

Benar, Audrey mencintai Lewis demikian pula pria itu. Cinta mereka itulah yang membawa mereka pada pernikahan. Dan cinta itu pulalah yang menyatukan mereka. Tidak ada alasan bagi Lewis untuk memukul Audrey.

Fulvia pun mengikuti Irving.

Irving meyakinkan dirinya dan Fulvia mempercayainya tetapi bayangan luka di bibir Audrey tidak dapat membuat hati Fulvia tenang. Kecemasan dan kegelisahannya itu tergambar begitu jelas di wajahnya hingga keluarganya ikut mencemaskannya.

“Apa yang terjadi, Fulvia?” tanya Countess pada saat mereka berkumpul di Ruang Makan.

Fulvia terkejut. “Tidak ada apa-apa, Mama.”

“Apa Irving melakukan sesuatu padamu?” Davies bertanya serius.”

“Tidak,” Fulvia mencoba tersenyum, “Tidak terjadi apa-apa.”

Countess menatap Fulvia lekat-lekat. “Mama percaya padamu. Bila kau mempunyai masalah, ingatlah aku selalu ada di sisimu.”

Fulvia mengangguk dan tersenyum.

Sesungguhnya, Fulvia ingin mengatakan semuanya pada keluarganya. Fulvia yakin Countess tentu dapat memberikan penjelasan padanya mengenai luka di bibir Audrey itu. Tetapi Audrey telah memintanya untuk tidak memberitahu siapa pun dan Fulvia tidak dapat menolaknya.

Audrey berkata padanya bahwa ia terjatuh.

Irving berkata padanya Lewis tidak mungkin melakukan itu.

Pelayan itu berkata padanya mereka bertengkar sesaat sebelum Audrey mengurung diri di kamar.

Fulvia tahu mereka menikah atas dasar cinta kasih.

Tetapi…

Fulvia tidak pernah melihatnya tetapi Fulvia pernah mendengar seseorang yang mabuk tidak mempunyai kesadaran atas apa yang dilakukannya. Dan akhir-akhir ini Lewis semakin sering mabuk-mabukan bahkan ia mulai berani bermain perempuan di luar sana.

Apakah mungkin Lewis memukul Audrey?

Pelayan itu mengatakan pertengkaran mereka pagi ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya.

Tetapi ini tidak mungkin. Lewis mencintai Audrey. Fulvia percaya itu.

Apakah Audrey mengatakan yang sebenarnya? Tetapi bagaimana mungkin Audrey hanya terluka pada bagian bibirnya? Apakah mungkin Audrey terjatuh dari tempat tidur? Ataukah Audrey terjatuh di tangga? Atau mungkin… Fulvia tidak tahu. Ia tidak dapat mendapat gambaran bagaimana cara Audrey terjatuh tanpa melukai bagian tubuhnya yang lain kecuali bibirnya itu.

Wajah Audrey yang dipenuhi air matanya kembali terlintas di pikiran Fulvia.

Fulvia tidak pernah melihat kakak sepupunya itu menangis. Tidak sekali pun walau Lewis telah berubah sedemikian rupa.

Audrey adalah wanita yang tabah. Ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada siapa pun termasuk keluarganya. Audrey bahkan sering berusaha menutupi pertengkarannya dengan Lewis.

Melalui pelayan keluarga itulah orang tua Audrey mengetahui adanya pertengkaran di antara mereka dan biasanya Countess Horacelah yang memutuskan untuk menemui Greenwalls.

Audrey tidak pernah secara khusus memanggil mereka.

Audrey tidak pernah mengeluh.

Audrey selalu terlihat ceria di hadapan orang lain.

Apakah Audrey telah berkata jujur padanya?

Wajah yang dipenuhi air matanya itu tidak terlepas dari benak Fulvia. Sepasang mata hijau yang bersinar sedih itu membuat Fulvia tetap terjaga sepanjang malam. Dan bibir yang terluka itu terus menghantui pikiran Fulvia hingga Brent dan Jehona mencemaskannya.

“Apakah terjadi sesuatu?” Jehona bertanya cemas.

Fulvia terkejut.

“Jangan ragu untuk mengatakan pada kami kalau kau membutuhkan bantuan,” kata Brent pula.

“Tidak,” Fulvia mengelak, “Tidak terjadi apa-apa.”

“Kami mengerti ada saatnya kami tidak ikut campur tangan dalam urusan keluarga orang lain,” Jehona berkata bijaksana, “Tetapi tidak ada salahnya kau berbagi dengan kami.”

“Tidak campur tangan,” gumam Fulvia.

Fulvia teringat Lewis selalu marah-marah setiap kali keluarga Garfinkelnn menawarkan bantuannya. Lewis selalu murka setiap kali orang tua Audrey mencoba melakukan sesuatu untuk mereka.

“Jangan campur tangan!” Lewis selalu berteriak marah, “Ini adalah urusan keluargaku!”

Itukah sebabnya Audrey tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada orang lain? Itukah sebabnya Audrey mengusirnya kemarin?

Fulvia tidak mengerti. Ia tetap tidak mengerti ketika sore itu Irving menjemputnya di tempat yang telah mereka janjikan.

“Kau masih memikirkannya?”

Fulvia terkejut.

“Kau tidak terlalu pandai untuk menyembunyikan perasaanmu dariku,” Irving memberitahu dengan tenang.

“Ya,” Fulvia mengakui, “Saya tidak dapat menghilangan wajah Audrey dari pikiran saya.”

Fulvia menarik baju Irving dan menatapnya lekat-lekat. “Katakan pada saya, M’lord. Lewis tidak akan melukai Audrey walaupun ia mabuk.”

Irving terkejut. “Apa yang kau katakan?”

“Saya pernah mendengar,” Fulvia menjelaskan dengan suaranya yang lirih, “Seseorang yang berada di bawah pengaruh minuman keras akan dapat berbuat apa saja tanpa menyadari tindakannya bahkan… bahkan pada orang yang mereka cintai.” Fulvia menatap Irving lekat-lekat kemudian ia berkata dengan serius. “Katakan pada saya Lewis tidak akan melakukan itu.”

Air mata membasahi sepasang bola mata biru keunguan itu.

Irving tertegun.

“Katakan,” pinta Fulvia lirih.

Fulvia mendekatkan dirinya pada Irving dan menunduk. Tangannya mencengkeram kemeja Irving erat-erat dan air matanya terus berjatuhan.

Irving tercengang. Ia benar-benar tidak dapat mengerti gadis ini.

“Apa yang ingin kau lakukan?”

“Pergi ke Greenwalls,” Fulvia mengangkat kepalanya. “Saya ingin memastikannya sendiri,” ia menatap langsung ke mata Irving.

“Aku mengerti,” Irving membawa gadis itu ke kereta kudanya lalu ia meminta kusir kuda untuk mengantar mereka ke Greenwalls.

Tangis Fulvia mulai mereda ketika kereta bergerak menuju Greenwalls.

“Kau sudah lebih baik?” Irving memberikan saputangannya kepada Fulvia.

Fulvia mengangguk dan menerima sapu tangan itu.

“Tak lama lagi kita akan tiba di Greenwalls,” lanjut Irving, “Kau bisa bertanya langsung pada Audrey.”

Fulvia mengangguk lagi. Ia segera menyeka air matanya. Fulvia tidak mau Audrey melihatnya dengan mata sembab. Fulvia tidak mau Audrey mengkhawatirkannya.

Seperti yang dikatakan Irving, kereta tiba di pintu depan Greenwalls dalam waktu singkat.

Kaki Fulvia baru saja menginjak pekarangan Greenwalls ketika sebuah jeritan terdengar dari dalam.

Fulvia terperanjat.

“Mau apa kau, wanita jahanam!”

Fulvia mengenal seruan kasar itu.

“Aku adalah pemilik Greenwalls! Kau tidak berhak mengaturku!”

Tanpa berpikir dua kali, Fulvia langsung menerjang masuk.

“Kau tidak berhak melarangku!”

Lewis menampar Audrey sedemikian kerasnya hingga wanita itu jatuh terpelanting.

“AUDREY!” Fulvia berteriak panik.

Audrey terkejut.

“Audrey!” Fulvia menjatuhkan diri di sisi Fulvia dan memeluk wanita itu erat-erat. Lalu ia menatap Lewis penuh kemarahan, “Apa yang kaulakukan pada Audrey!?”

“Apa lagi kau, gadis kecil?” Lewis meraih tangan Fulvia dan menariknya dengan kasar, “Apa kau juga ingin melarangku? Apa kau ingin mencampuri urusanku?”

Fulvia tidak menyukai bau yang tersebar dari mulut pria itu. “Lepaskan aku!” Fulvia melepaskan tangannya dari genggaman pria itu.

“APA!?” Lewis murka, “Kau juga berani menentangku! Kau berani memerintahku!” Lewis melayangkan tangannya.

Fulvia memejamkan matanya erat-erat.

Irving menangkap tangan Lewis. Sebelum seorang di antara mereka menyadarinya, Irving telah melayangkan tinjunya di pipi kiri Lewis.

“Apa yang kaukira kaulakukan!?” bentaknya murka.

Lewis terjatuh di lantai.

Fulvia jatuh dengan lemas.

“Kalau kau tidak ingin orang lain mengurusi masalahmu, lakukan sesuatu! Jangan hanya menjadi pengecut!” Irving mencengkeram kerah baju Lewis dan mengangkatnya berdiri, “Apa kau kira selama ini kau telah menyelesaikan masalahmu!? Kau hanya membuat orang mengasihimu, pengecut!”

Tidak seorang pun di ruangan itu yang berkutik.

Mereka terlalu kaget melihat reaksi Irving yang tidak terduga itu.

Mereka terlalu takut melihat kemarahan Irving yang menakutkan itu.

“Kalau kau mengira kami peduli padamu, maaf, kami tidak peduli apa yang terjadi padamu! Kami hanya peduli pada Audrey!”

Fulvia yang pulih dari kekagetannya cepat-cepat berdiri. Ia menarik lengan pria itu. “Hentikan,” pintanya.

Irving melihat wajah memelas gadis itu.

“Kalau kau mengira kau telah menyelesaikan masalahmu, kau salah,” Irving melemparkan pria itu, “Kau hanya pengecut yang bisa bersembunyi dalam minuman keras!”

Sekali lagi Lewis terjatuh di lantai.

Fulvia menarik pria itu dengan cemas.

“Mari kita pergi,” Irving memegang lengan Fulvia dan menyeretnya dengan paksa.

Fulvia tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti pria itu.

“Lewis,” Audrey mendekati Lewis. Air matanya kembali bercucuran melihat luka memar di wajah Lewis.

Lewis menatap istrinya. “Maafkan aku, Audrey,” bisiknya perlahan, “Aku benar-benar seorang pengecut.”

“Aku memaafkanmu,” Audrey memeluk Lewis, “Aku memaafkanmu.”

Fulvia meringkuk di pojok. Matanya melirik Irving. Ia tidak berani mengeluarkan suara. Ia juga tidak berani bergerak. Fulvia tahu pria itu masih marah.

Walau Irving suka berganti-ganti pasangan, ia bukanlah tipe pria yang suka bermain kekerasan pada wanita.

Irving sudah tahu. Ia sudah tahu sejak ia melihat luka di bibir Audrey kemarin. Tetapi ia tidak menyangka Lewis juga akan menyerang Fulvia.

Irving tidak pernah mempercayai cinta. Ibunya juga mencintai ayahnya ketika mereka menikah tetapi ibunya kemudian meninggalkan ayahnya bersama kekasih gelapnya. Ayahnya yang buta karena cinta juga terus menyalahkan Nelson, kekasih gelap ibunya, walau sudah jelas ibunya meninggal dalam perjalanan kabur bersama pria itu. Duke masih terus dan terus mempercayai Duchess walau kenyataan sudah berbicara banyak.

Dan gadis di sisinya ini…

Gadis ingusan ini masih mempercayai kesempurnaan apa yang disebut cinta. Gadis ini masih memuja-muja cinta.

Irving ingin sekali membuat Fulvia tahu apa sebenarnya yang disebut cinta itu tetapi itu akan terlalu sangat kejam untuk gadis manja seusianya. Sementara ini Irving akan membiarkan Fulvia bersama mimpi-mimpi indahnya. Ia akan melihat bagaimana kenyataan akan merusak impian indah gadis itu.

Suasana mencengkam di dalam kereta membuat Fulvia merasa tidak nyaman.

Fulvia tidak tahu ia harus berbuat apa untuk meredakan hawa yang menyesakkan dada ini.

“Maafkan aku.”

Fulvia terkejut.

“Kurasa aku telah bersikap kasar terhadapmu,” mata Irving terlihat begitu sedih.

Fulvia terperangah.

“Jangan bertemu dengannya lagi,” Irving memperingatkan Fulvia dengan tegas.

“Mengapa? Ia adalah saudara saya.”

“Apakah kau masih belum mengerti juga!? Apa kau masih ingin mencampuri urusan orang lain!?”

Irving tertegun melihat wajah pucat Fulvia.

“Aku tidak yakin ia tidak akan mencoba menyakitimu lagi,” Irving berkata pelan.

“T-tidak akan. Ia tidak akan berani melakukannya lagi. Anda telah memperingatinya, bukan?”

“Katakan padaku kalau kau akan ke sana lagi.”

Nada dingin itu membuat Fulvia ketakutan.

“Aku akan memastikan ia tidak menyakitimu.” Irving memalingkan kepala ke luar jendela.

Fulvia terperangah. “Terima kasih,” bisiknya lirih dan ia kembali tenggelam dalam pikirannya.

Mencampuri urusan orang lain…

Apakah salah mencampuri urusan orang lain?

Malam itu Davies juga memintanya untuk tidak mencampuri urusannya.

Lewis juga selalu marah setiap kali ada yang mencoba membantunya.

Tadi siang Jehona berkata tidak baik untuk terus mencampuri masalah orang lain.

Irving juga menegaskan untuk tidak turut campur dalam masalah orang lain.

Apakah ini salah?

Fulvia hanya ingin membantu Audrey. Fulvia hanya ingin melihat Audrey kembali tersenyum seperti dulu. Apakah ini salah?

Sekarang semuanya sudah jelas bagi Fulvia. Fulvia sudah yakin darimana Audrey mendapatkan luka di bibirnya itu. Fulvia tahu mengapa Audrey menangis. Dan sekarang harusnya ia bersikap seolah-olah ia tidak pernah mengetahuinya?

Haruskah ia tetap berdiam diri walaupun ia tahu Lewis menyakiti Audrey?

Haruskah ia tetap berdiam diri setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Lewis melukai Audrey?

Fulvia terus berkutat pada pikirannya hingga tak seorang pun mencoba mengusiknya sepanjang malam itu.

Kerisauan Fulvia itu juga membuat Brent maupun Jehona tidak mengusik gadis itu sepanjang hari ini. Tim yang biasanya suka membuat sibuk Fulvia juga menjauhinya.

Semua yang melihat gadis ini tahu ia sedang menghadapi sebuah masalah besar.

Davies yakin Irvinglah penyebab semua ini tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia ingin Fulvia sendiri yang bercerita padanya daripada ia yang langsung mencari Irving dan berkelahi dengannya dengan segala resikonya.

Countess dan Count Silverschatz percaya pada Fulvia dan mereka akan menanti sampai gadis itu menceritakan masalahnya pada mereka.

Hari ini Fulvia ingin sekali pergi menemui Audrey dan memastikan Audrey baik-baik saja. Tetapi Fulvia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan itu.

Sepanjang perjalanan pulang kemarin Irving terus menutup mulutnya rapat-rapat sambil memasang muka kesal. Sepanjang perjalanan kemarin kediaman Irving benar-benar membuat Fulvia merasa tidak nyaman.

Fulvia tahu Irving tidak dapat memaafkan Lewis dan apakah Irving masih akan mengantarnya walau ia telah mengatakan kesediaannya?

Fulvia harus segera memutuskan. Ia harus segera memutuskan sebelum kereta berjalan. Ia harus sudah mengatakannya sebelum kereta meninggalkan pusat kota. Ia…

Mata Fulvia menangkap suasana tak terawat halaman Greenwalls.

Sepasang bola mata biru keunguannya menatap Irving penuh ingin tahu dan ketakjuban.

“Kau ingin melihat mereka, bukan?” Irving menjelaskan singkat.

Senyum bahagia menghiasi wajah Fulvia. “Terima kasih,” Fulvia ingin sekali melompat dalam pelukan pria itu. Ia ingin mengungkapkan luapan kegembiraannya ini.

Kereta berhenti tepat di depan pintu masuk.

Tanpa banyak berbicara, Irving melompat turun kemudian membantu Fulvia.

Suasana di dalam Greenwalls sangat sunyi.

Kesunyian itu tidak membuat Fulvia merasa lega. Sebaliknya, ia merasa semakin cemas.

“Audrey! Audrey!” Fulvia terus memanggil-manggil

“Fulvia?” Audrey muncul dari dalam Ruang Duduk dengan wajah keheranannya, “Kau datang lagi?”

“Audrey!” Fulvia memeluk wanita itu erat-erat, “Audrey, kau baik-baik saja?”

Audrey tersenyum lembut. “Lihatlah kau,” ia menghapus air mata yang mulai membasahi mata Fulvia, “Apa yang harus kujelaskan pada Davies bila ia melihatmu dalam keadaan seperti ini.”

“Kau baik-baik saja?” Fulvia bertanya cemas, “Apakah Lewis melukaimu lagi?”

“Tidak,” Audrey tersenyum, “Lewis sudah jauh lebih tenang sekarang.”

“Apakah ia meninggalkanmu lagi?” Fulvia terus bertanya dengan cemas, “Apakah ia pergi bermabuk-mabukan lagi?”

“Tidak, Fulvia. Sekarang ia mengurung dirinya di kamar. Ia terus mengurung dirinya semenjak kepulangan kalian kemarin sore.”

“Apa yang dilakukannya? Apakah ia sedang merencanakan sesuatu?”

“Jangan khawatir, Fulvia,” Audrey menenangkan, “Ia sedang berpikir.” Audrey tersenyum bahagia. Secercah harapan tersinar di mata hijau tuanya, “Aku yakin ia sedang berpikir.”

Fulvia terperangah. Ia tidak pernah melihat kakak sepupunya secantik ini. Fulvia tidak pernah melihat Audrey tampak begitu anggun dengan rambut merahnya yang terikat rapi. Fulvia tidak pernah melihat Audrey tampak begitu mempesona dengan wajahnya yang penuh harapan ini.

“Katakan padaku, Fulvia, apa yang membuatmu datang,” Audrey merangkul pundak Fulvia dan membawanya duduk di sofa.

Mata Audrey menatap Irving yang berdiri di pintu dengan tenangnya. “Apakah Anda bersedia bergabung bersama kami?”

Audrey lalu menatap Fulvia lekat-lekat. “Keluargamu tidak akan keberatan bila kau bergabung bersamaku untuk makan malam, bukan?”

Fulvia tercengang melihat kegembiraan Audrey.

Sikap Audrey menunjukkan tidak pernah terjadi apa pun dalam kehidupannya. Tidak ada yang terjadi dalam rumah tangganya. Audrey tampak seperti sudah melupakan kejadian kemarin.

Fulvia tersenyum bahagia karenanya dan ia berkata gembira, “Tidak. Aku yakin mereka tidak akan keberatan.”

Fulvia sudah benar-benar melupakan Irving. Dan ketika Fulvia menyadarinya, pria itu telah duduk bersama mereka di meja makan sambil berdiam diri mendengarkan pembicaraan kedua wanita yang terpaut dua belas tahun itu.

No comments:

Post a Comment