Monday, April 2, 2007

Orang Ketiga-Chapter 5

“Mengapa Anda di sini?” Fulvia heran.

Pagi ini Fulvia tengah bersiap pergi ke kota ketika pelayan datang memberitahukan kedatangan seorang pria yang tengah menantinya. Fulvia sangat bingung mendengarnya. Ia tidak mempunyai janji dengan siapa pun pagi ini. Fulvia tidak mengharapakan kedatangan Trevor maupun Richie pagi ini.

Hari Minggu yang lalu ketika mereka berdua datang, Fulvia telah menjelaskan pada mereka posisinya saat ini. Tentu saja ia tidak mengatakan semuanya pada mereka. Ia hanya memberitahu mereka ia harus pergi ke kota setiap hari. Ia telah berjanji pada Audrey untuk menemaninya sepanjang hari. Mulanya kedua sepupu itu tidak gembira mendengar berita yang telah mereka ketahui dari Davies itu tetapi mereka, seperti Countess Kylie, tahu Audrey membutuhkan seorang teman.

Kedua sepupu telah memberikan ijin mereka padanya. Bahkan mereka berkata dengan kepergiannya ini, mereka bisa lebih memusatkan diri pada kewajiban mereka sebagai calon pengganti orang tua mereka seperti yang diinginkan orang tua mereka.

Tanpa berpikir panjang Fulvia langsung menemui orang itu.

Davies yang telah mendengar lebih dahulu akan kedatangan pria itu telah berada di sana ketika Fulvia tiba.

“Bukankah kita telah berjanji untuk bertemu lagi pagi ini,” Irving mengingatkan.

Fulvia teringat sandiwaranya kemarin malam. Ia ingin menjelaskannya pada Irving tetapi Davies berada di sana.

“Maaf. Saya kira kita akan berjumpa di tempat kemarin. Saya benar-benar tidak menduga Anda akan datang menjemput saya.”

“Saya tidak dapat membiarkan Anda pergi ke sana seorang diri, M’lady.”

Fulvia merasa ia benar-benar tidak tertolong. Mungkin inilah yang dikatakan satu kebohongan akan membuka kebohongan yang lain.

“Apakah kita bisa pergi sekarang, M‘lady?” Irving mengulurkan tangan.

Fulvia menyambut uluran tangan itu.

Mata tajam Davies mengawasi setiap tindakan Irving.

“Davies,” Fulvia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta, “Aku akan pulang sebelum makan malam.”

Davies tidak dapat berbuat apapun selain berkata, “Berhati-hatilah.”

Davies tidak menyukai Irving tetapi ia tidak dapat menunjukkannya kepada Fulvia.

“Ini semua gara-gara Trevor juga Richie,” Davies menggerutu sambil berjalan masuk.

Davies yakin Irving sedang berencana menjadikan Fulvia satu di antara wanita-wanita yang pernah memasuki hidupnya dan itulah sebabnya ia menemui pria itu sebelum Fulvia muncul.

Sekali lagi ia memperingatkan pria itu untuk menjauhi Fulvia tetapi pria itu malah berkata dengan sombongnya, “Sebaiknya kau mengatakannya pada adikmu. Ia mencariku bukan aku yang mencarinya.”

Davies kesal. Ia ingin sekali melayangkan tinjunya di muka sinis Irving tetapi Fulvia ada di sana. Fulvia pasti akan membencinya bila ia melakukan itu di hadapannya.

Davies tahu Fulvia paling tidak suka melihat pertengkaran. Trevor dan Richie juga mengetahui hal itu. Mereka bertiga tidak akan pernah melupakan bagaimana Fulvia menemukan ketiganya berkelahi memperebutkan sebuah mainan.

Kala itu mereka masih kecil. Mereka mempunyai kegemaran yang sama. Mereka menyukai mainan yang sama.

Biasanya, orang tua ketiganya akan membelikan mainan yang sama untuk menghindarkan pertengkaran di antara mereka tetapi kali itu lain. Kali itu Trevor menemukan sebuah kereta-keretaan kayu yang menarik perhatiannya. Sayangnya mainan itu hanya satu dan tidak ada duanya. Trevor sudah sangat tertarik pada mainan sehingga orang tuanya tidak mempunyai pilihan lain selain membelinya.

Trevor yang sangat gembira dengan mainan barunya segera memamerkan mainan itu pada kedua sahabatnya.

Ketiganya menyukai mainan baru Trevor itu dan mereka berebut mainan itu sampai berkelahi. Saat itulah Fulvia muncul.

Fulvia langsung menangis melihat ketiganya berkelahi dengan seru. Tangisan Fulvia begitu keras hingga ia mengagetkan semua orang.

“Aku benci Davies! Aku benci Trevor! Aku benci Richie!” Fulvia terus menerus mengucapkan kalimat itu sambil menangis tersedu-sedu.

Seketika orang tua dari tiga keluarga itu langsung memarahi tiga anak lelaki itu. Mereka menyalahkan ketiganya atas tangisan Fulvia. Mereka menghukum ketiganya karena membuat Fulvia menangis.

Davies tidak akan lupa bagaimana Fulvia menghindari mereka bertiga selama berhari-hari setelah peristiwa itu. Fulvia benar-benar membenci mereka dan ia telah memberikan hukuman yang lebih parah dari hukuman orang tua mereka.

Davies mendesah. Andai saja ia mempunyai kesempatan untuk menghantam muka sinis Irving, ia pasti telah melakukannya. Ia tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk berkelahi dengan pria itu demi Fulvia.

“Setidaknya,” Davies berpikir lanjut, “Kali ini mereka harus menanggung sendiri akibatnya.”

Tetapi Davies kemudian berubah pikiran. Ia tidak akan memberitahu Trevor maupun Richie tentang kepergian Fulvia hari ini. Ia ingin menanti Fulvia. Ia ingin tahu apa yang diperbuat Irving pada adiknya. Ia harus mengetahui semuanya dengan jelas sebelum mencari perhitungan dengan Irving juga kedua sepupunya itu.


-----0-----



Fulvia tahu ia tidak bisa mendiamkan begini saja kesalahpahaman di antara mereka. Ia harus menjelaskan semuanya pada Irving.

“Ke mana kita akan pergi?”

Fulvia terkejut.

“Kau ingin pergi ke suatu tempat, bukan?”

“Saya ingin ke kota, M’lord.”

Irving menanggapinya dengan mengetuk jendela yang menghubungkan dengan kusir kuda dan mengatakan tujuan mereka pada kusir kudanya.

“M’lord,” Fulvia tidak tahu bagaimana harus memulai, “Saya rasa ada kesalahpahaman di antara kita.”

Irving memicingkan sudut matanya. Mata biru tuanya memperhatikan Fulvia lekat-lekat.

“Saya tidak berencana untuk mengajak Anda pergi,” Fulvia merasa bersalah, “Saya hanya perlu meninggalkan Unsdrell dan kemarin saya terpaksa berbohong pada Anda juga Davies. Davies tidak akan mengijinkan saya meninggalkan Unsdrell pagi ini tanpa sebuah alasan yang jelas dan saya tidak ingin Davies mengetahui tujuan saya.”

“Apa yang akan kaulakukan?”

“Saya perlu melakukan sesuatu yang penting,” jawab Fulvia tanpa menerangkan lebih banyak, “Sesuatu yang penting dan tidak boleh diketahui siapa pun.”

Jawaban itu membuat Irving semakin ingin tahu apa yang sedang direncanakan Fulvia.

“Anda bisa menurunkan saya di tempat kemarin saya berjumpa Anda,” Fulvia melanjutkan, “Saya akan bisa mengatasi semuanya dari sana.”

“Bagaimana kau akan pulang?”

Pertanyaan tak terduga itu membuat Fulvia terkejut.

“Saya akan menyewa kereta kuda,” jawab Fulvia meyakinkan.

Jawaban itu tidak membuat Irving puas tetapi pria itu tidak bertanya lebih lanjut lagi.

Fulvia juga tidak berbicara lebih banyak lagi. Ia tidak ingin orang lain mengetahui rencananya. Dua minggu lagi dan rencananya ini akan berhasil. Sebelum itu, Fulvia tidak ingin orang lain setelah Audrey mengetahui rahasianya, rahasia kecil yang pasti akan membuat orang tuanya gembira.

Seperti keinginan Fulvia, kereta kuda Irving mengantarnya sampai ke pinggir jalan tempat kemarin mereka bertabrakan.

Fulvia mengucapkan terima kasihnya pada Irving begitu mereka tiba dan ia menanti di tempat itu sampai kereta keluarga Engelschalf menghilang dalam hiruk pikuk pagi hari di pusat kota.

Fulvia menutupi segala kegalauan hatinya dengan senyum. Fulvia tidak boleh dan tidak dapat membiarkan keluarga itu mengetahui kegalauan hatinya. Mereka tidak boleh mengetahui apapun tentang bahaya rahasianya ini. Setidaknya, hari ini ia bisa lolos dari Unsdrell.

Bagaimana ia akan mengelabuhi keluarganya, bisa ia pikirkan sepulangnya dari tempat kerjanya.

Setelah memantapkan hati, Fulvia melangkah ke toko roti yang tak bernama itu.

“Hari ini kau juga diantar keluargamu?” sambut Brent melihat kedatangan Fulvia dari pintu masuk.

“Ya,” Fulvia setengah membenarkan. Ia tidak ingin Brent mengetahui lebih banyak tentang masalahnya. Ia juga tidak ingin Jehona ikut mencemaskan keberhasilan rencananya ini. Tanpa memberi keterangan lagi, Fulvia bergegas mengganti gaunnya.

“Tak terasa waktu cepat berlalu,” komentar Jehona ketika Fulvia keluar dari kamarnya, “Rasanya seperti baru kemarin kau muncul di sini dan sekarang sudah dua minggu lebih kau berada di sini.”

Fulvia tersenyum. Ia juga tidak pernah membayangkan waktu akan berlalu secepat ini. Ia menikmati saat-saat berada di antara keluarga ini. Sekarang setiap pagi ia merasa seperti pergi menemui keluarganya yang lain bukan pergi ke tempat kerjanya.

“Fulvia, kau akan pergi?” Tim menarik gaun Fulvia.

“Tidak, Tim. Untuk beberapa hari mendatang aku masih akan ada di sini.”

“Benarkah itu?” Tim gembira.

“Ya,” jawab Fulvia, “Aku masih bisa datang menjengukmu setelahnya.”

Fulvia tahu ia tidak akan bisa meninggalkan keluarga ini. Keluarga ini telah menjadi bagian dari dirinya. Keluarga ini telah memberikan pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya. Fulvia tidak akan melupakan saat-saat bersama keluarga ini.

Semua pengalaman yang didapatkannya dari keluarga ini adalah pengalaman yang baru.

Melalui keluarga inilah ia mengetahui lebih jelas bagaimana perbedaan kehidupan kalangan atas dan kalangan menengah ke bawah.

Melalui keluarga inilah ia mengerti kebahagian adalah harta yang lebih berharga dibandingkan uang mana pun.

Melalui keluarga inilah ia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dapat diberikan keluarga maupun guru privatnya.

Mereka telah mengajarinya untuk hidup sederhana.

Mereka mengajarinya untuk berbagi dengan sesama.

Mereka membagikan pengalaman-pengalaman berharga mereka padanya.

Fulvia telah sangat menyayangi keluarga ini hingga ia sendiri tidak tahu bagaimana ia harus meninggalkan keluarga ini dua minggu mendatang.

Fulvia tidak tahu bagaimana tetapi saat ini ia tahu ia harus memikirkan cara untuk menutupi kepergiannya untuk dua minggu mendatang. Ia harus memikirkannya.

Seperti kemarin, Tim membantunya melupakan kegalauan hatinya. Kebahagiannya melihat kemajuan yang diperoleh Tim membuatnya sangat puas. Setelah ia yakin Tim telah dapat membaca dengan lancar, Fulvia mulai mengajarkan apa yang diketahuinya dari guru pribadinya.

Fulvia telah mengenalkan angka dan huruf padanya sekarang ia ingin mengenalkan ilmu pengetahuan pada anak cerdas itu.

Setelah sekian lama mengajari Tim, Fulvia mengakui kecerdasan anak itu. Tim dapat dengan cepat menangkap dan menguasai semua yang diajarkan Fulvia. Dalam hatinya, Fulvia berharap Tim akan memperoleh pekerjaan yang bagus di masa mendatang. Berdagang roti bukanlah pekerjaan yang buruk tetapi tidak ada salahnya bila Fulvia menaruh harapan besar pada Tim.

Fulvia tidak pernah mengatakannya pada orang tua Tim. Ia hanya menyimpan pendapatnya itu untuk dirinya sendiri.

Sore itu Fulvia melenggangkan kaki ke jalanan. Sekali lagi ia memastikan kotak musik yang diidamkannya belum berpindah tangan ke orang lain.

Melihat kotak musik itu masih mengalunkan nyanyian lembut dari dalam toko yang sama, Fulvia bahagia. Untuk sejenak ia dapat melupakan kerisauannya.

“Aku pasti akan membelimu,” ia berjanji pada kotak musik itu, “Untuk itu jangan biarkan kau dibeli orang lain.”

Setelah mengucapkan janjinya yang kesekian kalinya pada kotak musik itu, Fulvia melangkahkan kaki di jalanan pusat kota.

Hari mulai larut dan Fulvia tidak mempunyai waktu untuk berkeliaran di kota sambil berpikir seperti kemarin. Fulvia harus segera pulang atau keluarganya akan mulai mencemaskannya.

Baru saja Fulvia melangkahkan kaki ketika matanya menangkap sesosok pria yang dikenalinya dengan baik.

Pertemuannya dengan Irving memang barulah tiga kali tetapi itu cukup untuk membuat Fulvia mengenali pria itu di keramaian seperti ini.

Pria itu tampak sangat mencolok di keramaian. Ia tampak berbeda dari yang lain. Bukan karena rambut keemasannya yang bersinar di bawah sinar matahari sore itu. Sesuatu memancar dari pria itu, sesuatu yang membuatnya terpisah dari keramaian.

Fulvia tersenyum. Sekarang ia tahu mengapa begitu banyak wanita yang bertekuk lutut di harapan pria itu. Ia mengerti mengapa masih begitu banyak wanita yang rela mengantri untuk mendapatkan pria dengan reputasi miring segudang itu.

Irving sungguh tampak menawan dan gagah di samping kereta kuda yang dikenali Fulvia sebagai kereta kuda keluarga. Sepasang bola mata biru tuanya memandang dingin ke satu arah. Bibirnya yang mengatup rapat menggambarkan ketidaksabarannya.

“Mungkin ia menanti teman kencannya,” pikir Fulvia dan bersiap meninggalkan tempat itu.

“Aku telah menduga akan menemukanmu di sini,” pria itu mendekat.

Fulvia terkejut. Apakah Irving sedang berbicara padanya? “Anda menanti saya?”

“Aku tidak punya banyak waktu,” Irving meraih tangan Fulvia.

Walaupun ia masih bingung, Fulvia membiarkan pria itu membantunya naik kereta. Kebingungan Fulvia masih juga tidak terjawab ketika kereta bergerak perlahan meninggalkan pusat kota dan Fulvia memutuskan untuk bertanya langsung,

“Mengapa Anda menanti saya?”

“Aku membawamu pergi dan aku berkewajiban memulangkanmu,” jawab pria itu singkat.

Fulvia terperangah. Irving benar-benar seorang gentleman seperti yang didengarnya. Fulvia tersenyum. Mungkin ia bisa memanfaatkan sedikit sifatnya ini.

“Apakah ini sangat mengganggu Anda?”

Irving memperhatikan senyum yang menyembunyikan sejuta rencana itu.

“Bila Anda berkenan, apakah setiap hari Anda bisa menjemput saya di Unsdrell?”

Irving sama sekali tidak mendapatkan gambaran tentang rencana gadis ini.

“Semuanya akan lebih mudah bagi saya setelah meninggalkan Unsdrell,” Fulvia tersenyum gembira. Sesuatu meyakinkannya. Ia percaya Irving akan bersedia membantunya. “Saya sangat membutuhkan bantuan Anda untuk meninggalkan Unsdrell tanpa kecurigaan siapa pun.”

Apakah gadis ini sedang mencoba menjerumuskannya dalam rencananya itu?

Apakah gadis ini sedang memancingnya?

“Anda tidak perlu melakukannya untuk selama-lamanya,” Fulvia menambahkan, “Saya hanya membutuhkannya untuk dua minggu mendatang.”

Irving memperhatikan raut memohon di wajah yang polos di wajah Fulvia itu. “Gadis ingusan ini lumayan bagus,” ia memuji Fulvia dalam hatinya.

“Saya tidak keberatan,” Irving memutuskan untuk membiarkan dirinya terjun dalam rencana Fulvia, “Setiap pagi di waktu yang sama dan setiap sore di tempat dan waktu yang sama, bukan?"

“Terima kasih, M’lord,” Fulvia gembira.

Irving ingin tahu bagaimana gadis ini akan menjeratnya.

Fulvia tersenyum gembira. Ia tidak perlu memikirkan alasan untuk meninggalkan Unsdrell lagi. Audrey juga tidak perlu mengkhawatirkannya.

Fulvia sangat puas. Ia ingin segera memberitahukan kabar gembira ini pada kakak sepupunya. Ia ingin sekali kakak sepupunya itu juga merasa gembira seperti dirinya.

Atas dasar keputusan itulah Fulvia berkata, “Besok sore Anda tidak perlu merepotkan diri menjemput saya.”

Mata Irving mengawasi Fulvia.

“Saya ingin menjenguk kakak sepupu saya,” Fulvia memberikan alasannya.

“Kurasa aku telah membuat janji padamu,” Irving tidak sependapat, “Keluargamu pasti akan mencariku bila terjadi sesuatu padamu. Aku akan menjemputmu seperti hari ini dan aku akan mengantarmu ke rumah kerabatmu itu”

Fulvia terperanjat. “Anda… bersedia, M’lord?” ia tidak percaya.

“Kurasa kita telah jelas mengenai hal itu,” Irving berkata dingin.

“Terima kasih, M’lord,” Fulvia tersenyum bahagia, “Saya sangat menghargainya.”

Mata Irving menangkap senyum bahagia yang penuh kepuasan itu.

“Gadis ini tidak terlalu pintar untuk membohongiku,” pikirnya sinis.

Fulvia melihat kereta mulai memasuki pekarangan Unsdrell. Sesaat kemudian kereta berhenti di depan pintu masuk Unsdrell.

“Selamat malam, M’lady,” Irving mencium tangan Fulvia.

“Selamat malam, M’lord,” kata Fulvia pula.

Fulvia memperhatikan Irving masuk dalam kereta. Ia tetap di sana hingga kereta menghilang dari pekarangan Unsdrell.

Hari ini Fulvia pulang sedikit lebih awal dari kemarin. Langit musim panas masih kemerahan di ufuk barat.

“Selamat datang, Tuan Puteri,” pelayan menyambut kedatangan Fulvia.

“Apakah aku terlambat untuk makan malam?”

“Tidak, Tuan Puteri. Anda datang tepat pada waktunya. Kami baru saja akan menyiapkan makan malam.”

Fulvia sangat gembira mendengarnya. Ia bergegas ke kamarnya untuk berganti dan bersiap untuk menemui kedua orang tuanya.

Fulvia sangat merindukan kedua orang tuanya. Rasanya sudah lama ia tidak bertemu mereka.

Fulvia tersenyum geli.

Semenjak ia memutuskan bekerja untuk mendapatkan uang membeli hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya, ia menghabiskan sedikit waktu bersama mereka.

Setiap pagi ia meninggalkan Unsdrell setelah makan pagi bersama mereka dan ia baru pulang ketika waktu makan malam menjelang. Sesudahnya, mereka hanya menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan masing-masing.

Kali ini Fulvia tidak dapat menceritakan kegiatannya sepanjang hari kepada Countess. Mengatakan kepadanya sama saja dengan membongkar rahasianya.

Untunglah Countess Kylie tidak pernah mencoba membuatnya berbicara. Mungkin Countess mengerti dan ia ingin Fulvia bercerita atas keinginannya sendiri.

Fulvia heran melihat kakaknya berada di Ruang Makan seorang diri.

“Di mana Papa Mama?”

“Inilah akibat kau terus meninggalkan Unsdrell sepanjang hari,” Davies menyalahkan.

Fulvia mengambil tempat di depan kakaknya.

“Mereka pergi menerima undangan Paman Graham.”

“Paman Graham?” ulang Fulvia, “Apakah ada sesuatu yang terlewat olehku?”

“Banyak,” Davies berkata tajam, “Kau melewatkan omelan-omelan Trevor juga Richie sepanjang hari. Kau melewatkan kecemasan Mama begitu mendengar Irving menjemputmu.”

“Kau memberitahu Mama!?” Fulvia terperanjat.

“Ya,” kata Davies, “Dan aku sedang mempertimbangkan untuk memberitahu Trevor juga Richie.”

“Jangan kaulakukan itu!” Fulvia menegaskan, “Jangan memberitahu Trevor maupun Richie.”

Davies memincingkan matanya.

“Aku tidak yakin mereka akan senang mendengarnya,” Fulvia memberitahu, “Kupikir ada beberapa hal yang pantas disembunyikan dari mereka.”

Davies tidak mengerti jalan pikiran adiknya.

“Kau sendiri tahu bagaimana Trevor dan Richie begitu ketatnya mengawasiku. Irving adalah teman baik mereka dan aku tidak ingin merusak hubungan mereka.”

Davies menahan tawa gelinya. Fulvia masih tidak tahu apa yang sedang direncakan kedua pria itu dengan memperkenalkan Irving padanya.

“Bagaimana hubunganmu dengan Lady Margot?” Fulvia mengalihkan pembicaraan.

Tawa tertahan Davies langsung menghilang.

“Jangan kaukatakan kau masih tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Jangan katakana padaku kau masih tidak pernah mengajaknya keluar.”

Davies tidak menjawab.

“Oh, Davies,” Fulvia mendesah, “Kau benar-benar tidak tertolong. Bagaimana hubunganmu dengan Lady Margot akan mendapat kemajuan bila kau sendiri seperti ini? Apakah kau kira kau bisa menemuinya di setiap pesta?”

“Jangan menceramahiku,” Davies tidak senang, “Sebaiknya kau menyelesaikan sendiri masalahmu.”

“Masalahku?” Fulvia heran, “Aku tidak mempunyai masalah asmara apa pun.”

Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat. “Sebaliknya, kakakku sayang, aku melihat kaulah yang mempunyai masalah besar di sini,” ia tersenyum nakal.

“Jangan memancingku, Fulvia,” Davies memperingatkan.

“Ayolah, kakakku sayang,” Fulvia meneruskan godaannya. “Jangan malu-malu mengatakannya. Adikmu ini pasti akan membantumu mendapatkan wanita idamanmu.”

Davies berdiri.

Fulvia pun berdiri. “Apakah kau akhirnya mengakuinya?”

“Jangan sampai aku menangkapmu,” Davies mendekati Fulvia.

“Cobalah kalau kau bisa,” Fulvia menertawakan Davies dan berlari menghindari kakaknya.

Inilah akhir dari acara makan malam berdua mereka. Makan malam yang belum sempat dimulai itu akhirnya berakhir dengan canda tawa mereka sepanjang malam.

Fulvia sudah sangat lelah ketika akhirnya ia menyerah.

“Aku menangkapmu,” Davies memeluk adiknya erat-erat.

“Aku lelah, Davies,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher kakaknya dengan manja, “Dan lapar.”

“Kaulah yang memulainya,” Davies menyalahkan.

“Apakah menurutmu mereka akan keberatan menyiapkan sesuatu untuk kita?”

“Kurasa tidak,” Davies melepaskan Fulvia, “Tetapi hari sudah terlalu larut untuk menganggu mereka.”

Fulvia melihat bintang-bintang mulai menghiasi langit malam.

“Aku yakin kita bisa menemukan sesuatu di dapur,” Davies menggandeng tangan Fulvia.

Fulvia tertawa.

Davies memperhatikannya dengan bingung.

“Sudah lama sekali,” kata Fulvia, “Sudah lama sekali kita tidak mengendap-endap ke dapur di malam hari seperti ini.”

Semasa mereka kecil, mereka sering kali terbangun pada malam hari hanya untuk mendapati perut mereka sedang kelaparan. Mereka selalu mengendap-endap ke dapur untuk mencari makanan dan keesokan paginya Countess akan menyalahkan mereka. “Itulah akibat kalian bercanda terus sepanjang hari,” katanya setiap saat menemukan dua pencuri kecil telah menjarah dapur mereka di malam hari.

“Ya,” Davies tertawa, “Sudah lama sekali. Mungkin sudah sepuluh tahun lebih.”


-----0-----



“Fulvia, aku mendengar dari kakakmu kemarin kau pergi bersama Irving.”

“Ya, Mama. Ia mengajakku pergi berjalan-jalan,” jawab Fulvia seraya menambahkan, “Pagi ini ia juga akan menjemputku.”

Mata Davies langsung membelalak lebar-lebar.

“Apa yang ia lakukan padamu?” Count cemas, “Sebaiknya kau tidak bergaul dengannya.”

Fulvia tersenyum geli. “Apakah kalian menduga aku tertarik padanya?”

“Fulvia, aku ingin kau tahu. Kami tidak melarang kau bergaul dengan siapa pun. Kami hanya ingin kau berhati-hati.”

“Jangan khawatir, Mama. Aku tidak tertarik padanya,” Fulvia berkata mantap, “Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada pria seperti dia.”

Countess hanya menatap putrinya lekat-lekat.

Fulvia melihat grandfathers clock di ruangan itu. “Oh,” Fulvia terpekik kaget, “Sudah hampir waktunya.” Fulvia berdiri, “Aku harus segera bersiap Irving akan segera datang menjemputnya.”

Dahi orang tua Fulvia langsung berkerut.

Mata Davies menatap tajam adiknya.

“Jangan khawatir, Mama,” Fulvia mencium pipi Countess, “Aku tidak akan tertarik pada Irving. Ia juga tidak akan mencelakakan aku. Kami hanya teman.” Lalu Fulvia berkata pada mereka, “Aku akan kembali sebelum makan malam.”

Fulvia pun pergi meninggalkan mereka.

Fulvia yakin kali ini mereka tidak akan mencurigainya terutama Davies yang sudah mencurigai gerak geriknya. Fulvia juga tahu keluarganya mulai mencemaskan kedekatannya dengan Irving.

Kecemasan mereka benar-benar membuat Fulvia merasa geli. Ia tidak benar-benar dekat dengan Irving seperti yang mereka bayangkan.

Bagi keluarganya, Fulvia telah menghabiskan waktu bersama Irving seharian kemarin tetapi bagi Fulvia, Irving telah memberikan bantuan yang sangat besar kemarin juga hari ini dan untuk beberapa hari mendatang.

Tidak ada apa-apa di antara mereka. Mereka juga tidak berbicara banyak sepanjang perjalanan dari Unsdrell ke kota maupun dari kota ke Unsdrell. Irving dapat dikatakan hanya seorang teman Fulvia yang membantunya meloloskan diri dari Unsdrell setiap pagi dan mengantarnya pula setiap sore. Irving hanya membantunya menjalankan rencananya.

Fulvia tidak khawatir akan terbongkarnya rahasianya. Sekarang yang perlu ia khawatirkan hanyalah kecurigaan keluarganya yang terlalu dibesar-besarkan itu. Tetapi, bagi Fulvia, itu jauh lebih mudah daripada mencari alasan untuk meninggalkan Unsdrell.

Dengan hati riang, Fulvia berangkat ke kota bersama Irving. Fulvia yakin ia akan bisa mengatasi kecurigaan keluarganya.

Suasana hati Fulvia yang gembira itu tertangkap oleh Irving.

“Kulihat pagi ini kau sangat bersemangat,” komentar pria itu setelah kereta yang mereka tumpangi meninggalkan Unsdrell. “Apakah terjadi sesuatu yang baik?”

“Bagaimana Anda tahu?” Fulvia terkejut.

“Semuanya tergambar jelas di wajahmu,” jawab Irving.

Fulvia spontan memegang wajahnya. “Benarkah?” rona merah menghiasi pipi Fulvia.

Irving tidak ingin menjawabnya.

Fulvia tidaklah terlalu pintar untuk mengelabuhi dirinya.

Fulvia juga tidak terlalu pintar untuk menutupi rahasianya.

Fulvia salah besar bila ia mengira Irving tidak tahu kegembiraannya karena rencananya telah berhasil.

Untuk sementara ini, Irving memutuskan untuk membiarkan gadis itu bergembira dulu dengan keberhasilannya. Ia ingin mengetahui apa yang direncanakan gadis itu. Ia ingin tahu sampai di mana kepandaian gadis ini dalam menyusun dan merancang rencananya yang sempurna itu.

No comments:

Post a Comment