Sunday, April 1, 2007

Orang Ketiga-Chapter 4

Sudah dua minggu ini Fulvia menghabiskan hari-harinya.

Fulvia tidak pernah menduga menjaga seorang anak akan sangat menyenangkan. Pada awal mulanya, Fulvia kewalahan menghadapi tingkah Tim. Anak lelaki berusia enam tahun itu tidak mau diam. Ada saja yang dilakukannya. Fulvia hampir putus asa karenanya.

Jehona tersenyum melihatnya. Ia tidak menyalahkan Fulvia juga tidak menegurnya. Dengan sabar ibu muda itu menceritakan pengalamannya setelah melahirkan Tim. Ia juga mendorong Fulvia untuk tetap bersabar menghadapi tingkah putranya.

Dorongan Jehona sangat membantu Fulvia mengatasi rasa putus asanya dan ia menjadi lebih tegar dalam menghadapi ulah bocah kecil itu.

Sepasang suami istri itu tidak mengetahui siapa Fulvia. Mereka hanya menduga Fulvia adalah putrid seorang pedagang kaya dan mereka tidak bertanya banyak. Di sisi lain, Fulvia juga tidak ingin mereka mengetahui apa pun tentang dirinya.

Awal mulanya, Fulvia merasa canggung berada dalam keluarga itu. Ia benar-benar merasakan perbedaan kehidupan mereka dengan keluarganya. Di sini tidak ada pelayan yang selalu siap melakukan apa saja untuknya. Di sini tidak ada kenyamanan-kenyamanan yang ia miliki di Unsdrell.

Di hari pertama Fulvia menghabiskan waktu makan siang di sana, Fulvia benar-benar canggung. Ia tidak pernah menghadapi santapan yang sederhana seperti ini. Di rumahnya, acara makan siang adalah acara yang panjang. Satu per satu makanan mulai dari sup pembuka hingga makanan manis datang bergantian dan sejumlah pelayan siap menanti di Ruang Makan untuk melayani mereka. Sekarang di depannya semua telah tersedia dan tidak ada pelayan yang akan membantunya mengambil lauk pauk di depannya itu. Tidak ada makanan pembuka maupun penutup. Fulvia sadar ia tidak berada di Unsdrell dan ini adalah keputusannya.

Suatu pagi Fulvia terkejut menyadari ia telah terbiasa dengan hidup sederhana mereka. Fulvia sama sekali tidak menduga ia bisa beradaptasi dengan cara hidup mereka dalam waktu singkat ini.

Fulvia menyukai keluarga ini. Ia mulai menyayangi mereka seperti ia menyayangi keluarganya sendiri. Walaupun mereka hidup sederhana, mereka selalu tampak bahagia. Fulvia menyukai suasana hangat dalam keluarga itu seperti ia menyukai suasana hangat dalam keluarganya ketika mereka berkumpul bersama.

Walaupun kini Fulvia telah menjadi satu bagian dari keluarga kecil itu, ia tetaplah berbeda dari mereka. Setiap orang yang melihat gaya bicaranya tahu ia adalah seorang yang berpendidikan. Setiap orang yang melihat keluwesan dan keanggunan gerakannya tahu ia bukanlah anggota kalangan kelas menengah atau kelas bawah.

Brent mengetahui itu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan pembelinya yang berpikir sendiri. Ia juga tidak mengatakan apa-apa kepada tetangga mereka.

Jehona sendiri juga tidak mengatakan apa-apa mengenai Fulvia kepada kawan-kawannya. Wanita yang gemar menghabiskan waktu untuk bergossip ria itu benar-benar mendukung keinginan Fulvia untuk membeli sebuah hadiah dengan hasil jerih payahnya. Ia bahkan memarahi setiap orang yang mencurigai identitas Fulvia.

Sesuai keinginan mereka, Fulvia selalu memasuki toko dengan sembunyi-sembunyi. Ia memasuki tempat itu dari pintu samping yang tersembunyi di dalam lorong kecil dan ia meninggalkan tempat itu dari tempat itu pula. Setiap hari ia menambatkan kudanya di pekarangan tetangga mereka.

Brent tidak mempunyai kuda tetapi tetangganya mempunyainya dan kepada mereka ia mengatakan bahwa itu adalah titipan pelanggannya.

Dukungan mereka terhadapnya benar-benar membuat Fulvia terharu. Fulvia ingin sekali melakukan sesuatu untuk mereka tetapi ia tidak tahu apakah itu. Fulvia dapat membeli baju bagus untuk mereka tetapi Fulvia yakin mereka akan menolaknya. Fulvia bisa saja membawa makanan-makanan yang lezat dari Unsdrell, tetapi itu sama saja menghina masakan Jehona yang tidak kalah dari juru masak Unsdrell. Fulvia juga bisa membawakan berbagai macam mainan untuk Tim juga si kecil Sammy, tetapi Brent pasti tidak setuju. Brent tidak ingin putranya terlalu dimanjakan dan ia lebih tidak ingin putranya hanya bermain sepanjang hari sementara ada banyak pekerjaan yang membutuhkan bantuannya di tempat itu.

Suatu ketika Fulvia menyadari Tim tidak bisa membaca dan itu membuatnya terkejut. Ia ingat ibunya telah mulai mengajarinya membaca semenjak ia masih kecil, lebih kecil dari usia Tim saat ini. Semenjak saat itulah Fulvia tahu apa yang dapat dilakukannya untuk mereka.

Awalnya Tim selalu menolak bila Fulvia mulai mengenalkan alphabet padanya. Ia juga tidak suka setiap kali Fulvia memintanya untuk melakukan tugas yang diberikannya.

Fulvia tidak pernah menduga mengajari seorang anak kecil akan sesulit ini dan ia teringat masa-masa kecilnya. Fulvia tidak pernah menyusahkan Countess ketika Countess mengajarinya membaca dan menulis.

Fulvia ingat ibunya mengajarinya dengan cara yang menarik dan cara itu pulalah yang kemudian digunakannya.

Di Ruang Perpustakaan, Fulvia menemukan kertas-kertas bergambar yang dulu digunakan Countess untuk mendapatkan perhatiannya. Fulvia juga menemukan beberapa buku cerita bergambar. Berbekal benda-benda itulah ia menarik perhatian Tim dan kini Tim mulai dapat menikmati pelajarannya.

Fulvia sangat gembira karenanya. Ia juga tidak segan menjanjikan hadiah bagi Tim setiap kali ia mempunyai kemajuan besar.

Brent tidak suka setiap kali Fulvia memberi mainan kepada Tim sebagai hadiah atas keberhasilannya tetapi kemudian ia tidak pernah menentang niat Fulvia. Ia mengerti Fulvia hanya ingin mendorong semangat Tim untuk terus maju. Perlahan ia mulai merasakan manfaat Fulvia di sana.

Fulvia, si gadis kaya, benar-benar merepotkannya pada awal mulanya. Ia tidak terlalu menyukai keberadaan gadis kaya itu di rumahnya. Ia tidak menyukai sikap Fulvia yang jelas-jelas menunjukkan keheranannya melihat kesederhanaan hidup mereka. Tetapi gadis itu telah belajar menyesuaikan diri. Kini gadis kaya itu telah menjadi guru pribadi anaknya dan ia berterima kasih karenanya.

Jehona juga sangat gembira. Sekarang Tim jauh lebih pendiam. Ia tidak lagi banyak bertingkah seperti dulu dan tidak lagi merepotkannya.

Di saat ia mempunyai waktu, Tim akan mengerjakan tugas-tugas yang ditinggalkan Fulvia untuknya. Tim menjadi semakin tekun dan rajin karena Fulvia selalu memberikan hadiah padanya atas keberhasilannya walaupun itu tidak selalu berupa mainan. Apa pun bentuk hadiah Fulvia, Tim selalu menyukainya. Tim menyukai gadis itu.

Fulvia sangat berterima kasih pada Audrey. Ia tidak akan mempunyai pengalaman yang menyenangkan seperti ini bila bukan karena kakak sepupunya itu. Fulvia merasa bersalah karena telah membuat Audrey membantunya mengelabuhi keluarganya dan ia semakin merasa bersalah karena ia tidak pernah menemuinya semenjak hari itu.

Hari ini Fulvia telah memutuskan untuk menemui Audrey. Ia akan meminta ijin pada Brent untuk pulang lebih awal. Dan itulah yang akan dilakukannya sekarang.

“Bila Anda tidak keberatan, Tuan Brent,” kata Fulvia sopan, “Hari ini saya ingin pulang lebih awal.”

Jehona menatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Saya ingin mengunjungi kerabat saya,” Fulvia menjelaskan.

“Sebaiknya engkau segera pergi ke sana,” kata Brent mengijinkan.

“Benarkah itu, Tuan Brent?” Fulvia gembira.

“Aku tidak ingin membuat orang tuamu cemas.”

“Baik,” Fulvia berdiri, “Saya mengerti.” Lalu ia berkata pada Jehona, “Ijinkan saya meminjam kamar Anda.”

“Silakan.”

Fulvia bergegas mengganti bajunya.

“Ia anak yang baik,” Jehona berkata pada suaminya, “Ia banyak membantuku.”

“Ya,” Brent sependapat, “Ia juga telah membantu kita mengajari Tim. Kadang aku merasa bersalah padanya. Bayarannya sebagai seorang guru terlalu kecil untuknya.”

“Tetapi ia sendiri juga tidak ingin dibayar terlalu tinggi,” Jehona mengingatkan, “Ia sendiri yang meminta kita untuk memberinya uang sejumlah yang ia butuhkan.”

“Ya,” gumam Brent.

Fulvia telah mengatakan pada mereka di hari pertama ia bekerja di sana. Fulvia hanya ingin bayaran sesuai dengan harga kotak musik itu dan untuk itu ia bersedia untuk membantu mereka selama sebulan mendatang. Fulvia telah mengatakan pada mereka bahwa mereka bisa memberinya uang itu sebulan mendatang sesuai dengan jumlah yang diinginkannya. Fulvia tidak ingin merasa terbebani oleh masalah gajinya karena itu pula ia tidak pernah mengungkitnya lagi. Fulvia akan menanti saat itu dengan sabar.

Setiap hari Fulvia selalu menyempatkan diri untuk melalui toko itu. Fulvia ingin memastikan tidak ada orang yang membeli kotak musik itu dan ia sendiri selalu berdoa agar tidak ada yang mendahuluinya.

Fulvia keluar tak lama setelahnya.

“Fulvia,” panggil Tim, “Kau akan pulang?”

“Ya, Tim,” Fulvia berlutut di depan anak itu, “Aku harus melakukan sesuatu.”

“Besok kau akan datang lagi?”

“Ya,” Fulvia berjanji, “Aku akan membawa makanan manis untukmu bila kau mengulang apa yang kuajarkan padamu hari ini.”

“Aku janji.”

Fulvia tersenyum senang dan ia berdiri.

“Tuan Brent,” kata gadis itu, “Bila Anda tidak keberatan bisakah Anda memberi saya dua potong roti Anda yang lezat itu? Saya ingin memberikannya pada kerabat saya.”

“Tentu,” Brent langsung mengambil dua potong besar roti yang baru saja dikeluarkannya dari dalam panggangan.

Fulvia merogoh sakunya untuk membayar roti-roti itu.

“Tidak perlu,” Jehona cepat-cepat menahan tangan Fulvia, “Kau tidak perlu membayarnya.”

“Tetapi…,” Fulvia ragu-ragu.

“Anggaplah kami memberikannya padamu,” Brent menegaskan.

Fulvia menatap kedua orang itu.

“Baiklah,” Fulvia menyerah, “Terima kasih.”

Setelah berpamitan pada mereka, Fulvia langsung melajukan kudanya ke Greenwalls. Ia sudah tidak sabar untuk segera menceritakan pengalamannya kepada Audrey.

Fulvia menambatkan kudanya di pekarangan Greenwalls dan mengetuk pintu Greenwalls yang tertutup rapat itu.

Seorang pelayan muncul.

“Ah, Tuan Puteri, selamat datang,” pelayan itu memberi jalan pada Fulvia. “Sungguh kebetulan sekali. Nyonya baru saja akan mencari Anda.”

“Mencariku?” Fulvia heran, “Apa yang terjadi?”

“Saya tidak tahu.”

“Di mana ia?” tanya Fulvia.

“Nyonya berada di dalam kamarnya.”

Fulvia langsung melangkah ke lantai atas, ke kamar Audrey.

“Fulvia! Apakah itu kau? Aku mendengar suaramu!” seseorang berdiri di puncak tangga menuju lantai dua dengan wajah paniknya.

Fulvia cemas melihat kepanikan kakak sepupunya dan ia mempercepat langkahnya.

Audrey lega melihat Fulvia. “Aku baru saja akan menyuruh pelayan pergi ke Unsdrell,” katanya.

“Apa yang terjadi padamu, Audrey? Apakah kalian bertengkar lagi?”

“Ini lebih gawat dari itu, Fulvia,” Audrey tampak tidak sabar, “Davies, kakakmu tadi datang.”

“Apa!?” Fulvia terpekik kaget. Ia sama sekali tidak menduga Davies akan datang ke Greenwalls.

Celakalah sudah. Davies pasti telah mengetahui semuanya. Davies pasti akan memberitahu orang tuanya. Mereka akan marah besar.

“Apa yang dilakukan Davies di sini?” tanyanya panik.

“Ia baru saja mengunjungi temannya dan ia mampir untuk melihatmu,” jawab Audrey.

“Apa yang dikatakannya? Engkau tidak mengatakan apa pun padanya, bukan?”

“Tentu saja. Aku pasti tidak ada di sini bila ia telah mengetahui semuanya,” canda Audrey. “Aku mengatakan padanya bahwa kau pergi ke kota untuk membeli sesuatu.”

“Dan ia percaya?”

“Tentu saja. Ia tidak mungkin tidak mempercayaiku,” kata Audrey bangga.

Fulvia lega.

Audrey menatap Fulvia lekat-lekat, “Fulvia, kurasa kau harus mencari alasan lain. Aku juga tidak bisa terus menerus menutupi hal ini dari mereka. Kudengar Trevor maupun Richie juga sudah tidak tahan lagi oleh kepergianmu ke sini. Cepat atau lambat mereka pasti akan tahu.”

“Jangan khawatir,” Fulvia meyakinkan, “Besok aku akan meminta mereka mengantarku ke sini. Pasti tidak akan ada yang curiga.”

Audrey menatap Fulvia dengan cemas.

“Bagaimana keadaan Lewis?” Fulvia mengalihkan topik pembicaraan, “Mengapa aku tidak melihat Lewis?”

Raut wajah Audrey langsung berubah. “Aku tidak tahu. Semalam ia tidak pulang.”

Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa ia telah mencari topic pembicaraan yang salah.

“Jangan kau khawatirkan,” Fulvia mengbibur, “Aku yakin Lewis baik-baik saja.”

“Kurasa ia pasti mabuk-mabukan lagi,” raut wajah Audrey kian mendung.

“Audrey, apakah kau mau mendengar ceritaku?” Fulvia menggandeng Audrey ke kamar wanita itu, “Aku punya banyak cerita yang ingin kukatakan padamu. Aku ingin kau tahu apa saja yang kulakukan selama ini.”

“Kau berhutang itu padaku,” Audrey segera terpancing oleh Fulvia, “Aku telah membantumu menutupi kebohonganmu.”

Fulvia tersenyum. Ia memang berhutang budi pada Audrey dan satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menceritakan pengalaman menariknya pada Audrey. Hanya Audrey yang tahu apa yang dilakukannya belakangan ini dan Fulvia ingin meyakinkan kakak sepupunya itu bahwa ia tidak melakukan sesuatu pun yang berbahaya.

Davies tidak bertanya apa-apa mengenai kepergiannya hari ini. Davies juga tidak mengatakan apa-apa pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya dari Greenwalls dan itu sangat melegakan Fulvia.

Hari ini, setidaknya, Davies percaya ia pergi ke kota untuk membeli sesuatu ketika ia datang. Tetapi besok atau lusa bila kejadian ini terulang lagi, Fulvia tidak yakin Davies akan percaya.

“Kau akan pergi ke Greenwalls lagi?”

Fulvia menoleh.

Davies memperhatikan pelayan memasukkan sebuah keranjang besar ke dalam kereta.

“Ya,” jawab Fulvia, “Aku telah berjanji pada Audrey untuk membawakan makanan kesukaannya.”

“Pelayan bisa meminta kita mengirimnya ke sana,” kata Davies, “Kau tidak perlu khusus ke sana untuk mengantarnya.”

“Aku telah berjanji pada Audrey,” Fulvia cepat-cepat memikirkan cara untuk meyakinkan kakaknya, “Aku telah berjanji pada Audrey untuk melihatnya hari ini. Kemarin malam Lewis tidak pulang. Aku ingin tahu apakah ia sudah pulang atau belum.”

“Lewis tidak pulang?”

“Apakah Audrey tidak memberitahumu?” tanya Fulvia, “Kemarin malam Lewis tidak pulang dan ia belum pulang ketika sore hari aku ke sana.”

Dahi Davies berkerut.

Fulvia terkejut. Ia menyadari kesalahannya. “Maksudku ketika aku pulang dari kota,” Fulvia cepat-cepat membenarkan ucapannya, “Kemarin aku pergi ke kota untuk membeli roti bagi Audrey. Aku tahu sebuah toko roti yang lezat dan aku pikir aku akan bisa membuat Audrey sedikit melupakan kepergian Lewis bila kami mempunyai sesuatu yang lezat untuk mengisi perut.”

Kerutan di dahi Davies tidak menghilang.

“Aku harus segera pergi,” Fulvia ingin segera meninggalkan tempat itu sebelum ia semakin mengatakan sesuatu yang membuat Davies semakin mencurigainya, “Audrey pasti telah menantiku.”

Fulvia bergegas memasuki kereta.

“Fulvia.”

Fulvia terkejut.

“Berhati-hatilah.”

“Tentu,” Fulvia melambaikan tangan dan ketika kereta mulai bergerak meninggalkan Unsdrell, Fulvia merasa sangat lega. Ia tidak tahu harus berkata apa bila Davies melarangnya pergi. Ia tidak tahu harus berbuat apa bila Davies ikut bersamanya.

Fulvia merasa beban berat telah terangkat dari pundaknya.

Kereta segera beranjak ke Greenwalls seperti keinginan Fulvia.

Audrey terkejut melihat kedatangan Fulvia pagi itu.

“Tak kusangka kau benar-benar muncul pagi ini,” komentarnya melihat Fulvia.

Fulvia tertawa. “Aku telah mengatakannya padamu.”

“Apa yang kaubawa itu?” tanya Audrey menatap keranjang di tangan Fulvia, “Kau tidak membawa roti lagi, bukan? Aku belum menghabiskan roti pemberianmu kemarin.”

“Aku yakin kau tidak akan melewatkan ini,” Fulvia meletakkan keranjangnya di meja dan mengeluarkan isinya, “Musshroom Puffs Pastry.”

“Kau memang tahu bagaimana membujuk orang,” keluh Audrey.

Fulvia tertawa. Ia meletakkan pastry isi jamur kesukaan Audrey itu di meja.

“Kurasa kau telah membuat seisi Unsdrell sibuk sejak pagi.”

“Apa boleh buat. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan kecurigaan Davies.”

Fulvia menutup kembali keranjangnya. “Bagaimana Lewis? Apakah ia sudah pulang?”

“Ya,” nada suara Audrey langsung berubah, “Ia baru pulang dini hari tadi dan sekarang ia masih tidur di kamar.”

“Apa ia mengatakan sesuatu tentang kepergiannya?” Fulvia bertanya prihatin.

“Tidak,” Audrey terlihat sangat sedih, “Kurasa ia tidak akan pernah memberitahuku.”

Fulvia turut bersedih melihat kakak sepupunya itu. “Aku sungguh ingin menemanimu hari ini,” katanya sedih, “Tetapi aku tidak dapat.”

“Kau akan pergi?”

“Aku telah terlambat,” Fulvia menenteng keranjangnya, “Aku tidak ingin membuat mereka mencemaskanku.”

“Bagaimana kau akan ke sana?”

“Aku akan berjalan kaki ke sana,” jawab Fulvia.

“Sendirian?”

“Jangan khawatir, Audrey. Tempat itu tidak jauh dari Greenwalls,” Fulvia menuju pintu.

“Sampai kapan kau akan terus begini? Aku tidak yakin aku bisa membantumu lebih lama lagi. Hidung Davies sudah mulai mencium ketidakberesan di antara kita.” Audrey mengikuti Fulvia ke pintu masuk.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan melibatkanmu. Dua minggu lagi semua ini akan selesai. Aku akan sangat berhati-hati sampai semua ini selesai.”

“Aku pergi,” katanya lalu ia menatap Audrey, “Dan jangan berpikir terlalu banyak. Aku pasti akan menemanimu begitu semua ini selesai.”

“Aku akan sangat menantikannya,” kata Audrey.

Fulvia melambaikan tangannya ke Audrey dan berjalan meninggalkan Greenwalls.
Audrey terus berdiri di pintu masuk sampai Fulvia menghilang di jalan raya.

Dua minggu lagi…

Sedikit lagi…

Fulvia tidak akan membiarkan rencananya ini rusak dan ia akan melakukan apa pun demi keberhasilan rencananya ini.

Semua orang pasti akan mengatakan ini adalah rencana paling gila dari seorang putri bangsawan tetapi bagi Fulvia ini adalah rencana yang hebat. Ia benar-benar menikmati rencananya ini dan ia menyukai pengalaman ini.

“Maafkan keterlambatan saya,” Fulvia muncul dengan senyum manisnya.

Brent keheranan melihat kedatangan Fulvia melalui pintu depan. “Kau tidak membawa kudamu?”

“Ya,” jawab Fulvia, “Saya pergi ke rumah kerabat saya sebelum ke sini.”

“Fulvia! Fulvia!” seorang anak kecil berlari keluar, “Aku telah mengulanginya. Kau telah berjanji padaku untuk memberiku sesuatu. Aku telah mengulangi semuanya.”

Fulvia tersenyum. “Ya, aku percaya padamu.”

Jehona melihat keranjang di tangan Fulvia. “Apa yang kaubawa?”

“Saya membawa Circletes,” Fulvia meletakkan keranjangnya di meja terdekat, “Saya yakin kalian akan menyukai kue almond ini.” Fulvia menatap bayi yang sedang tertidur nyenyak di gendongan wanita itu. “Sayang sekali kau masih tidak bisa memakannya, Sammy. Kalau kau sudah lebih besar, aku akan membawakannya untukmu.”

Seolah mengerti apa yang dikatakan Fulvia, bayi itu tersenyum.

“Apakah aku boleh memakannya?” tanya Tim.

“Tidak, Tim,” kata Fulvia tegas, “Tidak sebelum kau mengulang apa yang telah kau pelajari kemarin padaku.”

Tim kecewa.

“Ijinkan saya meminjam kamar Anda, Nyonya Jehona.”

“Silakan.”

Fulvia bergegas mengganti gaunnya.

Tim dengan tidak sabar menanti gadis itu mengganti pakaiannya. Ia sudah tidak sabar membacakan buku yang telah dibacanya kemarin malam kepada Fulvia. Ia sudah tidak sabar menunjukkan pada gadis itu bahwa ia telah mengulang pelajarannya kemarin. Dan yang paling dinantikannya adalah memakan kue yang dibawa Fulvia.

Fulvia sangat mengerti keinginan anak itu dan ia menahan keinginan itu lebih lama lagi. Begitu ia mendengar Tim membaca buku dongeng itu dengan lancar, ia membiarkan anak itu menghabiskan makanan yang dibawanya.

Inilah awal kegiatan Fulvia di tempat itu. Semuanya berjalan seperti biasa tanpa ada sesuatu yang istimewa. Kalaupun ada itu karena Fulvia tengah memikirkan alasan baru untuk meninggalkan Unsdrell.

Keriangan dan kelincahan Tim benar-benar membantu Fulvia untuk melupakan segala kerisauan hatinya di hari itu. Ia benar-benar hampir melupakan rahasianya yang hampir terbongkar ini.

Tetapi ketika sore beranjak dan tiba waktunya bagi Fulvia untuk pulang, pikiran itu kembali menghantui Fulvia.

Fulvia meninggalkan tempat itu dengan senyuman tetapi tak lama setelahnya ia kembali berkutat dengan kegalauan hatinya.

Fulvia berpikir keras.

Audrey benar ia sudah tidak bisa menggunakan cara ini untuk mengelabui Davies terus-terusan. Ia juga tidak bisa setiap hari membawa sesuatu untuk Audrey seperti pagi ini. Davies pasti akan curiga padanya.

Rahasianya pasti akan terbongkar. Ini hanya masalah waktu.

Tetapi, kurang dua minggu lagi dan semuanya akan selesai. Fulvia tidak dapat menyerah. Fulvia tidak dapat membiarkan seorang pun tahu. Fulvia harus memikirkan cara lain untuk menutupinya. Sebuah alasan tepat yang tidak akan membuat keluarganya maupun kakak-kakak sepupunya curiga.

Kedua orang tuanya bukanlah masalah besar baginya. Count maupun Countess percaya setiap hari Fulvia pergi menemani Audrey. Countess bahkan mendukungnya. Seperti yang pernah dikatakan Countess Kylie, Audrey membutuhkan teman. Karena itulah ia membiarkan putrinya pergi ke Greenwalls setiap harinya.

Di sisi lain Davies yang sudah kewalahan oleh pertengkaran Trevor maupun Richie, mulai mencurigainya apalagi setelah kemarin Davies mendapati ia tidak berada di Greenwalls.

Jalan yang paling mudah adalah memberitahu Davies dan meminta dukungannya tetapi itu juga adalah cara yang paling tolol. Davies tidak akan pernah mengijinkannya melakukan ini.

Fulvia harus menemukan alasan baru agar kakaknya tidak curiga.

Bahu Fulvia berselisihan dengan seseorang.

Fulvia kaget. Keseimbangan tubuhnya langsung hilang oleh tubrukan keras itu dan keranjangnya terlepas dari tangannya.

Tangan orang itu langsung terulur menarik lengan Fulvia.

“Te… terima kasih,” Fulvia masih belum pulih dari kekagetannya.

“Apa yang kaulakukan di sini?” sepasang mata dingin itu menatap Fulvia.

Fulvia terkejut menyadari siapa yang baru ditabraknya itu.

“Apa yang kau tidak sadar kau membahayakan dirimu sendiri dengan melamun sepanjang jalan,” dahi Irving berkerut ketika ia membungkuk mengambil keranjang Fulvia. “Dan pada waktu seperti ini.”

Nada-nada penuh peringatan itu mengingatkan Fulvia akan larutnya keadaan saat itu.

“Oh,” Fulvia sadar, “Maafkan saya. Saya sedang memikirkan sesuatu.”

Tiba-tiba Fulvia merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Fulvia tidak melihat seorang wanita pun di sisi Irving!

“Anda sendirian, M’lord?” pertanyaan itu terlempar begitu saja.

Irving tidak berminat menjawabnya.

Tiba-tiba Fulvia mendapat ide.

“Bila Anda berkenan, M’lord,” Fulvia berkata sopan, “Apakah Anda bersedia mengantar saya pulang?”

Irving terkejut. Lagi-lagi gadis ini melakukan sesuatu yang benar-benar di luar dugaannya.

“Kereta keluarga saya telah pulang dan saya tidak yakin saya dapat menemukan kereta kuda untuk membawa saya pulang sebelum hari gelap. Saya telah berkeliling di tempat ini tetapi saya tidak menemukan sebuah kereta kuda pun.”

Fulvia tidak berbohong karena kereta keluarganya telah pulang setelah mengantarkannya ke Greenwalls. Saat ini Fulvia juga sedang berpikir sambil mencari kereta kuda sewaan.

“Tentu saja,” katanya.

Fulvia senang. Ia menemukan alasan untuk meninggalkan Unsdrell esok hari.

Tanpa berkata panjang lebar, Irving membawa Fulvia ke kereta kudanya. Mereka juga tidak bercakap-cakap hingga kereta kuda Irving tiba di Unsdrell.

Davies sudah menanti Fulvia di serambi dengan wajah menakutkannya. Ia sudah benar-benar tidak sabar. Hari semakin larut. Langit kemerahan musim panas sudah mulai menggelap ketika akhirnya kereta itu memasuki pekarangan Unsdrell.

Davies heran melihat Irving turun dari kereta itu dan ia terkejut melihat Irving membantu Fulvia turun dari dalam kereta kuda itu.

“Terima kasih, M’lord,” kata Fulvia sambil tersenyum manis, “Saya akan sangat menantikan pertemuan kita besok pagi.”

Mata Irving meruncing sementara itu mata Davies langsung membelalak lebar.

Irving menatap tajam gadis itu. Apakah ia mengatakan pada gadis ini bahwa ia akan membawanya pergi besok pagi? Apa yang sedang direncanakan gadis ini?

Davies menatap tajam pria di sisi Fulvia. Apa yang akan dilakukan pria itu terhadap Fulvia?

Irving merasakan tatapan curiga itu dan ia tidak menyukainya. Ia tidak suka cara Davies menuduhnya seperti ini. Davies tidaklah lebih tua darinya. Mereka seumur! Tetapi ia bertindak seolah-olah ialah yang paling tua di antara mereka.

Irving tidak merencanakan apa pun dan bila ada yang sedang menyembunyikan sesuatu di antara mereka, itu adalah Fulvia.

Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini tetapi Irving yakin ia mempunyai niat tidak baik. Sesuatu dalam diri Irving memperingatkan Irving akan bahaya yang akan disebabkan gadis ini pada dirinya.

Irving memutuskan ia akan mengikuti permainan gadis ini. Ia akan membiarkan gadis ini menduga rencananya telah berhasil. Ia akan membiarkan gadis ini berpuas diri sebelum ia menjungkirbalikkan rencananya itu.

“Selamat malam, M’lord,” kata Fulvia.

“Selamat malam, M’lady,” Irving meraih tangan Fulvia dan menciumnya. “Saya akan menantikan pertemuan kita besok pagi.”

Davies ingin sekali menjauhkan pria itu dari Fulvia dan menghajarnya.

Fulvia tersenyum gembira. Besok ia akan dapat pergi dengan bebas tanpa kecurigaan Davies.

No comments:

Post a Comment