Saturday, March 31, 2007

Orang Ketiga-Chapter 3

Acara makan malam semalam benar-benar menyenangkan.

Semua anggota ketiga keluarga itu berkumpul dalam satu meja makan besar dan bercakap-cakap dengan riang. Semua tampak gembira.

Sepanjang malam mereka bergurau dan membicarakan masalah-masalah ringan.

Audrey juga tertawa lepas.

Fulvia sangat menikmati acara semalam.

Walaupun tidak ada musik yang mengalun lembut, tidak ada hiasan-hiasan indah ataupun tamu dalam baju mewah, Fulvia merasa sangat gembira. Bahkan ia merasa acara semalam jauh lebih meriah dan lebih menyenangkan dari pesta-pesta yang pernah ia datangi.

Countess Horace benar. Mereka sudah lama tidak berkumpul seperti ini.

Hubungan ketiga keluarga ini sangatlah dekat. Orang-orang mengatakan, di mana ada keluarga Garfinkelnn, di situ pulalah keluarga Silverschatz dan keluarga Ousterhouwl.

Walaupun tidak jelas bagaimana hubungan saudara mereka, Fulvia tahu ia masih berkerabat dengan dua keluarga yang lain. Tapi bukan itulah satu-satunya alasan kedekatan hubungan mereka. Ketiga pasang orang tua dalam ketiga keluarga itu adalah sahabat sejak lama. Dan anak-anak mereka juga berteman satu sama lain.

Audrey yang paling tua di antara mereka sudah merupakan kakak bagi mereka berempat.

Ketiga putra dalam tiga keluarga itu adalah teman sepermainan semenjak kecil. Usia mereka yang terpaut tidak jauh, membuat mereka dapat saling memahami. Begitu dekatnya hubungan mereka bertiga hingga tiap orang akan mengatakan mereka adalah kakak beradik.

Dan, Fulvia, yang paling muda dalam ketiga keluarga ini adalah adik yang paling disayangi keempatnya. Begitu sayangnya mereka pada Fulvia hingga Trevor selalu bertengkar dengan Richie demi mendapatkan Fulvia.

Tidak ada yang menganggap serius pertengkaran kedua sepupu itu kecuali Davies.

Bagi ketiga pasang orang tua itu, Davies cemburu karena ia tersingkirkan dalam persaingan keduanya.

Audrey sudah mulai mengenal cinta ketika pertengkaran itu dimulai dan ia telah berumah tangga ketika pertengkaran antara Trevor dan Richie semakin jelas. Audrey terlalu repot untuk mengurusi pertengkaran mereka yang menurutnya kekanak-kanakan itu.

Fulvia sendiri tidak pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri pertengkaran itu. Walaupun begitu, ia tahu perselisihan antara Trevor dan Richie itu ada.

Fulvia tahu ia tidak pernah menganggap kedua kakak sepupunya itu serius terhadapnya. Ia menyayangi mereka seperti kakaknya dan ia tidak akan pernah jatuh cinta pada seorang di antara mereka. Fulvia selalu dan selalu mengatakan itu pada mereka tapi keduanya tidak pernah sungguh-sungguh mendengarnya.

Mereka bercakap-cakap hingga larut malam dan mereka mungkin akan terus bercakap-cakap hingga pagi bila bukan karena Fulvia teringat ia masih mempunyai rencana esok hari.

Fulvia tidak akan mengatakannya pada mereka. Ia tidak akan membiarkan seorang pun terutama kedua orang tuanya tahu karena ini adalah rahasia.

Fulvia telah memantapkan hati untuk membeli kotak musik yang dilihatnya sore ini. Ia akan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya.

Semalam Fulvia telah memutuskan dan pagi ini ia sudah tidak sabar untuk segera membelinya.

Ulang tahun pernikahan orang tuanya memang masih sebulan lebih lagi tetapi Fulvia tidak ingin hadiah pilihannya dibeli oleh orang lain. Fulvia ingin segera membeli dan menyimpannya hingga hari itu tiba. Tetapi untuk dapat membelinya tanpa sepengetahuan orang tuanya, Fulvia perlu mencari alasan yang tepat.

Ketika itulah ide itu datang dengan tiba-tiba. Ia bisa menjenguk Audrey setelah membelinya dan meminta kakak sepupunya itu untuk menilai hadiah pilihannya.

Pagi itu Fulvia meminta ijin pada kedua orang tuanya untuk menemui Audrey. Fulvia tidak ingin Trevor maupun Richie tiba sebelum ia pergi. Untunglah kedua orang tuanya tidak bertanya panjang lebar. Davies juga tidak bersikeras untuk menemaninya.

Kereta keluarga mereka telah menanti di depan pintu ketika Fulvia tiba.

“Aku ingin pergi ke kota dulu,” bisiknya pada kusir kuda yang tanpa bertanya langsung mengantarnya ke kota, ke tempat yang ia inginkan.

Fulvia mengamati kotak musik di balik jendela toko itu.

Dengan langkah mantap, Fulvia melangkah ke toko itu. Hatinya gembira membayangkan reaksi kedua orang tuanya ketika menerima hadiah itu.

Selangkah lagi Fulvia akan memasuki toko itu ketika pikiran itu tiba-tiba datang padanya.

Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah yang lain?

Tahun lalu ia membeli sebuah lukisan yang indah untuk mereka. Dan tahun sebelumnya ia membelikan orang tuanya sebuah hiasan yang cantik. Tahun-tahun sebelumnya ia juga membelikan sesuatu untuk mereka.

Fulvia menginginkan sebuah hadiah yang istimewa.

Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah-hadiah sebelumnya bila ia membelinya dengan uang orang tuanya?

Orang tuanya memang telah memberikan uang tersendiri untuknya tetapi uang itu tetap uang mereka. Uang itu bukanlah hasil kerja kerasnya.

Fulvia termangu.

Kotak musik yang cantik itu akan menjadi semakin istimewa bila ia membelinya dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Tetapi…

Fulvia tidak bisa mencari uang sendiri. Fulvia yakin kedua orang tuanya tidak akan setuju dengan idenya ini. Davies juga pasti akan menganggapnya gila. Lagipula siapa yang akan mempekerjakan seorang putri bangsawan sepertinya?

Fulvia sadar ia tidak mempunyai kemampuan spesial apa-apa. Ia hanya bisa melakukan apa yang seorang bangsawan wanita harus bisa. Ia bisa bermain piano dengan indah. Ia bisa membuat sebuah puisi yang indah. Ia juga mempunyai tata karma yang tinggi. Ia bisa berjalan elok sebagaimana layaknya seorang bangsawan. Ia mampu berbicara dalam beberapa bahasa terutama bahasa Latin. Tetapi keluarga bangsawan manakah yang akan mempekerjakannya? Para bangsawan yang lain pasti lebih suka memilih seseorang yang berpengalaman darinya.

Fulvia termangu.

Ia berjalan meninggalkan toko itu dengan pikiran kacau.

Adakah seorang di antara tempat ini yang mau mempekerjakannya?

Fulvia melihat sekelilingnya. Ia bukan bagian dari tempat ini. Ia adalah bagian dari kalangan atas bukan kalangan menengah ataupun kalangan bawah. Tidak akan ada seorang pun yang bersedia mempekerjakannya.

Fulvia berkeliling seiring langkah kakinya. Ketika Fulvia menyadari ia telah berjalan terlalu jauh dari kereta keluarganya, ia mendapati dirinya berada di depan sebuah toko roti.

Fulvia mencium bau wangi roti dari dalam tempat itu. Wangi itu benar-benar memikatnya dan membangkitkan selera makannya.

Tiba-tiba terpikir oleh Fulvia untuk membeli beberapa potong roti untuk Audrey. Dengan hati riang, Fulvia pun mendekat.

“Selamat pagi, Nona,” sambut sang penjaga, “Anda ingin membeli roti?”

“Ya,” jawab Fulvia, “Bisakah Anda memberi saya tiga potong?”

Fulvia akan memberikan 2 potong untuk Audrey dan ia akan menyimpan sepotong yang lainnya untuk keluarganya.

“Brent, bisakah kau membantuku?”

“Sebentar, Jehona, aku mempunyai pembeli.”

Pintu di dinding barat ruang sedang itu terbuka dan seorang anak kecil keluar dalam keadaan telanjang bersamaan suara tangis bayi.

“Tim!” seorang wanita muncul dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baju di tangannya, “Jangan berlari-lari!” lalu wanita itu menoleh pada pria di depan Fulvia, “Brent! Bantu aku sekarang juga!”

Fulvia kebingungan melihat keributan dalam keluarga itu.

“Maafkan saya, Nona.”

“Tidak mengapa,” Fulvia tersenyum, “Saya tidak terburu-buru.”

Pria yang dipanggil Brent itu segera menangkap putranya yang mulai membuat kekacauan di tempat kerjanya sementara itu wanita muda itu bergegas masuk ke dalam ruangan.

“Sudah kukatakan kita harus mencari seseorang untuk membantu kita,” terdengar wanita itu mengeluh, “Aku tidak bisa melakukan ini semua seorang diri. Aku harus merawat Tim, menjaga Sammy, membantumu juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku benar-benar kewalahan.”

Fulvia mendapat ide.

“Aku tahu,” Brent mendudukan putranya dengan paksa kemudian mengenakan baju padanya, “Kita tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja.”

“Maafkan kelancangan saya,” Fulvia memberanikan diri, “Apakah Anda membutuhkan seseorang? Bila anda tidak keberatan, saya bisa membantu Anda.”

Jehona langsung melongok keluar.

Brent menatap Fulvia lekat-lekat. Ia memperhatikan Fulvia dari atas mulai dari bawah.

“Saya melihat Anda tidak membutuhkan uang, Nona.”

Fulvia kecewa. Ia sudah dapat menduga penolakan pria itu tetapi ia tidak akan menyerah semudah itu ketika kesempatan seperti ini ada di depan matanya.

“Ya, Anda bisa mengatakannya seperti itu tetapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Saat ini saya ingin sekali mencari uang dengan jerih payah saya untuk membeli hadiah.”

“Hadiah?” Jehona keluar sambil menggendong seorang bayi mungil.

“Ya, saya ingin membeli hadiah yang istimewa untuk kedua orang tua saya,” Fulvia menjelaskan, “Bulan depan adalah ulang tahun pernikahan mereka dan saya ingin memberikan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.”

Brent mengamati Fulvia. “Saya rasa Anda tidak mengalami kesulitan untuk membeli apa pun yang Anda inginkan,” ia mencermati gaun Fulvia yang menunjukkan derajatnya.

Hati Fulvia menciut melihatnya.

“Hebat!” pekik gembira Jehona itu membuat Fulvia terkejut. “Jadi Anda ingin mengumpulkan uang untuk membeli hadiah ulang tahun pernikahan orang tua Anda.”

“Ya,” Fulvia kebingungan melihat wanita itu tiba-tiba mendekatinya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ini luar biasa!” Jehona berseru gembira, “Saya membutuhkan seseorang untuk membantu saya dan Anda membutuhkan pekerjaan. Ini benar-benar luar biasa!”

“Jehona! Kita tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja pun!” Brent menegaskan, “Lagipula apa kau tidak dapat melihatnya! Ia tidak cocok melakukan pekerjaan kasar.”

“Tidak mengapa, Brent,” kata Jehona gembira, “Aku tahu. Ia cukup membantuku menjaga Tim dan Sammy. Aku yakin ia bisa melakukan itu.”

Fulvia merasa ia mempunyai harapan. “Tentu,” katanya gembira.

“Bagus,” Jehona puas, “Kapan Anda bisa mulai?”

“Jehona!”

“Jangan khawatir, Tuan Brent,” kata Fulvia, “Saya tidak membutuhkan banyak uang. Hadiah yang ingin saya beli juga tidak mahal. Saya juga mempunyai waktu cukup sebelum hari ulang tahun pernikahan orang tua saya itu. Anda tidak perlu merasa terbebani untuk membayari saya. Berapa pun yang Anda berikan pada saya, saya tidak keberatan.”

“Kau dengar itu!?” Jehona tampak sangat puas.

Brent melihat kesungguhan Fulvia dan kepuasan Jehona.

“Anda tidak cocok berada di sini dengan gaun seperti itu,” katanya kemudian.

Fulvia tersenyum gembira. Ia tahu pria itu telah luluh hatinya.

“Saya mengerti. Besok saya akan datang dengan baju yang lebih sesuai.”

“Besok Anda akan mulai?” Jehona bertanya lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Ya,” Fulvia meyakinkan, “Saya yakin besok saya bisa datang.”

“Bagus! Bagus!” Jehona tampak sangat puas.

“Besok Anda bisa datang kurang lebih pada waktu yang sama seperti saat ini,” kata Brent.

“Terima kasih, Tuan Brent,” Fulvia gembira, “Saya rasa ada sesuatu yang belum Anda berikan pada saya.”

Brent bertanya-tanya.

“Anda belum memberi saya tiga potong roti yang ingn saya beli.”

Brent langsung bangkit untuk mengambil roti permintaan Fulvia.

Fulvia langsung membayar roti-roti itu dan pergi ke rumah Audrey dengan gembira.

Jehona benar, ini benar-benar luar biasa. Baru saja ia bingung bagaimana mendapatkan uang untuk membeli hadiah bagi orang tuanya ketika ia mendapatkan kesempatan itu. Fulvia merasa semuanya seperti telah diatur tetapi ia tidak merasa keberatan. Ia sangat gembira karenanya.

Sekarang Fulvia harus memikirkan alasan meninggalkan Unsdrell untuk esok dan seterusnya. Fulvia yakin ini akan lebih mudah. Ia bisa mengatakan pada orang tuanya bahwa ia ingin mengunjungi Audrey dan Audrey juga tidak akan keberatan membantunya.

Di antara semua keluarganya, hanya Audrey yang mengerti dirinya. Audrey mungkin tidak setuju dengan keinginannya ini tetapi setelah ia menjelaskannya, Audrey pasti dapat mengerti keinginannya ini.

Seperti yang diperkirakan Fulvia, Audrey tidak setuju dengan rencananya itu.

“Aku tidak setuju!” kata Audrey tegas, “Aku tidak akan pernah membiarkanmu melakukan itu!”

“Tapi, Audrey,” pinta Fulvia, “Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya ingin membeli sebuah hadiah dengan hasil jerih payahku sendiri.”

“Aku tidak setuju, Fulvia. Apa yang akan dikatakan orang tuamu terutama kakakmu bila ia mengetahuinya?”

“Karena itu, Audrey, jangan biarkan mereka mengetahuinya.”

“Apakah kau mencoba menjerumuskanku dalam rencana gilamu itu?”

“Tidak, Audrey, ini bukanlah rencana gila. Aku hanya ingin membeli hadiah yang istimewa untuk orang tuaku. Selama ini mereka telah merawatku dengan jerih payah mereka. Apakah salahnya bila aku juga memberi mereka sesuatu yang kudapat dengan jerih payahku?”

Audrey terdiam.

“Kumohon, Audrey,” pinta Fulvia, “Kau tidak perlu melakukan apa pun. Kau hanya perlu membantuku menutupi alasanku ini. Aku yang akan menanggung semuanya.”

Audrey diam melihat pandangan memohon adik sepupunya itu.

“Davies pasti akan mencekikku kalau ia tahu.”

Fulvia tersenyum gembira. “Terima kasih, Audrey,” ia memeluk wanita itu, “Aku tahu kau akan membantuku.”

“Aku tidak mengatakannya.”

“Terima kasih, Audrey. Aku menyayangimu.”

Audrey mendesah melihat kegembiraan gadis itu dan ia pun menyerah,

“Aku tidak mau disalahkan bila mereka mulai mencium sesuatu yang janggal.”

“Tentu, Audrey. Aku juga akan berhati-hati,” janji Fulvia.

Audrey mendesah panjang. Ia tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar atau salah. Tetapi melihat kegembiraan Fulvia, ia merasa tidak ada salahnya ia ikut membantu Fulvia membohongi keluarganya. Lagipula Fulvia melakukannya karena baktinya pada orang tuanya, bukan?

Fulvia gembira. Ia sangat gembira. Dengan Audrey di belakangnya, Fulvia yakin Davies tidak akan curiga bila ia keluar rumah seharian setiap hari. Dan kedua kakak sepupu yang selalu mengikutinya itu pasti tidak akan bertanya panjang lebar. Mereka juga tidak akan memaksa untuk ikut dengannya.

Fulvia tahu benar sifat kedua kakak sepupunya itu.

Mereka suka mengikutinya, menemaninya dan membawanya pergi tetapi mereka tidak suka bila ada wanita dalam keluarga mereka. Mereka tahu kaum wanita dalam keluarga-keluarga mereka itu pasti akan berbicara sendiri dan melupakan keberadaan mereka. Dan yang terparah, menurut mereka, kaum wanita itu akan berbicara sepanjang hari hingga membuat mereka bosan.

Masalah ijin sudah beres sekarang tinggallah masalah gaun.

Begitu tiba di rumah, Fulvia langsung mencari-cari baju pelayan di Kamar Kerja, tempat baju-baju pelayan dan peralatan mereka disimpan.

Untuk memperkecil kecurigaan keluarganya, Fulvia akan mengenakan gaunnya ketika ia pergi meninggalkan Unsdrell dan di toko kue itulah Fulvia akan mengganti bajunya dengan baju pelayan pilihannya. Fulvia akan kembali berganti baju sebelum pulang.

Fulvia yakin Jehona tidak akan keberatan meminjamkan kamarnya sebentar.

“Besok akan menjadi hari yang menyenangkan,” kata Fulvia pada dirinya sendiri sebelum beranjak tidur.

Fulvia benar-benar sudah tidak sabar untuk menanti pagi hari sehingga ia langsung bangun begitu sinar matahari mulai menyinari bumi.

“Papa,” kata Fulvia ketika mereka telah duduk di meja makan, “Hari ini aku akan pergi ke Greenwalls lagi.”

“Lagi?!” Davies terperanjat. Mata Davies mengingatkan Fulvia akan kejadian kemarin sepulangnya dari rumah Audrey.

Davies menyambutnya dengan keluhan-keluhan panjangnya. Ia mengatakan Trevor juga Richie terus mengomel begitu mendengar kepergiannya ke Greenwalls. Davies telah mengusir mereka pulang tetapi mereka berdua lebih memilih untuk tetap tinggal.

Bukan omelan kedua pria itu yang membuat Davies ingin mendepak mereka keluar dari Unsdrell. Pertengkaran mereka itulah yang benar-benar membuat Davies kesal. Tetapi, tentu saja, Davies tidak memberitahu Fulvia tentang bagian ini. Davies tahu Fulvia pasti tidak suka mendengarnya. Trevor maupun Richie juga pasti akan marah besar bila ia memberitahu Fulvia rahasia di antara mereka berdua ini.

Kedua pria itu benar-benar membuat kepala Davies pusing.

Sehari sebelumnya, mereka telah berjanji untuk tidak bertengkar hingga pria pilihan mereka menjawab pertanyaan mereka. Mereka sendiri berjanji untuk menahan diri hingga diketahui siapa di antara mereka berdua yang lebih dicintai Fulvia.

Tetapi kemarin mereka telah melanggar janji mereka sepanjang hari kemarin.

“Maafkan aku, Davies,” pinta Fulvia, “Audrey membutuhkan teman dan aku telah berjanji untuk menemaninya sepanjang hari ini dan untuk beberapa hari mendatang.”

“Besok juga!? Dan besok besok besoknya lagi juga!?” Davies kaget.

“Fulvia benar,” bela Countess, “Saat ini yang diperlukan Audrey adalah teman bicara.”

“Apa yang harus kulakukan terhadap dua orang itu,” keluh Davies.

“Aku yakin kau bisa membantuku menjelaskannya pada mereka,” Fulvia tersenyum penuh arti.

Davies menyerah. Ia tahu apa pun yang dilakukannya ia tidak akan dapat mencegah Fulvia juga kedua sepupunya itu.

“Mengapa engkau tidak menginap saja di sana?” tanya Count Silverschatz.

Fulvia juga telah memikirkannya. Semuanya akan lebih mudah bila ia menginap di Greenwalls tetapi,

“Tidak, Papa. Lewis pasti tidak akan senang melihat aku berada di sana.”

“Aku dapat mengerti itu,” kata Countess, “Ia pasti akan mencurigaimu dan mungkin mengusirmu.”

“Ya,” Fulvia sedih.

Kakak sepupu iparnya itu dulu adalah seorang yang baik. Ia tidak pernah menolak kehadirannya di Greenwalls. Ia malah sering mengajaknya menginap di rumah mereka. Tetapi itu adalah dulu.

Kakak sepupu iparnya yang sekarang pasti akan mencurigainya memata-matai kegiatannya. Lewis pasti akan mengira kedatangannya untuk mencampuri masalah keluarganya dan ia pasti tidak akan segan mengusirnya.

“Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan kereta kuda.”

“Tidak perlu, Mama,” Fulvia mencegah, “Aku rasa aku akan pergi sendiri ke sana.”

Countess menatap putrinya lekat-lekat.

“Aku akan merasa lebih bebas bila aku pergi sendiri. Aku bisa pulang sesukaku tanpa perlu menanti jemputan. Aku janji aku tidak akan pulang larut malam.”

“Apa salahnya kita membiarkan Fulvia,” kata Count, “Greenwalls juga tidak jauh.”

“Terima kasih, Papa,” Fulvia gembira.

No comments:

Post a Comment