Friday, March 30, 2007

Orang Ketiga-Chapter 2

Fulvia tidak tenang.

Hatinya gelisah. Pikirannya kacau.

Sepanjang pagi ini ia telah berkeliling Unsdrell dan terus mengelilinginya tetapi ia masih belum mendapatkan suatu ide.

Fulvia telah membalik-balik semua buku yang dirasanya dapat memberinya ide di Ruang Buku.

Fulvia telah mengamati setiap lukisan yang dilaluinya untuk mendapatkan ide darinya.

Fulvia telah berkeliling taman untuk melihat andai ada tanaman yang dapat memberinya ide bagus.

Fulvia telah meneliti setiap ornament-ornamen yang menghiasi Unsdrell.

Setiap sudut Unsdrell telah ditelitinya tetapi Fulvia masih tidak tahu harus memberi hadiah apa untuk kedua orang tuanya pada ulang tahun pernikahan mereka mendatang. Ia ingin memberi suatu hadiah istimewa untuk keduanya tetapi ia tidak tahu apa.

Tidak akan ada yang dapat membantunya memecahkan masalah ini.

Davies, kakaknya yang tidak peka itu tidak akan mengerti keinginannya ini.

Fulvia yakin bila Davies akan berkata,

“Untuk apa kau pusingkan hal semacam itu? Kulihat Papa dan Mama tidak kekurangan apa pun.”

Bahkan Fulvia tidak akan kaget bila kakaknya lupa ulang tahun pernikahan orang tua mereka telah ada di depan mata. Hanya sebulan mendatang.

Fulvia juga tahu mereka tidak kekurangan apa pun. Tetapi ia tetap ingin memberikan sesuatu yang berharga pada mereka. Sesuatu yang istimewa untuk keduanya.

Tetapi apakah itu?

“Kulihat pagi-pagi kau sudah menjadi hantu yang menggentayangi Unsdrell.”

Fulvia terkejut.

Davies bersandar di dinding Hall seakan-akan telah menanti kemunculannya sejak lama.

“Kau mencari sesuatu?” Davies mendekat.

“Tidak,” Fulvia berbohong, “Aku tidak mencari sesuatu.”

“Tidak biasanya kau menggentayangi Unsdrell seperti ini.”

“Sungguh, Davies,” Fulvia meyakinkan, “Aku tidak sedang mencari sesuatu.”

“Apa kau sedang memikirkan kedua pria itu?”

“Dua pria?” Fulvia heran, “Siapa?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu,” Davies mengejek.

“Kau maksud Trevor dan Richie?” tanya Fulvia. “Tidak. Aku tidak sedang memikirkan mereka.”

“Kukira kau sedang berpikir mengapa mereka berdua tidak muncul hari ini.”

Fulvia tertawa geli.

“Aku hampir saja melupakan mereka kalau kau tidak mengingatkanku,” Fulvia menahan tawa gelinya, “Kau benar. Tidak biasanya mereka tidak melaporkan diri hingga siang.”

Davies menatap adiknya penuh curiga.

“Aneh. Tidak biasanya mereka absent seperti ini,” Fulvia menatap kakaknya, “Kau tahu apa yang terjadi pada mereka?”

“Rasanya aku lebih tahu sesuatu telah terjadi padamu,” Davies menjawab tenang, “Sesuatu pasti telah mengganggumu sehingga kau melupakan kedua pria itu.”

“Kau terlalu curiga, Davies,” Fulvia mengelak, “Katakan, Davies, apakah kau tahu bulan depan ada hari spesial apa?”

“Hari spesial?” Davies berpikir keras, “Kurasa tidak ada.”

“Sudah kuduga,” kata Fulvia.

“Apa?”

“Tidak ada,” Fulvia melalui kakaknya sambil melambaikan tangan, “Aku tidak mengatakan apa-apa.”

“Kau kira aku percaya?” Davies menangkap pinggang gadis itu dan menggelitiknya.

Fulvia berteriak kaget.

“Hentikan, Davies!” katanya menahan rasa geli.

“Kau yang memintanya,” Davies tidak berhenti.

“Oh, Davies,” Fulvia menepis tangan Davies dengan sia-sia, “Hentikan.”

“Aku hanya akan berhenti bila kau mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu itu.”

“Baiklah, Davies. Aku menyerah.”

Davies langsung menghentikan godaannya.

“Aku sedang berpikir, kakakku sayang,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher kakaknya dengan manja, “Mengapa kau sangat tidak peka seperti ini?”

“Kau mengatakan apa?” nada Davies mengandung bahaya.

Fulvia tersenyum nakal. “Kau adalah pria yang paling tidak peka yang pernah kutemui.”

“Aku mengkhawatirkanmu dan kau mengatakan aku tidak peka,” Davies merujuk, “Apakah itu hadiah atas kepedulianku padamu?”

Fulvia mendekatkan wajahnya. “Ya, kakakku sayang,” ia mencium pipi Davies lalu berlari menghindari kakaknya.

“Kau!?” Davies langsung mengejar gadis itu.

Fulvia tertawa riang sambil berlari ke luar Unsdrell.

“Aku akan menangkapmu!” Davies mengejar Fulvia.

“Cobalah kalau kau bisa,” Fulvia menoleh.

“Fulvia! Lihat depan!” Davies tiba-tiba berteriak panik.

Kaki Fulvia tergelincir sesuatu. Fulvia kaget. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.

“Aku mendapatkanmu,” seseorang menangkap tubuh Fulvia.

“Tangkapan bagus, Richie,” kata Davies.

Fulvia melihat pria penolongnya dengan heran. “Richie? Mengapa kau di sini?”

“Aku telah menolongmu dan itukah sambutanmu padaku?” Richie sedih.

“Tidak. Tidak,” Fulvia cepat-cepat membenarkan ucapannya, “Aku hanya heran mengapa kau ada di sini.”

“Tidak biasanya kau muncul di siang hari seperti ini,” Davies memberikan penjelasan lebih lanjut.

“Papa menahanku. Ia menceramahiku lagi.”

“Paman Graham benar, Richie,” Davies membela Earl Graham, “Sudah saatnya kau bersikap lebih dewasa. Engkaulah satu-satunya pengganti ayahmu.”

“Bagaimana denganmu?” Richie tidak dapat menerima pendapat Davies itu, “Kau juga satu-satunya penerus ayahmu dan kau masih saja senang bercanda dengan Fulvia.”

“Apa boleh buat,” Davies menyerah, “Ia yang memulainya.”

Fulvia tersenyum nakal.

“Lagipula, Richie, aku jauh lebih muda darimu,” Davies menambahkan dengan senyum penuh kemenangan.

“Kau hanya lebih muda tiga tahun dariku. Tidak lebih dari itu,” Richie yang paling tua di antara ketiga pria itu jengkel.

“Di mana Trevor?” tanya Fulvia mengalihkan pembicaraan.

“Trevor belum datang?” Richie bertanya heran.

“Aku kira kalian datang bersama-sama,” Davies heran kemudian ia menambahkan, “Setelah mengurus masalah kalian, tentunya.”

“Tidak, Davies. Jangan mencurigai kami seperti itu. Kami sudah berjanji padamu.”

“Janji apa?” tanya Fulvia tertarik.

“Janji di antara kaum pria, Fulvia,” Richie tersenyum.

“Tampaknya aku tidak boleh tahu,” Fulvia kecewa.

Mereka bertiga masuk ke dalam Unsdrell.

“Mengapa Trevor belum muncul juga?” Davies keheranan, “Biasanya pagi-pagi ia sudah muncul.”

“Entahlah,” kata Richie, “Aku tidak mendengar apa yang terjadi padanya. Tetapi, apa pun yang terjadi, aku yakin Trevor baik-baik saja.”

“Ia pria baja,” Fulvia sependapat, “Mungkin ia mempunyai urusan keluarga. Kuharap tidak terjadi sesuatu dengan mereka.”

Davies memperhatikan Fulvia yang tampak lebih mengkhawatirkan keluarga Trevor daripada pria itu sendiri.

“Bagaimana perkembangan kalian?”

Davies tidak mengerti pertanyaan Richie itu.

“Jangan katakan padaku kalian masih belum mengalami perkembangan apa pun,” Richie merangkul Davies, “Kau benar-benar payah.”

Fulvia tersenyum. Ia teringat saat pertama kali Davies bertemu Margot.

Mata Davies tidak pernah terlepas dari Lady Margot. Ia juga tidak menghiraukan Fulvia yang saat itu berada di sisinya. Hal itu cukup membuat Fulvia menyadari perubahan yang terjadi pada kakaknya.

Davies tidak pernah menunjukkan perhatian khusus pada satu wanita. Ia bahkan dapat dikatakan tidak mengerti wanita. Tetapi, ia rela melakukan apa saja untuk adiknya tercinta, Fulvia.

Trevor juga Richie yang selalu kesal karena Fulvia lebih suka memilih Davies daripada mereka, juga menyadarinya. Dan sebelum Fulvia melakukan apa pun untuk kakaknya itu, kedua pria itu telah mendekati Lady Margot.

Mereka membawa Lady Margot menemui Davies dan itulah awal perkenalan mereka.

Sejak itu pula Fulvia menyadari ia tidak lagi mempunyai orang ketiga yang dapat dipilihnya demi menghindarkan pertengkaran kedua kakak sepupu yang disayanginya itu.

Countess muncul dari dalam Ruang Keluarga. Ia melihat ketiga teman sepermainan itu berjalan beriring-iringan di koridor.

“Richie!” Countess gembira melihat pria itu muncul, “Kupikir hari ini kau tidak datang.”

“Papa menahan saya, Bibi. Ia mulai menceramahi saya lagi.”

“Aku dapat mengerti apa yang dikhawatirkan Graham,” kata Countess, “Dan aku sependapat dengannya.”

Richie mulai melihat gelagat yang tidak enak dan ia menjadi was-was.

“Aku tidak pada tempatnya untuk menceramahimu,” Countess membuat Richie lega, “Aku yakin Graham telah mengatakan semuanya.”

“Ya,” Richie mengeluh, “Ia berceramah sepanjang pagi.”

“Ia mengkhawatirkanmu,” Countess Kylie menghibur. “Kau mau makan siang bersama kami, Richie?” Countess mengundang, “Kurasa makan siang sudah siap.”

“Tentu, Bibi,” Richie menerima ajakan itu.

Mereka meneruskan langkah kaki mereka ke Ruang Makan.

“Baru saja aku menduga kau akan melewatkan acara makan siang di sini, Richie,” Count Clarck yang telah berada di dalam Ruang Makan menyambut rombongan itu.

“Bagaimana mungkin saya melewatkan acara seperti ini,” Richie tertawa.

“Kurasa orang tuamu akan marah bila kau terus-terusan seperti ini,” Davies berkomentar, “Setiap hari kau selalu melewatkan waktu makan siangmu di sini.”

“Sebaliknya, Davies, orang tuaku pasti mengira aku sakit bila aku pulang rumah untuk makan siang.”

Mereka tertawa geli.

“Rasanya ada yang kurang bila tidak ada Trevor,” gumam Fulvia.

“Di mana Trevor?” Count yang baru menyadari kekurangan anggota keluarga mereka di meja makan bertanya heran. “Biasanya ia tak pernah melewatkan makan siang di sini.”

“Entahlah. Sejak pagi ia belum muncul,” jawab Davies.

“Kau tidak menyembunyikannya, bukan, Richie?” Countess tersenyum penuh arti.

“Tentu saja tidak, Bibi.”

“Akulah yang akan menyembunyikannya sebelum ia menyembunyikanku.”

Mereka menoleh ke pintu.

“Trevor!” Fulvia terkejut, “Kukira kau tidak datang.”

“Bagaimana mungkin aku melewatkan hari tanpa melihatmu, Fulvia,” Trevor mencium pipi Fulvia.

“Akhirnya kau muncul juga,” dengus Richie tidak senang.

“Apa yang membuatmu terlambat?” tanya Countess.

Trevor duduk di sisi Richie dan mendesah panjang.

“Mereka bertengkar lagi,” katanya, “Kali ini masalahnya benar-benar parah. Lewis pulang malam sambil mabuk dan pelayan mengatakan ia melihat Lewis pergi bersama seorang wanita sebelumnya. Pagi-pagi ini kami berangkat ke Greenwalls untuk menghiburnya.”

Countess mendesah panjang. “Aku sungguh tidak mengira Lewis akan berubah seperti ini. Dulu ia adalah pemuda yang baik.”

“Kurasa tekanan usahanya membuatnya berubah,” komentar Count.

“Rasanya aku ingin mencekik pria sial itu,” Trevor geram, “Ia hanya bisa membuat Audrey sedih.”

“Bagaimana keadaan Audrey sekarang?” tanya Fulvia cemas.

“Ia sudah lebih baik,” jawab Trevor, “Sekarang Mama ada bersamanya.”

Fulvia termenung. Ia sungguh sedih memikirkan keadaan kakak sepupunya itu.

Audrey adalah wanita cantik yang baik hati. Fulvia sangat menyayangi dan mengagumi wanita yang lebih tua dua belas tahun darinya itu. Audrey sering menjaga dan merawatnya ketika ia masih kecil. Fulvia menyayangi Audrey seperti kakak kandungnya sendiri.

Enam tahun yang lalu, Audrey menikah dengan anak seorang pedagang kaya. Cinta di antara keduanya begitu besar hingga Count of Garfinkelnn langsung merestui Audrey ketika mereka berniat menikah.

Seperti halnya yang lain, Fulvia menyayangi Lewis, kakak sepupu iparnya yang baik hati itu. Ia masih anak-anak ketika mereka menikah. Ia masih kecil untuk mengerti arti sesungguhnya sebuah pernikahan. Tetapi itu tidak mencegah Fulvia mengagumi cinta mereka berdua.

Sayangnya, bahtera rumah tangga mereka yang bahagia itu tidaklah bertahan lama.

Setahun yang lalu mereka mengalami musibah. Kebakaran hebat melalap rumah mereka. Hingga sekarang tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya tetapi ada yang mengatakan itu semua karena kelalaian seorang pelayan.

Dalam kebakaran itu, mereka kehilangan harta bendanya dan juga orang tua Lewis. Kata orang-orang, orang tua Lewis tewas terbakar karena ingin menyelamatkan Audrey dan bayi dalam kandungannya.

Audrey selamat tetapi bayi dalam kandungannya tidak dapat diselamatkan.

Lewis yang saat itu berada di luar negeri untuk kepentingan usaha keluarga mereka, menyalahkan diri atas musibah itu. Perasaan bersalah ditambah kerugian yang harus ditanggungnya atas musibah itu membuatnya perlahan-lahan berubah.

Semenjak saat itulah Lewis menjadi suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan. Setiap hari ia pulang malam dalam keadaan mabuk dan ia membuat Audrey cemas.

Keluarga Garfinkelnn berniat membantu mereka tetapi Lewis menolaknya.

“Ini adalah urusan keluargaku!” bentaknya setiap kali ada yang mau membantunya.

Trevor bahkan pernah memaksa Audrey untuk pulang bersamanya. Tetapi, Audrey bersikeras untuk tinggal bersama Lewis di Greenwalls.

Mereka tahu tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk Audrey selain terus memberikan dukungan.

“Davies, kau tidak akan seperti itu bukan?” Fulvia bertanya penuh harap. “Aku akan sangat membencimu kalau kau seperti itu.”

“Jangan khawatir, Fulvia,” kata Trevor tersenyum simpul sambil melirik Davies, “Davies tidak akan mengkhianati Margot. Sebaliknya, aku rasa besar kemungkinan Margot meninggalkan kakakmu.”

“Trevor!” Davies marah.

“Bukankah itu adanya?” Trevor membela diri, “Kulihat kau benar-benar tidak peka terhadap wanita. Kau bahkan tidak pernah mengajak Lady Margot keluar. Kau benar-benar tidak mengerti wanita.”

“Kurasa hal itu tidak mungkin,” Fulvia berkata pelan, “Lady Margot menyukai Davies karena ia seperti itu.”

Semua langsung melihatnya.

“Margot pernah berkata padaku, dengan sifat Davies yang seperti ini, ia tidak perlu khawatir akan ada wanita lain yang merebut Davies darinya.”

Davies terdiam sambil tersipu-sipu.

Trevor dan Richie langsung tertawa geli melihatnya.

“Fulvia, maukah kau menemaniku melihat keadaan Audrey,” suara Countess Kylie berlomba dengan tawa riang kedua sepupu itu, “Kita bisa sekalian pergi berjalan-jalan bila kau mau. Kurasa engkau akan merasa lebih baik setelah kau keluar mencari hawa baru.”

Fulvia terkejut. “Mama tahu?”

“Aku adalah ibumu,” Countess tersenyum bangga, “Bagaimana mungkin aku tidak tahu apa yang dipikirkan olehmu?”

“Apakah kita bisa mengajak Audrey pula?” tanya Fulvia, “Kurasa ia jauh lebih membutuhkan udara segar daripada aku.”

“Tentu,” jawab Countess, “Mungkin kita juga bisa mengajak Horace dan Yolanda.”

Fulvia langsung menoleh pada para pria di ruang itu, “Kalian mau ikut?”

“Tidak,” jawab Trevor.

“Kali ini aku melewatkannya,” Richie cepat-cepat mengelak.

“Aku masih punya urusan yang harus kukerjakan,” Count menolak.

“Aku tidak tertarik,” Davies juga menolak.

“Sayang sekali,” Fulvia kecewa.

“Kurasa kita harus segera bersiap-siap, Fulvia,” Countess berdiri.

“Ya, Mama,” Fulvia langsung mengikuti ibunya meninggalkan Ruang Makan.

“Selamat bersenang-senang,” kaum pria itu tersenyum.

Sepeninggal mereka,

“Kupikir kau senang pergi bersama Fulvia,” Trevor mengejek Richie.

“Tidak bila kaum wanita itu pergi bersama-sama,” jawab Richie ringan. Lalu ia melirik Trevor, “Kesempatan ini kuberikan padamu. Kali ini aku mengalah padamu.”

“Kau!?” Trevor berdiri, “Aku tidak butuh belas kasihanmu!”

“Oh, kau mau mulai lagi?!” Richie langsung berdiri, “Katakan saja kalau takut pergi bersama mereka.”

“Jangan menuduhku! Kau sendiri juga tidak mau pergi bersama mereka.”

“Pengecut!”

“Apa kau juga bukan seorang pengecut!? Kau takut pada mereka, bukan?”

Count Clarck tersenyum geli. “Tentu akan sangat menakutkan bila pergi bersama-sama mereka,” Count berdiri, “Aku tidak ingin membuang waktu dan tenagaku hanya untuk berkeliling sepanjang hari bersama mereka.”

Davies yang sudah tidak ingin lagi menghentikan kedua sepupu yang suka bertengkar itu juga bersiap-siap meninggalkan Ruang Makan.

“Aku tidak akan heran bila mereka baru pulang besok pagi,” katanya sambil mengikuti ayahnya. Di pintu, Davies berbalik dan berkata tenang, “Rapikan kembali Ruang Makan bila kalian selesai.” Dan ia menutup pintu erat-erat.

Seperti dugaannya, ia mendengar suara benda-benda dilempar dari dalam Ruang Makan.

“Kurasa kali ini yang lebih menakutkan adalah mereka,” Davies menyimpan tangannya di dalam saku celananya.

“Kukira kau ada di dalam untuk menghentikan mereka.”

“Aku sudah bosan,” keluh Davies, “Biarkan saja mereka berkelahi sampai mereka puas.”

“Mereka benar-benar akrab,” Count Clarck tersenyum.

“Akrab? Mereka?” Davies bertanya heran, “Kurasa tidak. Dunia pasti sudah terbalik bila mereka saling berangkulan.”

Count Silverschatz tertawa mendengarnya.


-----0-----



“Terima kasih kalian mau datang,” Audrey tersenyum bahagia tetapi itu tidak dapat menutupi guratan-guratan kesedihan di wajahnya.

“Aku senang melihat kau sudah lebih baik,” kata Countess Kylie.

“Terima kasih, Bibi Kylie. Saya sungguh merepotkan kalian.”

“Jangan kaupikirkan itu. Lagipula anak gadisku juga memerlukan udara segar.”

“Fulvia?” Audrey menatap gadis itu, “Apa yang sedang kaurisaukan?”

“Tidak ada,” Fulvia tidak ingin memberitahu seorang pun di antara mereka, “Aku hanya berkeliling Unsdrell pagi ini dan semua mengatakan aku menggentayangi Unsdrell.”

“Kalau kau melihat muka seriusnya pagi ini, kau akan sependapat dengan kami.”

“Audrey,” Fulvia cepat-cepat mengalihkan perhatian, “Apakah kau mau ikut keluar bersama kami?”

“Kami datang bukan tanpa tujuan, Audrey,” Countess Yolanda mengingatkan, “Kami datang untuk membawamu keluar. Kau perlu melupakan segala masalahmu itu untuk sejenak.”

“Mengurung diri sepanjang hari di sini tidak akan memecahkan masalahmu dan hanya akan merusak kesehatanmu,” Countess Horace, ibu Audrey menimpali.

“Tentu,” Audrey tersenyum, “Dengan senang hati.”

Begitu Audrey siap, mereka berlima berjalan kaki ke pusat kota. Greenwalls tidaklah jauh dari pusat kota dan itulah yang membuat posisinya sangat mudah dicapai dari kota.

Fulvia mengawasi Greenwalls ketika mereka bergerak meninggalkan rumah besar yang terbakar habis setahun lalu itu.

Gedung itu tidaklah semegah atau pun sebesar Castil Baramand, kediaman keluarganya Earl of Ousterhouwl maupun kediaman dua keluarga yang lain. Sebelum terbakar, rumah itu tampak sangat menawan dan sekarang, setelah musibah itu, bangunan mewah itu tampak begitu kotor dan tak terawat.

Sebenarnya, Count of Garfinkelnn berniat membiayai pemulihan bangunan itu, tetapi Lewis menolaknya. Audrey juga tidak dapat berbuat apa-apa atas kekeraskepalaan suaminya itu.

Walaupun demikian, orang tua Audrey secara diam-diam telah mengutus beberapa orang untuk memperbaiki Greenwalls. Lewis boleh tidak mengijinkan mereka menyentuh Greenwalls tetapi ia tidak dapat melarang orang tua Audrey untuk melakukan sesuatu demi putri mereka.

Orang-orang utusan Count Graham bekerja secara diam-diam untuk membenarkan bagian vital dari Greenwalls. Ia juga membantu Audrey mengisi kembali kekosongan rumah mereka.

Audrey mengetahui apa yang dilakukan ayahnya itu tetapi tidak pernah mengatakannya pada Lewis. Ia hanya meminta ayahnya untuk tidak melakukannya secara mencolok. Audrey tidak ingin harga diri suaminya terluka lebih dalam lagi.

Sebagai seorang pria bangsawan, Count Graham dapat mengerti perasaan Lewis dan karena itu pulalah ia hanya melakukan apa yang ia rasa penting dan harus segera dilakukan.

Lewis yang terpuruk oleh beban yang dibuatnya sendiri, tidak menyadari perubahan yang terjadi di Greenwalls walaupun itu kecil.

Penolakan Lewis untuk bangkit dari rasa bersalahnya membuat Audrey semakin sedih. Audrey semakin hancur ketika Lewis lari ke minuman keras dan mulai bermain wanita di luar sana.

Sewaktu-waktu Audrey bisa meninggalkan Greenwalls dan suaminya. Pintu Osbesque selalu terbuka untuknya. Tetapi, Audrey tetap memilih untuk mendampingi pria pilihannya itu.

Fulvia benar-benar mengagumi kakak sepupunya itu.

Walau Lewis telah menyakitinya sedemikian rupa, Audrey tetap berlapang dada. Malah ia sering berkata pada Fulvia,

“Aku percaya suatu hari nanti ia akan kembali pada Lewisku yang dulu. Aku percaya ia akan berhasil mengatasi semua ini.”

Audrey selalu dan selalu membela Lewis tak peduli apa pun yang dilakukan suaminya itu.

Fulvia berharap ia bisa melakukan sesuatu untuk Audrey, tetapi ia sadar ia masih terlalu muda untuk memahami permasalahan rumah tangga mereka. Apa yang bisa dilakukan Fulvia adalah menghibur Audrey dan mengajaknya berjalan-jalan untuk mencari udara segar seperti ini.

Hari ini mereka tidak mempunyai tujuan pasti. Mereka hanya berjalan sesuai arah kaki mereka melangkah. Mereka juga tidak membeli apa-apa. Mereka hanya terus berkeliling dan berkeliling sambil bercakap-cakap. Sesekali mereka berhenti untuk melihat benda yang menarik perhatian mereka. Sesekali pula mereka memasuki tempat yang menurut mereka menarik. Mereka menikmati perjalanan mereka ini. Audrey juga tampak gembira seakan-akan ia tidak mempunyai masalah apa pun.

Untuk melengkapi perjalanan mereka, Countess Horace mengundang mereka untuk melewatkan waktu makan malam di Baramand.

Beberapa saat sebelum mereka meninggalkan Greenwalls, Countess Horace meminta seorang pelayan Greenwalls untuk memberi kabar pada Kepala Rumah Tangga Osbesque bahwa mereka akan makan malam di sana. Selain itu, Countess Horace juga meminta semua keluarga Ousterhouwl dan Silverschatz berkumpul di rumahnya.

Alunan musik yang lembut menghentikan langkah kaki Fulvia.

Mata Fulvia langsung mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu.

Sepasang muda-mudi yang saling bertatapan mesra berputar-putar di atas sebuah piringan kayu. Mereka berputar-putar seolah-olah sedang berdansa diiringi musik yang mengalun lembut dari dalam kotak musik itu.

Kedua pemuda kayu mungil itu mempesona Fulvia.

Senyum Fulvia merekah.

Ia tahu! Akhirnya ia tahu apa yang akan diberikannya untuk orang tuanya. Fulvia tahu apa hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang mendatang.

“Fulvia!” Countess Kylie memanggil, “Apa yang kaulakukan?”

Fulvia terkejut. Ia melihat ibunya dan yang lain telah beberapa meter di depannya itu.

“Sudah waktunya kita pulang, Fulvia,” Countess Horace mengingatkan. “Aku telah meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam di Osbesque.”

“Aku datang.”

Pada saat yang bersamaan, seseorang muncul dari dalam toko tempat Fulvia melihat kotak musik itu.

Fulvia terkejut. Kemunculan pria itu begitu mendadak hingga Fulvia tidak dapat menghentikan langkahnya sebelum ia menabrak pria itu.

Sepertinya pria itu juga tidak menyadari keberadaan Fulvia tetapi ia cukup tangkas untuk menahan tubuh Fulvia, mencegahnya terjatuh.

“Terima kasih,” Fulvia memegang hidungnya yang sakit oleh tabrakan tidak terduga itu.

Fulvia kaget melihat siapa yang ditabraknya itu.

Mata biru tua yang dingin Irving menatapnya dengan penuh ingin tahu.

“Kau tidak apa-apa, Irving?”

Fulvia melihat wanita cantik di sisi Irving.

Mata hijau wanita itu menatap Irving penuh perhatian lalu ia menatap tidak suka pada Fulvia bahkan nadanya pun jelas-jelas menampakan rasa tidak sukanya ketika ia berkata,

“Di mana matamu, gadis cilik?”

“Fulvia, kau baik-baik saja?”

Fulvia tiba-tiba sadar keluarganya sedang menantinya. “Maafkan saya, M’lord,” Fulvia membungkuk lalu ia cepat-cepat mendekati ibunya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Countess cemas.

“Tidak apa-apa, Mama. Aku terlalu ceroboh.”

“Kau ini hanya bisa membuatku cemas,” keluh Countess Kylie.

“Tidak apa-apa, Mama. Sungguh aku tidak apa-apa,” Fulvia merangkul tangan ibunya.

Mata dingin Irving terus menatap tajam gadis yang terus menjauh bersama ibunya itu.

Tidak pernah ia bertemu gadis itu di jalanan seperti ini.

Tidak pernah ia bertemu dengan gadis itu secara kebetulan seperti ini.

Dan sekarang tiba-tiba gadis itu muncul di hadapannya.

Apakah ini rencana mereka? Rencana mereka untuk memaksanya terlibat dalam hubungan cinta segitiga mereka?

Irving membuang muka. Ia tidak tertarik untuk terlibat dengan mereka bertiga. Ia tidak suka pada Davies yang terus mengawasinya sepanjang malam kemarin seperti polisi yang sedang mengawasi buronannya dan ia tidak ingin diperlakukan seperti itu.

No comments:

Post a Comment