Thursday, March 29, 2007

Orang Ketiga-Chapter 1

“Aku!”

“Tidak! Aku!”

“Aku.”

“Aku!!”

Mata sepasang pria itu saling menatap tajam. Ribuan kilatan petir bersahut-sahutan dari mata mereka yang membara. Mereka bertolak pinggang saling menantang tidak ada yang mau mengalah. Kedua tangan mereka sudah menggenggam pedang mereka masing-masing.

“Hentikan! Sedang apa kalian?” Davies muncul dengan wajah panik. Ia cepat-cepat memisahkan dua pria yang hampir tak berjarak itu. “Apa yang kalian pikir sedang kalian lakukan!?”

“Jangan ikut campur!” Trevor dan Richie mendorong Davies.

“Kalau tentang Fulvia, aku harus ikut campur!” Davies berkata tegas, “Ia adikku.”

Trevor dan Richie saling bertatapan.

“Kalian pikir aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kalian?” selidik Davies, “Aku sudah bosan mendengar pertengkaran kalian.”

Davies duduk di kursi terdekat dan menyilangkan tangan di depan dadanya, “Silakan melanjutkan.”

Telinga Davies telah terbiasa mendengar pertengkaran kedua pria itu. Matanya sudah tak heran melihat kedua sepupu itu beradu pandang dengan penuh kemarahan dan kecemburuan. Mulutnya sudah bosan melerai.

Entah sudah berapa ratus kali mereka bertengkar dalam minggu ini. Sudah ribuan kali dalam bulan ini dan mungkin jutaan dalam tahun terakhir ini. Tidak ada yang menghitungnya dengan jelas tetapi semua orang di tempat ini mendengarnya hampir setiap saat.

Semua tahu apa yang mereka ributkan.

Semua terbiasa dengan pertengkaran ini.

Sejak kecil kedua sepupu ini telah bertengkar memperebutkan sepupu mereka yang cantik dan manis, Fulvia. Andai Davies bukan kakak kandung Fulvia, mungkin ia juga ikut dalam perebutan ini. Untungnya, mungkin, Davies adalah kakak Fulvia, kakak kandung dan satu-satunya.

Orang tua mereka semua tahu perebutan ini sejak mereka masih kecil sudah ada dan tambah parah tiap tahunnya. Tetapi, entah mengapa mereka bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar.

Orang tua Davies pun tak mau campur tangan. Mereka hanya tertawa melihat pertengkaran kedua sepupu itu dan berkata dengan tenang, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Ayah Richie malah berpendapat unik. “Bukankah ini menarik?” katanya suatu ketika melihat mereka mulai bertengkar lagi.

“Untuk apa dipusingkan?” kata ibu Trevor ketika Davies mengeluhkan meningkatnya frequency pertengkaran kedua sepupu itu akhir-akhir ini.

“Pertengkaran antar keluarga itu biasa,” ayah Trevor malah berkata tenang.

Entah mengapa para orang tua dari ketiga keluarga ini selalu menganggap enteng pertengkaran mereka.

Audrey, anak yang paling tua dalam ketiga keluarga ini juga tidak ingin campur tangan dalam perebutan yang kekanak-kanakan, dalam bahasanya, ini.

Hanya Davies yang selalu turun melerai bila dua pria ini mulai bertengkar memperebutkan Fulvia. Tapi akhir-akhir ini ia semakin malas. Pasalnya, mereka semakin sering bertengkar!

Pertengkaran mereka tidak akan ada akhirnya hingga Fulvia memilih seorang di antara mereka atau mungkin Fulvia menikah dengan orang lain. Tetapi keduanya tampaknya mustahil. Setidaknya ketika Fulvia tidak menunjukkan minatnya pada seorang pria pun.

Fulvia, adiknya yang manis, adiknya yang tercantik dan paling dikasihinya itu tidak pernah nampak bersama pria lain selain kedua sepupunya atau dirinya sendiri. Bukan karena lingkungan pergaulan Fulvia penyebabnya tetapi karena kedua sepupu itu takkan membiarkan pria lain mendekati Fulvia.

Davies tahu sikap kedua sepupu itu pula yang menjauhkan kaum adam yang ingin mendekati Fulvia itu.

Sebenarnya, Davies tidak menyukai sikap kedua sepupu itu terhadap adiknya yang terlalu melindungi itu. Tetapi Davies juga tidak suka bila Fulvia didekati oleh pria yang hanya ingin mempermainkannya atau pria yang hanya tertarik pada kecantikannya saja.

Di pihak lain, Davies tidak yakin Fulvia tahu kedua kakak sepupunya sering bertengkar memperebutkan cintanya.

Walau mereka sering bertengkar tapi kedua pria ini pandai memilih tempat dan waktu. Mereka hanya bertengkar ketika Fulvia tidak ada di sekitar mereka dan ketika Fulvia cukup jauh untuk mendengar pertengkaran mereka.

“Siapa yang pantas untuk Fulvia?” dua pria itu menyerbu Davies.

Davies terkejut.

“Aku?”

“Tidak, aku!”

“Bukan! Aku, Davies.”

“Pusing aku melihat kalian,” keluh Davies, “Mengapa kalian tidak bertanya pada Fulvia siapa yang lebih ia sukai?”

“Kalau ia menunjuk dia, aku bagaimana?” protes keduanya – saling menunjuk.

“Pusing aku. Pusing!!!” Davies memegang kepalanya, “Kalau kalian takut pada jawaban Fulvia, tanya orang lain.”

Kedua pria itu menatap Davies lekat-lekat.

Melihat gelagat tidak enak, cepat-cepat Davies menambahkan dengan tegas, “Jangan aku! Aku tidak mau. Aku menolak!”

Trevor saling berpandangan dengan Richie.

“Carilah orang yang lebih mengerti tentang hal ini.”

Kedua pria itu terus saling memandang sambil berpikir keras.

“Kusarankan mencari orang yang mengerti tentang wanita.”

Kedua sepupu itu terdiam. Mereka berpikir keras.

“Irving!” seru mereka bersamaan.

“Irving?” Davies keheranan, “Mengapa harus Irving?”

“Katamu pria yang mengerti wanita.”

Davies kebingungan diserbu dua pria itu. “Apakah aku mengatakan pria?”’ tanya Davies lebih pada dirinya sendiri.

“Ia pasti bisa tahu siapa yang lebih disukai Fulvia di antara kita,” Trevor bersemangat.

“Ia pasti tahu siapa di antara kita yang lebih cocok untuk Fulvia.”

Mereka saling memandang. Dalam pandangan mereka tersirat kepercayaan diri untuk menang. Mata mereka berkata, “Pasti aku yang lebih pantas untuk Fulvia.”

“Terserah pada kalian,” Davies memotong jalan pandangan dua pria itu dan terus menuju pintu. Di pintu, Davies berhenti dan membalikkan badan, “Sampai kalian tahu siapa yang lebih pantas untuk Fulvia, jangan bertengkar! Semua orang sudah bosan mendengarnya.”

“Bosan apa?” kepala cantik muncul di pintu dengan senyum cerianya. Mata biru keunguannya menatap ketiga pria itu dengan penuh ingin tahu.

“Tidak ada apa-apa,” sahut Trevor dan Richie bersamaan.

Fulvia menatap kakaknya. “Mereka bosan padaku?”

“Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan, Fulvia. Mereka tidak akan pernah bosan padamu,” Davies menepuk kepala Fulvia dengan lembut, “Engkau anak yang cantik dan manis.”

“Benar,” Trevor mendekati Fulvia.

“Ayo kita pergi,” Richie menarik Fulvia.

Lagi-lagi mata dua pria itu bertemu.

Fulvia memeluk tangan kedua pria itu. “Aku sayang kalian.”

Itulah Fulvia. Tak heran Davies melihat Trevor dan Richie selalu bertengkar. Fulvia sangat cantik dan manis. Ia juga menyayangi keduanya tanpa pernah membedakan. Ia memberi sesuatu pada Richie, ia pun memberi hal yang sama pada Trevor. Tak jelas siapa yang lebih disukai Fulvia di antara mereka.

Sejak kecil mereka berempat selalu bermain bersama dan bersenang-senang bersama. Fulvia sangat dimanja oleh kakaknya dan kakak-kakak sepupunya itu. Ketiga pria itu bagaikan pengawal Fulvia yang tampan.

Dengan semakin bertambahnya tahun, hubungan Fulvia dengan sepupunya semakin erat. Kedua sepupu itu semakin mendominasi Fulvia dari kakaknya sendiri. Perlahan-lahan Davies disingkirkan dari persahabatan mereka. Sekarang Davies hampir tidak pernah lagi ada di antara mereka. Setiap Fulvia muncul, kedua sepupu itu segera mengajak Fulvia pergi dengan meninggalkan Davies seorang diri.

Mereka seperti tidak sadar telah menjauhi Davies.

Davies menghela dalam-dalam.

Sebenarnya ia tidak suka mereka meminta bantuan Irving. Tapi apa yang dapat dilakukan? Kedua pria itu benar. Dengan reputasinya menyakiti hati para gadis yang menggunung dan berganti-ganti kekasih, Irving pasti sangat mengenal sifat wanita.

Irving mungkin bisa membantu menghentikan pertengkaran kedua sepupu itu yang seperti tidak ada akhirnya.

‘Semoga,’ Davies berharap.


-----0-----



“Malam ini ada pesta…”

“Dengan siapa kau pergi?” potong kedua pria itu.

Fulvia menatap mereka bergantian.

“Dengan aku saja,” Richie mendahului.

“Tidak! Dengan aku saja.”

“Aku akan pergi dengan Davies,” Fulvia mengecewakan keduanya.

“Jangan!” mereka serempak menyahut.

“Mengapa?” Fulvia menatap mereka dengan bingung.

“Kau tahu Davies mencintai Margot. Ia ingin mendapatkan perhatian Margot.”

“Lalu mengapa?” Fulvia bertanya polos – matanya yang selalu bersinar ceria menatap Trevor.

“Kalau Margot melihatmu bersama Davies, apa yang ada dalam pikirannya?”

“Davies adalah kakakku,” protes Fulvia manja.

“Kalau kau terus menempel, bagaimana Davies dapat mendekati Margot?” Richie menjentik hidung Fulvia.

Mata Fulvia berpindah-pindah dari wajah kedua pria itu. “Benar juga.”

“Kamu akan menemanimu,” Richie menawarkan.

Trevor menatap tajam Richie.

Mata Richie membalasnya dengan isyarat untuk diam.

Fulvia menatap mereka dengan curiga. Ia mengenal baik watak kedua sepupunya ini. Mereka tidak pernah akur!

“Malam ini kami yang akan menemanimu. Boleh?”

Kepala Fulvia berpindah pada Trevor. Lalu pada Richie. “Baik,” Fulvia memeluk tangan kedua sepupunya, “Aku senang pada kalian.”

Kedua pria itu saling bertatapan. Mereka tahu ada yang harus mereka bicarakan setelah ini dan sebelum menemani Fulvia ke pesta. Sesuatu yang sangat penting.

Kemunculan pesta ini mempermudah pekerjaan Trevor juga Richie. Mereka tak perlu mengatur pertemuan Fulvia dan Irving.

Irving juga pasti diundang ke pesta itu karena Irving adalah putra tunggal Duke yang cukup berpengaruh. Dan, semua orang tahu keberadaan Irving bisa meramaikan suasana.

Setiap gadis yang mendengar Irving akan hadir dalam pesta itu, pasti akan hadir. Mereka akan berlomba-lomba mendapatkan perhatian pria gagah yang tampan itu. Semua kecuali Fulvia.

Fulvia bisa dikatakan tak pernah mengetahui keberadaan Irving di dunia ini. Mungkin ia pernah mendengar nama putra tunggal keluarga Engelschalf. Tapi ia takkan mempedulikannya karena ia telah mempunyai tiga pria tampan yang selalu berada di sisinya.

Sungguh aneh. Reputasi Irving dengan kekasihnya yang selalu berganti-ganti telah tersebar di seluruh pelosok terutama para wanita bangsawan yang suka bergosip. Tapi masih ada yang ingin mendapatkan perhatian Irving. Banyak lagi!

Apa boleh buat. Irving memang tampan. Ia juga satu-satunya calon penerus Duke of Engelschalf. Tampan, gagah juga kaya dan berkuasa. Gadis mana yang tidak tertarik pada pria itu?

Kekurangan Irving adalah sikapnya yang tidak setia. Tetapi tidak ada yang mempedulikannya.

Di abad pertengahan ini tidak heran seorang pria kaya dan berkuasa beristri banyak. Raja-raja negeri di timur sana juga memiliki banyak selir. Mereka bangga dengan istri mereka yang banyak itu. Dan, para wanita itu bangga menjadi istri orang yang berkuasa walau hanya sebagai selir. Seorang Raja tampak semakin berkuasa dan kuat bila ia beristri banyak. Itulah pemikiran utamanya. Seorang penguasa tampak semakin berjaya dengan para selir mereka yang banyak.

Mereka tidak sadar istri yang banyak itulah yang dapat menjadi sebab perpecahan suatu kerajaan bahkan kehancuran sebuah kerajaan.

Ketika permaisuri dapat memberikan putra mahkota, tak ada masalah yang menakutkan. Tapi bila yang terjadi sebaliknya, akibatnya akan sangat fatal. Dari selir yang mempunyai anak laki-laki akan berebut menjadikan putra mereka sebagai putra mahkota. Bahkan para selir itu akan bersaing demi mendapatkan perhatian Raja yang lebih besar. Karena bila mereka mendapat perhatian yang semakin besar, kedudukan mereka akan semakin terangkat. Tak jarang pula para selir ini mempengaruhi raja dalam membuat keputusan demi kepentingan mereka sendiri. Semakin raja percaya padanya dan semakin raja menyayanginya, pengaruhnya bisa lebih besar daripada sang permaisuri.

Di Eropa sedikit berbeda. Walau pengaruh agama Katolik terasa sangat kuat di Eropa, tidak menutup kemungkinan terjadi seorang pria kaya beristri banyak. Bahkan, secara sembunyi-sembunyi mereka memperistri wanita lain.

Sifat perkawinan Katolik yang suci tampaknya tak banyak mempengaruhi. Satu dan tak terpisahkan. Tapi ada yang berpisah untuk menikah dengan wanita lain.

Satu suami banyak istri ini tampaknya telah menjadi suatu kebudayaan yang sulit dihilangkan bahkan terkesan seperti sebuah budaya yang telah diturunkan dari jaman kuno dan akan terus diturunkan hingga kapan pun.

“Fulvia! Fulvia, di mana kau?”

“Mama memanggilku,” Fulvia menoleh pada kedua pria itu.

“Pergilah,” sahut Trevor – menatap tajam Richie.

Keduanya siap bertengkar tapi mereka menanti sampai Fulvia masuk ke dalam ruang tempat Countess berada.

Ketika Fulvia masuk ke dalam ruang yang serambinya menghadap taman itu, Trevor mencengkeram leher baju Richie. “Apa maksudmu dengan kami?”

“Sabar,” Richie menenangkan, “Dengarkan dulu penjelasanku.”

“Penjelasan apa!?”

“Kita berencana minta bantuan Irving bukan?”

“Ya. Lalu?”

“Kalau Irving tidak melihat sikap Fulvia pada kita berdua, bagaimana ia tahu? Aku tak setuju bila ia hanya bersamamu ketika Irving menilai dan engkau pasti tak senang Fulvia bersamaku.”

Trevor melepaskan Richie.

“Karena itu kupikir lebih adil bila ia melihat kita bersama Fulvia.”

“Kita harus menemui Irving sebelum kita bertemu di pesta nanti.”

“Sebaiknya kita berdua yang menemui Irving. Aku curiga engkau membujuk Irving untuk memihakmu.”

“Setuju!” sahut Trevor, “Aku juga curiga kau akan membujuk Irving memihakmu.”

“Kita sepakat setelah ini kita menemui Irving”

“Aku sepakat.”

Fulvia mendekat dengan perasaan bersalah. “Mama memintaku menemaninya pergi. Aku tidak dapat menemani kalian.”

“Sayang sekali,” ujar Richie.

“Kami tak apa-apa. Pergilah bersama Bibi Kylie. Nanti kami akan menemuimu sebelum berangkat ke pesta.”

“Benar, kami juga harus bersiap-siap.”

“Terima kasih,” Fulvia memeluk dua pria itu, “Kalian sungguh pengertian.”

Richie dan Trevor saling bertatapan.

“Kami harus pergi sekarang,” kata mereka bersamaan. Keduanya bergantian mencium pipi Fulvia.

“Selamat tinggal,” Fulvia melambaikan tangan – mengantar kepergian mereka.
Mereka membalasnya lalu bergegas pergi.

“Jangan mendahuluiku,” kata mereka bersamaan.

“Kita akan pergi bersama-sama,” Richie menegaskan.

“Kalau ada yang mendahului, berarti ia kalah,” tambah Trevor.

“Dan dia tidak boleh mendekati Fulvia lagi selama-lamanya,” Richie setuju.

Keduanya bergegas menuju istal – tempat kuda mereka ditambatkan.


-----0-----



“Apa yang harus saya lakukan, Tuan Muda?” tanya Pedro.

Irving duduk tegak di meja bacanya. Tangannya memegang selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi. Mata Irving terangkat dari kertas itu dan tangannya langsung meremasnya. “Kirimkan bunga mawar merah.”

“Segera hamba laksanakan, Tuan Muda,” Pedro membungkuk.

‘Seorang lagi,’ pikir Pedro ketika meninggalkan Ruang Belajar. Entah ini bunga mawar keberapa dalam minggu ini. Ia sudah tidak dapat menghitungnya lagi.

Pedro tahu jelas apa arti bunga mawar merah ini.

Ketika seorang wanita menerima bunga mawar merah itu, mereka akan mengira Irving telah menerima perasaannya tetapi mereka salah. Bunga mawar merah yang berduri itu, bagi Irving, adalah sebuah tanda perpisahan.

Tanda dia tidak mau lagi berhubungan dengan mereka.

Tanda jarak di antara mereka telah dibatasi oleh duri-duri yang tajam.

“Yang Mulia Duke tidak akan suka melihat ini,” gumam Pedro lebih lanjut.

Baru saja Pedro tiba di Hall ketika ia mendengar pintu diketuk.

Segera pria tengah baya itu membukakan pintu.

“Selamat siang,” sapa Trevor.

“Selamat siang,” Pedro tidak dapat menutupi kebingungannya melihat dua pemuda berpakaian rapi di depannya itu.

“Kami datang untuk menemui Irving,” Richie langsung berkata tanpa perlu ditanyai, “Apakah ia ada?”

“Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?”

“Tidak,” jawab Trevor, “Ini adalah urusan penting dan mendadak. Saya yakin Irving tidak akan menolaknya.”

Pedro menatap dua orang itu dengan curiga. “Bila Anda berkenan, dapatkah Anda memberitahu saya siapa Anda berdua?”

“Saya adalah putra bungsu Count Garfinkelnn, Trevor” Trevor memberitahu.

“Saya adalah putra tunggal Earl of Ousterhouwl, Richie” kata Richie.

“Silakan masuk, M’lord,” Pedro mempersilakan mereka, “Saya akan memberitahu Tuan Muda atas kehadiran kalian.”

“Terima kasih,” kata mereka bersamaan.

Pedro tidak tahu apakah Irving akan senang dengan kunjungan ini.

Pedro tahu Irving paling tidak suka diganggu ketika ia sibuk. Dan Irving paling tidak suka dengan kunjungan mendadak yang tidak direncanakan seperti ini.

Langkah-langkah kaki Pedro langsung membawa mereka ke Ruang Baca tempat Irving berada sekarang.

Dengan was-was Pedro mengetuk pintu.

Ia langsung masuk begitu mendengar sahutan Irving dari dalam.

“Apa apa, Pedro?”

Dari nadanya, Pedro tahu Irving merasa terganggu.

“Maafkan saya menganggu Anda, Tuan Muda,” kata Pedro sopan, “Putra Count Garfinkelnn dan Earl of Ousterhouwl ingin bertemu dengan Anda.”

“Aku tidak mempunyai janji dengan mereka,” Irving tidak terlalu berminat untuk menemui mereka.

“Mereka ingin merundingkan sesuatu yang mendesak dan serius dengan Anda, Tuan Muda.”

Irving menutup buku yang sedang dibacanya, “Bawa mereka menghadapku.”

“Selamat siang, Irving,” Richie memberikan salamnya.

“Kuharap kami tidak menganggumu,” kata Trevor pula.

“Kalian telah merusak kegiatanku,” kata Irving acuh.

Trevor tertawa. “Kau masih saja tetap suka berterus-terang.”

“Apa yang membawa kalian ke sini?”

“Kami ingin kau membantu kami,” kata Richie.

Irving menatap kedua pria itu dengan was-was.

“Kurasa kau telah mendengar masalah di antara kami,” kata Trevor.

“Burung-burung di udara pun menyebarkan perselisihan kalian,” sambut Irving dingin.

Lagi-lagi Trevor tertawa. “Bila demikian halnya, aku akan langsung saja ke pokok permasalahannya. Kau tahu perselisihan kami tidak akan berhenti sebelum Fulvia memilih seorang di antara kami. Tetapi Fulvia tidak pernah mau memilih. Kami pun juga tidak dapat menentukan siapa yang lebih disukai Fulvia di antara kami.”

“Karena itulah kami ingin kau membantu kami,” kata Richie antusias.

“Kami percaya kau pasti dapat membantu kami.”

“Mengapa aku harus membantu kalian!?” Irving tidak suka. “Aku tidak ingin campur tangan dalam urusan kalian. Aku menolak!”

Trevor tersenyum mendengar tolakan tegas itu.

“Kami juga tidak ingin memaksamu bila kami mempunyai pilihan lain,” kata Trevor.

“Seseorang harus melakukan sesuatu sebelum sesuatu yang buruk terjadi,” timpal Richie.

“Kurasa kita telah jelas,” Irving berkata dingin, “Ini tidak ada hubungannya denganku. Dan mengapa pula harus aku? Kalian bisa mencari orang lain. Aku tidak berminat.”

Irving benar-benar tidak berminat membantu mereka berdua. Ia tidak berminat untuk mencampuri urusan orang lain. Ia bukan orang yang suka campur tangan dalam affair orang lain.

Biarlah semua pria di dunia ini musnah hanya karena seorang wanita.

Biarlah seisi dunia ini saling membantai demi seorang wanita.

Biarlah sejarah Trojan terulang lagi.

Irving tidak peduli selama mereka tidak mengusiknya.

Irving cukup puas dengan kehidupannya saat ini dan ia tidak tertarik untuk mencari masalah maupun terlibat dalam masalah orang lain.

Dan, kedua pria yang sekarang berdiri di depannya ini…

Siapa yang tidak tahu mereka? Siapa yang tidak pernah mendengar cinta segitiga mereka dengan sepupu mereka?

Semua tahu. Semua pernah mendengar bagaimana kedua pria ini terus berebut sepupu mereka yang manis.

Irving tidak tahu siapa gadis itu tetapi Irving tahu seperti apa gadis binal semacam itu.

Irving tidak pernah bertemu gadis itu tetapi Irving telah menjumpai banyak wanita seperti itu.

Irving tidak mengerti bagaimana kedua pria ini bisa terjerat oleh wanita seperti itu. Irving tidak yakin kedua pria ini sadar mereka telah jatuh dalam perangkap gadis licik itu. Irving percaya mereka tidak sadar gadis itu sedang tertawa riang di atas perselisihan mereka.

Bukankah itu ciri umum para wanita?

Wanita mana yang tidak tertarik untuk mencari seorang pria kaya yang dapat menghidupinya dan menghidupi impian-impiannya? Wanita mana yang tidak bangga atas pertengkaran dua pria hanya untuk memperoleh dirinya?

Irving tidak percaya wanita semacam itu ada.

Bila mereka tidak ada, mengapa banyak wanita yang rela menjadi selir raja? Mengapa banyak wanita yang rela menjadi simpanan pria lain? Mengapa banyak wanita yang suka berselingkuh dengan pria lain?

Irving tahu persis hal itu.

Di antara sekian wanita banyaknya wanita yang melintas dalam hidupnya, ada banyak wanita yang telah bersuami. Ada pula wanita binal yang dengan jelas-jelas menunjukkan tujuan mereka mendekatinya.

Irving juga tidak segan menghabiskan malam bersama mereka. Apa pun yang kelak terjadi oleh affair mereka bukanlah urusannya. Wanita-wanita itulah yang mencarinya dan ia hanya memanfaatkannya untuk memuaskan dirinya sendiri.

Bukanlah masalah besar baginya untuk bermain dengan satu wanita di malam ini dan berkencan dengan wanita lain di pagi harinya.

Irving tahu kaum hawa itu akan rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkannya.

Irving sadar benar akan keadaannya, akan pesonanya, akan kekuasaannya, akan kharismanya yang menaklukan para wanita itu.

Irving tahu posisinya dan ia tahu bagaimana menggunakannya untuk memuaskan dirinya sendiri.

Dan mereka tidak tahu Irving tidak akan pernah membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan mereka.

Ia adalah miliknya sendiri dan hanya dia seorang!

Dan dua pria ini…

Irving memandang mereka dengan tidak senang. Mengapa mereka mencarinya hanya untuk terlbat dalam cinta segitiga mereka?

“Karena hanya kau yang bisa,” jawab Richie penuh antusias.

“Kami telah memutuskan hanya pria yang memahami wanita yang dapat memberikan jawabannya pada kami,” kata Trevor pula.

“Dan orang itu adalah kau,” mereka berkata serempak.

“Aku sungguh tersanjung. Sayangnya, aku tidak tertarik. Aku tidak berminat.”

“Jangan bersikap seperti itu, Irving,” bujuk Trevor, “Kau pasti dapat membantu kami.”

“Kau hanya cukup melihat bagaimana sikap Fulvia pada kami dan memberitahukan pendapatmu pada kami.”

“Aku tidak tertarik,” Irving menuju kursinya dan mengambil buku yang sedang dibacanya sesaat sebelum mereka mengusiknya itu.

“Ini tidak akan merepotkanmu,” bujuk Richie, “Kau hanya perlu mengamati. Kau hanya butuh mengamati sikap Fulvia. Aku yakin ini tidak akan menyita waktumu.”

“Aku bahkan yakin kau akan bisa mendapatkan jawabannya dalam sekejap.”

“Apa kau pikir aku seorang peramal?” Irving menatap tajam Trevor.

“Tidak, aku tidak mengatakannya,” Trevor cepat-cepat membela diri, “Tapi dengan pemahamanmu terhadap wanita itu, aku yakin kau bisa mengetahuinya begitu kau bertemu Fulvia.”

Irving menatap tajam kedua pria yang berdiri di depan meja bacanya dengan antusias itu.

Mereka begitu yakin ia akan membantu mereka.

Mereka begitu pasti ia akan dapat melihat siapa di antara mereka berdua yang lebih dicintai sepupu mereka itu.

Irving telah mengatakan berulang kali ia tidak berminat. Ia tidak tertarik untuk terlibat dalam cinta segitiga mereka. Ia tidak peduli cinta segi berapa pun yang dimiliki mereka.

Irving hanya tahu ia tidak akan tertarik pada gadis semacam itu.

Gadis yang jelas-jelas menikmati perseteruan di antara dua pria hanya untuk memperebutkannya bukanlah tipe gadis dengan siapa Irving akan berkencan.

Tapi kedua pria ini…

Kedua pria ini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Ia sudah mulai muak dengan kehadiran mereka. Ia sudah mulai bosan dengan bujukan-bujukan mereka.

Irving tahu kedua pria ini akan terus di sini mengganggunya selama ia tidak menyetujui mereka. Maka dengan terpaksa, Irving berkata,

“Aku akan mempertimbangkannya.”

“Kami percaya kau akan,” kedua pria itu langsung menggenggam tangannya dengan mata mereka yang berbinar-binar.

Cara keduanya memandangnya benar-benar membuat Irving ingin cepat-cepat mengusir keduanya dari tempat ini.

Mereka bukanlah teman dekat tetapi mereka saling mengenal. Keluarga mereka telah saling mengenal sejak berabad-abad lalu. Dan kedua pria ini bersikap seolah-olah mereka adalah teman akrab!

“Kami akan menantimu di pesta malam ini,” Trevor memberitahu.

“Fulvia akan datang dalam pesta nanti,” terang Richie, “Kami akan memperkenalkan kalian di pesta itu.”

Irving terkejut. Kedua pria ini tampaknya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum datang ke Nerryland. Dan mereka yakin sekali rencana mereka akan berhasil.

“Kita akan berjumpa lagi dalam pesta nanti malam,” kata mereka sebelum meninggalkan Ruang Baca.

Kedua sepupu itu pasti tidak akan melepaskannya dengan mudah sebelum ia menjawab pertanyaan di antara mereka itu. Irving tahu itu dan ia ingin segera cepat-cepat menyelesaikannya dan kembali pada kehidupannya yang tenang.

Dan sekarang, di sinilah ia berada, di antara dua sepupu yang mengapitnya seakan-akan takut ia kabur dan gadis yang menjadi penyebab semua ini di depannya.

Fulvia menatap Irving lekat-lekat.

Irving tidak suka cara Fulvia menatapnya.

“Anda tidak seperti yang saya dengar,” Fulvia tersenyum, “Tapi juga tidak jauh meleset dari perkiraan saya.”

Irving tidak menanggapi.

“Sepertinya mereka mempunyai alasan mengenalkan Anda pada saya,” Fulvia menatap kedua kakak sepupunya.

Trevor serta Richie kaget mendengarnya.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” Trevor langsung berkelit.

“Benar,” Richie langsung menambahkan, “Apakah kau tidak suka mempunyai seorang teman baru?”

“Kalian…,” Fulvia mendesah, “Kadang aku tidak mengerti apa yang kalian rencanakan.”

Kedua pria itu terperanjat. Mereka tertawa.

“Nah, M’lord,” Fulvia menatap Irving penuh harap, “Maukah Anda menemani saya sepanjang pesta ini?”

Irving terkejut. Seumur-umur, baru kali ini ia diajak seorang gadis.

Kedua kakak sepupu Fulvia juga tidak kalah kagetnya dengan ajakan Fulvia yang berani itu.

Richie menyikut Trevor. Matanya mengisyaratkan untuk membujuk Irving menerima ajakan itu.

“Benar. Benar,” Richie langsung menanggapi, “Mengapa kalian tidak memperdalam hubungan kalian?”

Irving menatap tajam Richie.

Richie langsung pura-pura tidak melihatnya.

‘Kalian ingin aku segera menyelesaikan tugas?’ pikirnya sinis, ‘Jangan khawatir. Aku juga tidak ingin berlama-lama terlibat dengan kalian.’

“Dengan senang hati, Lady Fulvia,” ia membungkuk, meraih tangan Fulvia dan menciumnya.

Fulvia tersenyum senang. Ia segera menyambut uluran tangan Irving dan berjalan di sisi pria itu ke lantai dansa.

“Terima kasih,” bisik Fulvia ketika mereka sudah cukup jauh bagi Trevor dan Richie untuk mendengar kata-katanya.

Irving mengabaikannya.

“Anda membantu saya menyelesaikan masalah saya yang paling merepotkan,” Fulvia menjelaskan.

Irving mulai tidak mengerti arah pembicaraan gadis ini.

“Saya tidak akan tahu harus bagaimana menghadapi mereka berdua bila Anda tidak muncul,” Fulvia menjelaskan lebih lanjut, “Mereka akan mulai bertengkar bila Anda tidak muncul.”

Irving melirik tajam Fulvia. Seperti dugaannya, gadis ini tahu dan tampaknya ia masih ingin terus menikmati pertengkaran kedua orang itu.

Fulvia melirik ke belakang. Ia melihat kedua kakak sepupunya itu sudah pergi dari tempat itu.

“Terima kasih,” Fulvia menarik tangannya dari siku Irving, “Dari sini saya sudah bebas.”

“Apa yang akan kau lakukan?” kata-kata itu terlompat begitu saja ketika Irving melihat gadis itu seperti seekor burung yang siap untuk terbang bebas.

“Saya rasa saya akan pulang,” kata Fulvia, “Saya tidak ingin berlama-lama di sini.”

Irving tidak mengerti.

“Sekali lagi, terima kasih, M’lord,” Fulvia memberi hormat lalu ia berbalik meninggalkan tempat itu.

Kedua kakak sepupunya itu telah menghilang dalam kerumunan para tamu. Tampaknya mereka telah benar-benar melupakannya. Davies juga sibuk menemani Lady Margot. Sementara itu kedua orang tuanya entah berada di sisi mana dari bangunan ini.

Fulvia merasa sudah tidak ada gunanya ia berada di tempat ini. Ia telah menyelesaikan tugasnya menemani kedua orang tuanya dan menghormati sang tuan rumah dengan datang ke pesta ini. Ketiga kakaknya juga sudah mendapatkan kesibukan mereka sendiri-sendiri.

Sekarang ia bisa pulang dengan tenang.

Langkah-langkah kaki Fulvia terhenti. Perasaannya tidak mungkin salah.

Kini ia telah berada jauh dari Hall tempat di mana pesta itu diselenggarakan. Serambi tempatnya berdiri juga sepi tetapi ia tetap dapat mendengar langkah-langkah kaki yang berat di belakangnya.

‘Seseorang mengikuti!’ insting Fulvia memperingatinya.

Fulvia membalik tubuhnya. “M’lord!?” Fulvia kaget, “Mengapa Anda di sini?”

Irving juga tidak mengerti mengapa ia mengikuti gadis itu. “Kurasa aku telah berjanji di depan kedua kakak sepupumu untuk menemanimu sepanjang pesta ini.”

Fulvia melihat ke dalam gedung. “Mereka tidak akan suka melihat Anda berada di luar bersama seorang gadis ingusan seperti saya.”

Irving terkejut mendengar tanggapan tidak terduga itu.

“Tidak ada hubungannya denganku,” tanggap Irving acuh.

“Jadi itu benar,” Fulvia tersenyum geli.

Irving tak ingin menanggapi.

“Terima kasih Anda sudah menemani saya sampai di sini,” kata Fulvia sopan, “Dari sini saya bisa pulang sendiri.”

Sesuatu memperingati Irving. “Kau akan pulang sendiri?”

“Jangan khawatir,” Fulvia tersenyum, “Kereta kami akan mengantar saya pulang.”

Tiba-tiba saja Irving merasa begitu bodoh. Bagaimana mungkin gadis manja sepertinya pulang sendiri di malam buta seperti ini?

Irving tidak menahan juga tidak melarang Fulvia pergi meninggalkannya ke halaman belakang.

Derap kaki kuda terdengar kian mendekat.

“Seorang lagi gadis manja,” katanya berlalu dari serambi.

Kaki-kaki kuda itu mulai beranjak menuju pintu gerbang.

Tiba-tiba Irving merasa asing. Sesuatu… sesuatu membuatnya was-was.

Irving berbalik.

Di pintu gerbang tampak sesosok gadis melacu kudanya dengan cepat.

“Gadis itu!?” Irving kaget melihat sosok itu kian menjauh.

Mereka menghilang dalam kegelapan malam.

‘Bukan urusanku,’ Irving berbalik dan kembali ke tempat di mana ia seharusnya berada.

Seorang pria berdiri di sana – beberapa meter dari serambi. Ia mengawasi Irving dengan perasaan tidak senang yang tergambar jelas di wajahnya yang mengeras itu.

Irving melihat Davies dan ia tidak suka dengan cara pria itu memandangnya. Ia tidak mempunyai masalah dengan pria itu tetapi pria itu seakan-akan ingin menghitung dendam di antara mereka.

Davies memelototi Irving. Ia tidak suka pria itu. Ia tahu ia seharusnya menghentikan kedua sepupunya pagi ini. Ia sadar pria itu akan membawa bahaya pada Fulvia tapi kedua sepupu itu tidak tahu. Bahkan Davies dapat memastikan keduanya tidak akan peduli selama mereka tahu Irving akan dapat membantu mereka memecahkan perseteruan di antara mereka ini.

“Aku peringati kau jangan mempermainkan adikku,” bisik Davies.

“Aku tidak tertarik pada gadis ingusan sepertinya,” balas Irving dingin.

“Kau tidak pantas mengatakan hal itu. Kau tidak mengenal Fulvia,” Davies terang-terangan menunjukkan kekesalannya.

“Apa bedanya ia dengan gadis-gadis lainnya?” kata Irving sambil berlalu meninggalkan Davies dalam kedongkolannya.

Bila kedua sepupu itu tidak menyadari bahaya yang dibawa Irving, maka Davies lah satu-satunya orang yang dapat melindungi Fulvia.

Davies tidak akan membiarkan pria dengan reputasi miring semacam ini mendekati adiknya.

“Ada apa, Davies?”

Davies berbalik.

“Mengapa kau tiba-tiba meninggalkanku?” tanya Margot.

“Aku perlu mengurus suatu masalah,” kata Davies sambil menggiring wanita itu kembali ke dalam.

No comments:

Post a Comment