Friday, April 20, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 9

Melihat tubuh Kakyu yang tidak tertutup kemejanya itu, Adna terpana.

Matanya terpaku pada buah dada Kakyu yang dililit kain putih untuk membuatnya tampak sedatar mungkin.

Adna tidak pernah menduga bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya bahwa Kakyu bukan seorang pria.

Kakyu adalah seorang gadis. Gadis yang mengenakan pakaian pria.

Kakyu menyadari apa yang terjadi.

Cepat-cepat ia menutupi dadanya dengan kemejanya. Tanpa melewatkan waktu sedekitpun, Kakyu meraih pedangnya dan mengarahkan sisinya yang tajam di leher Adna.

“Jangan kaukatakan pada siapapun,” ancamnya.

Adna yang masih belum pulih dari kagetnya, semakin terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu.

“Aku janji,” Adna berjanji.

Kakyu diam. Tak bergerak juga tidak bersuara.

Tanpa menghiraukan jarak mereka yang dekat, Kakyu terus mencari kesungguhan di mata Adna.

Adna menjauhkan sisi pedang itu dari lehernya.

“Aku telah berjanji padamu dan aku tidak akan mengingkarinya,” kata Adna.

Tiba-tiba saja Adna merasa serba salah. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi kenyataan yang baru terbongkar ini.

Apakah ia harus semakin curiga pada Kakyu yang menjadi Perwira Muda di usia muda? Ataukah ia harus curiga dengan sikap Kakyu yang baru saja? Atau ia harus menghakimi Kakyu juga Jenderal Reyn atas penipuan besar ini?

Adna bingung.

Kakyu berjalan menjauh dan kembali duduk. Kakyu meletakkan pedangnya di sampingnya, di antara panahnya.

Dengan tenang Kakyu berkata, “Pergilah.”

Tetapi Adna tidak mau disuruh pergi begitu saja. Ia datang bukan untuk diusir tetapi untuk mengobati luka Kakyu.

Kakyu tidak tahu sejak awal ia meninggalkan tenda, Adna terus mengawasinya.

Ketika semua orang terkejut melihat sebuah panah perak menancap di pundak pria itu, Adna menatap kagum Kakyu.

Tidak ada yang menduga Kakyu akan melakukan hal itu di tengah keributan.

Adna menyadari kalau Kakyu bukan pemuda yang tenang, pemuda itu tidak akan dapat melakukan sesuatu dengan begitu cepat dan penuh perhitungan.

Bila tadi Kakyu kurang cepat, panahnya bisa mengenai orang lain. Demikian pula bila ia tidak membidikkan panahnya dengan tepat, ia tentu akan melukai kakaknya sendiri.

Ketika Kakyu mengejar pria itu, Adnalah orang yang paling cepat mengikuti tindakan Kakyu. Tak heran kalau ia sempat melihat lengan Kakyu dilukai pria itu.

Adna tidak menduga ia akan membongkar suatu kenyataan yang selama ini disembunyikan justru pada saat ia merasa perlu membantu Kakyu dengan mengobati lukanya.

Adna mendekati Kakyu. “Aku tidak dapat pergi sebelum melakukan tujuanku datang kemari.”

“Nanti saja,” kata Kakyu tenang.

“Tidak bisa,” sahut Adna, “Kali ini aku datang bukan untuk mengajukan berbagai macam pertanyaan. Aku datang untuk mengobati lukamu.”

“Mengobati?” tanya Kakyu tak percaya.

Adna jengkel mendengar nada tidak percaya itu. “Kaukira aku tidak punya rasa kasihan!?”

“Berikan saja obat itu padaku. Aku akan mengobati sendiri lukaku.”

Adna memicingkan matanya – mengawasi Kakyu yang tetap tenang walau rahasianya telah terbongkar.

Pria itu tidak tahu Kakyu merasa ketenangannya hilang.

Kakyu memang sengaja tidak menunjukkannya. Kakyu tidak mau pria itu melihatnya.

Bagaimana mungkin ketenangan Kakyu tidak hilang setelah rahasia yang selama ini disimpan keluarganya bocor karena kesalahannya sendiri?

Entah apa yang akan dikatakan Jenderal Reyn kalau ia tahu. Tapi yang pasti ia akan sangat kecewa sama kecewanya dengan saat ia menyadari putra bungsunya juga seorang gadis, bahkan mungkin lebih kecewa.

Kakyu hanya dapat berharap Adna memenuhi janjinya.

“Tidak,” Adna bersikeras, “Aku yang akan melakukannya.”

Sebelum Kakyu sempat berbuat apa-apa, Adna menarik lengan Kakyu yang terluka.

Melihat luka yang cukup parah itu, Adna tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah Kakyu yang sama sekali tidak menunjukkan kesakitan. Kemudian ia merawat luka itu.

Kakyu memalingkan wajahnya ketika Adna merawat lukanya dengan penuh kelembutan.

Sejak kecil, Kakyu dididik sebagai seorang anak laki-laki. Sejak kecil pula, Kakyu melupakan dirinya sebagai seorang gadis.

Kini Kakyu tidak mau dirinya yang selama ini berada dalam ketenangannya sebagai gadis yang bertingkah laku seperti pria, menjadi kacau hanya karena seorang pria yang secara tidak sengaja mengetahui ia bukan pria.

Tapi debar jantung Kakyu sebagai seorang gadis tidak dapat dilawan. Jantung itu terus berdebar kencang ketika merasakan tangan-tangan Adna dengan lembut merawat lengannya.

Kakyu tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu tentang dirinya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya.

Sambil merawat luka itu, Adna sesekali menatap wajah Kakyu.

Sekarang Adna sadar apa yang membuat Kakyu tidak nampak pantas menjadi Kepala Pengawal Istana.

Selain karena rambut ikalnya yang merah seperti api. Wajah Kakyu juga tidak tampak seperti pria umumnya. Wajah itu memberi kesan lembut. Belum lagi tubuhnya yang terlalu kecil untuk ukuran pemuda seusianya.

Sekarang Adna menyadari mengapa Kakyu tampak sangat kurus dibandingkan pemuda lain. Juga mengapa pemuda itu penuh perhatian kepada setiap prajurit walau ia tampak acuh.

Adna ingin tahu mengapa Kakyu bertingkah sebagai anak laki-laki hingga sampai memiliki berbagai keahlian sebagai prajurit tangguh.

Tetapi apakah ia akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Kakyu yang pendiam itu?

Jelas Adna tidak dapat bertanya pada orang lain karena ia telah berjanji pada Kakyu untuk tidak mengatakan apapun tentang kejadian ini pada siapapun.

Adna tahu ia harus mencobanya.

“Mengapa engkau mengaku sebagai pria?” tanya Adna hati-hati.

Kakyu sudah menduga adanya pertanyaan itu tetapi ia tidak mau menjawab banyak juga tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya.

“Tidak apa-apa.”

“Tidak mungkin tidak apa-apa, Kakyu. Tidak pernah ada gadis segila engkau yang bertingkah sebagai laki-laki bahkan sampai terjun ke dunia laki-laki pula.”

Kakyu memilih diam daripada berbohong.

“Kalau engkau tidak mau mengatakannya saat ini, tidak apa-apa. Tetapi lain kali engkau akan menjelaskannya kepadaku bukan?”

Kakyu terkejut mendengar pertanyaan lembut itu. Biasanya Adna tidak pernah mau bersikap lembut seperti ini kepadanya.

Apakah karena mengetahui ia bukan seorang pria, lantas ia bersikap lebih lembut?

Kakyu menatap wajah Adna dengan curiga. Tetapi pemuda itu menghiraukannya.
Dengan santai, Adna membalut luka Kakyu.

Kakyu mengawasi tangan Adna yang terus bergerak-gerak membalut lukanya dengan kain perban yang dibawanya juga dari Tenda Perawatan.

“Selesai,” Adna memberitahu.

Kakyu cepat-cepat menutup kembali tubuhnya dengan kemeja.

“Aku akan pergi sehingga engkau bisa berganti baju,” kata Adna sambil beranjak bangkit.

Ketika sampai di pintu tenda, Adna menoleh.

“Mengenai janjiku, jangan khawatir,” Adna meyakinkan Kakyu, “Aku tidak akan mengatakan kepada siapa-siapa juga kepada Pangeran.”

Kakyu segera mengenakan kemeja yang telah disiapkannya.

“Kakyu!”

Kakyu terkejut. Ia segera memalingkan kepala ke arah datangnya suara itu.

Hatinya terasa lega ketika melihat yang datang bukan Adna tetapi kakaknya, Joannie.

Joannie melihat lengan Kakyu yang belum dilindungi kemejanya dan bertanya cemas, “Apa yang terjadi padamu?”

“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu sambil membenahi kemejanya.

Joannie mendekat.

Melihat kemeja lain yang telah sobek dan di sekitar sobekannya memerah oleh darah, Joannie tidak percaya tetapi ia tidak mau mendesak Kakyu lagi. Ia tahu Kakyu tidak akan memberitahu apapun kepadanya.

Sebagai kakak yang telah tinggal serumah dengan Kakyu, tidak mungkin Joannie tidak mengenal watak adiknya.

“Ada apa, Joannie?” giliran Kakyu yang bertanya.

“Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” kata Joannie, “Engkau telah menyelamatkanku.”

“Berterima kasihlah pada Pangeran,” kata Kakyu.

Dengan perkataan itu, Joannie tahu adiknya ingin mengatakan bukan dirinya yang menyelamatkannya tadi.

“Kalau engkau tidak melukai tangan pria itu, aku pasti sudah dibawanya entah ke mana,” kata Joannie.

“Mengapa engkau yang disandera?”

“Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Aku juga tidak tahu kalau ia itu mata-mata.”

“Ia sedang berada di Tenda Perawatan ketika aku di sana. Melihat pasukan yang belum pernah kulihat di Tenda Perawatan itu, aku menjadi ingin mengetahui mengapa ia di sana. Aku sama sekali tidak menduga ia akan menodongkan pisaunya di leherku sebagai jawabannya. Selanjutnya, engkau tahu sendiri apa yang terjadi.”

“Untung Pangeran Reinald segera menarikmu,” Kakyu mengganti topik pembicaraan.

“Ya, aku sangat terkejut tadi waktu Pangeran tiba-tiba menarikku,” Joannie mulai melupakan ketakutannya yang sesaat lalu timbul lagi, “Ia menenangkanku.”

“Ia sungguh-sungguh baik hati dan penuh pengertian,” tambah Joannie, “Dengan lembut ia menghiburku dan membuat aku melupakan ketakutanku.”

“Aku sangat bahagia, Kakyu,” Joannie menunjukkan kata-katanya baik dalam suaranya maupun sikapnya, “Aku yakin tidak akan ada pria yang sebaik dia. Ia benar-benar seperti pria idamanku. Sayang tadi kami tidak bisa berduaan, banyak prajurit yang mengelilingi kami.”

“Mereka mencemaskanmu,” Kakyu memberitahu.

“Aku tahu tetapi tidakkah mereka tahu aku juga ingin berduaan dengan Pangeran,” kata Joannie manja.

Melihat kakaknya yang semakin tampak menggemaskan dengan sikap lugunya, Kakyu yakin tidak akan ada pria yang tidak senang melihatnya.

“Mereka tidak tahu engkau mencintai Pangeran,” sekali lagi Kakyu memberitahukan apa yang tidak diketahui kakaknya sebelumnya.

Hingga kini tidak ada orang lain yang tahu kalau Joannie jatuh cinta kepada Pangeran Reinald. Jenderal Reynpun tidak tahu. Hanya Kakyu yang mengetahuinya.

Dengan wataknya yang tenang dan tidak mau mencampuri urusan orang lain, tentu saja Kakyu tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun.

Kepada Adna yang sering ditanyai berbagai macam pertanyaan tentang Pangeran pun, Kakyu tidak memberitahu.

Kakyu membiarkan pemuda itu memikirkan kemungkinan yang aneh-aneh dengan sikapnya yang seperti ingin tahu segala sesuatu tentang Pangeran Reinald.

“Pangeran sepertinya tidak menyukaiku,” kata Joannie tiba-tiba.

Kakyu tidak tertarik mendengarnya, tetapi untuk mengibur kakaknya, ia bertanya, “Mengapa?”

“Pangeran tadi segera mengantarku ke tendaku sendiri ketika melihat pasukan datang dengan pria itu. Lalu ia sendiri segera meninggalkanku.”

Kakyu mengerti mengapa Pangeran berbuat seperti itu tetapi Joannie tidak. Karena itu Kakyu merasa ia harus memberitahu Joannie. “Kau harus mengerti, Joannie, Pangeran juga harus memeriksa orang itu.”

“Gara-gara pria itu semuanya kacau,” kata Joannie mengeluh.

Kakyu diam saja mendengar keluhan itu. “Berkat dia pula Pangeran menunjukkan perhatiannya padamu,” Kakyu mengingatkan Joannie.

“Andaikan saja tadi pria itu lolos…”

“Kita yang akan hancur,” sahut Kakyu.

Joannie terdiam.

Sebagai seorang wanita yang tidak pernah mengenal kerasnya sebuah pertempuran, Joannie sama sekali tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi bila mereka salah bertindak. Juga bila ada mata-mata yang memasuki benteng mereka.

“Sekarang Pangeran ada di mana?”

“Aku tidak tahu,” jawab Joannie, “Tapi tadi aku melihat Adna pergi ke Tenda Perundingan.”

Kakyu berdiri.

“Engkau mau ke mana?” tanya Joannie.

“Mencari tahu apa yang terjadi,” jawab Kakyu santai sambil berlalu dari hadapan kakaknya.

Di luar, Kakyu melihat pasukan telah bersiaga penuh setelah kejadian pagi ini.

Memang seharusnya sejak dulu itu yang mereka lakukan tetapi mereka terlalu sibuk dengan benteng mereka sehingga melupakan Kirshcaverish.

Untung saja kecerobohan itu tidak membahayakan mereka.

Apa yang akan terjadi bila mata-mata itu berhasil menemui pimpinannya di dalam Hutan Naullie, sudah sangat jelas.

Kakyu cepat-cepat menuju Tenda Pertemuan.

Tidak nampak mata-mata Kirshcaverish di sana, yang ada hanya para Jenderal serta Pangeran dan tentu saja Adna.

Mereka tengah sibuk berunding hingga tidak memperhatikan kedatangan Kakyu.

Tanpa bersuara Kakyu mendengarkan perundingan mereka.

“Kita tidak dapat berdiam diri di sini,” kata seorang Jenderal, “Kita harus segera menumpas mereka.”

“Aku setuju,” kata Jenderal Erin, “Sudah terlalu lama kita membiarkan Kirshcaverish. Sekarang saatnya kita menyerang kembali.”

“Kita mempunyai masalah,” Jenderal Reyn mengingatkan, “Kita tidak tahu di mana markas mereka. Kita hanya tahu mereka berkedudukan di Hutan Naullie.”

“Saat ini pasukan kita lebih banyak dari mereka. Kita tidak perlu khawatir akan kalah,” kata Adna, “Kita bisa membagi pasukan ke dalam beberapa kelompok kemudian kita melakukan serangan yang terpencar.”

“Benar,” Pangeran Reinald setuju, “Kalau kita menyebarkan pasukan di Hutan Naullie, kita pasti dapat menemukan mereka.”

“Sepertinya usul itu sangat bagus,” kata Jenderal Decker, “Sekarang kita harus menyempurnakan usul itu.”

Mulanya Kakyu berharap Jenderal Decker sebagai Jenderal Tertinggi di Kerajaan Aqnetta, akan menghentikan keinginan yang terburu-buru itu. Tetapi harapan itu tidak terkabul.

Sebagai gantinya, Kakyu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuannya, “Tidak! Kalian tidak dapat bertindak sejauh itu.”

“Apa maksudmu?” tanya Jenderal Decker terkejut mendengar bantahan Kakyu yang lantang itu – melebihi lantangnya suara para Jenderal yang setuju untuk menggempur Kirshcaverish sesegera mungkin.

“Kalian pasti akan hancur,” kata Kakyu cemas, “Kalian sama sekali tidak mengenal Hutan Naullie. Kalian bahkan tidak tahu cerdiknya Kirshcaverish.”

“Tidak akan, Kakyu,” Jenderal Erin menenangkan, “Pasukan kita lebih banyak dari mereka.”

“Tapi mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita sendiri,” bantah Kakyu.

“Berapapun pasukan kita, kita pasti akan hancur sebelum mengetahui kedudukan mereka,” Kakyu memberitahukan apa yang terlintas di benaknya saat mendengar keputusan itu, “Di luar Hutan Naullie, kita memang lebih unggul daripada mereka. Tetapi di dalam hutan, merekalah yang lebih unggul.”

Adna yang selalu curiga kepada Kakyu – semakin curiga karenanya.

“Apa maksudmu, Kakyu?” kecurigaan Adna sangat nampak dalam suaranya, “Sejak dulu engkau selalu terkesan melindungi mereka.”

“Tidak,” bantah Kakyu.

“Lalu mengapa sejak dulu engkau seperti mengulur waktu. Mengapa tidak sejak awal engkau menyerang mereka di saat keadaan mereka lemah? Apakah engkau ingin mereka pulih dulu sebelum kita menyerang mereka dengan kekuatan baru kita?”

Adna tidak memberi kesempatan pada Kakyu untuk membantahnya.

“Sekarang mereka telah pulih dan mereka telah mengirimkan mata-matanya. Untung saja mata-mata itu tertangkap. Apakah engkau ingin mata-mata mereka berhasil mengetahui segala sesuatu tentang kita sebelum kita menyerang mereka?”

“Engkau tidak mengerti,” kata Kakyu, “Kalian sama sekali tidak tahu sulitnya. Kalian tidak tahu bahaya apa yang akan menimpa kalian bila kalian bertindak terburu-buru seperti ini.”

“Apakah ini yang kaukatakan terburu-buru?” Adna mulai menampakkan kemarahannya, “Sudah cukup lama kita membiarkan mereka. Sudah cukup lama waktu yang kita berikan pada mereka untuk memulihkan diri. Kalau engkau ingin kita mengulur waktu lagi, secara langsung engkau menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya.”

“Jati diri yang sebenarnya?” Kakyu khawatir Adna akan mengingkari janjinya.

“Mengakulah, Kakyu, engkau mata-mata mereka bukan?”

Kakyu terkejut mendengar tuduhan itu. Begitu pula mereka yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran itu.

“Bagaimana mungkin Kakyu mengkhianati negaranya sendiri?” Jenderal Decker membela Kakyu.

“Kalau tidak mengapa ia begitu membela mereka? Apa lagi yang ia inginkan selain melindungi mereka?”

“Engkau tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, Adna,” kata Kakyu tenang, “Engkau tidak tahu kesulitan apa yang akan kita dapat dengan menyerang mereka sebelum kita mengetahui dengan pasti kedudukan mereka dan situasi sekitar markas mereka.”

“Jadi, beritahu kami,” kata Adna tegas, “Aku yakin engkau tahu.”

“Aku tidak tahu.”

“Sudahlah, Kakyu. Percuma engkau membohongiku. Sejak awal aku memang mencurigai sikapmu yang aneh itu.”

“Sebaiknya engkau mengatakan apa yang kauketahui pada kami, Kakyu,” bujuk Jenderal Decker, “Aku yakin seperti kata Adna, engkau mengetahui sesuatu tentang mereka.”

“Katakan saja, Kakyu,” Jenderal Erin turut membujuk, “Katakan agar ia percaya engkau bukan mata-mata seperti yang kami percayai.”

Kakyu tahu ia bisa saja mengatakan semua yang diketahuinya tetapi masalahnya, ia tidak tahu pasti apakah markas Kirshcaverish masih tetap di tempat dulu ataukah sudah pindah.

Bagus kalau mereka tetap di sana, tetapi akan sebaliknya kalau mereka sudah pindah.

Para Jenderal yang mempercayainya pasti menjadi tidak percaya kepadanya. Jenderal Reyn akan kecewa pada putra yang dibanggakannya dan yang pasti Adna senang dengan tebakannya yang tepat.

“Aku tidak pasti benar,” kata Kakyu jujur.

“Ia pasti ingin melindungi kelompoknya,” Adna mengejek.

Pangeran Reinald yang sejak tadi diam saja, tahu ia harus membela Kakyu. Seperti para Jenderal lainnya yang mengenal Kakyu, Pangeran percaya pada pemuda itu.

“Sebaiknya kalian tidak menghiraukan Adna,” kata Pangeran Reinald, “Ia memang mempunyai masalah pribadi dengan Kakyu.”

Adna yang merupakan Pangeran asli itu menatap tajam pria di sampingnya itu.

“Ia sudah berada di dalam Istana sebelum keberadaan Kirshcaverish diketahui,” Pangeran Reinald memberitahu kenyataan pada Pangeran yang asli, “Kalau ia memang mata-mata mereka, ia tentu tidak akan membiarkan kita mengetahui keberadaan mereka di Hutan Naullie.”

Adna tidak mau mendengarkan, ia malah bertanya dengan nada menuduh, “Mengapa engkau membelanya?”

“Aku telah menjelaskannya padamu.”

Merasa telah menimbulkan keributan, Kakyu memilih mengundurkan diri dari Tenda Perundingan.

Kedatangan Kakyu tadi bukan dengan tujuan mengacaukan keadaan tetapi untuk mengetahui hasil pemeriksaan para Jenderal terhadap mata-mata Kirshcaverish.

Kakyu membiarkan mereka yang ada di Tenda Perundingan itu memilih sendiri siapa yang dipercayainya. Ia juga membiarkan mereka berpikir sendiri sebab ia meninggalkan Tenda Perundingan di saat Pangeran Reinald membelanya.

Kakyu kembali ke tendanya.

Sekarang semua terserah mereka. Apakah mereka akan menyerang Kirshcaverish atau menunda lebih lama lagi hingga mereka tahu posisi Kirshcaverish.

Setelah beberapa kali gagal menyerang Kirshcaverish, para Jenderal itu masih kurang mengerti kelemahan pasukan mereka.

Walaupun jumlah Kirshcaverish lebih sedikit dibandingkan mereka, mereka selalu kalah. Sebabnya tak lain adalah posisi mereka yang kurang menguntungkan.

Setelah mengetahui berdirinya benteng pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi Hutan Naullie, Kirshcaverish tentu mulai memanfaatkan hutan lebat itu sebagai penghalang jalan pasukan Kerajaan Aqnetta.

Di antara lebatnya semak-semak yang sebagian besar berduri itu, pasti banyak jebakan yang telah dipasang. Ranjau darat yang tersembunyi di dalam tanah, pasti juga turut meramaikan suasana.

Belum ditambah bahaya alam Hutan Naullie sendiri.

Di Hutan Naullie masih banyak binatang buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka tanpa mengenal waktu.

Hutan Naullie yang masih lebat, tentu tidak membuat penghuninya merasa perlu menjaga jarak dengan manusia. Mereka, terutama hewan pemakan dagingnya, pasti menganggap manusia sebagai mangsa mereka.

Di hutan sekitar kaki Pegunungan Alpina Dinaria, labih banyak hewan buasnya daripada hewan pemakan tumbuh-tumbuhan. Karena itu di sekitar Pegunungan Alpina Dinaria jarang dijumpai pedesaan.

Kakyu mengerti benar hal ini tetapi tidak demikian halnya dengan para Jenderal terutama Adna.

Terlalu banyak resiko yang harus dihadapi pasukan Kerajaan Aqnetta bila menyerbu Hutan Naullie tanpa mengenal Hutan Naullie.

Andaikan pepohonan di Hutan Naullie tidak rapat, pasukan Kerajaan Aqnetta masih dapat mengatasi keadaan.

Tetapi pada kenyataannya, selain pepohonannya rapat, dalam Hutan Naullie juga banyak semak-semaknya hingga hampir tidak ada tanah kosong. Semua permukaan hutan tertutup oleh hijaunya daun.

Hutan Naullie yang gelap dan selalu lembab itu juga bukan tempat yang baik untuk dimasuki. Di dalam sana tentu banyak ular dan entah hewan berbisa apa lagi.

Kirshcaverish yang telah mengenal Hutan Naullie, tentu dapat mengatasi keadaan itu.

Kakyu menatap panahnya yang belum disimpannya.

No comments:

Post a Comment