Wednesday, April 18, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 7

Sekarang semua sudah jelas. Rencana Kakyu itu tidak dapat dilaksanakan.

Kakyu harus membuat rencana baru.

Rencana yang bertujuan sama. Membantu Joannie tanpa membuat dirinya meninggalkan tujuannya datang ke Pegunungan Alpina Dinaria ini.

Semua telah jelas bagi Kakyu malam itu.

Joannie menceritakan semuanya dari awal keberangkatannya hingga ia berada di tempat ini.

Pada malam Joannie mengajukan keinginannya untuk ke rumah Bibi Lishie di Hymman kepada keluarganya itu, Joannie memang meminta langsung diantar malam itu juga. Seluruh keluarga Quentynna malam itu tidak ada yang melarang. Semua tahu Joannie tidak dapat dihentikan apalagi bila keinginannya itu menyangkut Jenderal Reyn. Tidak seorangpun yang menduga malam itu Joannie tidak pergi ke Hymman seperti yang seharusnya.

Joannie menyuruh kusir kereta keluarga mereka menghentikan kereta di sebuah penginapan. Kepadanya, Joannie beralasan ia ingin bermalam di sana. Kemudian ia menyuruh kusir kuda itu pulang.

Tanpa mencurigai apapun, kusir kuda itu kembali ke Quentynna House malam itu juga.

Tidak ada yang menyangka bila keesokan paginya, Joannie menyelinap ke dalam kereta yang khusus mengangkut barang-barang keperluan mereka selama berada di Naullie.

Baru ketika mereka membongkar muatan di tepi Hutan Naullie itulah, Joannie ketahuan.

Jenderal Reyn tentu saja sangat marah dan terkejut saat itu. Jenderal Reyn yang biasanya selalu sabar terhadap putra-putrinya terutama Joannie itu hingga memarahi putri kesayangannya itu.

“Apa yang kaulakukan di sini?” kata Jenderal Reyn waktu itu, “Apakah engkau sudah gila?”

Kata-kata kasar yang tidak pernah diucapkan Jenderal Reyn sebelumnya itu hampir saja membuat Joannie menangis. Tapi Joannie tahu ayahnya benar, ia seharusnya tidak boleh berada di sini.

Tetapi Joannie tetap memaksa dirinya berada di tempat ini tak lain karena ayahnya.

Cinta Joannie kepada Jenderal Reyn sangat besar hingga gadis itu tidak tega membiarkan ayahnya berperang sendirian. Walaupun banyak Jenderal yang mendampingi ayahnya, Joannie tetap ingin mendampingi ayahnya.

Joannie yang merasa bersalah tidak dapat berkata apa-apa karenanya.

Jenderal Reyn sangat marah hingga tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Joannie terus menunduk bersalah di hadapan ayahnya tanpa mengatakan apa-apa seolah-olah menantikan hukuman.

Untung saja Pangeran Reinald meredakan kemarahan itu dan mengijinkan Joannie tetap di sana. Bila tidak mungkin Jenderal Reyn akan terus marah hingga saat ini.

Melihat Kakyu datang dengan pasukan bala bantuan saja, Jenderal Reyn yang tidak ingin anaknya maju ke medan pertempuran yang berbahaya ini, sangat marah. Apalagi kalau kemarahan yang dulu belum dipadamkan.

Mungkin karena bantuan itulah, Joannie menganggap pria itu mirip ayahnya.

Joannie menyukai pria yang baik hati itu.

Tetapi apa yang dapat dilakukan Joannie?

Sejak saat itu ia memang boleh tetap berada di Naullie tetapi ia tidak boleh meninggalkan tendanya apalagi menemui ayahnya yang jelas semakin sibuk tiap harinya.

Pertempuran yang kadang terjadi di dekat perkemahan mereka, memang membuat Joannie takut. Tetapi Joannie telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk membantu ayahnya dan ia ingin menunjukkan kepada Pangeran kalau ia bukan wanita lemah.

Tetapi betapapun Joannie ingin membantu, Jenderal Reyn dan semua orang di sana tetap menganggapnya lemah.

Hanya Pangeran Reinald saja yang menghargai keinginannya untuk membantu itu. Walaupun Pangeran Reinald tidak pernah mengatakannya secara langsung, Joannie dapat merasakannya. Dan itu tentu saja membuat Joannie merasa senang.

Joannie sering melihat kepiawaian Pangeran ketika memimpin pasukan. Dan Joannie semakin menganggap Pangeran gagah seperti ayahnya.

Dari Joannie juga, Kakyu tahu Pangeran Reinald baru tiba ketika pasukan yang dipimpin Jenderal Decker, Jenderal Reyn dan beberapa Jenderal lainnya akan berangkat.

Joannie tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Pangeran dengan para Jenderal itu tetapi Joannie tahu Pangeran Reinald segera bergabung dengan pasukan itu. Dan sejak saat itu pula Pangeran Reinald berada di Naullie untuk membantu menumpas Kirshcaverish.

Kenyataan yang dihadapi ini membuat Kakyu benar-benar pusing.

Belum lagi tuntas masalah Kirshcaverish, sekarang Kakyu dihadapkan pada masalah kakaknya lagi.

Kakyu tidak tahu harus berbuat apa.

Hingga hari menjelang pagi, Kakyu masih tidak tahu harus berbuat apa untuk ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya.

Kalau kakak-kakak Kakyu yang lain, pasti tahu bagaimana melakukannya. Mereka pandai membujuk Jenderal Reyn, tetapi Kakyu tidak.

Kakyu lain dari mereka.

Kakak-kakak Kakyu sangat dimanja ayahnya terutama Joannie. Sedangkan Kakyu sebagai satu-satunya harapan dalam keluarga Quentynna, sejak kecil telah diajarkan hidup mandiri. Berusaha dengan kekuatannya sendiri.

Sekarang tidak ada Vonnie, Marie maupun Lishie yang dapat membantu Kakyu ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya yang dijaga ketat.

Semalaman tidak tidur, tidak membuat Kakyu lelah.

Udara pagi yang masih segar membuat Kakyu melupakan sedikit masalah pelik yang dihadapinya.

Kakyu memanfaatkan udara yang membuat hati sejuk itu untuk mengosongkan pikirannya.

Kenichi pernah berkata, “Kosongkan pikiranmu dan bersatulah dengan alam. Maka engkau akan mengerti apa yang harus kaulakukan.”

Dan itulah yang akan dilakukan Kakyu.

Pagi yang masih remang-remang ditambah udara sejuk yang menyejukkan hati, mendukung Kakyu.

Sekarang yang diperlukan Kakyu hanyalah mencari tempat yang sesuai untuk melakukan kegiatannya itu.

Kalau dulu Kakyu pasti akan memilih Hutan Naullie yang sepi dan dekat alam, sebagai tempat berlatihnya. Tetapi sekarang hutan itu sudah tidak aman lagi. Maka Kakyu harus mencari tempat baru.

Kakyu melihat menara pengintai yang menjulang di sudut-sudut perkemahan mereka.

Tempat itu cukup sepi dan cukup dekat dengan alam terutama angin.

Kakyu menuju salah satu menara yang letaknya paling dekat dengan Hutan Naullie.

“Beristirahatlah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga menara itu.

Perintah pendek itu segera dilaksanakan oleh prajurit itu.

Setelah kepergian satu-satunya prajurit yang menjaga menara pengintai itu, Kakyu mengamati sekitarnya sebelum ia duduk bersila di lantai menara tinggi itu dan ia memejamkan matanya.

Kesunyian pagi ditambah angin pagi yang dingin, membuat Kakyu benar-benar merasakan kedamaian di dalam hatinya. Segala macam pikiran yang semula berbaur jadi satu dalam benaknya, seolah-olah hilang semuanya.

Namun sayangnya ketenangan yang didapat Kakyu itu tidak dapat bertahan lama.

Kakyu memang dapat mengatasi suara pagi yang mulai muncul di perkemahan, tetapi ia tidak dapat mengatasi panggilan seseorang yang sangat jelas di telinganya itu.

Panggilan itu mau tidak mau membuat Kakyu terpaksa menghentikan tapanya.

Kakyu hanya berdiri kembali tanpa menyahut orang yang memanggilnya itu walau ia tahu pemuda itu sejak tadi berdiri di dekatnya.

“Kukira engkau sudah mati,” kata Adna, “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Tidak ada.”

“Itukah caramu menjaga ketenanganmu?” tanya Adna ingin tahu.

Kakyu mengacuhkan pertanyaan itu dengan mengamati Hutan Naullie yang mulai tampak terang oleh sinar matahari yang muncul di langit seberangnya.

Tiba-tiba Kakyu teringat cerita Joannie yang lain.

Ketika pergi ke Inggris, Pangeran Reinald tidak sendirian. Raja memerintahkan seorang pengawal yang lebih tua beberapa tahun dari Pangeran, untuk menemani Pangeran di negeri perantauan.

Ketika berangkat, mereka pergi bersama. Tetapi ketika kembali, mereka terpisah.

Karena apa, Joannie tidak tahu jelas. Ia hanya tahu keduanya terpisah dan Pangeran Reinald tiba lebih dulu sebelum pengawalnya itu.

Joannie juga menjelaskan pengawal Pangeran Reinald itu bernama Adna.

Kakyu sangat yakin pemuda yang Paduka jadikan syaratnya itu adalah pengawal Pangeran Reinald. Dan tentu saja tugasnya kali ini selain mengawal Pangeran, ia juga harus membantu Pangeran.

Pikiran itu membuat Kakyu mendapatkan sebuah akal.

Mungkin Kakyu memang tidak dapat memperkenalkan Pangeran Reinald kepada Joannie secara langsung. Tetapi ia bisa membantu Joannie untuk semakin mengenal pemuda pujaan hatinya itu.

Tentu saja Kakyu tidak bertanya langsung pada Pangeran. Kakyu akan menanyakannya pada Adna.

Kalau dalam keadaan biasa Kakyu mungkin tidak mau berbicara banyak, tetapi kali ini keadaannya lain.

Demi kakaknya, Joannie, Kakyu harus mau membuka mulutnya dan melakukan apa yang selama ini paling diengganinya.

“Jadi, engkau pengawal Pangeran,” Kakyu membuka percakapan.

Adna palsu itu pura-pura terkejut. “Dari mana engkau tahu?”

Kakyu tidak mau mengatakan yang sebenarnya, maka ia berkata, “Di sini banyak telinga dan banyak mulut.”

“Ya,” Adna menyetujui, “Di mana-mana selalu ada yang namanya gosip.”

Walaupun tahu kebenarannya, Kakyu tetap berkata, “Engkau tidak membantahnya?”

“Untuk apa membantahnya kalau itu memang benar?” Adna balik bertanya.

Karena memang tidak tahu yang manakah Pangeran Reinald itu, Kakyu bertanya, “Seperti apakah Pangeran?”

Adna heran mendengarnya. “Engkau tidak mengenalnya?”

Kakyu mulai jengkel pada Adna yang seperti ingin mengajaknya berbicara panjang lebar tanpa langsung menuju pokok permasalahan. “Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya.”

“Bagaimana mungkin engkau menjadi Kepala Keamanan Istana tanpa mengetahui orang yang seharusnya kaulindungi?” ejek Adna.

Kakyu lelah menghadapi Adna. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa membuat Adna langsung ke pokok permasalahan yang dihadapinya ini.

Mungkin Kakyu harus mencobanya lagi suatu saat tetapi tidak saat ini.

Hampir seluruh penghuni perkemahan telah bangun dan tiba saatnya bagi Kakyu untuk mulai sibuk.

Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu meninggalkan pemuda itu sendirian di menara.

Adna cemas melihatnya. Ia merasa baru saja Kakyu menunjukkan keramahannya padanya dan kini ia mulai bersikap tenang yang dingin. Hal itu dapat menghambat penyelidikannya terhadap diri pemuda itu.

“Engkau marah?” tanyanya khawatir.

Kakyu membantahnya dengan tenang.

“Mengapa engkau pergi seperti seorang gadis yang sedang marah?”

“Memulai kesibukanku,” jawab Kakyu singkat.

Adna tidak tahu bagaimana mengembalikan pemuda itu kepada keramahannya yang sesaat lalu.

“Baiklah, aku akan memberitahumu,” kata Adna pada akhirnya.

Sesaat Adna ragu gambaran Pangeran yang manakah yang harus dikatakannya kepada Kakyu.

Kalau ia mengatakan tentang dirinya yang memang Pangeran yang asli, Kakyu pasti akan curiga kalau tidak mendapatkan ciri-ciri itu pada Pangeran palsu.

Tetapi kalau ia memberikan gambaran Adna, kelak bila tiba saatnya kekeliruan dibenarkan, akan muncul masalah.

Entah mengapa Adna menganggap Kakyu patut dicurigai.

Mungkin karena usianya yang terlalu muda untuk menjadi Perwira yang mengepalai seluruh pasukan pengawal Istana. Mungkin juga karena tubuh kecil pemuda itu yang tidak mendukung ketangguhannya yang sering dibicarakan orang.

Adna sendiri tidak tahu sebabnya. Tapi ia tahu pemuda itu tidak dapat dianggap remeh. Baik oleh pemuda lain seusianya maupun ia yang lebih tua darinya.

Dalam satu hal Adna yang asli benar.

Pemuda itu patut dikagumi. Kakyu tidak seperti pemuda lain seusianya. Kakyu bukan pemuda yang ceroboh dan bertindak tanpa dipikirkan dulu. Kakyu pemuda yang penuh perhitungan dan penuh persiapan.

Hanya itu yang diakui Adna, tidak yang lain. Adna palsu belum mau mengakui ketangguhan Kakyu.

Kakyu tidak mau menunggu terlalu lama di menara itu.

Tidak perlu dikhawatirkannya apa yang akan dikatakan pemuda itu nanti. Ia memang tidak merasa marah dan ia tidak bohong ketika ia mengatakan ia ingin memulai kesibukannya.

Kakyu menuruni tangga kayu dengan tenang.

Adna yang masih sibuk menimbang, terkejut melihat dirinya telah ditinggal sendirian di menara itu oleh Kakyu. Cepat-cepat ia menyusul Kakyu.

Bila ia ingin mengetahui segala gerak-gerik pemuda itu yang dimatanya terasa mencurigakan itu, ia tidak boleh kehilangan pemuda itu.

Pemuda itu harus selalu dapat dilihatnya agar ia dapat terus mengawasi gerak-geriknya.

Kakyu baru meninggalkan tangga kayu itu ketika Adna hampir mencapai ujungnya.

“Tunggu aku,” Adna mengejar Kakyu yang berjalan tenang namun cepat.

Sekali lagi Adna mengulangi pertanyaannya, “Engkau marah?”

“Tidak,” jawab Kakyu singkat.

“Lalu mengapa engkau tidak mau mendengar jawabanku?”

“Aku mempunyai tugas.”

“Jadi, engkau tidak mau tahu jawabannya?” tanya Adna hati-hati.

Adna tahu ia akan sangat lega bila Kakyu tidak jadi menanyakan jawaban pertanyaannya itu. Dengan demikian ia tidak perlu repot-repot memikirkan jawabannya.

Namun sayang sekali harapan Adna itu tidak terkabul. Kakyu berkata, “Katakan saja sambil berjalan.”

Untuk menghindari kecurigaan Kakyu, Adna tidak mau berpikir terlalu lama lagi.

Ia segera berkata, “Pangeran orang yang gagah.”

Kakyu telah mendengarnya dari Joannie.

“Ia banyak dikagumi wanita karena ketampanannya.”

Kakyu diam saja. Ia tahu banyak wanita yang pasti akan menyukai Pangeran yang gagah dan tampan seperti yang diungkapkan Joannie kepadanya semalam dengan seluruh perasaan cintanya.

“Tapi selama ini ia tidak memperhatikan mereka. Pangeran tahu ia berada di Inggris bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk belajar,” Adna terus bercerita tanpa menyadari Kakyu yang sama sekali tidak nampak memperhatikan ceritanya itu.

Kakyu mendengarkan cerita Adna sembari memperhatikan sekelilingnya dan sesekali mengangguk pada prajurit yang memberi salam kepadanya.

“Pangeran orang yang bertanggung jawab. Ia orang setia dan menyenangkan. Aku yakin engkaupun akan menyukainya kalau engkau telah mengenalnya. Pangeran orang yang penuh pengertian dan sabar. Bagiku sangat sulit membuatnya marah. Tetapi kuperingatkan kepadamu. Jangan sekali-kali membuatnya marah. Kalau ia sudah marah, ia akan sangat menakutkan.”

“Dan kejam,” tambah Adna pula.

“Tetapi Pangeran juga unik. Ia kadang seperti anak kecil yang senang menggoda,” kata Adna, “Entah berapa kali aku digodanya sampai aku dibuat jengkel olehnya.”

Kakyu tidak menanggapi apapun atas jawaban yang panjang lebar itu.

Pangeran Reinald akan sesuai untuk Joannie yang kadang tampak manja itu.

Kakyu merasa Joannie bukan memerlukan seorang pria yang kuat seperti yang diinginkannya tetapi lebih dari itu. Joannie membutuhkan orang yang penuh pengertian untuk mengatasi sikapnya yang kadang sangat manja, tetapi tidak jarang pula ia tampak sangat pemberani.

“Dari tadi aku merasa telah bercerita banyak seperti seekor burung beo tetapi engkau tetap diam,” kata Adna tiba-tiba, “Menanggapi pun tidak.”

Kakyu hanya menatap wajah Adna tanpa mengatakan apa-apa karena ia memang tidak tahu harus mengatakan apa.

Tiba-tiba Adna merasa curiga, “Apakah engkau sejak tadi memperhatikanku?”

Sebagai jawabannya, Kakyu mengangguk.

“Mengapa engkau tidak berkomentar apapun?”

“Karena aku tidak tertarik,” jawab Kakyu singkat.

Mulanya Adna berharap pertanyaannya akan membuka suatu percakapan baru di antara mereka tetapi rupanya memang sulit mengajak Kakyu berbicara.

Pemuda satu ini benar-benar tampak aneh di mata Adna yang belum pernah melihat pemuda yang lebih memilih diam dan menyendiri daripada harus berbicara banyak. Pemuda ini hanya berbicara banyak kalau memang sangat perlu dan penting.

Kalau memang hanya masalah yang sangat penting yang dapat membuat Kakyu berbicara panjang lebar, maka Adna harus memikirkan masalah penting apa yang akan digunakannya untuk membuat pemuda itu bercerita banyak.

Adna mendapat ide untuk menggunakan Kirshcaverish sebagai pembuka percakapan baru. “Menurutmu kapan Kirshcaverish akan memulai serangannya kepada kita?”

Sayangnya ide yang semula dianggap bagus oleh Adna itu hanya mendapat jawaban singkat dari Kakyu.

Pemuda itu dengan ringannya berkata, “Entahlah.”

Adna kesal sendiri menyadari dirinya seperti orang bodoh yang sedang berbicara dengan angin. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja apalagi kepada Kakyu yang lebih muda darinya.

“Apa rencanamu untuk menghadapi mereka?”

Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Kakyu mengecewakan Adna.

Adna tahu Kakyu seharusnya menjawab banyak walau ia tidak punya rencana.

Kalau Kakyu memang seorang Perwira yang sangat diunggulkan Raja Alfonso, tentu ia tidak akan menjawab ‘Entahlah’ semudah dan seringan itu. Setidak-tidaknya Kakyu bisa menjelaskan apa yang mungkin dilakukannya kalau saat ini ia memang belum mempunyai rencana yang pasti.

Adna semakin curiga dibuatnya. Dan ia semakin ingin tahu bagaimana cara pemuda ini mendapatkan kedudukan yang paling penting di Istana Vezuza di usianya yang masih muda ini.

Apakah ia membohongi ayahnya atau mungkin karena campur tangan orang lain? Mungkin juga karena keinginan Jenderal Reyn.

Hal itu tidak mustahil. Jenderal Reyn juga salah satu dari sekian Jenderal tangguh Kerajaan Aqnetta. Kenalan Jenderal Reyn yang telah lama terjun ke dalam militer ini tentu tidak sedikit lagi.

Bisa saja pemuda ini menjadi seorang Perwira Tinggi yang termuda karena usaha ayahnya dan para Jenderal teman Jenderal Reyn. Entah bagaimana mereka membuat Raja Alfonso mengangkat Kakyu menjadi Kepala Keamanan Istana.

Tanpa mengatakan apapun, Kakyu mengawasi setiap prajurit yang telah memulai tugasnya.

Beberapa prajurit yang kemarin malam telah ditugasi Kakyu untuk memeriksa kekuatan benteng mereka, mulai mengerjakan tugas itu.

Dengan teliti mereka memeriksa setiap ikatan antara dua batang pohon dan memastikan ikatan itu cukup kuat untuk menyangga batang yang besar.

Kemarin malam, mereka memang telah mengerjakannya dengan teliti tetapi saat itu hari sudah larut malam.

Satu-satunya cahaya yang menerangi pekerjaan mereka hanyalah api obor dan sinar bulan di langit.

Demi keselamatan penghuni benteng ini, Kakyu tidak mau mengambil resiko apapun.

Tak sengaja pandangan mata Kakyu tertuju pada tenda yang menjadi Ruang Perundingan para Jenderal.

Kakyu merasa tertarik untuk melihat isi tenda itu.

Adna menyadari sikap Kakyu itu. Dengan perasaan ingin tahu dan curiga, Adna mengikuti Kakyu memasuki Tenda Perundingan itu.

Walau tahu Adna tetap mengikutinya, Kakyu tidak mengatakan apa-apa.

Adna tidak perlu mengkhawatirkan perbuatan Kakyu maupun curiga pada pemuda itu, Kakyu memasuki tenda Perundingan itu hanya untuk melihat apakah Jenderal Erin telah mengetahui letak Kirshcaverish. Selain itu Kakyu ingin memeriksa peta sekitar Farreway dan Hutan Naullie.

Kakyu tahu suatu saat nanti ia akan memerlukan peta itu dan sejak saat ini ia harus mempelajarinya.

Sebelum meninggalkan tenda, Kakyu mengamati peta yang penuh coretan itu dengan seksama.

Adna curiga melihat Kakyu begitu tekun mempelajari peta itu.

Seperti ketika ia masuk, ketika keluarpun, Kakyu tidak mengatakan apapun pada Adna. Kakyu seolah-olah menganggap Adna sebagai angin lalu.

Kakyu tidak menyadari tindakannya itu membuat Adna merasa jengkel.

Kalaupun Kakyu sadar, pemuda itu tidak akan berbuat apapun untuk menghilangkan kejengkelan itu. Kakyu pasti akan merasa ia tidak melakukan apapun yang membuat pemuda itu jengkel.

Begitu meninggalkan tenda Perundingan, Kakyu melanjutkan kembali perjalanannya mengelilingi benteng sambil mengawasi setiap prajurit.

Belum jauh Kakyu berjalan, seseorang memanggilnya.

Jenderal Decker yang baru keluar dari tendanya segera menghampiri Kakyu.

“Selamat pagi, Jenderal,” sapa Kakyu.

“Selamat pagi, Kakyu,” balas Jenderal Decker, “Apa yang kaulakukan sepagi ini?”

“Berkeliling,” jawab Kakyu singkat.

“Engkau melihat mereka?” tanya Jenderal Decker.

“Tidak,” sekali lagi Kakyu menjawab singkat.

Adna yang mendengar percakapan itu merasa aneh. Ia ingin tahu mengapa Jenderal Decker tampak tidak terganggu sama sekali oleh jawaban-jawaban singkat Kakyu.

Jenderal Decker yang merupakan Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta, tentu tahu sebagai seorang Perwira, Kakyu seharusnya tidak memberikan jawaban singkat. Kakyu harus menjelaskan dengan terperinci setiap laporannya apalagi di medan pertempuran seperti ini.

“Menurutmu, apakah ini saatnya bagi kita untuk menyerang mereka?”

“Belum saatnya,” jawab Kakyu.

Adna sudah tidak sabar lagi. “Mengapa engkau berkata seperti itu? Bukankah ini saat yang tepat bagi kita? Kita masih dalam keadaan segar dan Kirshcaverish pasti tidak menduga akan menerima serangan mendadak seperti ini.”

“Kita terutama pasukan yang baru datang, belum mengenal medan pertempuran ini,” kata Kakyu tenang, “Sulit bertempur di hutan tanpa persiapan terlebih dulu.”

“Kalau kita menyerang mereka saat ini, mereka tentu tidak akan menduganya dan kita akan memenangkan pertempuran ini,” Adna bersikeras dengan pendapatnya.

“Sebaliknya kita yang akan hancur terlebih dulu sebelum mereka hancur,” Kakyu berkata tetap dengan ketenangannya, “Walaupun mereka tidak siap, mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita. Itu satu kelemahan kita. Kelemahan kita yang lain adalah kita tidak mengetahui secara pasti di mana markas mereka sedangkan kita tidak dapat menyerang asal tebak begitu saja.”

Adna memikirkan kembali kata-kata itu.

“Kurasa engkau benar,” Adna mengakui, “Kita harus mengetahui terlebih dulu posisi mereka sebelum kita menyerangnya. Akan sangat sulit bagi kita untuk menyerang asal tebak. Bila salah perhitungan, kita bisa hancur sebelum menghancurkan mereka.”

“Kakyu tidak pernah salah,” Jenderal Decker memuji, “Apa yang dikatakannya benar. Kita harus mengetahui posisi mereka. Sayangnya hingga saat ini kita belum mengetahui posisi mereka secara pasti.”

“Beberapa waktu yang lalu, aku telah mengirimkan sejumlah pasukan penyusup untuk mencari markas mereka di Hutan Naullie tetapi mereka semua diserang terlebih dulu oleh Kirshcaverish dan hanya dua orang yang selamat. Luka mereka sangat parah akibatnya hingga sekarang luka mereka belum sembuh.”

“Kami juga kesulitan menentukan secara pasti posisi mereka. Mereka tidak pernah menyerang dari tempat yang sama. Mereka selalu berpindah-pindah bahkan mereka selalu terpencar-pencar bila menyerang. Itulah yang membuat pasukan kita kalah.”

Penjelasan panjang dari Jenderal Decker itu membawa ide baru kepada Kakyu.

Kakyu tahu apa yang harus dilakukan dengan menguntungkan dua pihak. Kakaknya dan pasukan yang telah siap maupun belum siap perang ini.

“Kita bisa mengadakan pembenahan sambil menentukan posisi Kirshcaverish dengan lebih tepat,” kata Kakyu.

“Pembenahan?” tanya Jenderal Decker tidak mengerti, “Pembenahan apa yang kaumaksud? Benteng ini atau pasukan kita?”

“Kedua-duanya,” jawab Kakyu, “Pasukan yang luka, kita rawat dan benteng ini kita perkuat.”

Jenderal Decker tersenyum. “Engkau benar. Mengapa hal itu tidak terpikirkan sebelumnya olehku?”

“Untuk itu kita harus membiarkan Joannie meninggalkan tendanya.”

“Tidak bisa!”

No comments:

Post a Comment