Tuesday, April 17, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 6

“Bala bantuan tiba!” seru prajurit yang menjaga di puncak menara pengintai, “Bala bantuan tiba!”

Seruan itu membangkitkan semangat para prajurit yang semakin hari semakin merasa kewalahan menghadapi pemberontak dalam Hutan Naullie.

Beberapa prajurit segera membuka gerbang kayu yang melindungi perkemahan mereka dari serangan Kirshcaverish.

Melihat pasukan yang datang dalam jumlah banyak itu, mereka bersorak senang.

Seruan itu membuat para Jenderal yang sibuk berunding, meninggalkan tenda tempat mereka berunding.

“Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Decker pada seorang prajurit.

“Bala bantuan telah tiba, Jenderal,” jawab prajurit itu.

“Akhirnya mereka datang juga,” kata Jenderal Erin.

“Di mana mereka?” tanya Jenderal Decker.

“Mereka masih dalam perjalanan, Jenderal,” kata prajurit itu, “Tak lama lagi mereka akan tiba.”

“Buka pintu gerbang,” Jenderal Erin memberi perintah, “Aku ingin menyambut mereka.”

Seperti para prajurit lainnya, para Jenderal yang sangat mengharapkan kedatangan bala bantuan itu sangat senang.

Mereka bergegas menuju pintu gerbang yang telah terbuka dari tadi dan ikut menyaksikan bala bantuan itu mendekat.

Semakin mereka mendekat, jumlah mereka semakin terlihat.

Para Jenderal itu senang sekaligus terkejut melihat jumlah pasukan yang datang itu.

“Banyak sekali!”

Komentar itu terdengar dari antara kerumunan para prajurit yang ikut menyambut datangnya bala bantuan itu.

“Mereka datang dalam jumlah banyak!”

Komentar itu juga terdengar.

“Kita tidak akan kalah lagi!”

Keyakinan itupun terdengar di antara pasukan yang semakin bersorak senang.

Sorak sorai itu bersaing dengan suara derap kaki kuda pasukan kavaleri yang dibawa Kakyu.

Pasukan kavaleri yang muncul kemudian itu membuat para prajurit itu semakin bersorak sorai. Rupanya dari tadi yang terlihat hanya pasukan infanteri yang berjalan di depan pasukan kavaleri.

“Mereka membawa pasukan kavaleri!”

Seruan itu menggema di antara pasukan yang seakan-akan ingin memberi tahu setiap pasukan di sana yang tidak dapat melihat kedatangan teman mereka.

Prajurit yang menjaga menara pengintai berseru – memberi tahu kawan-kawannya yang tidak dapat melihat jelas kedatangan bala bantuan itu, “Mereka datang dalam jumlah banyak! Mereka membawa banyak pasukan pejalan kaki dan sejumlah pasukan berkuda.”

Jenderal Tertinggi Decker, terkejut melihat jumlah bala bantuan yang datang itu.

“Siapakah yang mengusulkan pasukan sebanyak itu?” tanyanya ingin tahu.

“Aku tidak tahu,” kata Jenderal Erin, “Tapi orang itu pasti telah mengetahui kesulitan kita.”

“Apakah jumlah mereka tidak terlalu banyak?” tanya Pangeran Reinald.

“Saya rasa tidak, Pangeran,” kata Jenderal Erin, “Anda telah melihat sendiri pasukan yang kita bawa dengan mudah dihancurkan oleh Kirshcaverish.”

“Sampai sekarang aku ingin tahu berapakah jumlah mereka. Mereka dengan mudah menyerang kita walau jumlah pasukan kita cukup banyak.”

“Lihat saja keadaan kita sekarang,” kata Jenderal Decker, “Pasukan yang dibawa Erin dulu ditambah pasukan yang kubawa, seluruhnya kurang lebih 600 orang. Tapi kini yang masih hidup tidak lebih dari 150 orang. Aku yakin jumlah mereka sangat banyak, Reyn.”

Bala bantuan itu semakin dekat.

Ketika melihat seseorang yang pakaian seragamnya lain dari pasukan lainnya, mereka tidak merasa heran. Seperti para prajurit, perhatian para Jenderal itu tidak tertuju pada pemimpin pasukan itu tetapi pada pasukannya.

Tak heran kalau mereka sangat terkejut ketika melihat Kakyu mendekat.

“KAKYU!” seru Jenderal Reyn.“Mengapa ia yang datang?”

Begitu mereka mendekat, Kakyu segera turun dari kudanya diikuti Kolonel Abel. Yang lain juga tidak mau tinggal diam.

“Mengapa engkau datang?” tanya Jenderal Reyn.

“Bagaimana dengan Istana Vezuza?” tanya Jenderal Erin pula. “Bagaimana dengan Paduka?”

“Keamanan Istana saat ini bukan terancam dari sana tetapi dari sini,” jawab Kakyu tenang, “Aku telah menyelesaikan semuanya sebelum aku berangkat ke sini. Walau aku tidak ada di sana, keamanan Istana akan tetap terjaga.”

“Lalu siapa yang mengusulkan engkau ke sini?” tanya Jenderal Reyn.

“Tidak ada,” jawab Kakyu singkat.

“Raja menyetujui?” tanya Jenderal Decker tak percaya.

“Kalau beliau tidak menyetujui, ia takkan membiarkanku membawa kedua ribu pasukannya.”

“Dua ribu?” seru kaget Jenderal Decker.

“Apa yang engkau pikirkan, Kakyu?” tanya Jenderal Reyn, “Engkau datang ke sini meninggalkan tugasmu. Kemudian engkau merampok pasukan Kerajaan Aqnetta.”

“Aku tahu apa yang kulakukan, Papa,” kata Kakyu, “Aku telah memikirkan semuanya.”

“Sudahlah, Reyn,” kata Jenderal Erin, “Biarkan saja dia. Raja Alfonso tidak akan mengirimnya ke sini kalau ia tidak mempercayainya.”

“Erin benar, Reyn,” Jenderal Decker turut membujuk kawannya, “Raja sangat mengagumi putramu. Ia pasti tidak akan merelakan kepergiannya ke sini kecuali ada alasan kuat yang mendukungnya.”

“Engkau dan Joannie sama saja,” kata Jenderal Reyn, “Kalian memang anak-anakku yang paling bandel yang tidak pernah mendengarkan kata-kataku.”

“Joannie?” ulang Kakyu tidak mengerti.

Jenderal Reyn sangat menyayangi putri tertuanya itu dan sangat memanjakannya. Joannie juga sangat mencintai ayahnya dan selalu menuruti segala kata-katanya.

Kakyu tidak mengerti mengapa ayahnya mengatakan kakaknya itu nakal.

“Engkau tidak tahu, Kakyu?” tanya Jenderal Decker, “Kakakmu itu ada di sini?”

Karena terkejutnya, Kakyu terdiam.

Kakyu tidak menduga kakaknya yang mengatakan ingin ke rumah Bibi Mandy di Hymman, berada di sini. Kakyu tidak tahu bagaimana kakaknya bisa berada di sini. Tetapi Kakyu yakin kakaknya telah berada di sini sebelum ayah mereka tahu.

Kakyu tidak tahu apa yang akan terjadi ibu mereka bila ia mengetahui Joannie berada di medan pertempuran ini sejak dulu.

Tiba-tiba saja Kakyu teringat, kakak-kakaknya yang lain berniat menjemput Joannie di Hymman. Kakyu yakin mereka pasti telah mengetahui kalau Joannie tidak ada di Hymman.

Bila kakak-kakaknya tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, tentu mereka tidak akan memberitahu ibu mereka kalau Joannie tidak ada di rumah Bibi Mandy.

“Besok, engkau dan Joannie harus kembali ke Chiatchamo,” kata Jenderal Reyn.

“Tidak, Papa,” bantah Kakyu.

“Engkau telah melaksanakan tugasmu, Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Dan engkau tidak boleh melalaikan tugasmu di Chiatchamo.”

“Aku akan sangat melalaikan tugasku kalau aku tidak membantu kalian di sini,” kata Kakyu tenang, “Aku tahu kelemahan kalian dan aku tidak dapat membiarkannya terus menerus seperti ini. Kalian membutuhkan orang yang mengenal persis Hutan Naullie.”

Tanpa memberi kesempatan pada ayahnya untuk mengulangi perintahnya, Kakyu berkata,

“Kirshcaverish yang ada di dalam Hutan Naullie sangat mengetahui medan ini sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Bagi mereka hal ini adalah kekuatan mereka sedangkan bagi kita ini adalah kelemahan terbesar kita. Berapapun pasukan yang dikirim, tidak akan dapat menghancurkan Kirshcaverish kalau tidak ada yang tahu bagaimana menguasai hutan lebat ini.”

Mereka terdiam mendengar kenyataan yang diucapkan Kakyu itu.

“Kakyu benar, Reyn,” kata Jenderal Decker, “Kita memang membutuhkan orang yang tahu bagaimana keadaan Hutan Naullie.”

Menyadari Kakyu maupun Jenderal Decker benar, Jenderal Reyn hanya berkata, “Terserah padamu, Kakyu. Aku tahu percuma melarangmu.”

Sebagai jawabannya, Kakyu tersenyum.

“Sekarang kita harus memikirkan di mana akan kita tempatkan pasukan yang kaubawa ini,” kata Jenderal Erin.

“Jangan khawatir, saya telah memikirkannya,” kata Kakyu, “Kami akan mendirikan perkemahan sendiri tepat di samping perkemahan kalian.”

Tanpa diperintah, Kolonel Abel segera memerintahkan pasukan mendirikan tenda dibantu ketiga Kapten.

“Saya harus mengatur pasukan,” Kakyu mengundurkan diri.

Prajurit yang lain membantu kawan mereka mendirikan tenda mereka.

Dengan kesigapannya, Kakyu memberikan perintah-perintahnya.

Melihat kesigapan Kakyu dalam mengatur pasukannya, Jenderal Decker berkata, “Sepertinya ia dapat mengatur mereka. Sebaiknya kita pergi saja, masih ada yang harus kita lakukan.”

“Ya, ia tidak membutuhkan bantuan kita,” Jenderal Erin setuju.

Lain halnya dengan Jenderal Reyn yang masih ragu pada putranya yang harus mengatur 2000 orang ditambah pasukan yang telah ada.

Tapi melihat Kakyu yang sama sekali tidak kesulitan mengatur pasukan yang banyak itu, Jenderal Reyn akhirnya mengikuti Jenderal lainnya yang telah memasuki perkemahan.

Semua begitu sibuknya hingga tak memperhatikan Adna yang menarik Pangeran Reinald ke tempat yang sepi.

“Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain mengaku sebagai diri Anda. Ketika saya tiba, mereka semua segera menyambut saya sebagai Anda. Saya sudah berusaha menjelaskan, tetapi mereka terlalu sibuk. Ketika kami di sinipun, kami terlalu sibuk memikirkan Kirshcaverish sehingga saya tidak sempat menjelaskan semuanya pada mereka.” Pemuda itu terdiam beberapa saat.

“Walau sebenarnya saya juga punya alasan lain,” tambahnya dengan nada bersalah.

“Lupakan dulu masalah ini,” kata Pangeran Reinald, “Sebaknya keadaan kita tetap seperti ini.”

“Maksud Anda, Pangeran?” tanya Adna tidak mengerti.

“Biarkan mereka tetap mengenalku sebagai engkau dan engkau sebagai aku,” Pangeran Reinald memberi penjelasan.

“Saya mengerti akan hal itu, Pangeran. Yang saya ingin ketahui adalah untuk apa semua ini.”

“Kau tahu Perwira Muda yang menjadi Kepala Keamanan Istana?”

“Maksud Anda Perwira Tinggi yang termuda itu?”

“Benar,” sahut Pangeran Reinald.

“Saya pernah mendengarnya beberapa kali. Para prajurit sering membicarakannya bahkan sampai berandai-andai bila ia ada di sini.”

“Bagaimana menurutmu tentang dia?”

“Ia memang setangguh yang mereka bicarakan, Pangeran. Tidak mudah bagi seorang yang belum berpengalaman seperti dia memimpin 2000 pasukan sendirian apalagi ia masih sangat muda.”

“Justru itulah yang kupermasalahkan,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak percaya ayahku mengangkatnya sebagai Kepala Keamanan Istana.”

“Itu tidak aneh, Pangeran,” Adna membela Kakyu, “Kata Jenderal Decker, pemuda itulah yang mengetahui keberadaan pemberontak ini. Ia mengetahuinya ketika ia mengikuti Putri dan Paduka ke hutan ini untuk berburu. Jenderal Decker juga mengatakan ia berhasil menangkap dua orang anggota pemberontak itu. Ia juga berhasil menyelamatkan sebuah keluarga dari kekejian pemberontak itu.”

Pangeran Reinald masih tidak menyetujui sikap Raja Alfonso, “Tetapi mengapa sampai harus mengangkat pemuda seaneh itu menjadi Kepala Keamanan Istana?”

Adna tidak mengerti apa yang dikatakan Pangeran. “Aneh?”

“Ia sangat tenang dan sangat pendiam. Aku yakin ia tak jauh lebih tua dari Eleanor tapi ia bisa setenang itu. Ia sama sekali tidak tampak gugup atau apapun ketika kami semakin mendekati tempat ini. Ia terlalu tenang untuk ukuran pemuda semuda dirinya.”

“Lady Joannie mengatakan Kakyu memang selalu tenang seperti itu,” kata Adna, “Katanya, Kakyu telah dilatih dengan sangat keras oleh teman ayahnya.”

“Joannie?”

“Ia putri Jenderal Reyn yang sekarang berada di sini,” kata Adna.

Perubahan suara itu membuat Pangeran Reinald tertarik untuk mengetahui lebih jauh, “Ia pasti sangat cantik.”

“Ia tidak hanya cantik, Pangeran. Ia juga pemberani,” kata Adna, “Saya belum pernah menjumpai wanita yang seberani dia walau melihat peperangan di depannya.”

“Ia pasti tampak tenang seperti adiknya.”

“Tidak, Pangeran,” bantah Adna, “Ia tidak mau disuruh diam sehingga membuat Jenderal Reyn kewalahan. Lady Joannie selalu ingin membantu ayahnya. Karena itu Jenderal Reyn terpaksa memerintahkan beberapa pasukan mengawalnya dengan ketat dan tidak mengijinkannya meninggalkan tendanya.”

“Pantas saja aku tidak melihatnya,” kata Pangeran Reinald.

“Karena itu engkau tidak mengatakan yang sebenarnya pada mereka?” selidik Pangeran Reinald.

“Maafkan saya, Pangeran,” Adna merasa bersalah, “Saya tahu saya tidak boleh melakukannya tetapi saya tidak dapat melawan keinginan saya untuk membuatnya kagum.”

“Tidak apa-apa, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Sementara waktu ini biarkan keadaan ini tetap seperti ini.”

“Tetapi …”

Pangeran Reinald memberikan alasannya. “Aku ingin menyelidiki Kakyu.”

“Mengapa?”

“Jangan khawatir,” hibur Pangeran Reinald, “Aku hanya ingin tahu mengapa adik wanita yang kaucintai itu menjadi Kepala Keamanan Istana.”

“Apakah itu aneh, Pangeran?” kata Adna, “Menurut saya hal itu sama sekali tidak aneh. Kakyu memang tangguh dan harus diakui ia cukup mampu memimpin pasukan Istana.”

“Aku tahu ia memang mempunyai kemampuan itu, Adna. Tapi apakah engkau tidak dapat merasakannya, Adna?” kata Pangeran Reinald heran.

“Merasakan apa, Pangeran?”

“Entahlah. Tapi aku merasa pemuda itu tidak cocok menjadi Perwira apalagi Kepala Kemanan Istana.”

“Karena ia masih muda?” selidik Adna.

“Ya,” Pangeran Reinald membenarkan.

“Walaupun masih muda, ia sangat cerdas. Ia tidak pernah gentar walaupun Raja Alfonso juga Putri sering mengujinya dengan tugas yang aneh-aneh bahkan di luar bayangan kita. Tetapi Perwira selalu mengerjakannya dengan baik.”

Pangeran Reinald tidak mengerti. “Tugas aneh apalagi yang kaumaksudkan?”

“Tugas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, Pangeran,” jelas Adna, “Kata mereka, sebelum Perwira Muda itu menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, Raja menyuruhnya mencuri mahkota kerajaannya.”

Pangeran terkejut mendengarnya. “APA!?”

“Tentu saja tidak semudah itu, Pangeran,” kata Adna, “Paduka menyuruh pemuda itu memasuki Istana yang belum pernah dimasukinya di malam hari. Kemudian Paduka menantikan kedatangannya dengan strategi perang.”

“Dan Kakyu berhasil mencurinya,” tebak Pangeran Reinald.

“Benar, Pangeran,” kata Adna, “Tidak seorangpun dari mereka yang menduga Kakyu akan menyusup ke dalam Istana melalui atap.”

“Ini benar-benar gila,” kata Pangeran Reinald, “Setelah itu apalagi yang dilakukan ayahku sampai menyuruhnya yang lebih pantas menjadi adikku, untuk mengawalku ke sini?”

“Banyak sekali, Pangeran,” kata Adna, “Paduka juga pernah menyuruh pemuda itu menembus strategi perangnya di kawasan pelatihan pasukan Kerajaan Aqnetta.”

“Sudahlah,” kata Pangeran Reinald pada akhirnya, “Jangan membicarakan Kakyu lagi. Sampai aku melihat sendiri ketangguhannya yang dibicarakan orang itu, aku tidak akan percaya ia mampu menjadi Kepala Keamanan Istana.”

“Baik, Pangeran,” kata Adna sambil tersenyum dalam hati. Adna tahu ia takkan dapat menghilangkan kecurigaan itu. Pangeran sendiri yang dapat menghilangkannya.

“Katakan padaku keadaan di sini akhir-akhir ini?”

“Peperangan kecil yang biasanya selalu terjadi setiap hari, akhir-akhir tidak ada lagi. Kami memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan keadaan perkemahan ini,” kata Adna melaporkan, “Perwira Kakyu benar. Keadaan kita tidak menguntungkan. Jenderal Erin yang sejak tahun lalu diperintahkan Paduka untuk mengawasi keadaan di sini, sampai sekarang tidak berhasil mengetahui dengan pasti letak pemberontak itu.”

“Aku yakin merekalah yang berusaha mencegah kepulanganku.”

“Saya juga yakin akan hal itu, Pangeran. Apalagi kalau mengingat mereka telah lama berada di Hutan Naullie.”

Pangeran Reinald terdiam.

Adna bertanya ragu-ragu, “Pangeran, apakah tidak sebaiknya kita mengatakan kebenaran ini pada mereka?”

“Sebaiknya tidak, Adna,” jawab Pangeran Reinald, “Dan engkau jangan sekali-kali mengatakan apapun pada wanita yang kaucintai itu tentang hal ini.”

“Tentu, Pangeran. Saya tidak akan berani melanggar perintah Anda.”

“Memang sebaiknya begitu, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Engkau tahu bagaimana aku kalau marah.”

Adna tersenyum. “Tentu, Pangeran. Selama mengikuti Anda ke Inggris, saya tidak mungkin tidak mengenal watak Anda.”

“Engkau memang sahabat dan pengawalku yang paling baik dan paling kupercaya,” kata Pangeran Reinald, “Sampai aku yakin pada Kakyu, aku tidak ingin siapapun tahu Pangeran yang sebenarnya adalah aku.”

“Apakah Anda tidak merasa lebih mudah menyelidiki pemuda itu kalau Anda sebagai Pangeran bukan sebagai diri saya?”

“Engkau sendiri yang mengatakan pemuda itu sangat sopan,” kata Pangeran Reinald, “Dapatkah kaubayangkan sikapnya kalau aku berbicara padanya sebagai Pangeran? Sebagai dirimu saja, aku sudah kesulitan membuatnya berbicara banyak, apalagi sebagai Pangeran yang pasti akan dihormatinya. Lebih mudah menyelidiki Kakyu bila aku tetap mengaku bernama Adna daripada menjadi diriku yang sebenarnya.”

“Terserah Anda, Pangeran,” kata Adna – berhenti membujuk, “Saya yakin Anda terlalu keras kepala untuk saya bujuk.”

Pangeran Reinald tersenyum senang.

“Sebaiknya aku membantu Kakyu.”

“Bukankah Anda ingin mengujinya, Pangeran?” goda Adna.

“Engkau sudah gila rupanya, Adna,” kata Pangeran Reinald kesal, “Ia tak jauh lebih tua dari Eleanor dan ia pasti tidak akan dapat mengatur pasukan sebanyak itu sendirian. Aku yang lebih pantas menjadi kakaknya ini seharusnya membantunya.”

“Anda melakukannya demi Putri Eleanor?” pancing Adna.

“Demi adikku?” tanya Pangeran Reinald tak mengerti, “Untuk apa? Aku melakukannya karena aku merasa ia patut dibantu.”

“Anda belum tahu, Pangeran?” tanya Adna, “Adik Anda menyukai Kakyu.”

“Eleanor mencintai Kakyu?” tanya Pangeran Reinald tak percaya.

“Benar, Pangeran,” kata Adna, “Lady Joannie menceritakan banyak hal tentang pemuda itu kepada saya.”

“Apalagi yang dikatakannya tentang Kakyu?”

“Mengapa Anda berbicara seperti cemburu padanya, Pangeran?” kata Adna menggoda Pangeran Reinald yang sangat akrab dengannya, “Anda cemburu padanya?”

“Aku cemburu padanya?” tanya Pangeran Reinald tak mempercayai pendengarannya.

“Jangan konyol seperti ayahku, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Bagaimana mungkin aku cemburu pada pemuda itu? Lagipula untuk apa aku cemburu padanya.”

“Jangan khawatir, Pangeran,” hibur Adna, “Anda pasti akan terkenal di kalangan gadis-gadis seperti Perwira Kakyu setelah masyarakat tahu Anda telah pulang.”

“Aku bisa gila kalau aku terus mendengar celotehmu, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Sebaiknya aku cepat-cepat menjauhimu yang sedang dimabuk cinta.”

Giliran Adna yang dibuat kesal. “Pangeran!”

“Sampaikan salamku pada wanita yang kaucintai itu.”

Adna palsu alias Pangeran Reinald asli segera mendekati Kakyu yang masih sibuk mengatur pasukan yang mulai mendirikan tenda.

Beberapa tenda telah berdiri di samping perkemahan yang ada.

“Tampaknya perkemahan baru ini akan segera selesai,” kata Adna.

Kakyu terlalu sibuk untuk memperhatikan ucapan pemuda itu.

Kertas yang dibawa Kakyu menarik perhatian Adna. Adna melihat gambar sketsa yang rapi.

“Rupanya engkau telah mempersiapkan perkemahan ini juga,” katanya.

“Maaf,” kata Kakyu, “Dapatkah engkau agak menepi?”

Walau tidak mengerti keinginan Kakyu, Adna tetap berkata, “Tentu.”

Adna terdiam ketika beberapa prajurit menancapkan tiang penyangga tenda yang besar tepat di tempat ia berdiri semula.

“Tiang penyangga telah siap, Perwira,” Kolonel Abel melaporkan.

“Dirikan tenda besar di sini,” kata Kakyu sambil menunjuk gambar di tangannya, “Di sekitar sini kita akan mendirikan beberapa tenda besar juga. Kemudian kita akan mendirikan tenda-tenda kecil di sekeliling tenda besar ini.”

“Baik, Perwira.”

Kolonel Abel segera melaksanakan perintah Kakyu.

Melihat kecerdasan Kakyu mengatur pasukannya, Adna mau tidak mau merasa kagum juga pada Kakyu.

Kakyu membagi dua ribu pasukan lebih itu menjadi beberapa kelompok yang memiliki tugas masing-masing.

Setiap kelompok mendirikan tenda seperti yang diminta Kakyu.

Sesekali pemimpin kelompok mereka mendatangi Kakyu untuk melaporkan kerja mereka dan meminta petunjuk dari Kakyu.

Kakyu dengan sabar terpaksa harus mengulangi beberapa kali sketsa yang telah dipersiapkannya. Dengan sabar ia mengatur pasukan yang kadang bandel itu.

Sesekali Kakyu juga tampak akan ikut dalam pendirian tenda, tetapi pasukan yang lain melarangnya.

Adna yang memang berniat membantu Kakyu, meminta pemuda itu menjelaskan rencana perkemahannya padanya. Kemudian ia membantu Kakyu.

Karena jumlah mereka yang banyak juga karena kerja sama mereka, seluruh perkemahan baru itu hampir selesai sebelum hari menjelang tengah malam.

Kegelapan malam tidak membuat mereka menghentikan pekerjaan mereka.

Semua ingin segera merampungkan perkemahan baru mereka dan bersiap-siap menghadapi serangan Kirshcaverish yang bisa datang sewaktu-waktu.

Adna mengakui Kakyu bukan pemuda yang ceroboh.

Tidak semua pasukan diperintahkannya mendirikan tenda.

Dari keseluruh pasukan yang dibagi dalam 20 kelompok kecil itu, lima kelompok di antaranya diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie.

Dua atau tiga jam sekali Kakyu memerintahkan lima kelompok lainnya menggantikan lima kelompok yang berjaga-jaga itu.

Adna sempat memprotes strategi Kakyu itu. “Apa yang kaulakukan, Kakyu? Engkau ingin kita hancur sebelum perkemahan ini berdiri? Bagaimana mungkin engkau memerintahkan pasukan yang telah lelah mendirikan tenda menggantikan pasukan yang berjaga-jaga?”

“Mereka tidak akan menyerang kita untuk sementara waktu ini,” jawab Kakyu tenang, “Saat ini mereka tentu memusatkan perhatian mereka pada rencana baru mereka. Dengan pergiliran seperti ini, pasukan kita tidak akan terlalu lelah. Mereka akan beristirahat sambil berjaga-jaga.”

“Engkau sangat yakin sekali, Kakyu,” kata Adna.

“Apakah yang akan kaulakukan bila rencana semulamu gagal, Adna?” tanya Kakyu kemudian pemuda itu kembali memusatkan perhatiannya pada pasukan yang masih mendirikan tenda.

Adna mengerti apa yang dimaksud Kakyu.

Kirshcaverish tentu sekarang mempersiapkan strategi baru setelah mengetahui strategi mereka gagal.

Lima kelompok yang keseluruhannya kurang lebih berjumlah 500 orang itu, berjaga-jaga sambil memulihkan tenaga mereka. Mereka di sana seakan-akan untuk menakut-nakuti Kirshcaverish.

Jenderal Decker yang tahu pendirian perkemahan itu tidak berhenti walau hari telah gelap, tidak berusaha menghentikan pemuda itu.

Jenderal Decker percaya Kakyu tahu apa yang dilakukannya.

Sebenarnya sebelum pukul sepuluh malam itu, seluruh tenda telah berdiri. Namun mereka terus melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka mendirikan dinding kayu di sekitar perkemahan baru mereka.

Inilah pekerjaan yang membutuhkan waktu lama.

Mereka harus menebang pohon sebelum menancapkannya di sekitar perkemahan mereka.

Walaupun jumlah mereka cukup banyak, pekerjaan itu membutuhkan waktu yang lama. Selain harus menebang kayu itu, mereka juga harus menggotongnya ke perkemahan.

Ide membatasi perkemahan mereka dengan hutan ini bukan dari Kakyu.

Dalam rencana perkemahan Kakyu, tidak ada dinding pembatas yang akan didirikannya.

Para Jenderal itulah yang menyuruh Kakyu mendirikan dinding pembatas yang juga akan melindungi perkemahan mereka.

Untung saja tempat itu sangat luas.

Walau di perkemahan baru itu berdiri lebih dari empat tenda besar yang masih dikelilingi tenda-tenda kecil, pinggir hutan itu masih tampak luas.

Tenda-tenda besar itu akan digunakan Kakyu sebagai tempat tidur sejumlah besar pasukan agar tidak terlalu banyak tenda yang berdiri.

Pasukan lainnya akan menempati tenda-tenda kecil.

Lewat tengah malam, perkemahan baru selesai dibangun.

Melihat perkemahan baru mereka telah selesai, mereka sangat senang dan puas dengan hasil jerih payah mereka.

Dengan berdirinya perkemahan baru yang lebih besar di samping perkemahan lama, pasukan dari perkemahan lama pindah ke perkemahan baru.

Karenanya, Kakyu yang semua merencanakan menempati tenda di antara pasukannya, terpaksa pindah ke perkemahan lama.

Entah siapa yang mula-mula mengusulkan hal ini. Semua terjadi begitu saja. Pasukan menempati perkemahan baru yang lebih besar dan para pemimpin mereka menempati perkemahan lama.

Tidak seorangpun yang menganggap hal itu sebagai usaha pemecahan hubungan antara pasukan dengan pimpinan.

Semua pasukan yang kelelahan itu segera terlelap dalam tenda masing-masing. Hanya pasukan yang bertugas menjaga saja yang tidak tidur.

Kakyu segera membawa barangnya ke tenda yang diperuntukkan baginya setelah mengurus tugas akhirnya.

Baru saja Kakyu selesai menata barangnya ketika seseorang memasuki tendanya.

“Kakyu.”

Kakyu menatap kakaknya, “Mengapa engkau di sini, Joannie?”

“Aku ingin meminta bantuanmu.”

“Bukan itu yang ingin kuketahui, Joannie,” kata Kakyu, “Aku ingin tahu mengapa engkau berada di sini, di tempat ini bukannya di Hymman?”

“Engkau tahu aku tidak dapat meninggalkan Papa. Aku tidak tega melihat Papa pergi medan pertempuran sendirian,” kata Joannie.

“Tapi engkau membuat Papa khawatir, Joannie,” kata Kakyu, “Mama juga akan khawatir kalau ia tahu engkau ada di sini.”

“Lalu apakah Mama tahu engkau ada di sini?”

“Ketika aku pergi, Mama tidak tahu,” kata Kakyu tenang.

“Kalau begitu kita sama, Kakyu.”

“Tidak, Joannie,” kata Kakyu, “Kita tidak sama. Engkau pamit kepada Mama akan ke Hymman sedangkan aku pamit hanya kepada Vonnie, Marie dan Lishie.”

“Mengapa engkau seperti Papa, Kakyu?” Joannie merujuk, “Kalian semua mengatakan aku tidak seharusnya berada di sini.”

“Memang seharusnya seperti itu.”

“Engkau juga seharusnya tidak, Kakyu,” kata Joannie, “Kita sama-sama…”

“Tidak, Joannie,” Kakyu cepat-cepat memotong perkataan kakaknya, “Kita berbeda. Aku dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sedangkan engkau tidak.”

“Aku tahu. Tapi aku yakin aku bisa membantu.”

“Engkau akan sangat membantu kalau engkau menuruti Papa.”

Joannie terdiam. “Apa yang dapat kulakukan, Kakyu? Aku tidak dapat membiarkan Papa pergi ke sini sendirian. Kini aku juga tidak dapat merepotkan kalian lagipula aku tidak ingin pulang.”

“Aku tahu.”

“Tidak. Engkau tidak tahu, Kakyu,” bantah Joannie.

Kakyu mengacuhkan kakaknya.

“Aku menemukannya, Kakyu,” kata Joannie tiba-tiba.

“Siapa?” tanya Kakyu tak mengerti.

“Tentu saja orang yang sekuat Papa,” kata Joannie senang.

Kakyu tak percaya.

Joannie tersenyum senang. “Aku telah menemukannya dan aku tidak akan mau meninggalkan tempat ini sebelum aku berkenalan dengannya.”

“Bagaimana engkau bisa berbicara dengannya kalau Papa mengurungmu di tendamu?”

“Karena itu engkau harus membantuku, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak dapat meninggalkan tendaku kalau tidak diam-diam seperti ini.”

“Apa yang dapat kulakukan, Joannie? Menjadi perantaramu?” kata Kakyu, “Aku tidak bisa, Joannie. Engkau tahu aku juga akan sangat sibuk.”

Joannie tertunduk sedih. Tapi semangatnya segera bangkit kembali ketika ia menemukan ide. “Engkau dapat membuat Papa tidak mengurungku.”

“Aku tidak yakin akan bisa melakukannya, Joannie.”

“Engkau bisa menjadi pengawalku. Aku yakin Papa akan setuju.”

“Aku tidak yakin tetapi akan kucoba,” kata Kakyu.

Joannie tersenyum senang.

“Sebaiknya engkau tidur, Joannie,” kata Kakyu.

“Engkau juga, Kakyu. Engkau lebih membutuhkan banyak istirahat dibandingkan aku.”

Joannie meninggalkan tenda Kakyu dengan pesan, “Tidurlah yang nyenyak.”

Pesan itu tidak berhasil membawa Kakyu ke alam mimpi yang nyenyak seperti yang diharapkan Joannie.

Suara-suara dari Hutan Naullie membuat Kakyu selalu terjaga.

Suasana di luar yang selalu membuat Kakyu merasa cemas, membuat pemuda itu memikirkan keinginan kakak tertuanya.

Entah siapa yang menjadi pria pilihan kakaknya itu, tapi Kakyu tidak tahu apakah besok ayahnya akan menyetujui permintaannya.

Meminta membiarkan Joannie keluar dari tendanya dengan jaminan ia yang akan menjaganya, tidak akan semudah yang dibayangkan.

Jenderal Reyn pasti akan berpikir berulang kali sebelum memutuskan putranya yang paling dibanggakan dan diandalkannya, mengawal kakaknya.

Kakyu tahu saat ini ia lebih dibutuhkan dalam perlawanan terhadap Kirshcaverish daripada menjadi pengawal Joannie.

Tapi kalau Kakyu tidak mau mencobanya berarti ia telah membuat kakaknya sedih bahkan kecewa terhadapnya.

Seluruh keluarga Quentynna tahu sejak dulu Joannie selalu mencari pria yang kuat seperti Jenderal Reyn tetapi ia tidak pernah menemukannya. Karena itu pula ia tidak mau mendekati pria manapun yang tidak sesuai dengan pilihan hatinya. Kini ia menemukannya.

Sungguh kejam bila Kakyu tidak mau membantu kakaknya mewujudkan khayalannya sejak kecil.

Tapi…

Kalaupun Jenderal Reyn mengabulkan permintaan itu, Kakyu tidak dapat membiarkan dirinya tidak melibatkan diri dalam penumpasan Kirshcaverish ini. Ia datang ke tempat ini bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk membantu ayahnya, untuk membantu mengatasi kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta yang menjadi kekuatan utama Kirshcaverish.

Itulah kesulitan Kakyu.

Setelah lama berpikir, Kakyu mendapatkan cara mengatasi semua ini.

Kakyu akan tetap membantu Joannie. Setelah keduanya akrab, Kakyu akan mulai melibatkan diri dalam penumpasan ini. Kakyu berharap setelah dekat dengan pria idamannya, Joannie tidak akan merepotkannya lagi.

Pria itu pasti mau menggantikan dirinya menjadi pengawal Kakyu.

Tiba-tiba Kakyu teringat sesuatu yang sangat penting sebelum ia menjalankan rencananya itu.

Siapa pria yang menjadi pilihan Joannie itu?

Kakyu tidak yakin kakaknya belum tidur saat ini. Saat ini sudah hampir pukul setengah dua. Tetapi Kakyu tidak dapat menunda hal ini. Pertanyaan sederhana ini sangat penting sebelum rencana itu dijalankan.

Bila pria itu seorang prajurit biasa, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi bagaimana kalau ternyata pria itu seorang Kapten bahkan mungkin saja pria itu Jenderal.

Pentingnya pertanyaan sederhana ini, membuat Kakyu meninggalkan tendanya.

Untung saja Joannie masih belum tidur saat Kakyu menyelinap ke dalam tendanya.

Joannie terkejut ketika melihat adiknya itu masuk diam-diam.

Kakyu cepat-cepat menutup mulut Joannie sebelum kakaknya mengeluarkan suara apapun.

“Ini aku, Joannie,” bisiknya.

“Oh, engkau Kakyu,” kata Joannie lega, “Kukira siapa.”

Kakyu ingin membuat kakaknya pulih dari kagetnya sebelum ia memberikan pertanyaan yang pasti akan membuat kakaknya itu memerah. “Engkau mengira aku salah seorang anggota Kirshcaverish?”

Joannie membenarkan pertanyaan itu.

“Jangan khawatir,” Kakyu menenangkan, “Mereka tidak akan kemari dalam beberapa hari ini. Saat ini mereka pasti sibuk menyusun rencana baru untuk menghadapi kita.”

Joannie terdiam. Tiba-tiba ia berkata, “Mengapa engkau ke sini, Kakyu?”

Kakyu merasa ini saatnya. “Siapa pria itu?” tanya Kakyu langsung ke pokok permasalahan.

“Pria mana?” tanya Joannie tidak mengerti.

Tanpa mengulur waktu lagi, Kakyu segera berkata, “Yang kaucintai.”

Seperti dugaan Kakyu, wajah Joannie memerah.

Tenda yang remang-remang itu tidak membuat Kakyu tidak dapat melihat perubahan wajah kakaknya.

Dulu Kenichi juga telah mengajarinya untuk melihat ke dalam kegelapan.

“Siapa?” desak Kakyu.

“Ia mungkin tidak pantas denganku, Kakyu,” Joannie berkata perlahan dan ragu-ragu.

Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Ia hanya ingin tahu siapa pria itu, tidak lebih.

“Dia…,” Joannie berkata tersipu-sipu, “Dia Pangeran Reinald.”

Kakyu terperanjat. “Pangeran Reinald? Bukankah ia seharusnya berada di Inggris?”

“Ia ada di sini, Kakyu,” kata Joannie meyakinkan, “Sungguh.”

Kakyu diam saja.

No comments:

Post a Comment