Monday, April 16, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 5

"“Engkau gila, Kakyu!” kata Lishie sambil menahan suaranya tetap kecil.

“Engkau jadi pergi pagi ini?” tanya Vonnie.

Kakyu yang mengendap-endap menuju pintu, berhenti karenanya.

“Mengapa kalian semua bangun sepagi ini?” Kakyu balas bertanya.

“Bagaimana mungkin kami bisa tidur tenang setelah engkau mengatakan engkau akan pergi ke Naullie juga?” kata Marie.

“Setelah Papa dan Joannie pergi, engkau juga akan pergi,” kata Lishie, “Mama pasti akan semakin kesepian. Mama pasti akan mencarimu dan ia pasti akan semakin cemas setelah mengetahui kepergianmu ini.”

“Aku tahu,” kata Kakyu.

“Tapi itu berbahaya, Kakyu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?”

“Itu adalah resikonya,” jawab Kakyu tenang.

“Jangan tenang seperti itu, Kakyu!” seru Lishie.

“Jangan berisik!” sahut Marie, “Nanti Mama terbangun.”

“Maaf,” kata Lishie, “Apa engkau sudah gila, Kakyu? Engkau tahu bahayanya tapi tetap pergi juga.”

“Aku tahu apa yang kulakukan ini.”

“Ya, engkau selalu tahu,” kata Vonnie kesal, “Lalu apa yang harus kita lakukan kalau Mama bertanya tentangmu?”

“Katakan saja semuanya,” jawab Kakyu tenang.

“Engkau ingin membuat Mama sedih?” tanya Lishie marah.

“Mama akan lebih sedih kalau tahu setelah terjadi sesuatu padaku,” kata Kakyu.

“Kalau akan begini jadinya, seharusnya engkau juga memberitahu Mama juga tadi malam.”

“Aku tidak ingin Mama mencegahku.”

“Ya, engkau benar,” kata Marie, “Mama pasti akan dapat mencegahmu sedangkan kami tidak.”

“Percuma saja engkau membangunkan Mama sekarang, Marie,” kata Kakyu, “Aku hanya tinggal membuka pintu ini dan melarikan kudaku, maka aku akan tiba di Naullie dalam waktu singkat.”

“Engkau benar-benar gila, Kakyu,” kata Lishie.

“Rumah ini akan semakin sepi setelah kepergianmu,” kata Marie.

“Dengan diapun, rumah ini tetap sepi,” sahut Vonnie.

“Panggil saja Joannie,” usul Kakyu, “Dia sekarang ada di rumah Bibi Mandy, bukan? Aku yakin ia mau kembali setelah sekian lama.”

“Ya, kita panggil saja Joannie,” kata Marie setuju, “Dulu dia pergi ke rumah Bibi Mandy karena tidak ingin melihat Papa pergi. Sekarang Papa telah berada di sana, ia pasti mau kembali.”

Kakyu merasa urusan ini telah selesai.

“Aku pergi,” katanya.

“Kakyu!” Lishie menarik tangan adiknya.

“Aku harus buru-buru, Lishie.”

“Aku tahu,” kata Lishie, “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memelukmu.”

Kakyu belum sempat berkata apa-apa, Lishie sudah menarik tubuhnya.

“Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana,” bisiknya.

“Engkau gila, Lishie,” kata Kakyu.

Lishie hanya tersenyum nakal sebagai balasannya.

“Apa yang kaubisikkan padanya, Lishie?” tanya Vonnie ingin tahu.

“Kukatakan ‘Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana’,” jawab Lishie.

Ketiga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.

“Kalian semua gila,” kata Kakyu, “Akan kucarikan suami untuk kalian semua biar kalian puas. Dan untuk Joannie akan kucarikan yang seperti Papa.”

“Untukku yang kuat juga, Kakyu,” pesan Marie, “Dan tampan.”

“Ya, akan kucarikan,” janji Kakyu, “Asal tidak ada yang mati.”

Ketiga gadis itu kembali terdiam.

“Hati-hatilah, Kakyu,” kata mereka sedih.

Kakyu diam saja melihat air mata ketiga kakaknya. “Aku pergi.”

“Untuk dirimu sendiri, cari istri yang cantik,” kata Lishie pada Kakyu yang menghilang di balik pintu.

Kakyu tersenyum pada kakak-kakaknya sebelum ia menutup kembali pintu itu.

“Kakyu!” panggil mereka.

Kakyu yang memegang tali kendali kudanya membalikkan badannya pada kakak-kakaknya.

“Aku harus pergi sekarang juga.”

“Hati-hati, Kakyu,” pesan mereka.

“Tentu,” kata Kakyu.

“Jangan lupa pesan kami,” Lishie mengingatkan.

“Aku bisa-bisa terlambat gara-gara kalian,” keluh Kakyu.

Kakyu meletakkan tas bawaannya ke kudanya kemudian ia melompat ke atas kudanya.

“Selamat tinggal,” kata Kakyu sambil melarikan kudanya.

“Katakan pada Papa, kami mencemaskannya.”

Kakyu terlalu jauh untuk mendengar seruan itu.

Hawa pagi yang dingin menelan seruan mereka. Tapi tak sampai menelan semangat Kakyu.

Walau tahu waktu keberangkatannya ini lebih pagi satu jam lebih daripada ayahnya, Kakyu tetap tidak mau mengulur waktu.

Ia yakin sejak tadi malam, pasukan yang dimintanya telah disiapkan di halaman Istana dan tinggal menanti perintahnya.

Teringat keadaan di Naullie yang semakin bahaya setiap menitnya, Kakyu semakin mempercepat laju kudanya. Ia tidak ingin membuang waktu terlalu lama.

Dalam waktu lebih singkat dari biasanya, Kakyu telah tiba di Istana Vezuza.

Penjaga gerbang segera membuka gerbang begitu melihatnya datang dengan kudanya.

“Selamat pagi, Perwira,” sapa mereka.

“Selamat pagi,” balas Kakyu, “Semua sudah siap?”

“Ya, mereka tinggal menanti perintah Anda.”

“Bagaimana dengan pemuda yang kemarin bertengkar dengan kalian?” tanya Kakyu lagi.

“Ia belum muncul ketika kami memeriksa pasukan itu seperti permintaan Anda. Kami rasa tak lama lagi ia akan muncul.”

Kakyu mengangguk. “Buka pintu gerbang. Aku akan segera berangkat.”

Keduanya segera melaksanakan perintah itu.

Kakyu turun dari kudanya dan menggiringnya ke halaman tempat para prajurit menantinya.

Pasukan itu masih berbaris rapi walau beberapa di antara mereka sudah mengantuk. Masing-masing dari mereka telah memanggul tas ransel mereka tetapi ada juga yang meletakkannya di dekat kakinya.

Mereka semua siap berangkat dengan senapan panjang di tangan mereka dan pakaian seragam mereka yang hijau kebiru-biruan, bukan putih kebiru-biruan seperti seragam pasukan Pengawal Istana Kakyu.

Semua pasukan itu didatangkan dari Angkatan Darat.

Seorang di antara mereka mendekat. “Pasukan telah siap, Perwira. Semua seperti permintaan Anda. 500 pasukan kavaleri dan 1500 pasukan infanteri.”

Kakyu mengangguk.

“Menteri Keamanan menyuruh saya membantu Anda, Perwira,” kata prajurit itu.

“Terima kasih,” kata Kakyu, “Sekarang tolong kaupanggilkan pemimpin pasukan pejalan kaki.”

“Baik, Perwira.”

Tak lama kemudian prajurit yang berpangkat Kolonel itu datang dengan tiga Kapten lainnya.

“Kami siap membantu Anda, Perwira,” kata mereka.

“Kalian masing-masing bawahi 500 pasukan pejalan kaki dan bawa mereka meninggalkan Istana terlebih dulu. Nanti kami akan menyusul kalian.”

“Baik, Perwira,” sahut mereka serempak.

Ketiga Kapten itu pergi melaksanakan tugas yang diberikan Kakyu.

“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Perwira?” tanya Kolonel.

“Menunggu seseorang,” jawab Kakyu singkat.

Kolonel itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kakyu, tapi ia tidak mencoba menanyakannya. Ia tahu percuma bertanya banyak pada Kakyu. Perwira Muda itu hanya akan menjawab singkat segala pertanyaannya.

Kolonel Abel mengawasi ketiga Kapten yang mengatur pasukan pejalan kaki meninggalkan halaman Istana.

Sementara itu selain sibuk mengawasi pasukan yang meninggalkan Istana, Kakyu sibuk dengan jalur yang akan dilaluinya sepanjang perjalanan nanti.

Kakyu tidak ingin membuang waktu terlalu lama di tempat ini tapi ia harus menaati perintah Raja Alfonso untuk membawa serta pemuda yang kemarin.

“Kapan kita berangkat, Perwira?”

“Tunggu sebentar,” kata Kakyu.

“Bagaimana kalau orang itu lupa?” Kolonel mulai khawatir.

“Tidak akan,” kata Kakyu yakin.

Waktu saat ini memang belum menunjukkan pukul setengah empat pagi, waktu yang dikatakan Kakyu pada pemuda itu.

Karena pasukan pejalan kaki lebih lambat daripada pasukan berkuda, Kakyu sengaja melakukan ini semua.

Dengan berangkat setengah jam lebih dulu, pasukan pejalan kaki tidak akan ketinggalan terlalu jauh dari pasukan berkuda yang akan menyusulnya.

Belum lama waktu berselang, Kolonel sudah semakin khawatir, “Perwira, mengapa lama sekali?”

“Sabar,” kata Kakyu singkat, “Tunggu sampai pukul setengah empat.”

“Setengah empat?” ulang Kolonel.

“Kita harus memberi kesempatan pada pasukan pejalan kaki untuk mencapai jarak sejauh mungkin sehingga kita tidak perlu berjalan lambat untuk menyamai langkah mereka,” Kakyu memberi penjelasan.

“Saya mengerti,” kata Kolonel setelah merenungkan kata-kata Kakyu.

Kakyu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan ia mengamati kertas itu. Setelah mempelajari peta itu sekali lagi, Kakyu memanggil Kolonel Abel.

“Ada apa, Perwira?” tanyanya kebingungan bercampur harapan.

Dari nada suaranya, Kakyu tahu pria itu berharap akan disuruh memanggil pemuda lainnya yang hingga kini masih belum muncul juga. Tapi bukan karena itu Kakyu memanggilnya.

“Aku harus menjelaskan rencana perjalanan ini kepadamu,” kata Kakyu singkat.

Kakyu memperlihatkan peta yang telah berisi coretan-coretannya. “Garis ini merupakan jalan yang akan kita lewati. Hingga di perbatasan Chiatchamo, kita masih melewati jalur biasa, tetapi tidak setelah itu. Kita akan memutar sedikit.”

“Bukankah itu akan memperlambat kedatangan kita, Perwira?”

Kakyu hanya tersenyum. “Karena itu aku memerintahkan pasukan pejalan kaki berjalan terlebih dahulu,” katanya.

“Anda tadi hanya memerintahkan kepada mereka untuk menanti di perbatasan Chiatchamo. Bagaimana mereka dapat berjalan dahulu? Mereka bahkan tidak tahu rute yang akan kita ambil.”

Sekali lagi Kakyu hanya tersenyum simpul – hampir tak kentara mendengar kebingungan Kolonel Abel.

“Untuk itulah aku memanggilmu.”

Kolonel Abel semakin dibuat bingung karenanya. “Maksud Anda, Perwira?”

“Daripada engkau cemas di sini, lebih baik engkau menyusul pasukan infanteri dan memimpin mereka melalui jalur dalam peta ini.”

Kolonel Abel memperlajari peta itu sebelum pada akhirnya ia berkata, “Baik, Perwira.”

Entah apa yang membuat Kolonel itu begitu bersemangat, Kakyu tidak tahu.

Ia hanya dapat menduga, Kolonel itu ingin mengikuti pertempuran yang sebenarnya. Atau mungkin juga ia ingin bertemu saudaranya yang telah dikirim ke sana duluan.

Kakyu tidak mau memikirkannya dan ia tidak tertarik untuk melakukannya. Saat ini yang menjadi pusat pikiran Kakyu hanya bagaimana mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish.

Serta bagaimana menghadapi ketimpangan situasi ini tanpa membuat seorangpun tahu rahasia yang disimpannya sejak pertama kali ia mengetahui perkemahan mereka.

Tak lama setelah menerima peta itu, Kolonel Abel segera melesat dengan kudanya.

Setelah kepergian Kolonel, Kakyu mempersiapkan pasukan kavaleri yang masih berada di halaman Istana.

Ketika pada akhirnya dari dalam Istana muncul orang yang dinanti-nantikan Kakyu, seluruh pasukan kavaleri telah siap berangkat.

“Ke mana pasukan lainnya, Kakyu?”

Kakyu yang tidak menduga Raja Alfonso akan mengantar kepergian pemuda itu, dengan cepat menjawab, “Mereka telah berangkat, Paduka.”

“Sepertinya aku sebaiknya tidak menahanmu lebih lama lagi di sini,” kata Raja Alfonso sambil mengawasi pasukan kavaleri yang sudah siap di punggung kuda masing-masing.

“Kalian telah siap berangkat,” kata Raja Alfonso memberi pendapat. Kemudian pada pemuda di sampingnya ia berkata, “Dan engkau juga harus segera bersiap-siap.”

“Aku sudah siap,” protes pemuda itu, “Aku hanya perlu menanti kudaku siap.”

“Kuda Anda telah siap dari tadi,” Kakyu memberitahu.

Dengan pandangan matanya, ia menunjukkan kuda coklat yang sejak tadi memang telah menanti pemuda itu.

“Terima kasih,” pemuda itu berkata sambil lalu.

“Kuserahkan keselamatannya padamu, Kakyu,” kata Raja Alfonso.

“Saya mengerti, Paduka.”

Seperti pemuda itu, Kakyu segera duduk di punggung kudanya.

Tanpa berkata apa-apa, ia berangkat diiringi pemuda itu serta pasukan yang telah mendapat petunjuk darinya.

Mulanya kedua orang itu tidak berkata apa-apa.

Kakyu tidak terganggu oleh situasi itu. Sebaliknya ia merasa tenang dalam pikirannya yang kacau balau.

Lain lagi halnya dengan pemuda yang berkuda di samping Kakyu. Ia merasa sangat tidak nyaman didiamkan seperti ini hingga ingin rasanya ia segera melihat pasukan lainnya dan berkumpul dengan para Perwira lainnya.

Tetapi anehnya mereka seperti tidak segera menyusul pasukan yang telah berangkat walau mereka berjalan cukup cepat.

Pikiran itu membuatnya tidak tahan lagi untuk bertanya, “Mengapa kita tidak melihat pasukan lainnya?”

“Mereka telah jauh.”

Jawaban singkat itu tidak memuaskan pemuda itu. “Apakah benar pasukan yang pergi bersama kita bukan hanya ini saja?”

Kakyu mengangguk.

Pemuda itu diam lagi. Ia tidak tahu bagaimana membuat suatu percakapan yang tidak hanya menghasilkan jawaban singkat, pendek dan tenang lagi.

“Apakah engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa diriku?” pancingnya.

Sekali lagi Kakyu hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya.

“Tidak?” pemuda itu keheranan.

“Mengapa harus?” Kakyu balas bertanya.

“Karena kita akan bekerjasama sepanjang perjalanan menuju Hutan Naullie ini, Kakyu,” kata pemuda itu, “Benarkah itu namamu?”

Seperti telah mengetahui jawabannya, pemuda itu tidak menanti jawaban Kakyu. Ia berkata, “Engkau dapat memanggilku Adna.”

Kakyu tetap diam.

Adna mulai jengkel. “Apakah engkau tidak dapat berbicara?”

Kakyu bukannya menjawab malah mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan mempelajarinya.

Adna masih belum mengenal Kakyu yang memang sukar diganggu ketenangannya terutama bila ia sedang memikirkan suatu masalah dengan serius.

Merasa diacuhkan, Adna berdiam diri juga. Tapi hal itu tidak bertahan lama.

Ketika mereka akhirnya mencapai perbatasan Chiatchamo, Kakyu mengambil jalan menuju Parcelytye.

Prajurit lainnya yang telah mengetahui rencana Kakyu, tetap mengikuti pemuda itu. Tapi tidak dengan Adna yang tidak tahu apa-apa.

“Engkau salah jalan,” katanya memberitahu.

“Tidak,” jawab Kakyu, “Jalan kita sudah benar.”

“Benar apanya?” Adna menampakkan kejengkelan yang selama ini dipendamnya. “Sudah jelas jalan yang kita lalui ini menuju ke Parcelytye bukan ke Pegunungan Alpina Dinaria, tetapi engkau masih tenang-tenang saja. Sekarang saatnya engkau menjelaskan semua ini padaku.”

Perintah tegas itu tidak membuat ketenangan Kakyu buyar. “Ikuti saja,” katanya tenang.

Mata Adna menyipit. Ia mencari-cari sesuatu di wajah tenang Kakyu.

“Percuma memang berbantah denganmu,” keluhnya, “Mereka semua benar. Engkau sangat misterius.”

Kakyu tidak menanggapi apa-apa.

Ia tetap diam ketika mereka akhirnya melihat pasukan infanteri di depan kejauhan.

Entah siapa yang mendahului, Kakyu tidak tahu dan ia tidak mau tahu. Tetapi yang jelas, tiba-tiba saja pasukan infanteri yang mendengar derap kaki kuda dalam jumlah banyak, berhenti. Sementara itu pasukan kavaleri mempercepat lajunya.

Kakyu tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan kelima ratus pasukan yang dibawahinya melaju mendahuluinya hanya untuk menyusul kawan mereka.

Adnapun tidak mau ketinggalan. Ia tidak mau terlalu lama berada di dekat Kakyu yang hanya dapat membuatnya merasa tidak enak. Adna ingin mencari Perwira lain yang diyakininya tidak sedingin Kakyu.

Niat pertama Adna memang itu tetapi ketika melihat Kakyu tetap berjalan santai walau telah ditinggal pasukannya, ia memilih menemani pemuda itu. Ia merasa kasihan melihat pemuda yang dirasanya tak jauh lebih tua dari adiknya itu sendirian.

“Engkau tidak merasa kesepian ditinggalkan pasukanmu?” tanya Adna – kembali berusaha membuka percakapan.

Tetapi jawaban yang didapatnya tidak memuaskannya. Kakyu hanya berkata singkat, padat, jelas dan yang pasti tetap dengan ketenangannya. “Tidak,” katanya.

“Tidak dapatkah engkau berbicara lebih banyak?” tanya Adna kesal.

“Tergantung.”

“Tergantung bagaimana?” Adna tidak mengerti, “Sudah jelas dalam perjalanan apalagi di Hutan Naullie nanti engkau tidak dapat bertenang-tenang seperti ini. Tergatung apanya yang kaumaksudkan? Kalau tergantung keadaan seharusnya engkau mengerti saat ini engkau harus berbicara panjang lebar. Entah menjelaskan rencanamu yang aneh itu maupun dalam mengatur pasukan.”

Dasar pemuda yang pendiam dan selalu tenang dalam dunianya sendiri, Kakyu diam saja mendengar ceramah panjang lebar itu.

Keinginan Adna untuk menemani pemuda itu pun hilang karena sikap pemuda itu yang tetap memilih berdiam diri daripada menjelaskan apapun.

Adna mendahului pemuda yang tetap berkuda santai.

Kakyu memang tidak peduli apakah saat ini ia sendirian atau tidak.

Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Bagaimana mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish?

Kakyu sangat yakin setelah peperangan kecil yang sering terjadi di dalam Hutan Naullie, Kirshcaverish akan mengirimkan sejumlah pasukannya untuk menghadang bala bantuan yang akan dikirim dari pusat Kerajaan Aqnetta, Chiatchamo.

Lebih baik memutar jalan yang jelas akan menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya daripada mengurangi jumlah pasukan yang ada.

Jumlah anggota Kirshcaverish dibandingkan pasukan Kerajaan Aqnetta yang telah ada di Hutan Naullie maupun yang sedang dalam perjalanan ini, memang tidak ada apa-apanya.

Tetapi dengan jumlah Kirshcaverish yang lebih kecil daripada pasukan Kerajaan Aqnetta, bukan berarti pasukan Kerajaan Aqnetta akan memenangkan pertempuran ini.

Bila Kirshcaverish memanfaatkan posisi mereka yang sangat menguntungkan, yaitu di tengah Hutan Naullie yang sangat lebat, maka itu menjadi kelemahan terbesar bagi pasukan Kerajaan Aqnetta.

Pasukan Kerajaan Aqnetta memang kuat tetapi tidak cukup kemampuan untuk menghadapi Kirshcaverish. Mereka belum pernah berlatih di dalam hutan. Dan kini tiba-tiba mereka harus menghadapi pertempuran yang sangat jelas medannya tidak dikenal dan sangat rawan.

Kirshcaverish pasti mengetahui kelemahan ini dan memanfaatkannya untuk menghancurkan pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin akan itu. Tapi Kakyu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Seperti pasukan Kerajaan Aqnetta yang tidak mengetahui letak markas mereka, Kirshcaverishpun tidak tahu markas mereka telah diketahui keberadaannya oleh Kakyu.

Kakyu tidak yakin apakah kelompok itu tetap di tempat yang sama atau pindah. Tapi Kakyu yakin mereka tidak akan pindah jauh. Kalaupun mereka pindah, mereka pasti tetap mendirikan perkemahan di tepi sungai yang sama.

Bayangan peperangan yang semakin dekat tidak membuat Kakyu gentar. Bila Kakyu tidak gentar harus memimpin sejumlah besar pasukan dalam usianya yang masih muda ini, ia juga tidak akan gentar bila harus menghadapi peperangan itu.
Sejak dulu Kakyu tahu peperangan ini akan terjadi dan tidak akan ada yang dapat menghentikannya.

Peperangan ini harus terjadi untuk mempertahankan keutuhan dan keamanan Kerajaan Aqnetta yang selama ini ada.

Tidak seperti pasukan lainnya, Kakyu telah mengetahui medan pertempuran yang akan menjadi tempat pertempuran mereka bahkan mungkin menjadi tempat kematian mereka.

Bayangan kematian pun tidak membuat Kakyu takut.

Kakyu memilih maju ke garis depan daripada menjadi Kepala Keamanan Istana bukan tanpa perhitungan.

“Perwira!”

Panggilan itu menghentikan pikiran Kakyu yang melayang-layang tanpa tujuan pasti.

Kolonel Abel mendekat dengan terburu-buru. “Perwira, apa yang harus kita lakukan?”

“Mengikuti rencana semula,” jawab Kakyu.

“Saya mengerti, Perwira,” kata Kolonel Abel, “Tapi apa yang harus kita lakukan terhadap para prajurit itu. Mereka semua kebingungan. Banyak dari mereka yang terus bertanya-tanya mengapa kita mengambil jalan ke Parcelytye ini bukan yang langsung menuju Hutan Naullie.”

“Kolonel,” kata Kakyu, “Panggil semua Kapten.”

Walau tidak mengerti maksud Kakyu, Kolonel Abel tetap berkata, “Baik, Perwira.”
Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya sampai Kolonel Abel datang dengan tiga Kapten yang tadi pagi. Bersama mereka juga ikut Adna.

Kakyu yakin pemuda itu tidak akan mau disuruh pergi. Pemuda itu pasti ingin mengetahui rencananya.

Siapapun dia dan apa hubungannya dengan Raja Alfonso, Kakyu tidak tertarik untuk mengetahuinya. Apapun yang akan dilakukan pemuda itu, selama tidak mengacaukan rencananya, Kakyu tidak mau memikirkannya.

“Kita akan beristirahat sebentar di sini sementara aku menjelaskan rencanaku pada kalian,” kata Kakyu.

“Baik, Perwira.”

Ketiga Kapten itu pergi lagi untuk mengatur pasukan mereka. Tak lama kemudian mereka kembali lagi.

Kakyu membawa mereka agak menjauhi kedua ribu pasukan yang sedang beristirahat itu.

“Kolonel, petanya?” kata Kakyu yang segera ditanggapi Kolonel Abel dengan mengeluarkan secarik peta dari sakunya.

Kolonel Abel menyerahkan peta itu pada Kakyu yang segera membentangkannya lebar-lebar di hadapan mereka.

“Kita akan mengikuti jalur seperti garis ini.”

“Apa engkau sudah gila?” sahut Adna, “Perjalanan ini bukannya mempercepat kedatangan bala bantuan ini malah akan memperlambatnya. Apakah engkau ingin pasukan kita yang berada di Hutan Naullie hancur sebelum kita datang?”

Kakyu menatap tenang wajah pemuda itu. “Bila kita mengikuti jalur biasanya yang lebih cepat, kita akan hancur terlebih dulu sebelum mencapai Farreway. Kirshcaverish tidak akan membiarkan bala bantuan tiba di sana. Sementara itu jalan yang akan kita lewati bila kita mengikuti jalur biasa, melalui tepi hutan itu.”

“Bila Anda ingin kita mendapatkan serangan dari Kirshcaverish sebelum kita mencapai perkemahan pasukan garis depan, lalui saja jalan yang biasanya,” tambah Kakyu dengan tenang.

Kemudian Kakyu melanjutkan menjelaskan rencananya – tanpa menghiraukan Adna yang masih tidak mengerti dengan sikapnya maupun rencananya.

“Kita tidak akan melalui Parcelytye, tapi kita akan sedikit membelok ke timur di dekat kota itu. Kemudian kita akan berjalan ke arah timur laut menuju Chnadya. Dari sana, kita langsung bergerak ke arah barat langsung menuju Farreway.”

“Perjalanan ini akan membutuhkan waktu yang lama Perwira,” kata Kolonel Abel.

“Aku tahu dan aku telah memperhitungkannya,” kata Kakyu, “Seperti tadi pagi, pasukan infanteri akan berjalan terlebih dulu baru pasukan kavaleri mengikuti di belakang. Dengan cara seperti ini, aku memperhitungkan kita akan tiba dalam empat hari.”

“Apakah itu tidak terlalu lama, Perwira?” tanya Kapten Simpsons.

“Tidak.”

“Bagaimana kalau kekhawatiran Adna terbukti?” tanya Kapten Gwen.

“Tidak akan,” Kakyu mulai bersikap misterius.

“Maksud Anda, Perwira?” tanya Kolonel Abel.

“Perhatian mereka saat ini terpusat pada kita,” kata Kakyu – tetap berteka-teki.

“Ketika prajurit utusan dari Naullie itu datang, ia dalam keadaan yang terluka. Menurut pengakuannya, beberapa orang yang pasti suruhan Kirshcaverish, mencoba untuk menghentikannya. Kirshcaverish pasti akan segera memusatkan perhatian mereka di sekitar Hutan Naullie, sepanjang perjalanan dari Chiatchamo ke Farreway untuk menghentikan kita. Pasukan lainnya yang ada di Naullie tidak akan mereka hiraukan. Mereka pasti tahu pasukan kita yang sudah ada di Naullie tidak mampu lagi menahan serangan mereka. Karena itulah kita datang. Saat ini kita yang mereka takuti, bukan pasukan yang ada di Naullie. Sampai kita datang nanti, pasukan lainnya akan aman.”

“Apakah pikiranmu sesempit itu?” Adna kembali menentang Kakyu, “Bagaimana kalau mata-mata mereka tahu kita memutar?”

“Tidak akan,” kata Kakyu tenang, “Rencana ini baru kupersiapkan kemarin malam. Dan mata-mata mana yang akan mengintai pasukan yang ia yakini akan melalui jalur biasanya? Kalaupun mereka tahu, mereka pasti tidak akan menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti juga akan mengirim pasukan mereka menjemput kita di Farreway sebelum kita memasuki kota itu.”

“Kirshcaverish cukup pintar untuk mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Kirshcaverish tidak akan menghabiskan pasukan mereka walau yang mati hanya satu orang demi menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti akan memilih menghancurkan bala bantuan ini daripada menghabiskan pasukan di sana. Pasukan di Naullie telah berada dalam tangan mereka dan sangat mudah mereka hancurkan tetapi tidak demikian halnya dengan kita.”

“Mengerti?” kata Kakyu tenang.

Kolonel Abel tersenyum. “Sangat mengerti, Perwira. Tak heran Raja Alfonso mengagumi Anda.”

“Dengan kita memutar seperti ini, kita tidak hanya memberi kesempatan pada pasukan di Naullie untuk memulihkan keadaan mereka tetapi juga membuat peperangan berhenti untuk sementara waktu,” kata Kapten Gwen.

“Sebaiknya kita tidak memperlambat lagi,” kata Kapten Perrier, “Kita harus segera berangkat agar segera sampai di Naullie.”

“Perwira?” Kolonel Abel meminta persetujuan Kakyu atas rencana ketiga Kapten itu.

“Lakukan saja,” kata Kakyu singkat.

Ketiga Kapten itu segera menuju pasukan mereka dan mulai mengatur pasukan itu.

“Bagaimana dengan pasukan yang kebingungan dengan rencana Anda ini, Perwira?” kata Kolonel Abel.

“Sebaiknya mereka diberitahu juga tapi tidak keseluruhan.”

“Baik, Perwira.” Kolonel Abel juga segera meninggalkan tempat itu.

Sekarang tinggallah Kakyu dan Adna yang masih berada di tempat itu.

Adna tidak ingin meninggalkan Kakyu sendiri. Ia masih ingin memperjelas semuanya. “Katakan kepadaku apa yang akan kaulakukan kalau semua pikiranmu itu salah.”

“Kalau aku salah, maka aku bersalah juga pada pasukan yang ada di Naullie.”

Ketenangan Adna membuat Kakyu tidak sabar untuk bertanya. “Apakah sikapmu selalu tenang-tenang seperti ini?”

“Apakah itu salah?”

“Tidak,” sahut Adna, “Hanya saja sikapmu itu sangat mengangguku. Aku tidak pernah melihat seorang pemuda sediam dan setenang engkau. Engkau membuatku ingin tahu apakah engkau akan tetap tenang bila ada meriam jatuh di sampingmu.”

Kakyu hanya tersenyum.

“Tidak ada yang menjadi masalah lagi, bukan?”

“Maksudmu?”

“Mengenai rencanaku.”

“Masih ada. Aku khawatir kalau dugaanmu itu salah.”

“Jangan khawatir. Aku telah memperhitungkannya semalaman.”

“Engkau sangat yakin sekali,” komentar Adna.

“Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukannya.”

Kakyu meninggalkan pemuda itu.

Adna mengikuti pemuda itu. “Tak kuduga engkau ternyata bisa berbicara cukup banyak juga.”

Kakyu yang telah kembali pada sikap tenangnya, hanya diam.

Diam-diam Adna mengagumi Kakyu. Ia merasa tidak salah kalau setiap gadis di Kerajaan Aqnetta sering memuji pemuda itu.

Kecerdasan dan ketangguhan pemuda itu telah diakui Raja Alfonso tetapi ia masih belum dapat sepenuhnya mengakui hal itu.

Ia masih merasa pemuda itu terlalu muda untuk memimpin pasukan sebanyak ini. Kecerdasan pemuda itu memang patut diberi pujian tetapi pemuda itu terlalu yakin dengan pikirannya.

Kakyu terlalu yakin dengan pendiriannya sementara Adna khawatir keyakinan Kakyu itu salah.

Bila keyakinan itu salah, bisa jadi Kerajaan Aqnetta kehilangan Jenderal-Jenderal terbaiknya yang dikirim ke sana untuk menanggulangi serangan Kirshcaverish.

Dari Kolonel Abel dan para Kapten itu, Adna tahu Kakyu sangat pendiam dan hanya berbicara bila perlu saja. Selebihnya ia akan diam dan tampak dingin dalam ketenangannya.

Tapi itulah yang menyebabkan ia tampak semakin menarik.

Sikapnya yang dingin-dingin tenang kadang-kadang tampak misterius. Di balik semua itu pemuda itu menyimpan keramahannya. Seperti ia menyimpan ketangguhan dan kecerdasannya di balik tubuh mudanya.

Untuk sementara waktu ini, Adna merasa lebih baik membiarkan pemuda itu menjalankan rencananya.

Pikiran Kakyu memang tidak salah, tetapi pikiran Adna juga tidak salah.

Mana yang benar antara keduanya akan terbukti bila mereka telah tiba di Naullie.
Apakah pasukan Kerajaan Aqnetta di Naullie tetap utuh ataukah pasukan itu telah habis ketika mereka tiba?

Saat ini tidak ada yang dapat menebaknya.

Kakyu yang sangat yakinpun tidak dapat menebaknya.

Pasukan kavaleri yang dibawahi Kakyu sendiri masih tetap tinggal di tempat itu sampai satu jam lamanya.

Ketika akhirnya Kakyu memerintahkan pasukan kavalerinya bersiap-siap, matahari baru terbit.

Pukul tujuh pagi Kakyu dan pasukannya baru meninggalkan tempat itu.

Pasukan kavaleri sudah tidak terlalu kebingungan lagi. Mereka telah mengetahui rencana Kakyu dan mereka percaya seperti tadi, mereka juga akan bertemu pasukan lainnya.

Mereka terus berjalan seperti itu.

Setelah satu jam atau lebih pasukan pejalan kaki berjalan, pasukan kavaleri juga berangkat dengan santai.

Hingga mereka mendekati Chnadya, hubungan antara pasukan itu dengan Kakyu semakin dekat. Pasukan itu mulai mengenal sifat Kakyu.

Ternyata tidak semua yang mengerti Kakyu. Masih ada yang tidak percaya apa yang dikatakan semua orang mengenai diri Kakyu. Yang paling tampak jelas adalah Adna.

Adna tidak percaya Kakyu setenang itu.

Entah berapa kali ia menguji Kakyu. Segala macam usaha mulai dari berbicara biasa sampai yang mengajak bertengkar dilakukannya untuk membuyarkan ketenangan Kakyu.

Tetapi Adna tidak tahu sejak kecil Kakyu telah dilatih untuk menjaga ketenangan sikap maupun perasaannya.

“Sebaiknya engkau berhenti berusaha menganggu ketenangan Perwira,” Abel memberi nasehat.

“Putri Eleanor yang cantikpun tidak dapat membuat ketenangan Perwira buyar apalagi engkau,” kata Perrier, “Perwira Kakyu terlalu tenang untuk diganggu gadis manapun.”

“Tidak heran kalau ia tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik walau setiap hari gadis-gadis di Istana Vezuza berusaha menganggunya. Mereka semua diperlakukan Perwira Kakyu hanya sebatas kawan, tidak lebih. Bahkan kepada Putri Eleanorpun sikapnya tetap sangat sopan,” tambah Simpsons.

Walaupun telah mendapat nasehat itu, Adna tetap tidak berhenti berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu.

Dari pagi sampai malam Adna terus berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu.

Kakyu sendiri tidak mempedulikannya. Ia hanya peduli pada perjalanan mereka yang semakin mendekati Farreway.

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Chnadya ternyata lebih singkat dari yang diperhitungkan Kakyu.

Kakyu tahu itu semua karena pasukannya yang tidak sabar ingin segera membanatu kawan mereka.

Di pagi hari mereka berangkat pukul empat bahkan kurang dari pukul empat pagi. Mereka terus berjalan dan baru berhenti hanya bila kedua pasukan yang waktu keberangkatannya berbeda itu bertemu.

Setelah berhenti satu jam atau lebih, mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Setelah langit gelap mereka baru berhenti untuk beristirahat.

Melihat semangat pasukannya, Kakyu yang telah menentukan tempat-tempat mereka untuk beristirahat di malam hari, terpaksa mencari tempat baru yang lapang untuk mendirikan tenda.

Semakin mendekati Farreway, kedua ribu pasukan itu semakin tidak sabar menghadapi pertempuran mereka walau mereka juga ngeri membayangkan pertempuran yang akan terjadi.

Sebaliknya Kakyu tetap tampak tenang. Dan itu membuat Adna semakin heran.

Di saat pasukannya semakin tidak sabar sekaligus khawatir, Kakyu sebagai pemimpinnya tetap tampak tenang.

Walaupun Kakyu ingin memberi contoh kepada pasukannya, tetapi sikapnya itu tampak sangat tidak wajar di mata Adna.

Bagi orang yang belum pernah bertempur, pasti pertempuran yang pertama kalinya akan membuatnya bersemangat sekaligus gugup.

Tapi Kakyu yang masih muda sama sekali tidak tampak gugup. Ia tetap tampak tenang.

Adna percaya pemuda itu juga tampak gugup tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Sama seperti dirinya yang juga tidak mau menunjukkan kekhawatirannya akan keadaan di Naullie.

Tak heran ketikat melihat Kakyu berjalan sendirian di lapangan tempat mereka mendirikan tenda di sekitar Chnadya, Adna mengikuti pemuda itu.

Adna ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tepatnya apa yang dilakukan pemuda itu untuk mengatasi kegugupannya menghadapi perang pertamanya.

Melihat pemuda itu berdiri di bayang-bayang sebatang pohon besar sambil menatap langit, Adna heran.

Pemuda itu tampak tenang. Tidak tampak kegugupan di wajahnya. Matanya menatap langit seolah-olah ia mengagumi bintang-bintang yang bertaburan di sana.

Kakyu segera berbalik ketika mendengar langkah-langkah yang mencurigakan.

“Jangan khawatir ini aku,” kata Adna sambil mengangkat kedua tangannya.

Tanpa berkata apa-apa, Kakyu kembali melihat langit malam.

“Apakah ada yang kaupikirkan?” tanya Adna.

“Tidak.”

“Lalu mengapa engkau menatap langit seperti sedang berpikir?” kata Adna, “Apakah engkau gugup seperti pasukan lainnya?”

Sekali lagi Kakyu membantah Adna.

“Lalu mengapa engkau di sini?”

“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu tenang.

“Apakah engkau selalu setenang ini?” tanya Adna, “Engkau tidak jauh lebih tua dari adikku dan aku sangat yakin ini pertempuran pertamamu. Walaupun Raja sering mengujimu tetapi tetap saja engkau masih muda. Kalau adikku yang berada dalam situasi ini, ia pasti sudah akan gugup bahkan ketakutan.”

“Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan diriku.”

“Lalu mengapa engkau di sini?”

“Aku sudah mengatakannya.”

“Apakah engkau tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?”

“Aku lebih mengkhawatirkan keselamatan yang lain.”

“Bagaimana dengan ayahmu? Apa yang akan terjadi pada keluarga Quentynna bila engkau sebagai satu-satunya anak laki-laki mereka, meninggal?” pancing Adna, “Engkau tahu engkau satu-satunya penerus ayahmu.”

Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kakyu.

Kediaman itu membuat Adna menduga ia telah berhasil meruntuhkan ketenangan Kakyu walau hanya sedikit.

“Apakah ada alasan lain?” tanya Adna senang.

“Sebaiknya engkau pergi tidur.”

Mata Adna menyipit karenanya. “Engkau mengusirku?”

Kakyu diam saja.

“Kalau engkau ingin mengusirku, engkau harus berpikir dua kali,” Adna memperingatkan, “Tidak mudah menyuruhku.”

“Engkau tahu besok kita akan berangkat pagi-pagi. Dan bila aku tidak salah menghitung, kita akan tiba di Farreway pada sore hari.”

“Jangan menasehati orang lain sebelum engkau melakukannya.”

Tanpa berkata apa-apa, Kakyu meninggalkan pohon itu beserta Adna.

Adna segera menyusul Kakyu.

“Engkau marah padaku?” tanyanya sambil menarik lengan Kakyu.

Seperti dulu, Kakyu menyentakkan tangannya dari pegangan Adna.

“Tidak,” katanya tenang.

“Sikapmu persis seperti adikku kalau ia sedang marah,” Adna memberitahu.

“Aku harus kembali ke tendaku,” kata Kakyu.

“Mungkin sebaiknya begitu,” kata Adna.

Tanpa banyak bicara lagi, Kakyu meninggalkan Adna menuju tendanya.

Paginya Kakyu mengubah sedikit rencananya. Mereka tetap berangkat pagi seperti biasanya, tetapi kali ini pasukan infanteri dan pasukan kavaleri berjalan bersama.

Seperti perhitungan Kakyu, mereka tiba di Farreway pada sore hari.

Dengan sedikit khawatir dan senang, pasukan itu semakin mempercepat jalan mereka menuju Hutan Naullie.

Kakyu yang memimpin di depan bersama Kolonel Abel dan Kapten lainnya, juga mempercepat jalan mereka.

Ketika tenda-tenda pasukan Kerajaan Aqnetta mulai terlihat di kejauhan, Kakyu mendengar para prajurit di belakangnya bersorak senang.

Adna merasa setiap pasukan senang telah berhasil mencapai Hutan Naullie dengan selamat. Ia sendiri juga merasa sangat senang. Tak heran kalau ia merasa heran melihat Kakyu tetap tampak tenang.

“Jangan kebingungan seperti itu,” kata Kapten Gwen, “Semua orang mengatakan Perwira Kakyu tidak mudah terbawa suasana.”

Adna menghiraukan perkataan itu dan terus melihat wajah tenang Kakyu walau mereka semakin mendekati perkemahan.

No comments:

Post a Comment