Monday, April 16, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 4

Pagi itu semua anggota keluarga Quentynna berkumpul di Ruang Makan untuk sarapan.

Semua ada di sana.

Jenderal Reyn sebagai kepala keluarga Quentynna duduk di ujung meja dengan istrinya, Lady Xeilan di samping kanannya. Kelima putra Jenderal Reyn juga tidak ada yang ketinggalan.

Putri pertama keluarga Quentynna yang sangat menyayangi Jenderal Reyn, Joannie, tentu saja duduk di samping Jenderal Reyn yang lainnya.

Seperti biasa, putri keempat Jenderal Reyn yang paling suka bicara, Lishie, berbicara panjang lebar disahut Vonnie, putri ketiga Jenderal Reyn yang selalu ingin tahu. Marie juga tak mau ketinggalkan meramaikan suasana pagi keluarga Quentynna.

Hanya Kakyu sebagai putra bungsu Jenderal Reyn yang tidak ikut meramaikan Ruang Makan.

Kedatangan seorang pelayan yang terburu-buru, menghentikan canda tawa mereka.

“Ada yang terjadi?” tanya Jenderal Reyn.

“Di depan ada seorang prajurit yang ingin menemui Anda.”

“Aku akan menemuinya sekarang juga.”

Jenderal Reyn beranjak dari kursinya dan mengikuti pelayan itu.

“Mengapa prajurit itu mencari Papa sepagi ini?” tanya Vonnie ingin tahu.

“Aku tidak tahu, Vonnie,” jawab Lishie.

“Aku juga tidak tahu,” kata Joannie.

“Mungkin Kakyu tahu,” kata Marie.

Keempat putri Jenderal Reyn itu menatap Kakyu yang sama sekali tidak terpengaruh pembicaraan mereka.

Menyadari tatapan keempat kakak perempuannya, Kakyu mengangkat kepalanya dari piring. Dengan tenang ia berkata, “Tidak.”

Keempat kakak beradik itu kesal melihat adik mereka kembali menekuni makan paginya.

“Percuma bertanya pada Kakyu,” keluh Vonnie, “Ia selalu menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’.”

Lady Xeilan tersenyum. “Kalian ini seperti belum mengenal adik kalian yang pendiam ini.”

“Benar, ia tak banyak bicara sepertimu, Lishie,” tambah Marie.

“Lebih baik aku daripada engkau yang lamban,” kata Lishie marah.

“Biar saja. Yang penting aku tidak sepertimu,” Marie tidak mau kalah, “Aku heran mengapa engkau bisa bicara terus sepanjang hari tanpa membuar bibirmu lelah.”

“Sudah… sudah. Jangan bertengkar,” cegah Lady Xeilan sebelum keduanya bertengkar, “Apakah kalian tidak bisa tenang seperti Kakyu?”

“Benar. Lihat saja Kakyu yang sejak tadi diam saja sementara kalian ribut saja,” tambah Joannie.

Lishie menatap Kakyu yang tetap dengan tenang menghabiskan makan paginya. “Aku tidak tertarik menjadi orang sedingin dia.”

“Kalaupun engkau tertarik, engkau tidak akan pernah dapat setenang Kakyu,” timpal Vonnie, “Disuruh diam sebentar saja engkau tidak mampu apalagi kalau selama-lamanya.”

“Tentu saja. Tidak enak seharian diam seperti dia,” Lishie menyetujui kakaknya.

“Tapi enak kalau terkenal seperti dia,” kata Marie, “Kalau aku terkenal seperti Kakyu, pasti banyak pria tampan yang mengejarku.”

“Engkau yang lamban?” kata Vonnie tak percaya, “Jangan membuatku tertawa dengan khayalanmu itu, Marie.”

“Marie benar, Vonnie. Kalau kita terkenal seperti Kakyu, pasti banyak pemuda tampan yang mengejar kita.”

“Aku tak tertarik,” kata Joannie tiba-tiba.

“Kalau engkau yang berkata seperti itu, aku tak terkejut, Joannie,” kata Lishie, “Engkau sejak dulu hanya mengagumi Papa. Tak heran kalau sampai sekarang tidak ada yang melamarmu.”

“Aku tak peduli.”

“Engkau ingin suami yang seperti apa?” tanya Vonnie ingin tahu.

“Pasti yang seperti Papa,” sahut Marie.

“Tentu saja,” Joannie membenarkan adiknya, “Suamiku harus kuat dan gagah seperti Papa.”

Lady Xeilan tersenyum mendengar pembicaraan putri-putrinya.

Mereka sudah dewasa.

Kakyu yang paling kecil di antara lima bersaudara itu saja, tahun ini genap delapan belas tahun. Sedangkan Joannie yang paling tua tahun ini sudah berumur dua puluh dua tahun.

Lishie benar. Sudah saatnya bagi Joannie untuk menikah. Tapi Joannie sendiri belum mau menikah karena ia belum menemukan pria yang seperti keinginannya.

Baik Lady Xeilan maupun Jenderal Reyn tidak mendesak Joannie untuk segera menikah. Mereka yakin Joannie akan menemukan pria yang sesuai dengan dirinya.

Pembicaraan keempat gadis itu terhenti oleh munculnya Jenderal Reyn.

“Aku harus pergi sekarang. Jenderal Decker memanggilku.”

“Tidak dapatkah engkau menghabiskan sarapanmu dulu?”

“Tidak, Xeilan,” kata Jenderal Reyn, “Kalau sampai Jenderal Decker memanggilku sepagi ini. Pasti ada masalah yang sangat penting yang harus dibicarakannya denganku.”

“Baiklah, Reyn. Aku tidak akan mencegahmu lagi.”

“Papa…”

“Jangan khawatir, Joannie. Jenderal Decker hanya akan membicarakan sesuatu dengan Papa,” kata Jenderal Reyn.

“Habiskan dulu kopimu, Reyn.”

“Tentu, Xeilan.”

Jenderal Reyn segera meninggalkan ruangan itu setelah menghabiskan kopinya.

“Urusan apa yang akan dibicarakan Jenderal Decker dengan Papa?” Vonnie mulai ingin tahu.

“Aku tidak tahu, Vonnie,” kata Marie, “Jangan mulai ingin tahu lagi.”

Kakyu merasa sudah cukup lama berada di Ruang Makan.

“Aku juga harus pergi,” kata Kakyu sambil beranjak berdiri.

“Hati-hati, Kakyu,” kata Lady Xeilan saat pemuda itu mencium pipinya.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kakyu meninggalkan mereka.

Kedatangannya di teras, disambut dengan pertanyaan pelayan yang memegang tali kendali seekor kuda. “Anda akan pergi juga, Tuan Muda?”

“Ya,” jawab Kakyu singkat.

Dengan kelincahannya, Kakyu melompat ke punggung kudanya.

Setelah menerima tali kendali kuda itu dari pelayan, Kakyu segera memacu kudanya ke Istana Vezuza tanpa mengucapkan apapun.

Seperti biasanya, Kakyu menghabiskan harinya di Istana Vezuza dengan mengawasi Istana yang luas itu. Berkeliling Istana Vezuza sambil sesekali mengawasi para prajurit bawahannya, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Kakyu di Istana Vezuza. Diganggu para gadis di Istana Vezuza terutama Putri Eleanor juga sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Kakyu. Tapi si dingin-dingin tenang Kakyu tidak pernah sampai terganggu pekerjaannya karena mereka.

Itulah yang disukai Raja Alfonso pada diri Kakyu selain ketangguhan serta kepiawaiannya mengatur pasukan pengawal Istana yang jauh lebih tua darinya.

Dipimpin seorang Perwira yang jauh lebih muda dari mereka, tidak membuat para pasukan pengawal Istana itu merasa terhina. Sebaliknya, mereka merasa senang dipimpin pemuda yang diakui ketangguhannya oleh Raja Alfonso itu.

Banyak prajurit muda yang iri pada Kakyu tapi tidak seorangpun dari mereka yang tidak mengagumi pemuda itu. Mereka menyimpan kekaguman mereka di balik rasa iri mereka.

Semua orang tahu Kakyu dapat menjadi seorang Perwira Tinggi di saat pemuda itu baru berusia tujuh belas tahun, bukan karena ayahnya yang seorang Jenderal yang tangguh, tapi karena ketangguhan pemuda itu sendiri.

Semua orang terutama yang mengenal Kakyu, menyukai pemuda tampan yang menyembunyikan keramahannya di balik sikap dingin-dingin tenangnya itu.

Tidak ada yang tahu pasti karena ketampanannya atau memang karena ketangguhannya di usianya yang masih sangat muda, Kakyu menjadi terkenal.

Yang diketahui pasti oleh semua orang di Kerajaan Aqnetta adalah setiap hari Kakyu semakin terkenal. Itu berarti semakin banyak pula saingan Putri Eleanor.

Semua tahu percuma saja Putri Eleanor maupun gadis-gadis lainnya mencoba mendapatan perhatian pemuda itu. Kakyu hanya akan menanggapi mereka sebatas demi kesopanan. Bukan hanya kepada mereka saja sikap Kakyu seperti itu, kepada semua orang Kakyu bersikap ramah dan sopan tapi ia tidak pernah mau diajak berbicara panjang lebar. Walaupun demikian tidak ada seorangpun yang mengatakan Kakyu itu dingin. Mereka cenderung mengatakan Kakyu itu pendiam karena memang Kakyu menyimpan keramahannya di balik sikap dingin-dingin tenangnya.

Mungkin karena keunikannya ini yang juga membuat Kakyu terkenal.

Walau demikian Kakyu tetap seorang pemuda yang tenang. Ketenangannya dalam bekerja tidak membuat gangguan apapun menganggu pekerjaannya.

Selama menjabat sebagai Kepala Keamanan Istana Istana Vezuza, Kakyu menunjukkan ketenangan dalam wibawanya memimpin pasukan pengawal Istana.

Walaupun ia harus memimpin pasukan yang lebih tua darinya, Kakyu sama sekali tidak merasa gugup. Kakyu tahu bagaimana menangani perbedaan umur yang kadang sampai berlipat dari usianya sendiri itu.

Tapi tidak seperti prajurit lainnya yang terpaksa tinggal di Istana Vezuza, setiap malam Kakyu pulang ke Quentynna House dan setiap pagi ia kembali ke Istana Vezuza.

Untung jarak antara Quentynna House dengan Istana Vezuza tidak begitu jauh.

Sebagai Perwira yang bertanggung jawab penuh pada keamanan Istana, Kakyu selalu mengawasi setiap orang yang masuk maupun meninggalkan Istana Vezuza.

Tak heran bila siang itu Kakyu melihat ayahnya datang terburu-buru dengan wajah tegang bersama Jenderal Decker dan beberapa Jenderal tua lainnya.

Kakyu tidak tahu apa yang membuat mereka begitu tegang, tapi ia tahu masalah yang mereka hadapi sangat serius dan perlu segera ditangani. Dan kemungkinan besar masalah itu adalah masalah keamanan Kerajaan Aqnetta.

Kakyu semakin yakin ia benar ketika melihat Menteri Dalam Negeri, Kenny, dan Menteri Keamanan, Marzzini, ikut masuk ke Ruang Perundingan.

Berjam-jam mereka berada di sana. Bahkan ketika tiba waktunya bagi Kakyu untuk pulang, mereka tetap di sana.

Kakyu yang selalu tertib dalam segala hal, tetap memutuskan untuk kembali ke Quentynna House walaupun ia ingin menanti ayahnya.

Kakyu tidak ingin membuat keluarganya semakin khawatir. Kakyu tahu kepergian ayahnya sejak pagi hingga saat ini sudah membuat keluarganya khawatir apalagi bila ditambah keterlambatannya.

Seperti yang diperkirakan Kakyu sebelumnya, begitu ia tiba, Vonnie menyambutnya dengan berbagai macam pertanyaan.

Karena memang tidak tahu apsti apa yang dibicarakan ayahnya dan para Jenderal lainnya dengan Raja Alfonso, Kakyu diam saja.

Kakyu memilih tidak memberikan jawaban apapun juga tidak mengatakan kecurigaannya.

Kediaman Kakyu tidak membuat keempat kakaknya putus asa. Mereka terus mendesak Kakyu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Untuk kesekian kalinya Kakyu merasa beruntung mengenal Kenichi. Jika bukan karena ajarannya, tentu ketenangan hati Kakyu menghadapi desakan keempat kakaknya, sudah hilang entah ke mana.

Keempat gadis itu terus penasaran akan keadaan ayahnya hingga saat makan malam.

Saat itulah Jenderal Reyn baru tiba.

Tanpa memikirkan kelelahan Jenderal Reyn, keempat gadis cantik itu menyerbu Jenderal Reyn dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Jenderal Reyn tersenyum geli karenanya.

Ini bukan pertama kalinya Jenderal Reyn mendapat serbuan semacam ini dari keempat putrinya.

Setiap kali Jenderal Reyn harus meninggalkan Quentynna House tiba-tiba, keempat gadis itu selalu menyambut kedatangannya dengan seribu satu macam pertanyaan. Juga bila ada suatu kejadian besar.

Jenderal Reyn memandangi putra-putrinya satu per satu di meja makan itu.

Joannie yang sangat menyayangi ayahnya, tampak cemas melihat Jenderal Reyn diam saja.

Mata hijau Vonnie sudah berbinar-binar ingin tahu.

Marie yang paling tidak suka buru-buru, sudah tidak sabar menantikan jawaban Jenderal Reyn atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Si cerewet Lishie pun sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan barunya.

Hanya Kakyu yang tetap tenang di antara kakak beradik itu. Pemuda itu tidak tampak menanti apapun juga tidak nampak siap melakukan apapun.

Pemuda itu tampak begitu tenang sehingga tampak seolah-olah ia berada dalam dunianya sendiri.

Jenderal Reyn tahu putranya yang paling dibanggakannya itu selalu memperhatikan sekitarnya sekalipun ia tampak sangat tenang seolah-olah berada dalam dunianya sendiri.

Sekali lagi Jenderal Reyn memperhatikan kelima anaknya.

Mereka mirip satu sama lain. Kelimanya menyerupai Lady Xeilan dengan rambut merah mereka dan mata hijaunya.

Namun sifat mereka berbeda bahkan bertolak belakang.

Vonnie yang selalu ingin tahu dengan Joannie yang tidak mau mengurusi urusan orang lain. Lishie yang banyak bicara dengan Kakyu yang pendiam. Marie yang tidak suka terburu-buru dengan keempat saudaranya yang tidak suka berlamban-lamban.

Sifat mereka yang beraneka macam dan saling berlawanan inilah yang meramaikan Quentynna House.

Lady Xeilan yang selalu mengawasi kakak beradik itu terutama keempat gadis cantik itu, bertindak sebagai penengah bila mereka bertengkar.

Jenderal Reyn sangat mencintai keluarganya termasuk keramaian keempat putrinya yang menyemarakkan Quentynna House yang kadang juga menjengkelkan.

“Besok pagi-pagi sekali aku harus pergi,” kata Jenderal Reyn.

“Mendadak sekali,” kata Lady Xeilan terkejut, “Ke mana engkau akan pergi sepagi itu?”

“Ke Naullie,” jawab Kakyu tenang.

Lady Xeilan dan keempat putrinya terkejut lebih-lebih Joannie yang sangat mencintai Jenderal Reyn.

“Benarkah itu, Papa?” tanya Joannie tak percaya.

Jenderal Reyn menatap putri tertuanya dan mengangguk perlahan.

Sekali lagi mereka terkejut kecuali Kakyu yang telah menduganya.

Ini memang bukan pertama kalinya Jenderal Reyn bertugas di tempat yang jauh dari Chiatchamo tapi mereka semua tahu di dalam Hutan Naullie ada sekelompok pemberontak.

Jenderal Reyn juga tahu kepergiannya kali ini sangat berbeda dengan kepergiannya yang lain.

Selain sangat jauh, kepergiannya kali ini sangat berbahaya dan bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan ia bisa tidak pernah kembali kepada keluarga yang sangat dicintainya lagi.

Jenderal Reyn tahu ia akan sangat merindukan keluarganya beserta suasana Quentynna House.

Tapi Jenderal Reyn tahu ia harus pergi. Bukan saja karena ia seorang Jenderal Angkatan Darat yang membawahi seluruh pasukan yang bertugas di darat, tapi juga karena rasa cintanya pada Kerajaan Aqnetta.

Jenderal Erin mulai dapat melihat keberadaan Kirshcaverish di Hutan Naullie. Secara pasti di mana, ia memang tidak tahu tapi ia sendiri dan pasukan yang dibawanya semakin sering melihat mereka.

Bahkan akhir-akhir ini sering terjadi pertempuran kecil antara mereka dengan kelompok Kirshcaverish itu di dalam Hutan Naullie.

Keadaan yang seprti itu membuat Jenderal Erin khawatir. Ia segera mengirimkan seorang utusan ke rumah Jenderal Decker.

Kedatangan utusan itu dengan membawa berita yang mengejutkan, segera ditanggapi Jenderal Decker dengan mengumpulkan semua Jenderal di rumahnya.

Setelah berunding cukup lama, mereka menuju Istana Vezuza untuk meminta persetujuan Raja Alfonso sekaligus menyempurnakan rencana yang mereka susun.

Hasilnya adalah beberapa Jenderal termasuk Jenderal Reyn berangkat ke Hutan Naullie dini hari esok dengan membawa sejumlah pasukan.

Mengingat tempat yang menjadi medan pertempuran nanti adalah hutan lebat, pasukan yang diberangkatan terdiri dari 50 pasukan berkuda dan 200 pasukan pejalan kaki.

Mereka semua harus segera berangkat untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie bila Kirshcaverish tiba-tiba menyerang.

Apa tujuan mereka memberontak hingga kini belum diketahui pasti.

Yang pasti hanya satu yaitu mereka ingin melawan pemerintahan Kerajaan Aqnetta yang sekarang dan Kerajaan Aqnetta harus melindungi Rajanya.

“Apakah tidak dapat ditunda?” tanya Joannie.

“Tidak, Joannie,” kata Jenderal Reyn, “Keadaan di sana sangat berbahaya dan perang bisa terjadi sewaktu-waktu.”

“Besok pagi-pagi, Xeilan. Sekitar pukul empat pagi, aku harus sudah ada di rumah Jenderal Decker.”

“Apakah tidak terlalu pagi?” tanya Lady Xeilan lagi.

“Memang,” Jenderal Reyn setuju, “Justru itulah yang kami cari. Keberangkatan ini sedapat mungkin tidak diketahui penduduk Chiatchamo, di samping untuk mempercepat datangnya bantuan ini.”

Semua terdiam – sibuk dengan pikiran masing-masing.

Mereka tahu pertemuan ini mungkin pertemuan keluarga yang terlengkap yang paling akhir.

Ini pertama kalinya Jenderal Reyn maju ke medan perang terlebih lagi ke garis depan.

Sejak Jenderal Reyn menjabat sebagai Komandan Perang, tidak pernah ada peperangan. Sebelumnya juga tidak.

Walaupun Kerajaan Aqnetta merupakan kerajaan kecil yang kaya dan subur tanahnya, tidak ada suatu negara lain yang mencoba mengambil alih pemerintahan Kerajaan Aqnetta.

Sudah bukan rahasia lagi kekuatan militer Kerajaan Aqnetta.

Pada awal berdirinya kerajaan ini, yaitu di tahun 1077, banyak yang berusaha menguasai Kerajaan Aqnetta. Karena itu pasukan pertahanan Kerajaan Aqnetta yang baru terbentuk dilatih sangat keras untuk menjaga keutuhan kerajaan baru itu.

Peristiwa itu menjadi pengalaman generasi-generasi selanjutnya. Kekuatan militer Kerajaan Aqnetta terus diperkuat sambil diperbaiki melalui pembaharuan.

Pembaharuan demi pembaharuan yang terus dilakukan akhirnya berhasil menjadikan kekuatan mikiter Kerajaan Aqnetta menjadi kuat dan mampu menahan serangan dari manapun.

Dengan kekuatan militer yang kuat, Kerajaan Aqnetta akhirnya menjadi suatu kerajaan yang harus dipikirkan masak-masak sebelum diserang.

Adanya kelompok pemberontak ini memang bukan yang pertama.

Tapi sejak awal abad 11 di mana Kerajaan Aqnetta sudah aman dari serangan siapapun, tidak ada lagi pemberontakan maupun kelompok-kelompok yang menghendaki pergantian kekuasaan di Kerajaan Aqnetta.

Diketahuinya Kirshcaverish ini sangat mengejutkan. Tapi hanya di kalangan Istana Vezuza.

Sejak awal mula keberadaan kelompok ini disembunyikan dari masyarakat guna mencegah timbulnya kekacauan akibat kekhawatiran.

Hingga keberangkatan Jenderal Decker bersama pasukannya ke Naullie, tidak ada yang tidak percaya alasan yang mereka berikan.

Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaan pasukan itu di Naullie bukan untuk latihan perang tapi untuk menanti perang yang sesungguhnya.

Dua bulan lebih telah berlalu sejak kepergian Jenderal Reyn bersama beberapa Jendeal lain dan sejumlah pasukan itu, tapi hingga kini tidak ada kabar apapun.

Seluruh keluarga Quentynna khawatir karenanya.

Kata-kata terakhir yang diucapkan Jenderal Reyn pada malam itu masih diingat keluarga Quentynna, tapi mereka tetap tidak dapat menghilangkan kekhawatiran mereka.

“Aku tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi keselamatan kerajaan ini lebih penting dari apapun,” kata Jenderal Reyn malam itu, “Aku mengkhawatirkan kalian.”

“Jangan khawatir, Papa,” sahut Kakyu yang sejak tadi berdiam diri. “Aku akan menjaga mereka.”

Jenderal Reyn tersenyum. “Aku tahu engkau bisa, Kakyu. Tapi…,” Jenderal Reyn mulai sedih, “Tapi engkau…”

“Jangan khawatir, Papa,” Kakyu cepat-cepat menyahut sebelum ayahnya mengucapkan kenyataan yang paling disesali ayahnya itu. “Aku pasti bisa menjaga mereka seperti aku menjaga keamanan Istana.”

“Jangan mengkhawatirkan apapun, Papa,” kata Marie, “Kakyu benar. Ia cukup tangguh untuk menjaga keluarga ini. Tak seorangpun di kerajaan in yang meragukan ketangguhannya walau ia masih muda.”

“Kalau tidak, tentu tidak banyak gadis yang mencintainya bahkan sampai tergila-gila,” tambah Lishie.

Ketiga kakak perempuan Kakyu tertawa terbahak-bahak karenanya, kecuali Joannie yang sangat mengkhawatirkan ayahnya.

“Baiklah,” Jenderal Reyn akhirnya menyerah, “Aku tidak akan mengkhawatirkan kalian lagi. Aku menyerahkan keluarga ini padamu, Kakyu. Jaga mereka baik-baik.”

“Ayah sudah tidak perlu mengkhawatirkan kami,” Joannie meyakinkan ayahnya.

“Ya,” Jenderal Reyn menyetujui, “Kalian juga tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku tidak pergi sendiri. Beberapa Jenderal termasuk Jenderal Decker sendiri juga pergi bersamaku besok.”

Malam itu mereka telah saling berjanji untuk tidak khawatir, tapi keluarga Quentynna yang berada di Chiatchamo tetap khawatir apalagi tanpa kabar berita yang jelas seperti ini.

Walaupun demikian, suasana di Quentynna House tetap tampak seperti biasanya. Gadis-gadis keluarga Quentynna tetap meramaikan suasana dengan canda tawa mereka. Kakyu pun tetap tenang.

Semua itu mereka lakukan demi menghindari ibu mereka menjadi sedih.

Dibandingkan siapapun, Kakyu tetap yang paling tahu keadaan kelompok Kirshcaverish itu.

Kakyu yakin hingga kini ayahnya belum tahu letak Kirshcaverish secara tepat dan itu semakin membuatnya cemas.

Ketidaktahuan itu menjadi kelemahan Jenderal Reyn dan pasukannya. Tapi bagi Kirshcaverish, hal itu adalah kekuatan mereka.

Tak heran bila Kakyu menjadi sangat cemas ketika ia mendengar keadaan di Naullie dari prajurit yang hendak kembali ke Naullie setelah melapor pada Menteri Keamanan.

Tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Kakyu segera menuju tempat Raja biasa berada.

Seperti biasa Raja duduk di belakang meja kerjanya – menghadapi setumpuk tugas hariannya.

“Ada apa?” tanya Raja Alfonso.

“Saya sudah mengetahuinya,” kata Kakyu singkat.

Raja Alfonso kebingungan. “Tahu apa?”

“Keadaan di Naullie,” jawab Kakyu, “Saya tahu keadaan di sana akhir-akhir ini semakin bahaya.”

“Ya, engkau benar,” Raja Alfonso membenarkan, “Keadaan di sana semakin gawat. Hampir setiap hari terjadi perang kecil dan tiap kali kita yang kalah. Aku ingin mengirim bala bantuan dalam waktu dekat ini. Bagaimana menurutmu?”

“Biar saya yang memimpinnya,” kata Kakyu tiba-tiba.

“APA!?” Raja Alfonso berseru kaget.

Kakyu diam – tidak mengulangi kalimatnya. Ia tahu Raja mendengar apa yang diucapkannya.

“Tidak, Kakyu,” kata Raja setelah pulih dari kagetnya, “Aku tidak mengijinkanmu.”

“Walaupun Anda tidak mengijinkan, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Saya tetap akan pergi.”

“Tidak, Kakyu, aku tidak mengijinkanmu,” kata Raja Alfonso mencegah.

“Maafkan saya, Paduka,” Kakyu tetap tenang seolah tidak peduli akibat perbuatannya, “Keinginan saya telah bulat. Apapun yang terjadi saya tetap akan pergi.”

“Sendirian?”

Kakyu mengangguk. “Kalau perlu saat ini juga saya akan pergi ke Naullie.”

Raja terkejut mendegar kata-kata itu. “Lalu apa yang akan kaulakukan dengan jabatanmu itu? Engkau tahu engkau tidak dapat melepas tugasmu begitu saja.”

“Saya mengerti hal itu, Paduka.”

“Baguslah,” kata Raja, “Engkau tahu engkau tidak dapat meninggalkan kewajibanmu melindungi penghuni Istana ini.”

“Tapi saya juga mengerti saat ini ancaman terbesar dari keselamatan Anda bukan berasal dari dalam Istana ini sendiri,” kata Kakyu, “Ancaman itu datang dari Naullie.”

“Mengapa engkau berkata seperti itu, Kakyu?” tanya Raja Alfonso tidak mengerti, “Bagaimana kalau mereka menyerbu Istana?”

“Lalu apa gunanya Anda meletakkan sejumlah pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar hutan itu?” Kakyu balas bertanya.

Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu.

Ia melihat ketegangan dan keteguhan di wajah tenang itu. Wajah pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan kegalauan hatinya walau saat ini ia memang sedang cemas.

Raja Alfonso kagum melihatnya tapi ia tidak mengatakannya.

“Tampaknya engkau memang bersikeras pergi ke Naullie,” kata Raja Alfonso, “Walaupun aku menyuruh sejumlah pasukan mencegatmu, aku yakin engkau tetap akan pergi.”

“Niat saya telah bulat, Paduka,” Kakyu meyakinkan Raja.

“Tapi aku tetap tidak dapat mengijinkanmu, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Aku tahu engkau benar. Tapi siapa yang akan memimpin pasukan pengawal Istana di sini bila engkau pergi? Bagaimana dengan jabatanmu itu? Apakah engkau tidak takut dipecat gara-gara keinginanmu yang gara-gara kecemasanmu pada ayahmu ini?”

“Saya tidak hanya mencemaskan ayah saya, Paduka,” kata Kakyu, “Saat ini bukan hanya mereka yang berada di sekitar Naullie yang berada dalam bahaya tapi seluruh kerajaan. Dan saya mencemaskan itu.”

“Saya tidak mengarang apapun, Paduka. Saya tahu kelemahan posisi kita yang justru menjadi kekuatan Kirshcaverish. Lagipula ayah saya tidak akan senang bila tahu saya menyusulnya ke sana hanya karena saya mencemaskannya.”

“Saya tahu apa yang saya lakukan ini. Dan bila Anda bersikeras tidak mengijinkan saya apapun alasan Anda, maka saat ini juga saya memilih meletakkan jabatan saya itu dan pergi ke Naullie.”

“Engkau tidak takut pada masa depanmu setelah meletakkan jabatanmu itu?” selidik Raja Alfonso, “Engkau tahu engkau terkenal karena jabatanmu itu, bukan?”

“Sejujurnya, Paduka, Anda tahu saya menerima jabatan ini bukan karena keinginan saya sendiri. Saya menerimanya sebagai tugas bukan sebagai suatu keharusan. Akibat dari melepaskan jabatan saya ini, tidak akan mempengaruhi saya.”

“Walaupun Anda akan marah karena hal ini, saya tidak akan mundur. Saya tahu saya sendirilah yang harus ke sana untuk membantu para Jenderal yang telah berangkat ke sana terlebih dulu.”

Raja Alfonso tersenyum. “Akhirnya engkau dapat berbicara panjang lebar,” katanya, “Tapi sayang sekali, Kakyu, aku tetap tidak memberimu ijin.”

“Saya tahu Anda tidak akan melakukannya, Paduka,” Kakyu tetap tenang walaupun tidak diijinkan, “Saat ini juga di hadapan Anda, saya meletakkan pedang tanda jabatan Kepala Keamanan Istana ini.”

Kakyu meletakkan pedang yang diterimanya dari Jenderal Erin di meja depan Raja Alfonso.

“Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu khawatir, saya telah mengatur semuanya. Anda tetap akan aman walau saya tidak ada di sini.”

Raja Alfonso yang selalu tenang menghadapi Kakyu, menjadi murka karenanya. “Engkau tidak boleh melakukannya, Kakyu!”

“Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu tetap tenang.

Kakyu mulai mundur ke pintu. Tatapan matanya terus berada di wajah Raja Alfonso yang untuk pertama kalinya benar-benar jengkel karena perbuatannya.

“Kau tahu apa yang kaulakukan!?”

Kakyu mengangguk tenang.

“Saya memilih meletakkan jabatan saya demi mengejar Kirshcaverish sendiri di Hutan Naullie.”

“Di sana sudah ada Jenderal Erin, Jenderal Decker, ayahmu dan banyak Jenderal lainnya yang juga tangguh dan berpengalaman,” kata Raja Alfonso, “Untuk apa engkau ke sana?”

“Mereka semua tidak akan pernah dapat menghadapi pemberontak itu. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di hutan itu. Pasukan yang bersama mereka pun tidak akan dapat melawan Kirshcaverish. Berapa pun pasukan yang Anda kirim, Anda tidak akan dapat memenangkan perang ini. Kirshcaverish lebih mengetahui medan peperangan daripada kita.”

“Engkau berkata seakan-akan engkau lebih tahu dari siapa pun,” pancing Raja.

“Anda benar, Paduka,” Kakyu mengakui, “Sebelum saya memasuki Istana ini, saya sering berada di Hutan Naullie. Hampir tiap minggu saya ke sana dan saya telah memasuki hutan itu hingga batas kerajaan ini.”

Raja tertegun.

“Percuma saja, Kakyu,” kata Raja Alfonso setelah terdiam beberapa saat, “Aku tetap tidak mengijinkanmu. Engkau tetap harus memegang jabatanmu itu. Engkau tahu tidak mudah memilih penggantimu yang sebaik dirimu.”

“Maafkan saya, Paduka.”

“KAKYU!” seru Raja Alfonso kepada Kakyu yang berjalan ke pintu dengan tenangnya, “Aku tidak mengijinkanmu meninggalkan Istana!”

Kakyu membalikkan badannya dan tersenyum. “Saya tahu Anda akan.”

Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu. Ia ingin mencari kelemahan pemuda itu di wajahnya tapi wajahnya tetap tampak tenang. Mata hijau pemuda itu balas menatap tenang wajah Raja Alfonso.

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria muncul.

“Apa yang terjadi?”

Kakyu membalikkan badannya kepada pria itu.

Dengan tenang, ia menatap pria itu.

Kakyu belum pernah melihat pria itu sebelumnya dan ia tidak tertarik untuk tahu siapa pria itu. Tapi ia bisa menduga pria itulah yang dilaporkan prajurit jaga kepadanya.

Prajurit penjaga gerbang pagi tadi melaporkan kedatangan seorang pria yang mencurigakan di tengah malam buta. Pria itu memaksa masuk hingga terjadi keributan di pintu gerbang yang akhirnya memancing perhatian Raja.

Baru ketika Raja Alfonso keluar, pria itu dapat memasuki Istana.

Kakyu kembali berjalan ke pintu dengan tenang.

“Hentikan dia!” seru Raja.

Pria yang masih berdiri di dekat pintu itu segera menarik tangan Kakyu dan menggenggamnya erat-erat.

Sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Kakyu terkejut. Kakyu tidak mengira pria itu sesigap itu.

Kakyu memandang wajah pria itu.

Pria itu membalas pandangan tajam yang dingin itu dengan pandangan curiga.

Dengan sekuat tenaganya, Kakyu menyentakkan tangannya. Ia berhasil tapi sebagai akibatnya, topi yang selama ini menutupi rambut merahnya yang panjang, jatuh.

Secepat kilat, Kakyu menyambut jatuhnya topinya dengan kakinya. Kakyu tidak ingin topinya terlanjur jatuh ke lantai yang nantinya akan memperlambat kepergiannya dari Ruang Baca itu. Kekuatan kaki Kakyu melemparkan topi itu ke udara dan tangannya yang gesit menangkapnya.

Kakyu telah mengenakan kembali topinya sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi.

“Maafkan saya,” kata Kakyu singkat dan secepat mungkin menuju pintu.

“Kakyu, tunggu!” Raja tiba-tiba berseru dengan nada yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

Kakyu kembali berhenti dan membalikkan badannya.

Keteguhan hati yang tetap terukir di wajah tenangnya, membuat Raja Alfonso tersenyum mengalah, “Aku menyerah, Kakyu.”

Seperti biasa, Kakyu tetap tenang.

“Aku tahu percuma menahanmu. Walaupun aku mengurungmu, aku yakin engkau dapat meloloskan diri.” Kata Raja Alfonso, “Aku mengijinkanmu pergi.”

Kakyu curiga mendengar nada bicara Raja Alfonso. “Syaratnya?”

“Syarat?” tanya Raja kebingungan.

“Anda jangan membohongi saya, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Setiap kali Anda memberi tugas maupun ijin kepada saya, selalu ada syaratnya.”

Raja Alfonso tersenyum. “Engkau benar, Kakyu. Aku memang mempunyai syaratnya. Tapi aku masih khawatir.”

“Jangan khawatir, Paduka. Keamanan Istana telah saya serahkan pada Phil selama saya pergi. Saya telah mengurusnya sebelum saya ke sini.”

“Tampaknya engkau sangat yakin engkau akan pergi ke Naullie.”

“Saya telah mengatakannya kepada Anda, Paduka,” kata Kakyu mengingatkan, “Apapun yang terjadi, saya harus pergi ke Naullie secepat mungkin. Paling lambat esok pagi.”

“APA!?” seru Raja Alfonso kaget, “Apa yang kaupikirkan, Kakyu? Itu terlalu cepat. Aku belum merundingkan berapa pasukan yang akan kukirimkan. Aku juga belum menyiapkan perundingan itu.”

“Saya telah memikirkannya juga, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu mengadakan perundingan hanya untuk menentukan pasukan yang akan dikirim, saya telah menghitungnya.”

“Kapan engkau mengetahui berita ini?” tanya Raja Alfonso curiga.

“Pagi ini,” jawab Kakyu singkat.

Raja Alfonso curiga. “Benarkah itu? Kata-katamu itu seperti menunjukkan engkau mengetahui segalanya tentang Kirshcaverish.”

“Segalanya tidak, Paduka. Saya telah mengatakan kepada Anda, saya sering ke Hutan Naullie sebelum ini dan saya tahu apa yang harus dilakukan dalam menghadapi perang yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.”

“Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Engkau membuatku tidak dapat berhenti mengagumimu. Dalam waktu singkat engkau telah menyelesaikan masalah yang takkan dapat kuselesaikan dalam sehari. Aku rasa tidak ada salahnya aku menghadiahkan ijin ini atas kata-katamu panjangmu yang untuk pertama kalinya.”

“Terima kasih, Paduka,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya akan menemui Menteri Keamanan untuk mengurus pasukan ini.”

Raja Alfonso menatap Kakyu. “Mengapa engkau tetap bisa setenang ini, Kakyu? Kalau aku adalah engkau pasti sudah sejak tadi aku larut dalam kemarahan.”

Kakyu hanya mengangkat bahunya sebagai jawabannya.

“Sebelum aku lupa, Kakyu, aku akan memberitahumu syaratku,” kata Raja Alfonso, “Syaratnya adalah engkau harus membawa serta pemuda ini besok pagi.”

“APA!?” seru pemuda itu kaget.

Pemuda itu menatap wajah Kakyu. Seperti Kakyu yang tidak mengenal pria itu, ia juga tidak mengenali Kakyu.

Kakyu tidak terpengaruh suasana di Ruang Baca yang telah berubah itu. “Baik, Paduka.”

“Jangan lupa membawanya, Kakyu.”

Kakyu mengangguk.

“Kakyu!” panggil Raja Alfonso pada Kakyu yang telah membuka pintu.

Kakyu memandang Raja Alfonso.

“Apa rencanamu?”

“Entahlah.”

“Lalu apa yang akan kaulakukan setibanya engkau di sana?” tanya Raja Alfonso pula.

Kakyu hanya tersenyum misterius sebagai jawabannya.

“Engkau kembali lagi,” keluh Raja Alfonso, “Kurasa engkau memang tidak akan pernah dapat berbicara panjang lebar. Kalaupun dapat, engkau tidak akan mau lama-lama berbicara banyak.”

“Permisi, Paduka.”

“Kakyu!” panggil Raja lagi, “Engkau melupakan pedang tanda jabatanmu.”

Kakyu hanya melihat pedang yang masih tergeletak di atas meja itu.

Raja Alfonso meraih pedang di hadapannya itu dan membawanya kepada Kakyu.

“Sampai kapanpun, aku tidak akan sanggup menemukan Perwira Tinggi yang setangguh engkau untuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Walaupun engkau berada di Naullie, engkau tetap Kepala Keamanan Istana ini.”

Raja Alfonso menyerahkan pedang itu kepada Kakyu.

“Saya tidak dapat membawanya, Paduka,” kata Kakyu, “Biarlah pedang ini tetap di sini sebagai lambang di Istana ini tetap ada pasukan pengawalnya.”

“Pasukan pengawal memang selalu ada di sini tapi Kepala Keamanan Istananya akan pergi dan pedang sebagai lambang jabatanmu ini harus kaubawa kemanapun engkau pergi.”

Akhirnya Kakyu menerimanya walau dengan ragu-ragu.

Raja Alfonso tersenyum. “Sampai kapanpun, engkau tetap Perwira terbaikku.”

“Terima kasih, Paduka.”

Kakyu mengundurkan diri dari Ruang Baca yang menjadi tempat kerja Raja Alfonso selain Ruang Kerja.

“Ini gila!” seru pemuda itu, “Bagaimana mungkin aku pergi dengan pemuda itu? Bagaimana mungkin pemuda semuda itu menjabat sebagai Kepala Keamanan Istana?”

“Engkau tidak perlu heran. Ia memang tangguh dan aku tidak meragukannya lagi. Engkau belum tahu apapun tentangnya.”

“Tapi bagaimana mungkin aku pergi dengannya? Bagaimana mungkin pemuda itu akan memimpin pasukan ke Naullie?”

“Ia pasti bisa melakukannya,” kata Raja Alfonso, “Kalau tidak, tidak mungkin semua Jenderal langsung setuju ketika aku menyarankan ia menggantikan Jenderal Erin yang bertugas di Naullie.”

“Kakyu…” gumam pemuda itu, “Nama yang aneh seperti orangnya.”

“Aneh?” tanya Raja keheranan, “Apa yang aneh pada dirinya?”

“Entahlah, tapi rasanya ia tidak cocok menjadi Kepala Keamanan Istana.”

“Jangan hanya melihat dari luarnya saja,” Raja Alfonso memperingati, “Engkau telah merasakan kekuatannya tadi.”

Pemuda itu memandang tangan kirinya yang tadi digunakannya untuk memegang Kakyu.

“Ya, tidak kuduga ia sekuat itu,” kata pria itu, “Tak kuduga ia akan menyentakkan tanganku. Gara-gara dia aku hampir saja jatuh.”

“Engkau telah melihatnya, bukan?”

“Tapi tetap saja ini ide gila. Aku tidak mungkin pergi dengannya. Apalagi akulah yang akan dilindungi dia. Dia yang seperti adikku itu tidak mungkin melindungiku. Justru akulah yang seharusnya melindunginya.”

“Kalau begitu lindungi saja dia,” kata Raja Alfonso santai.

“APA!?” seru pemuda itu kaget.

“Sudahlah, jangan terus menganggap ini ide gila,” kata Raja Alfonso, “Kalau kau tidak percaya, temuilah Eleanor atau gadis manapun di Istana ini. Aku yakin mereka akan dengan senang hati menceritakan pemuda pujaan mereka.”

“Itu lebih gila lagi,” katanya, “Kesannya seperti aku cemburu padanya.”

“Kalau begitu temui saja ibumu.”

“Tapi…”

“Sebaiknya engkau menirunya. Ia dengan cepat mengerti apa yang harus dilakukannya,” kata Raja Alfonso, “Engkau sebaiknya cepat menyadari saat ini engkau harus mempersiapkan keberangkatanmu ke Naullie.”

No comments:

Post a Comment