Friday, April 27, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 16

Kakyu duduk di depan meja kerjanya dan mulai menulis surat untuk Halberd.

Hingga saat ini ia belum dapat melakukan janjinya pada keluarga Halberd. Kakyu belum dapat menambahi kesibukan itu dengan masalah Halberd. Kakyu tahu banyak yang dipikirkan Raja Alfonso saat ini antara lain tentang Kirshcaverish juga pesta kemenangan yang akan diadakannya.

Kakyu mengakhiri surat singkat itu dengan namanya di sudut kanan. Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan dimasukkan ke dalam amplop.

Tengah Kakyu menuliskan alamat tujuan surat itu, seseorang memanggil.

Kakyu segera menghentikan pekerjaannya begitu mendengar suara ayahnya.

“Ada apa, Papa?”

Jenderal Reyn memasuki kamar Kakyu. Jenderal Reyn mengambil kursi dan duduk di depan Kakyu.

“Aku ingin bertanya,” suara Jenderal Reyn terdengar seperti penuh perasaan bersalah dan ragu-ragu, “Bagaimana perasaanmu?”

Kakyu tidak mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya. Saat ini ia memang sedang merasa galau dengan perasaannya yang campur aduk antara keinginan untuk terus menjadi laki-laki dan keinginan untuk bebas mencintai. Tetapi Kakyu tidak akan mengatakannya.

“Biasa-biasa saja.”

“Bukan itu maksudku,” Jenderal Reyn tampak kacau.

Entah apa yang tengah dipikirkannya, Kakyu tidak tahu tetapi baru kali ini ia melihat ayahnya merasa bingung dan kacau.

Jenderal Reyn menggenggam tangan Kakyu. Matanya mengawasi lekat-lekat wajah tenang Kakyu, “Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu selama ini? Selama ini engkau terus menjadi laki-laki, seperti keinginanku. Engkau begitu tampak senang menjalankannya hingga aku lupa engkau ini seorang gadis seperti kakak-kakakmu yang lain. Aku begitu bodoh tidak pernah memikirkan ini semua.”

“Aku tidak merasa terpaksa melakukannya, Papa,” kata Kakyu menghibur.

“Aku tahu, Kakyu. Aku tahu. Engkau selalu senang melakukan semua ini,” kata Jenderal Reyn mengakui, “Tetapi aku yakin engkau pasti pernah memikirkan keinginanmu sendiri. Engkau oasti mempunyai keinginan-keinginan sebagai seorang gadis yang telah aku aabikan selama ini.”

“Jangan terlalu dipikirkan apa yang dikatakan Mama. Aku senang melakukannya dan aku sama sekali tidak merasa terpaksa.”

“Bukan hanya Xeilan yang mengatakannya padaku, Kakyu,” Jenderal Reyn memberitahu, “Xeilan memang sering memberitahuku tetapi itu dulu sebelum engkau kumasukkan menjadi seorang pengawal Istana.”

Kakyu curiga mendengarnya. Ia khawatir Pangeran Reinald mengingkari janjinya.

“Mengapa Papa harus memikirkannya?”

“Karena aku ingin melihatmu bahagia, Kakyu,” kata Jenderal Reyn penuh pengertian, “Raja Alfonso benar kalau engkau terus menjadi laki-laki, engkau tidak akan dapat mencapai kebahagiaanmu sendiri seperti Joannie. Engkau pasti ingin bahagia seperti Joannie bukan?”

Kakyu kebingungan mendengarnya.

“Dari mana Raja Alfonso mengetahuinya?” pikirnya, “Apakah mungkin Pangeran Reinald yang mengatakannya?”

Jenderal Reyn mengetahui apa yang dipikirkan Kakyu, “Tidak perlu menyalahkan dirimu, Kakyu. Aku sendiri juga tidak tahu darimana Raja Alfonso mengetahuinya, tetapi ia benar. Aku tidak bisa terus membuatmu menjadi seorang laki-laki. Bagaimanapun juga aku juga ingin melihatmu bahagia?”

Kakyu berhenti memikirkan pertanyaan yang terus berkecamuk dalam benaknya.

“Kakyu,” Jenderal Reyn seolah-olah ingin membangunkan Kakyu dari dunianya yang kacau, “Jangan kaupikirkan aku lagi. Aku sudah tidak memaksamu. Engkau bebas menentukan langkahmu sendiri. Engkau boleh meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan militer dan memulai hidup seperti yang dijalani kakak-kakakmu.”

“Itu tidak mungkin, Papa,” kata Kakyu.

“Apalagi yang kaukhawatirkan, Kakyu? Aku sudah tidak ingin menekanmu menjadi laki-laki. Raja Alfonso juga tidak marah, bahkan ia berulang kali mengatakan, “Kalau seorang gadis saja bisa seperti ini, bayangkan kalau semua gadis menjadi prajurit.” Mengenai keamanan Istana Vezuzapun engkau tidak perlu mengkhwatirkannya, pasti ada penggantimu yang dapat melakukan tugas sebaik dirimu. Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Ibumu, kakak-kakakmu pasti senang kalau engkau mau meninggalkan segala yang tidak seharusnya kaulakukan sebagai seorang gadis.”

Kakyu tidak tahu harus berkata apa.

Kurang lebih sebulan yang lalu ia menetapkan untuk terus pada pekerjaannya tetapi kini ayahnya seperti seorang prajurit yang menyerah kalah. Kakyu benar-benar bingung.

Jenderal Reyn mengerti kebingungan Kakyu.

“Aku akan meninggalkanmu agar engkau dapat berpikir. Tetapi berjanjilah padaku, Kakyu, engkau benar-benar akan memikirkannya.”

“Aku janji.”

Jenderal Reyn meninggalkan Kakyu yang terus duduk dengan pikiran yang semakin kacau.

“Bagaimana?” tanya Lady Xeilan yang telah menanti di depan pintu.

“Aku tidak tahu. Ia tampaknya bingung sekali.”

“Tentu saja. Selama ini ia terbiasa menjadi laki-laki, lalu engkau tiba-tiba menyuruhnya kembali menjadi seorang gadis.”

Jenderal Reyn memeluk istrinya, “Untunglah engkau menasehatiku tadi, kalau tidak aku tidak tahu apakah yang harus kulakukan. Aku begitu bodoh selama ini. Tak pernah sekalipun aku memikirkan perasaan gadisnya. Aku terlalu memaksanya menjadi laki-laki seperti yang kuharapkan.”

“Sudahlah, yang penting engkau telah melakukan apa yang kukatakan bukan?” kata Lady Xeilan sambil tersenyum menghibur rasa bersalah suaminya, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Biar Kakyu memikirkannya dengan tenang.”

Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.

Seperti keinginan Lady Xeilan, tidak ada yang berani menganggu Kakyu sepanjang hari itu. Bahkan ketika pada malam harinya Kakyu tidak turun untuk makan, tidak ada yang memanggilnya. Hanya pelayan yang mengantarkan makan malam, yang memasuki kamar Kakyu.

Yang lain ingin memberi ketenangan bagi Kakyu untuk berpikir. Mereka tetap diam juga ketika keesokan paginya Kakyu tidak berangkat ke Istana Vezuza seperti biasanya. Mereka mengerti Kakyu sangat bingung saat ini.

Seharian Kakyu tidak beranjak dari kamarnya. Ia terus duduk merenung di serambi depan kamarnya. Pikirannya terus melayang tak menentu arahnya. Kadang pada perasaannya akhir-akhir ini, kadang pada tanggung jawabnya, kadang pada kekecewaan ayahnya, tak jarang pula pikirannya menuju Pangeran Reinald.

Belum pernah Kakyu merasa sedemikian kacau seperti hari ini. Kemarin malam ia sampai tidak dapat tidur sejenakpun karena terus memikirkan keputusannya.

Kakyu hanya tinggal memilih antara dua pilihan, terus menjadi laki-laki atau kembali menjadi gadis. Hanya di antara dua pilihan itu, tidak lebih. Tetapi ia terus berpikir dan berpikir tiada henti untuk menentukan pilihannya.

Menjadi seorang gadis, akhir-akhir ini memang menarik perhatian Kakyu terutama sejak jiwa gadisnya bangkit. Tetapi ia juga tidak sanggup meninggalkan dunia yang selama ini ditekuninya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap kalau nanti ia menjadi seorang gadis. Kalau meneruskan pekerjaannya sebagai Kepala Pengawal Istana, ia tidak perlu repot-repot memikirkan itu. Tetapi ia juga ingin menjadi gadis.

Semua serba membingungkan. Tiap kali Kakyu mulai memutuskan selalu ada kata ‘tetapi’ dan itu membuat pikiran Kakyu kembali menjadi kacau.

Udara pagi yang biasanya mampu membuat pikiran Kakyu menjadi tenang, pagi ini tidak lagi mampu. Pikiran Kakyu benar-benar bagaikan benang yang tidak terbentuk lagi dan tiada ujung pangkalnya.

Karena begitu bingungnya Kakyu, sampai-sampai ia tidak mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Kakyu!”

Sekali kakak Kakyu berseru memanggil Kakyu tetapi gadis itu tetap diam memandang langit biru dengan pikiran yang kacau.

Vonnie menjadi jengkel karenanya. Dengan menggoyangkan tubuh adiknya, ia berseru, “Kakyu! Kau mendengarku atau tidak!?”

Walaupun sedang bingung, Kakyu masih mampu menjawab dengan tenang, “Ada apa?”

“Heran aku melihatmu,” kata Vonnie tanpa berhenti menggelengkan kepalanya, “Apa yang engkau pikirkan sepanjang malam sampai-sampai engkau tidak dengar aku mengetuk pintu.”

“Maaf,” kata Kakyu dengan tenangnya.

“Begitu tenangnyakah dirimu sampai-sampai walau sedang bingung engkau tetap dapat bersikap tenang?”

Pandangan Kakyu beralih pada pria yang berdiri di belakang Vonnie.

Melihat Pangeran Reinald berdiri di sanapun, Kakyu tetap berkata tenang, “Ada apa Anda mencari saya, Pangeran?”

“Begitukah caramu menyambutku yang mengkhawatirkanmu?” Pangeran Reinald memincingkan matanya tanpa melepaskan matanya dari Kakyu. “Bagiku engkau sama sekali tidak nampak seperti orang yang sedang bingung.”

Vonnie merasa ia tidak selayaknya berada di sana. “Sebaiknya saya meninggalkan kalian berdua. Saya yakin antara kalian ada yang harus dibicarakan.”

Tidak ada yang menghiraukan kepergian Vonnie.

Tiba-tiba Pangeran Reinald berlutut di depan Kakyu. “Aku minta maaf.”

Kakyu hanya memandang Pangeran dengan bingung.

“Papa sudah tahu semuanya dariku.”

Hanya satu yang dilakukan Kakyu. Dan itu sama sekali jauh dari dugaan Pangeran Reinald. Kakyu sama sekali tidak menuntut jawaban juga tidak marah, ia hanya tersenyum tipis.

“Lupakan saja.”

Ungkapan singkat yang jauh berbeda dengan yang dibayangkannya itu membuat Pangeran Reinald menatap Kakyu dengan bingung.

“Apakah engkau memang selalu tenang dan dingin seperti ini?”

Untuk menjawab keheranan itu, Kakyu berkata, “Saya telah dilatih untuk tetap tenang dalam keadaan apapun, Pangeran.”

“Sekalipun engkau sedang bingung seperti ini?” tanya Pangeran Reinald ingin tahu.

Kakyu tidak menjawabnya karena ia memang tidak tahu apakah ia tetap tenang atau tidak. Mungkin dari luar ia terlihat sangat tenang tetapi hati dan pikirannya tidak tenang terlebih dengan keberadaan Pangeran Reinald yang sangat dekat itu.

Pangeran Reinald mengerti Kakyu sedang bingung dan ia tidak ingin menambahi lagi kebingungan gadis itu. “Aku mengerti engkau sedang bingung. Tetapi kuharap engkau tidak terus mengurung dirimu di sini. Kakak-kakakmu mengatakan sejak ayahmu memintamu untuk memikirkan kembali masa depanmu, engkau mengurung diri di sini. Engkau bisa sakit kalau engkau terus mengurung diri di sini.”

Kakyu hanya diam menatap Pangeran.

“Engkau bisa menceritakan kebingunganmu itu padaku. Lebih mudah memecahkan kebingungan itu kalau engkau mengatakannya pada orang lain. Kalau engkau tidak bisa mengatakannya padaku, katakan saja pada yang lain.”

Kakyu tahu hal itu benar, tetapi masalahnya adalah semua kebingungan ini bersumber dari satu masalah yang ia sendiri belum ketahui apakah itu. Suatu masalah yang menjadi kunci dari segala kebingungan ini. Kebingungan ini sulit dijelaskan pada orang lain bahkan kadang ia sulit menjelaskannya pada dirinya sendiri.

“Dengarkan aku, Kakyu,” kata Pangeran Reinald perlahan, “Aku tidak akan memaksamu memilih menjadi gadis, tetapi menurutku akan lebih mudah bagimu kalau engkau bukan anak laki-laki. Engkau bebas mencintai pria manapun ketika engkau menjadi seorang gadis.”

Kakyu tetap diam.

“Aku tahu engkau pasti merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan yang telah kaucintai itu, tetapi engkau tidak perlu khawatir meninggalkannya, Kakyu.”

Kakyu dibuat bingung karenanya. Bagaimana mungkin ia menjadi seorang gadis sekaligus Kepala Keamanan Istana? Jelas hal ini tidak mungkin. Tidak pernah ada seorang gadis yang menjadi prajurit dalam sejarah Kerajaan Aqnetta.

“Ketika Papa mengetahui engkau seorang gadis, ia sangat terkejut tetapi ia sama sekali tidak marah. Bahkan dengan tersenyum ia berkata engkau sangat hebat dan ia tidak boleh menganggap remeh wanita. Dari perkataannya, aku bisa menangkap Papa mempunyai rencana untuk menjadikan engkau panutan bagi gadis-gadis lain yang ingin menjadi prajurit.”

“Itu tidak mungkin,” Kakyu akhirnya berkata juga.

“Mengapa?”

“Gadis lain tidak mungkin bisa seperti saya.”

Pangeran Reinald terus mendesak Kakyu. “Mengapa?”

“Kalaupun mereka menjadi seorang prajurit, mereka tidak akan seperti yang Anda harapkan. Apa yang saya pelajari tidak sama dengan yang akan mereka pelajari. Saya ini lebih tepat dikatakan sebagai pembunuh bayaran dibandingkan seorang prajurit.”

“Selama ini engkau seorang prajurit, bukan?”

Kakyu menggelengkan kepalanya, “Itu hanya pekerjaan. Tetapi ilmu yang saya kuasai ini bukan ilmu perang seorang prajurit tetapi seorang pembunuh, ninjit-su. Ninjit-su adalah seni membunuh rahasia Jepang di mana setiap orang yang mempelajarinya disebut ninja. Dalam ninjit-su dikenal berbagai macam ilmu yang paling tinggi adalah Kobadera, ilmu sihir ninja. Juga ada Ing tong jiutsu yang memungkinkan seorang ninja muncul tiba-tiba dan melemahkan musuh antara lain dengan menciptakan halusinasi pada lawan. Selain itu masih banyak senjata rahasia lain yang sangat ampuh.”

Pangeran Reinald hanya terpana mendengar keterangan singkat itu. “Engkau menguasai semuanya?”

“Tidak. Saya telah mengatakan pada Anda, dalam ninja ada larangan untuk menyebarkan ilmu ini pada orang lain di luar orang Jepang. Di Jepang sendiri hanya sedikit orang yang bisa.”

“Kenichi itu orang Jepang bukan?” Pangeran Reinald memanfaatkan kesempatan ini untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Kakyu menganggukan kepalanya dengan lemah. Sampai sekarang masih sulit ia melupakan kematian Kenichi.

“Ia orang Jepang asli. Kenichi menurunkan ilmunya pada saya karena ia sangat menyayangi saya. Kami bagaikan kakek dan cucu. Belum lama sejak Kenichi memasuki rumah ini, saya lahir. Dialah yang menamakan saya Kakyu, dari bahasa Jepang yang artinya Bola Api. Kata Kenichi, ketika saya lahir, rambut saya yang merah bersinar seperti nyala api.”

“Bola Api,” ulang Pangeran Reinald sambil termangu-mangu, “Nama itu memang pantas kalau melihat rambutmu tetapi kalau melihat sifatmu yang tenang, nama itu tidak pantas. Engkau sama sekali tidak mudah marah seperti bola api, engkau sangat tenang dan dingin seperti es. Tetapi sekarang aku tahu, semua orang benar. Walaupun terlihat dingin, engkau tetap orang yang hangat. Bola apimu mencairkan esmu. Kuharap ia juga mencairkan masalahmu.”

Teringat kembali pada masalah yang dihadapi Kakyu, Pangeran Reinald berkata, “Engkau lebih baik segera mengatakan masalahmu kepada orang lain sebelum engkau jatuh sakit. Aku tidak ingin melihat satu-satunya Perwira wanita ini sakit gara-gara memikirkan masalah mudah seperti ini.”

Bagi orang lain masalah ini memang mudah. Hanya tinggal memilih satu di antara dua pilihan, tetapi bagi Kakyu tidak.

“Mungkin aku harus membiarkanmu berpikir lagi,” kata Pangeran Reinald sambil bangkit, “Aku telah lama mengganggumu. Jangan terlalu lama berpikir, Kakyu, aku khawatir gadis-gadis di Istana Vezuza terutama Eleanor kehilangan semangatnya karena engkau.”

Kakyu hanya tersenyum.

“Kalau ada masalah, katakan saja. Ingat tidak perlu kaupikirkan masalah lain selain pilihanmu, semuanya pasti baik-baik saja.”

Entah berapa kali Pangeran Reinald mengatakan hal itu tetapi Kakyu tetap mengangguk mendengarnya.

“Mengapa Anda mengkhawatirkan saya?”

Pangeran Reinald terkejut oleh pertanyaan yang tak terduga itu. Jelas ia tidak dapat mengatakan alasannya. Kalau ia mengatakannya, ia hanya akan membuat Kakyu semakin bingung.

“Karena engkau gadis yang bertanggung jawab pada keamanan Istana. Selain itu aku tidak ingin melihat semangat gadis-gadis di Istana Vezuza hilang karenamu.”

Kakyu diam saja.

“Sudahlah, jangan pikirkan hal ini. Pikirkan saja masalahmu sekarang,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak akan menganggumu lagi.”

Kakyu mengikuti kepergian Pangeran Reinald dengan pandangannya. Setelah Pangeran menghilang di balik pintu, Kakyu kembali melayangkan pandangannya ke depan.

Pegunungan Alpina Dinaria tampak jelas dari kamar Kakyu di lantai dua itu. Hijaunya hutan menyelimuti gunung demi gunung. Pegunungan itu tampak seperti benteng Kerajaan Aqnetta dari ancaman dunia luar.

Kesunyian Hutan Naullie yang tampak dari serambi kamarnya, membuat Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. Ia lebih baik menghindari segala yang berhubungan dengan masalah ini agar ia dapat berpikir dengan lebih tenang.

Kakyu masuk dan mulai menulis secarik surat pendek. Kemudian ia menyiapkan segala yang diperlukannya dan meninggalkan kamar.

Ketika menuruni tangga, Kakyu samar-samar mendengar suara dari Ruang Tamu.

“Apakah Anda yakin?” terdengar suara Vonnie penuh ingin tahu.

“Benar,” suara tegas Pangeran Reinald meyakinkan Vonnie, “Ia hanya memerlukan waktu untuk berpikir.”

“Kira-kira kapankah Kakyu memutuskan pilihannya?” Lishie pun ingin tahu.

“Saya tidak tahu.”

“Kakyu menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya,” suara bijaksana Lady Xeilan menghentikan keingintahuan kedua putrinya, “Selama ini ia menjadi laki-laki dan tidak pernah memikirkan dirinya sebenarnya seorang gadis. Kita semuapun memperlakukannya sebagai anak laki-laki dan melupakan ia adalah seorang gadis. Kini tiba-tiba ia harus menjadi seorang gadis kembali. Ini pasti sangat sulit baginya. Ia telah terbiasa menjadi laki-laki. Kalian harus mengerti itu.”

“Tetapi kami ingin segera tahu keputusannya, Mama,” rujuk Marie.

“Baru kali ini aku melihat engkau terburu-buru, Marie. Biasanya engkau sangat lamban.”

“Siapa yang tidak ingin segera tahu, Lishie?” kata Vonnie, “Aku juga ingin segera tahu.”

“Kalau engkau aku tidak heran.” Marie menyahut.

Kakyu tidak sengaja mendengar percakapan mengenai dirinya itu dan ia tidak tertarik untuk mendengarkannya. Mendengarkan percakapan itu, hanya membuat dirinya semakin bimbang.

Kakyu terus berjalan ke halaman belakang ke kandang kuda.

Segera Kakyu menunggangi kuda kesayangannya dan melaju ke Hutan Naullie.

Di sanalah Kakyu bisa mendapatkan ketenangan yang diharapkannya, di sana pula Kenichi yang bijaksana terbaring. Kakyu tahu bila ia dekat dengan Kenichi, ia akan lebih mudah mendapatkan ketenangan yang akhirnya akan membantunya menentukan pilihannya.

Kakyu memacu kudanya secepat mungkin. Tanpa mempedulikan matahari yang terus meninggi maupun waktu yang terus berlalu, Kakyu terus memacu kudanya ke Farreway. Ketika malam menjelangpun Kakyu tidak berhenti di penginapan. Saat ini Kakyu tidak ingin melakukan yang lain selain tiba secepat mungkin di Hutan Naullie.

Sehari semalam, Kakyu berkuda ke Farreway. Baru pada keesokan harinya ia tiba di Farreway.

Perjalanan panjang yang ditempuhnya tidak membuat Kakyu lelah. Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Kakyu menerobos Hutan Naullie ke lembah tempat Kenichi terbaring.

Walaupun penduduk yang tinggal di sekitar Hutan Naullie tidak mengenal Kakyu, mereka tidak banyak bertanya ketika Kakyu menerobos hutan yang pernah menjadi sarang pemberontak itu. Mereka membiarkan Kakyu menerobos hutan.

Kalaupun mereka mencoba menghentikan Kakyu, gadis itu tidak akan menghiraukannya. Ia sudah terlalu sering menerobos Hutan Naullie.

Tiba di lembah yang penuh angin itu, Kakyu bukannya beristirahat malah duduk di tepi lembah.

Kakyu duduk bersila dan memejamkan matanya – mencoba mendapatkan ketenangan yang diinginkannya.

Benarlah dugaan Kakyu. Di tempat yang sangat sepi dan tenang itu, ia lebih cepat mendapatkan ketenangan hati maupun pikiran. Tak lama setelah duduk di sana, segala kebingungan Kakyu hilang. Dan membuat gadis itu merasa tenang.

Dalam ketenangannya, Kakyu mencoba mendengarkan suara angin yang selalu bertiup di lembah itu.

Tidak ada yang dipikirkan Kakyu di sepanjang siang itu. Kakyu hanya bertapa di tepi lembah sambil terus mengosongkan pikirannya.

Sementara Kakyu duduk dengan tenangnya di lembah, seisi Quentynna House tidak dapat tenang.

Kemarin saat pelayan yang mengantar makan siang Kakyu, turun dengan sehelai surat pendek Kakyu yang berbunyi “Aku pergi sebentar. Jangan khawatir” tidak ada yang mengkhawatirkan gadis itu. Semua mengira Kakyu pergi berjalan-jalan untuk mengurangi kebingungannya. Bahkan ketika Kakyu belum pulang malam itu, semua tidak khawatir.

Yang ada di pikiran mereka malam itu hanya satu yaitu Kakyu pergi ke suatu tempat dan menginap di sana. Esok pagi ia akan pulang.

Tetapi ketika siang ini Kakyu belum juga muncul, semua mulai khawatir. Berbagai hal mulai dari yang baik sampai yang buruk terus bermunculan dalam benak mereka. Di antara mereka hanya Jenderal Reyn yang tenang, Jenderal Reyn percaya Kakyu baik-baik saja apalagi bila mengingat ketangguhannya.

Seperti biasa, pagi itu Jenderal Reyn pergi ke pelatihan prajurit dan memulai tugasnya di sana. Sementara itu, Lady Xeilan dan ketiga putrinya khawatir dan semakin khawatir tiap menitnya.

“Bagaimana ini, Mama?” tanya Lishie khawatir, “Mengapa Kakyu belum pulang juga?”

“Aku tidak tahu,” kata Lady Xeilan cemas, “Aku mengkhawatirkannya.”

“Aku ingin tahu di mana ia berada sekarang.”

“Kalau engkau memang selalu ingin tahu, Vonnie,” kata Marie.

“Apakah sebaiknya kita meminta bantuan Adna untuk mencarinya?”

“Jangan tolol, Lishie,” kata Vonnie, “Mereka baru saja menikah sudah ingin kauganggu dengan masalah ini. Biarkan kita saja yang mengkhawatirkan si Kakyu. Kalau ia ada di sini, akan kumarahi dia. Dia pergi tanpa berpamitan dan hanya meninggalkan secarik surat yang tidak jelas.”

“Sudahlah,” Lady Xeilan menenangkan putri-putrinya, “Ayah kalian benar, Kakyu tidak seperti kalian. Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Pasti ia baik-baik saja saat ini. Ia pasti akan pulang dalam waktu dekat.”

“Tetapi ia benar-benar keterlaluan, Mama. Pergi tanpa pamit.”

“Apakah mungkin ia merasa tertekan oleh masalah ini dan ia…”

“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Lishie!” seru Marie terkejut, “Kakyu tidak mungkin bunuh diri gara-gara masalah sepele seperti ini.”

“Percayalah, ia akan baik-baik saja,” kata Lady Xeilan lebih untuk menenangkan kekhawatirannya.

Kekhawatiran itu terus memenuhi Quentynna House yang biasanya terlihat ceria dan penuh canda tawa. Sejak Kakyu menghilang tiba-tiba, kegembiraan itu berubah menjadi kecemasan. Baru setelah tiga hari menghilangnya Kakyu, Quentynna House bisa tenang.

Pada hari keempat itulah Kakyu muncul.

Semula saat mendengar pintu depan terbuka, mereka tidak beranjak dari Ruang Makan. Mereka mengira Jenderal Reyn pulang karena ada yang tertinggal. Tetapi saat mereka mendengar seorang pelayan berkata lega “Syukurlah Anda sudah pulang, Tuan Muda” mereka segera berhamburan keluar dari Ruang Makan.

Lishie yang keluar paling awal, segera menyambut kedatangan adiknya dengan pelukan.

“Aku kira engkau sudah mati, Kakyu.”

Kakyu hanya tersenyum.

Vonnie yang berjanji akan memarahi Kakyu bila ia datang, tidak dapat marah karena senangnya. Baginya saat ini terlalu melegakan untuk marah-marah. “Dari mana saja engkau?” tanyanya penuh ingin tahu.

“Menemui Kenichi,” jawab Kakyu singkat.

“Kenichi?” tanya Vonnie keheranan, “Bukankah ia telah meninggal?”

“Pasti yang dimaksudkannya mengunjungi makamnya,” kata Marie.

“Kenichi meninggal di Hutan Naullie bukan? Dan ia tidak mempunyai makam selain hutan itu,” kata Vonnie kemudian sambil menatap curiga pada Kakyu ia berkata, “Aku khawatir engkau ke sana.”

Kakyu tersenyum membenarkan. Kemudian ia berpaling pada ibunya.

“Maafkan aku, Mama.”

“Tidak apa-apa, Kakyu. Tetapi kuharap lain kali engkau tidak seperti ini, engkau membuat kami cemas,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum, “Sekarang berisitirahatlah. Aku yakin engkau telah menghabiskan waktu seharian untuk berkuda dari Farreway ke sini.”

“Tidak, Mama,” kata Kakyu, “Aku harus segera berangkat ke Istana Vezuza.”

“Ke Istana Vezuza?” tanya ketiga kakak Kakyu keheranan, “Jadi engkau telah memutuskannya?”

Kakyu hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.

“Apa keputusanmu?” tanya Vonnie ingin tahu.

Kakyu tetap tidak menjawab pertanyaan itu. “Aku harus segera bersiap-siap,” katanya tenang.

“Apa keputusanmu, Kakyu?” desak ketiga kakak beradik itu.

Seperti tadi, Kakyu hanya tersenyum. Kemudian ia menuju kamarnya.

Vonnie, Marie juga Lishie hanya dapat berpandang-pandangan dengan penuh ingin tahu.

“Apapun keputusan Kakyu, kita harus menghormatinya,” kata Lady Xeilan.

“Tetapi kami ingin tahu, Mama,” kata Vonnie, “Aku yakin ia telah memutuskannya.”

“Hanya saja ia tidak mau mengatakannya pada kami,” tambah Lishie.

Lady Xeilan sendiri mengakui ia juga ingin mengetahui apa yang dipilih Kakyu. Meninggalkan jabatannya dan menjadi seorang gadis biasa atau tetap menjadi prajurit wanita. “Ia pasti mempunyai alasan sendiri,” kata Lady Xeilan.

Tak lama kemudian Kakyu telah tiba kembali di tempat mereka.

“Aku pergi, Mama,” katanya sambil mencium pipi Lady Xeilan.

Seperti biasa, Lady Xeilan berpesan, “Hati-hati, Kakyu.”

Kakyu tersenyum kemudian meninggalkan Quentynna House lagi tetapi kali ini bukan ke Hutan Naullie melainkan ke Istana Vezuza.

Seperti kakak-kakaknya, semua prajurit di Istana Vezuza juga ingin tahu mengapa ia tidak muncul selama empat hari dan pada hari kelima ini terlambat. Kakyu hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum.

Bukan hanya para prajurit saja yang diperlakukan Kakyu seperti itu. Semua yang menanyakan masalah hilangnya dia di Istana Vezuza selama empat hari, juga mendapat jawaban sebuah senyuman tipis.

Pagi itu Kakyu memulai tugasnya seperti biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Selama sehari berada di Hutan Naullie, Kakyu memang telah mendapatkan ketenangan. Dan dalam ketenangannya itu, ia mendapat jawaban yang cukup mengejutkannya. Ternyata dugaannya beberapa bulan yang lalu benar, ia jatuh cinta. Karena itulah jiwa gadisnya yang selama ini tertidur bangkit.

Mereka yang tidak tahu apa-apa, menganggap hal itu biasa. Tetapi lain halnya bagi Pangeran Reinald yang tahu apa yang telah terjadi. Melihat Kakyu begitu tenang pagi ini, Pangeran Reinald menjadi curiga.

Ketika melihat Pangeran Reinald, Kakyu menyapa dengan tenangnya, “Selamat pagi, Pangeran.”

Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihat mereka, Pangeran Reinald segera menarik Kakyu ke dalam ruangan yang berada di dekat mereka.

“Jadi…” kata Pangeran.

“Jadi?” ulang Kakyu keheranan.

“Jangan mencoba menipuku, Kakyu. Aku tahu engkau telah memutuskan pilihanmu,” kata Pangeran Reinald gemas.

“Lalu?” Kakyu bertanya pura-pura tidak tahu.

Pangeran semakin gemas mendengar keluguan itu. “Aku ingin tahu apa pilihanmu.”

“Anda juga akan mengetahuinya nanti,” kata Kakyu sambil tersenyum.

“Mengapa engkau tidak mau memberitahuku sekarang? Nanti atau sekarang sama saja.”

“Sekarang saya harus memikirkan pesta kemenangan yang kurang seminggu lagi.”

Pangeran menyipitkan matanya sambil mengawasi Kakyu.

“Jadi itu keputusanmu?” kata Pangeran Reinald kecewa, “Mengapa engkau memutuskan untuk tetap menjadi prajurit, Kakyu? Mengapa?”

Kakyu keheranan melihat kekecewaan Pangeran. “Apakah salah, Pangeran?”

“Jelas salah sekali, Kakyu!” kata Pangeran Reinald tidak sabar, “Bagaimana mungkin engkau terus menerus menjadi laki-laki?”

“Apakah itu menganggu Anda, Pangeran?” tanya Kakyu ingin tahu, “Saya tetap berperan sebagai laki-laki maupun menjadi diri saya sendiri, tidak ada bedanya.”

“Jelas ada bedanya, Kakyu,” kata Pangeran Reinald geram, “Apakah engkau tidak menyadarinya, Perwira?”

Kakyu hanya menatap Pangeran.

“Apakah engkau sedemikian bodohnya, Perwira?” Pangeran Reinald terlihat sangat geram dengan sikap Kakyu yang lugu, “Kalau engkau terus menjadi laki-laki, jelas aku yang akan kewalahan.”

Kakyu semakin kebingungan oleh sikap Pangeran. “Mengapa, Pangeran? Bukankah Paduka juga telah mengetahui saya tidak mungkin menikah dengan Tuan Puteri?”

“Bukan itu masalahnya, Kakyu.”

Kakyu menatap Pangeran dalam-dalam. “Katakan, Pangeran,” katanya hati-hati, “Apakah Anda khawatir saya akan merebut posisi Anda di hati para gadis?”

“Aku tidak peduli dengan itu!” Pangeran menatap tajam Kakyu, “Aku mencintaimu. Apakah engkau tidak mengerti itu?”

Kakyu tersentak kaget. Ini adalah suatu kenyataan yang tak pernah diduganya. Saat ia menyadari perasaannya, ia juga tidak mengharapkannya karena ia tahu itu tidak mungkin. Tetapi apa yang baru saja dikatakan Pangeran Reinald sangat nyata.

“Bagaimana mungkin aku menunjukkan cintaku padamu kalau engkau terus menjadi laki-laki?”

Pangeran Reinald tidak melepaskan Kakyu dari pandangan matanya, “Jadi, apa yang akan kaulakukan Kakyu?”

“Bagaimana mungkin itu terjadi?” tanya Kakyu tidak mengerti, “Itu tidak mungkin.”

“Apa yang tidak mungkin Kakyu?” tanya Pangean Reinald lembut, “Aku telah jatuh cinta padamu. Apa yang tidak mungkin?”

Hati Kakyu yang sedang senang, tahu apa yang akan dikatakannya. Tetapi Kakyu tidak melakukannya, ia masih ingin tahu lebih banyak.

“Bagaimana mungkin Anda jatuh cinta pada saya, Pangeran?” kata Kakyu tenang untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya, “Anda jatuh cinta pada saya ketika saya menjadi prajurit, kalau saya menjadi seorang gadis, apakah Anda akan mengatakan itu?”

“Aku tidak mengerti engkau memang bodoh atau engkau sedang mempermainkanku,” kata Pangeran Reinald jengkel, “Sekarang dengar baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. Aku mencintaimu karena engkau memang patut dicintai, itu yang pertama. Tetapi yang lebih penting bagiku, engkau memiliki kecantikkan yang tidak mungkin kutemukan pada wanita manapun. Wajah cantikmu yang tenang itu telah mengangguku sejak aku bertemu denganmu, tetapi yang harus kauketahui aku mengagumimu sebagai satu-satunya wanita tertangguh yang pernah kujumpai.”

“Pasti hanya saya satu-satunya prajurit wanita yang pernah Anda temui,” kata Kakyu sambil tersenyum bahagia.

Pangeran Reinald memincingkan mata melihat senyum yang jarang dilihatnya itu. “Seingatku hanya sekali aku melihat engkau tersenyum senang seperti ini yaitu saat aku menuduhmu jatuh cinta pada Adna. Setelah itu aku tidak pernah melihatmu tersenyum seperti ini apalagi tertawa.”

Kakyu hanya diam saja.

“Jadi, apakah engkau masih tetap memutuskan untuk menjadi laki-laki?”

“Sebenarnya, Pangeran, saya telah memutuskan sesuatu sebelum saya ke sini,” kata Kakyu, “Dan keputusan itu tidak akan saya katakan saat ini.”

“Tetapi aku memaksamu untuk mengatakannya,” desak Pangeran Reinald, “Saat ini juga.”

“Saya mengerti, Pangeran,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya memutuskan untuk meninggalkan Istana Vezuza.”

“APA!!?” kata Pangeran Reinald terkejut, “Engkau tidak boleh meninggalkan Istana. Tidak, karena aku melarangmu. Aku benar-benar akan gila kalau engkau meninggalkan aku. Ketahuilah, Kakyu, aku bukan orang yang mau bersabar. Aku tidak akan mau melepaskan engkau karena aku sangat mencintaimu.”

Kakyu merasa sebaiknya ia juga memberitahu segalanya pada Pangeran sebelum ia semakin marah, “Saya ingin meninggakan Istana karena saya tidak dapat terus berada di dekat Anda…”

“Mengapa?” Pangeran Reinald memutus perkataan Kakyu dengan gusar, “Apakah aku telah bersalah padamu? Apakah aku membuatmu benci padaku?”

“Pangeran,” kata Kakyu memohon, “Saya mohon dengarkan saya.”

“Baik. Baik,” kata Pangeran menenangkan diri.

Pangeran Reinald melihat sekeliling ruangan kemudian menarik Kakyu ke sebuah kursi. Setelah mendudukan Kakyu di kursi itu, ia berlutut di depan gadis itu dengan sikap mendengarkan seorang anak kecil yang menanti dongeng pengasuhnya.

“Empat hari yang lalu setelah Anda meninggalkan saya di kamar saya, saya menuju Hutan Naullie. Di sana saya menyadari saya tidak dapat terus berada di Istana sementara hati saya terus kesakitan.”

Pangeran Reinald tidak sabar mendengarnya, “Mengapa?”

“Saya juga mempunyai perasaan yang sama seperti Anda dan saya tidak dapat membiarkan hati saya sakit karena terus menerus melihat Anda di sekeliling wanita-wanita cantik.”

“Maksudmu?” kata Pangeran Reinald dengan senyum mengembang, “Katakan padaku, Kakyu. Aku ingin engkau mengatakannya.”

“Saya mencintai Anda, Pangeran.”

Pangeran Reinald sangat senang karenanya. Sebagai perwujudan rasa senangnya, ia memeluk Kakyu erat-erat dan membuat gadis itu sulit bernapas.

“Jadi engkau memutuskan untuk menjadi dirimu sendiri,” kata Pangeran Reinald senang.

“Benar. Dan saya berniat mengatakan keputusan saya itu setelah pesta kemenangan ini.”

“Andaikan engkau mengatakan sejak tadi,” kata Pangeran Reinald, “Aku tentu tidak akan merasa khawatir seperti ini.”

Pangeran bukannya melepaskan Kakyu malah memeluk Kakyu semakin erat sehingga Kakyu terpaksa mendorong tubuh Pangeran.

“Ada apa?” tanya Pangeran keheranan.

“Tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu. Kakyu tidak sanggup mengatakan pada Pangeran kalau ia belum terbiasa diperlakukan sebagai seorang gadis.

Pangeran Reinald melihat wajah Kakyu agak bersemu merah. Dengan tersenyum ia berkata, “Engkau tidak terbiasa diperlakukan sebagai seorang gadis rupanya.”

“Tentu saja,” sahut Kakyu, “Selama ini saya menjadi anak laki-laki.”

“Berarti aku yang pertama memperlakukanmu seperti ini.”

Kakyu mengangguk.

“Engkau belum menceritakan kepadaku mengapa engkau menjadi laki-laki,” Pangeran Reinald mengingatkan.

“Anda tentu mengerti bagaimana perasaan seorang ayah yang mengharapkan anak laki-laki tetapi tidak mendapatkannya,” Kakyu memulai ceritanya, “Papa sangat sedih dan kecewa waktu saya lahir. Ketika saya lahir, Papa mendengar suara tangisan saya yang keras dan menduga saya anak laki-laki ternyata saya sama seperti kakak-kakak saya, perempuan. Karena suara tangisan saya yang keras, Papa percaya saya dapat menjadi seorang yang tangguh asalkan saya bukan anak perempuan. Kemudian Papa merawat saya sebagai anak laki-laki.”

Sebenarnya Kenichi juga tidak setuju Jenderal Reyn merubah Kakyu menjadi anak laki-laki. Tetapi ia mengerti bagaimana perasaan Jenderal Reyn ketika mengetahui kelima anaknya adalah perempuan. Tak satupun dari mereka yang dapat menggantikannya.

Ia pernah berkata pada Kakyu, “Suatu hari nanti engkau harus kembali menjadi dirimu sendiri. Engkau bukan anak laki-laki dan engkau tidak bisa terus menerus hidup sebagai anak laki-laki.”

Perkataan itulah yang membuat Kakyu menyadari ia seharusnya melupakan semua jiwa laki-lakinya untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan ketenangannya sebagai seorang gadis, Kakyu mulai menyadari perasaannya satu-satu. Ia mulai memikirkan mengapa jiwa yang selama ini seperti mati tiba-tiba bangkit setelah Pangeran Reinald muncul dalam hidupnya. Dengan mengingat satu per satu kejadian yang telah dilaluinya bersama Pangeran, Kakyu sadar ia tidak salah lagi. Ia memang jatuh cinta pada Pangeran dan itulah yang membuat ketenangannya mudah hilang di saat ia berada dekat Pangeran juga mengapa jiwa gadisnya bangkit.

Tetapi kemudian Kakyu menyadari Pangeran Reinald tidak mungkin mencintainya. Ketakutan seorang gadis akan penolakan cintanya itulah yang membuat Kakyu bingung saat ia harus memilih menjadi laki-laki atau menjadi gadis.

Dengan ditemukannya kunci itu, Kakyu mulai mengerti mengapa ia bingung. Dengan tetap menjadi seorang laki-laki, ia tidak tidak perlu khawatir akan ditolak. Tetapi jiwa gadisnya ingin mencintai Pangeran. Itulah kuncinya.

Perlahan-lahan Kakyu menyadari kalau ia terus menjadi laki-laki yang berarti terus menjadi Kepala Keamanan Istana, ia harus bisa menahan perasaannya setiap kali melihat wanita-wanita cantik yang berlalu lalang di Istana. Jelas itu tidak mungkin dilakukan Kakyu. Kakyu mungkin tetap dapat bersikap tenang, tetapi hatinya takkan mampu terus menerus membayangkan di antara wanita-wanita itu kelak ada yang akan menikah dengan Pangeran.

Dengan pikiran itu, Kakyu akhirnya memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan meninggalkan Istana dan Pangeran, perlahan-lahan Kakyu pasti dapat melupakan Pangeran.

“Jadi itu sebabnya Jenderal Reyn memilihmu menjadi laki-laki bukan kakak-kakakmu yang lain,” kata Pangeran Reinald.

Kakyu mengangguk.

“Dan Kenichi yang katamu seorang ninja itu, menurunkan ilmunya kepadamu untuk mempertangguh engkau sebagai seorang prajurit.”

Kakyu mengangguk lagi.

“Jadi Kenichi setuju dengan keinginan ayahmu itu.”

“Tidak,” Kakyu cepat-cepat membantah, “Sebenarnya ia tidak setuju, tetapi karena ia mengerti bagaimana perasaan Papa, ia menyetujuinya.”

Pangeran Reinald tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari Kakyu. “Aku ingin tahu bagaimana rupamu kalau engkau mengenakan gaun yang indah,” gumamnya.

“Saya tidak dapat membayangkannya, Pangeran,” kata Kakyu, “Yang pasti saya akan nampak lucu dan aneh sekali.”

Pangeran memincingkan matanya mendengarnya, “Bisakah engkau membuang kata ‘Pangeran’ itu? Itu sangat mengangguku. Juga bisakah engkau tidak bersikap sangat sopan kepadaku?”

“Tidak, Pangeran,” kata Kakyu tenang.

“Aku memaksamu, Kakyu.”

“Tidak bisa, Pangeran,” Kakyu bersikeras, “Saya menghormati Anda.”

Pangeran Reinald kehilangan kesabarannya tetapi ia tidak kehilangan cara untuk membuat Kakyu berhenti menghormatinya.

Kakyu sangat terkejut ketika Pangeran tiba-tiba menciumnya. Ia sama sekali tidak menyangkanya.

Sambil tersenyum nakal, Pangeran Reinald berkata, “Sekarang engkau masih menghormatiku?”

“Pangeran, Anda…”

Kata ‘Pangeran’ yang diucapkan Kakyu itu membuat Pangeran mengeluh. “Bagaimana membuatmu berhenti memanggilku Pangeran, Kakyu? Aku tidak ingin engkau memanggilku Pangeran apalagi bersikap sangat sopan padaku. Kalau demikian jadinya dulu seharusnya aku tidak bertukar kedudukan dengan Adna.”

“Pangeran….”

Suara sedih itu membuat Pangeran cemberut, “Aku memang menyedihkan, bukan? Aku mengharapkan gadis yang kucintai tidak terlalu menghormatiku tetapi ternyata tidak bisa.”

Kakyu tersenyum, “Mengapa tidak bisa?”
Semangat Pangeran Reinald bangkit lagi, “Engkau mau?”

Kakyu mengangguk.

“Kalau begitu panggil aku dengan namaku,” katanya bersemangat, “Aku ingin mendengarmu memanggil namaku.”

Kakyu ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengucapkannya juga. “Reinald.”

No comments:

Post a Comment