Thursday, March 22, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 9

“Selamat pagi, Mama,” sambut Pangeran senang.

Ratu keheranan melihat Pangeran sudah berada di Ruang Makan. “Pagi sekali engkau,” celetuk Ratu. “Bagaimana perjalananmu kemarin?”

“Sangat menyenangkan,” sahut Pangeran lalu melanjutkan makan paginya lagi.
Pelayan segera menyajikan makan pagi untuk Raja dan Ratu.

Pangeran cepat-cepat menghabiskan makanannya. Ia sudah tidak sabar bertemu gadis itu di Xelnyz.

“Mengapa engkau terburu-buru?” tanya Raja keheranan.

Pangeran tidak pernah makan pagi mendahului kedua orang tuanya. Mereka selalu makan pagi bersama. Tetapi untuk makan siang dan makan malam, mereka jarang mempunyai kesempatan bersama. Biasanya mereka selalu disibukkan oleh urusan mereka masing-masing.

Bila Raja atau Ratu datang terlebih dulu, mereka menanti Pangeran. Demikian pula Pangeran. Hari ini pertama kalinya Pangeran mendahului kedua orang tuanya.

“Aku mempunyai banyak pekerjaan.”

Pangeran menyeka mulutnya dengan kain kemudian meletakkan kain itu di meja. Pangeran cepat-cepat menghabiskan minumnya dan beranjak bangkit.

“Aku pergi dulu, Mama, Papa.”

Pangeran mencium pipi kedua orang tuanya dan segera menuju kereta yang telah menantinya.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Raja kebingungan. “Kemarin ia tidak bersemangat. Tetapi, hari ini ia terburu-buru pergi.”

“Aku tidak tahu,” Ratu juga kebingungan. Ratu memegang pipinya yang tadi dicium Pangeran. “Tidak biasanya Eduardo mencium kita. Apa yang terjadi padanya?”

Ratu menatap Raja.

Raja hanya mengangkat bahu.

Di luar, Pangeran bersiul-siul riang sambil melangkahkan kakinya.

Prajurit segera membukakan pintu kereta.

“Ke Xelnyz,” kata Pangeran lalu masuk ke dalam kereta.

Para prajurit itu segera menunggang kuda mereka masing-masing. Kusir kuda segera melajukan kereta.

Di dalam kereta, Pangeran sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu.

Sepanjang malam, Pangeran memimpikan gadis itu. Gadis itu benar-benar mempesona. Sedetikpun Pangeran tidak dapat melepaskan wajah gadis itu dari matanya. Walaupun gadis itu berada jauh darinya, Pangeran terus melihat wajahnya yang mempesona.

Pangeran menyesal ketika menyadari ia belum bertanya apapun tentang gadis itu. Gadis itu membuatnya melupakan segala sesuatunya. Segala yang siap ditanyakannya menjadi dilupakannya begitu saja.

Mereka bertemu dan berbicara banyak hal tetapi tidak ada yang menyangkut diri gadis itu.

Kemarin malam ketika akan naik ke tempat tidur, Pangeran tersadar ia bahkan belum mengetahui nama gadis itu.

Hari ini, Pangeran mengingatkan dirinya untuk menanyakan nama gadis itu juga keluarganya. Pangeran ingin mengetahui dari kerajaan mana gadis itu berasal.

Gadis itu mempesonakan hati Pangeran. Seumur hidupnya, Pangeran telah melihat berbagai macam tingkah wanita untuk menarik perhatian pria kaya. Berbagai cara mereka gunakan demi menjadi istri bangsawan. Tetapi gadis itu benar-benar berbeda.

Matanya selalu bersinar lembut. Sikapnya sangat luwes dan anggun. Gerakan tubuhnya sangat gemulai dan mempesona. Terlebih dari semua kecantikkannya, ia memiliki kecantikkan yang sangat indah. Ia memiliki kasih sayang besar yang tiada taranya.

Tidak seperti wanita yang lain, gadis itu tidak berusaha menarik perhatiannya. Ia tidak ingin Pangeran memperlakukannya sebagaimana seharusnya memperlakukan seorang lady. Bahkan, gadis itu melayani Pangeran. Gadis itu tidak menginginkan sebuah kursi. Ia memberikannya pada Pangeran walau ia tahu tindakan tersopan yang harus dilakukan Pangeran dalam suasana itu adalah mengalah.

Sungguh berbeda dengan wanita-wanita yang dikenal Pangeran. Mereka hanya mau orang lain memperlakukan mereka dengan sopan. Mereka semua ingin laki-laki tunduk dalam pesona mereka. Mereka ingin semua laki-laki melayani mereka tetapi gadis itu tidak.

Gadis itu lebih senang melayani daripada dilayani. Ia lebih suka berbuat sopan daripada orang lain berbuat sopan padanya.

Pangeran cemburu!

Ia cemburu pada tunangan gadis itu. Pria itu sangat beruntung. Ia mendapatkan gadis yang tidak hanya cantik tetapi juga penuh kasih sayang dan cerdas. Gadis itu cerdas dan berani. Sifat yang disukai semua pria.

Kelak gadis itu akan menjadi Ratu yang penyayang bagi rakyatnya. Rakyat kerajaan gadis itu sangat beruntung mempunyai Putri secantik dan selembut dia. Rakyat kerajaan manapun itu pasti sangat mensyukuri keberadaan Putri mereka yang penuh kasih sayang.

Tanpa mempedulikan siapa orang itu dan bagaimana rupanya, gadis itu mencurahkan kasih sayangnya. Gadis itu tidak takut pada anak-anak cacat. Ia tidak jijik pada anak-anak yang terbelakang pikirannya.

Wanita-wanita kaya yang dikenal Pangeran, tidak akan berbuat seperti itu. Mereka akan mengusir orang-orang seperti itu sebelum seorangpun menyentuhnya. Dengan penuh rasa jijik mereka akan menghindar melihat orang-orang itu.

Gadis itu akan berbuat lain. Ia akan menghampiri orang-orang itu dan dengan penuh kasih sayang merawat mereka. Mata hijaunya akan bersinar lembut dan bibir mungilnya yang merah akan tersenyum penuh kasih sayang.

Sungguh beruntung pria tunangan gadis itu.

Sungguh beruntung kerajaan gadis itu.

Pangeran sangat cemburu pada tunangan gadis itu. Ia menyesal terlambat bertemu gadis cantik itu. Gadis itu mempesonanya, menarik hatinya. Ia benar-benar ciptaan yang paling mengagumkan di antara semua makhluk.

Seluruh pikiran Pangeran tercurah pada gadis itu sejak pertemuan pertama mereka. Sejak awal Pangeran melihat gadis itu, ia selalu terpesona padanya. Tetapi, tidak ada yang lebih mempesona Pangeran daripada saat ini.

Matahari yang mulai terbit bersinar di sekeliling kepala gadis itu. Membuat gadis itu tampak seperti orang suci yang dikelilingi cahaya kuning yang indah.

Rambut hitamnya yang bergelombang menutupi sebagian wajahnya tetapi tidak dapat menyembunyikan kecantikkannya. Wajah gadis itu berseri-seri. Bibirnya tersenyum cantik. Kepalanya menunduk dan menatap lembut pada sesuatu dalam gendongannya.

Di gendongannya, seorang bayi mungil yang terbungkus kain lampin coklat tidur dengan manisnya. Tangan mungil bayi itu menarik-narik rambutnya dan mempermainkannya.

Gadis itu menimang-nimang bayi itu dengan penuh kelembutan bagai angin sepoi-sepoi yang membuai dedaunan.

Pangeran terpana melihat pemandangan yang indah itu.

Gadis itu beserta bayi dalam gendongannya bagaikan lukisan alam yang mengungguli semua yang ada di dunia.

“Putra siapakah ini?”

Gadis itu terlonjak kaget. “Anda mengejutkan saya, Pangeran,” katanya jujur, “Bila Anda tidak keberatan, bisakah lain kali Anda tidak mengejutkan saya seperti ini?”

“Saya rasa kedatangan saya ini tidak seperti hantu. Anda yang terlalu memperhatikan bayi ini hingga tidak mendengar langkah kaki saya.”

“Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda. Saya menyesal tidak memperhatikan kedatangan Anda.”

“Apa yang Anda lakukan sepagi ini dengan bayi itu?”

“Saya membantu orang tuanya menjaganya. Kedua orang tuanya sedang pergi ke kota untuk berbelanja barang kebutuhan mereka. Mereka tidak ingin anak ini merepotkan mereka, karena itu saya membantu menjaga anak ini.”

Gadis itu menatap Pangeran. “Bila Anda tidak keberatan, bisakah Anda memberitahu saya mengapa Anda datang sepagi ini?”

“Apakah Anda tidak senang dengan kedatangan saya?” Pangeran bertanya muram.

Gadis itu menyadari perubahan hati Pangeran. “Maafkan saya, Pangeran. Saya sungguh menyesal telah menanyakannya. Saya yakin Anda mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan selain datang ke tempat terpencil ini. Saya tidak bermaksud mengatakan tidak senang dengan kedatangan Anda. Sebaliknya, saya senang Anda bisa mampir ke sini.”

“Semua pekerjaanku telah kulimpahkan pada orang lain.”

Gadis itu menatap Pangeran.

“Saya datang pagi-pagi untuk menemui Anda.”

“Adakah hal penting yang ingin Anda tanyakan pada saya, Pangeran?”

“Banyak,” jawab Pangeran.

Pangeran mengurutkan satu persatu pertanyaan yang siap memberondong. Pangeran tidak ingin gadis itu kebingungan dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi. Tetapi Pangeran juga tidak ingin melupakan satu pertanyaan yang telah disusunnya dalam perjalanan tadi.

“Sebaiknya kita tidak berbicara di sini,” kata gadis itu. “Mari masuk, Pangeran.”

“Saya lebih senang berbicara di luar.”

Gadis itu menatap Pangeran. “Sesuai kehendak Anda, Pangeran,” katanya. “Menurut saya, lebih baik kita mencari tempat untuk duduk. Akan lebih menyenangkan berbicara sambil duduk. Bagaimana menurut Anda, Pangeran?”

“Saya sependapat dengan Anda,…” Pangeran merasa saatnya tepat untuk menanyakan nama gadis itu. “Siapa nama Anda? Saya belum mengetahuinya.”

“Apalah arti sebuah nama,” jawab gadis itu.

“Sangat berarti,” bantah Pangeran. “Nama menunjukkan pada pribadi-pribadi tertentu. Tanpa nama, bagaimana orang yang satu dibedakan dengan yang lain?”

“Setiap orang berbeda. Anak yang kembarpun memiliki perbedaan. Walaupun sama, bila diperhatikan baik-baik, mereka memiliki perbedaan. Demikian pula manusia. Tak sulit untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Masing-masing ciptaannya akan saling melengkapi dalam menciptakan kehidupan yang harmonis.”

Gadis itu berjalan ke samping gereja. Ia duduk di atas bangku kayu panjang yang bersandar di dinding gereja.

“Silakan duduk, Pangeran,” katanya mempersilakan.

Pangeran berdiri di dekat gadis itu. Gadis itu menimang-nimang bayi dalam gendongannya dengan lembut sambil bernyanyi lirih,

“Tidurlah, anak manis. Tidurlah dengan nyenyak. Angin akan membawamu ke dalam dunia mimpi yang indah. Lihatlah daun-daun yang mulai menguning itu. Mereka sedang bersedih karena engkau tidak mau tidur sejak tadi malam. Mereka sedih engkau telah menyusahkan ibumu. Lihatlah awan di atas sana. Mereka ingin membuaimu ke alam mimpi.”

Pangeran mendengarkan nyanyian itu dengan terpukau. Suara merdu gadis itu sungguh enak didengar. Kicau-kicau burung di udara menjadi tak lagi indah oleh suara gadis itu.

Pangeran mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya mengawasi gadis itu tanpa berkedip.

Tiba-tiba gadis itu berhenti menyanyi. Matanya memandang Pangeran dengan penuh ingin tahu dan keheranan. “Apakah yang membuat Anda terpukau, Pangeran?”

“Anda,” jawab Pangeran, “Anda sangat mempesona dengan bayi itu. Anda seperti Bunda Maria yang sedang menggendong bayi Yesus.”

Gadis itu tertawa geli. “Anda orang yang menyenangkan, Pangeran. Anda pandai menyenangkan hati wanita. Saya yakin banyak wanita yang mencintai Anda.”

“Saya tidak pernah memuji wanita lain selain Anda.”

“Saya merasa sangat tersanjung. Sungguh sayang sekali, Pangeran, saya tidak mempercayainya.”

“Benar,” Pangeran meyakinkan, “Saya tidak pernah memuji wanita sebelumnya. Saya tidak pernah memuji dengan tulus.”

Gadis itu menatapnya penuh kecurigaan. “Anda tidak pernah memuji Paduka Ratu?”

“Itu lain,” bantah Pangeran, “Saya tentu sering memuji ibu saya tetapi kepada wanita lain, saya tidak pernah.”

“Anda sungguh pandai menyenangkan hati wanita, Pangeran. Saya tidak tahu harus berbuat apa karena menjadi wanita pertama yang Anda puji. Apakah saya harus berterima kasih atau menangis gembira?”

Gadis itu tersenyum untuk menunjukkan ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Anda bisa memberi saya nama Anda sebagai imbalannya.”

“Nama saya tidaklah penting.”

“Bagi saya sangat penting. Bagaimana saya harus memanggil Anda kalau saya tidak mengetahui tentang diri Anda?”

“Anda sudah mengenal saya. Itu sudah cukup.”

“Saya tidak tahu banyak tentang Anda. Di Pienlang orang-orang memanggil Anda Tuan Puteri. Di sini Anda dipanggil Nona. Mungkinkah di tempat lain saya baru mendapatkan nama Anda?”

Gadis itu tersenyum.

“Apakah Anda takut saya memberitahukan keberadaan Anda pada orang tua Anda?”

“Tidak,” kata gadis itu tanpa melepaskan mata dari Pangeran, “Orang tua saya mengetahui tujuan saya. Mereka mengijinkan saya.”

“Apakah Anda takut saya merasa terhina oleh kerajaan Anda?”

“Kerajaan saya?” gadis itu mengulangi kebingungan.

“Saya yakin Anda takut saya merasa kerajaan Anda terlalu mencampuri urusan Kerajaan Evangellynn.”

Gadis itu tak mengerti dengan ucapan Pangeran.

“Anda tidak perlu takut. Saya tidak merasa demikian. Saya berjanji untuk tidak menuduh Anda terlalu mencampuri urusan dalam negeri kerajaan ini. Sebaliknya, saya merasa sangat berterima kasih atas segala bantuan yang Anda berikan.”

Gadis itu mulai mengerti pokok pembicaraan Pangeran. “Saya bukanlah seorang Putri Kerajaan, Pangeran. Anda salah menafsirkan.”

“Keadaan tidak mengatakan hal itu. Selain keluarga kerajaan, siapakah yang mempunyai kekayaan sebesar yang Anda miliki dan kekuasaan besar seperti Anda. Pengaruh Anda di kerajaan ini sangat besar.”

“Kemarin saya telah memberikan penjelasan pada Anda. Bila saya tidak salah, Anda tidak melakukan seperti yang saya sarankan.” Gadis itu tersenyum dan berkata, “Bila Anda lebih senang berpikir bahwa saya adalah seorang Putri kerajaan, saya mengaku.”

Pangeran senang mendengar pengakuan gadis itu.

“Saya adalah Putri dari kerajaan kecil keluarga saya. Ayah saya adalah Raja dalam keluarga kami dan ibu saya adalah Ratunya.”

Pangeran kecewa.

“Saya tidak berbohong, Pangeran. Bila suatu hari nanti saya menjadi seorang Putri, saya memastikan Anda orang pertama yang mengetahuinya.”

Pangeran duduk di samping gadis itu dengan kecewa.

“Jangan bersedih, Pangeran. Saya merasa sangat menyesal. Seharusnya saya tidak memberitahu Anda kenyataan yang akhirnya akan mengecewakan Anda ini.”

“Tidak…” Pangeran cepat-cepat membantah, “Anda tidak membuat saya sedih. Saya hanya merasa kecewa karena pemikiran saya salah.”

Gadis itu tersenyum lembut.

“Saya tidak tahu Anda berkata jujur atau tidak,” kata Pangeran, “Tidak peduli siapa Anda, saya tetap berterima kasih atas segala bantuan yang Anda berikan pada penduduk Evangellynn.”

“Sudah merupakan kewajiban saya untuk membantu orang lain. Bantuan yang saya berikan tidaklah seberapa dibanding yang diberikan penduduk Evangellynn sendiri.”

Kalimat terakhir gadis itu membuat Pangeran kebingungan.

“Bila saya tidak salah mengingat, kemarin saya telah mengatakan bahwa bantuan yang saya berikan pada penduduk Pienlang tidak sepenuhnya berasal dari saya. Sebagian besar berasal dari penduduk Evangellynn sendiri. Saya hanyalah penyalur bantuan. Saya sungguh merasa tidak pantas atas ucapan terima kasih Anda. Lebih pantas bila penduduk Evangellynn sendiri yang menerimanya.”

“Walaupun Anda hanya penyalur bantuan, saya tetap berterima kasih pada Anda. Tanpa Anda penduduk Pienlang tidak akan mendapatkan bantuan itu.”

Gadis itu tersenyum. “Terima kasih, Pangeran. Saya akan menyampaikan ucapan terima kasih Anda pada penduduk Evangellynn yang turut memberikan bantuan bagi Pienlang.”

“Bagaimana keadaan penduduk di Pienlang?” tanya gadis itu tiba-tiba.

“Mereka telah membaik. Keadaan mereka jauh lebih baik daripada dulu. Saya yakin beberapa bulan lagi, mereka bisa hidup mandiri. Bantuan yang selama ini disalurkan untuk mereka, bisa dialihkan pada daerah lain.”

Bayi dalam pelukan gadis itu bergerak. “Engkau bermimpi apa, anak manis?” gadis itu berbisik.

“Anak itu sudah terlelap. Sebaiknya Anda membaringkannya di tempat tidur agar Anda tidak lelah.”

“Terima kasih atas perhatian Anda, Pangeran. Saya tidak lelah. Bayi ini adalah tipe anak yang nakal. Ia akan menangis bila dibaringkan di tempat tidur.”

“Saat ini ia sedang tidur, ia tidak akan tahu.”

“Maafkan atas kejujuran saya, Pangeran,” kata gadis itu, “Anda salah besar. Bayi juga mempunyai insting. Terlebih anak ini. Walaupun ia tidur, ia mengetahui ketika ia dibaringkan di tempat tidur. Bila digendong seperti ini, ia mau tidur tetapi bila dibaringkan di tempat tidur, ia akan bangun dan menangis.”

“Ia pasti banyak merepotkan orang tuanya.”

Gadis itu tersenyum memandang bayi itu. “Kau dengar apa kata Pangeran? Karena itu engkau tidak boleh merepotkan orang tuamu lagi.”

Pangeran terpesona melihat gadis itu berbicara kepada bayi yang sedang terlelap. Ia seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Saya mendengar dari Lancetlon bahwa penggalian anak sungai hampir selesai. Dengan datangnya bantuan dari Herbranchts, dalam beberapa hari ini sungai itu akan selesai.”

“Benar. Setiap hari aku melihat jumlah pekerja semakin banyak. Semua seperti ingin segera menyelesaikan penggalian itu.”

“Semoga dengan keberadaan sungai itu, kehidupan di Pienlang dan Herbranchts membaik.”

“Anda telah berusaha banyak demi kesejahteraan mereka. Tuhan pasti mendengar harapan Anda.”

“Semoga,” gadis itu setuju. Mata gadis itu tidak lepas dari bayi di pelukannya. Tangannya menimang-nimang perlahan bayi itu.

“Bila saya boleh memberi saran, Pangeran.”

“Silakan. Saya akan senang sekali mendengar saran-saran Anda.”

“Saya menyarankan Anda tidak hanya memperhatikan Pienlang. Masih banyak tempat di Evangellynn yang membutuhkan perhatian Anda. Masih banyak rakyat yang membutuhkan uluran tangan Anda.”

“Saya juga ingin membantu mereka semua tetapi saya tidak tahu daerah mana saja yang membutuhkan bantuan. Tidak pernah ada orang yang melaporkan masalah seperti ini pada saya. Kalau bukan saya yang menemukan Pienlang, sampai saat ini saya tidak mengetahui keadaan Pienlang.”

“Ijinkanlah saya membantu Anda, Pangeran. Saya akan memberikan laporan daerah-daerah yang membutuhkan bantuan Anda dalam waktu dekat ini.”

“Saya sangat merepotkan Anda.”

“Sama sekali tidak, Pangeran. Saya merasa senang bisa melakukan pekerjaan kecil ini. Sejak dulu mereka seharusnya ditangani langsung oleh Istana tetapi tidak ada yang memperhatikan mereka walaupun tidak sekali dua kali rakyat melaporkan keadaan mereka. Mungkin laporan itu tersesat di tengah jalan atau mungkin masih dalam proses.”

“Saya berharap seperti itu. Sebab bila ternyata tidak, saya akan marah besar.”
“Janganlah memarahi Menteri Barnett, Pangeran. Saya mohon pada Anda,” pinta gadis itu, “Pekerjaan beliau banyak. Tentu beliau kerepotan menerima laporan yang banyak. Walaupun Anda tidak pernah tahu, Menteri Barnett tentu sudah banyak membantu rakyat Evangellynn yang membutuhkan bantuan.”

Pangeran membelalak heran.

“Oh…,” gadis itu mendesah. Pipi gadis itu yang memerah semakin memerah. “Apakah saya mengucapkan sesuatu yang salah, Pangeran?”

Pangeran menggeleng perlahan. Tangannya terulur menyentuh wajah yang semakin manis itu.

Gadis itu mengelak. “Jangan, Pangeran,” katanya lirih.

“Mengapa?” Mata kelabu Pangeran bersinar sendu. “Apakah tunanganmu akan marah bila aku menyentuhmu?”

“Tunangan?” gadis itu kebingungan, “Saya belum mempunyai tunangan, Pangeran.”

“Saya tidak percaya. Gadis secantik Anda pasti telah mempunyai tunangan.”

Gadis itu tidak menjawab. “Bagaimana perkembangan Pienlang?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Pangeran menarik kembali tangannya. “Anda telah menanyakannya tadi,” katanya sambil tersenyum.

“Oh…” gadis itu terkejut. “Saya telah menjadi pelupa.”

Pangeran tersenyum. “Karena terlalu banyak pekerjaan yang Anda pikirkan,” kata Pangeran, “Saya tidak ingin menambah kerepotan Anda. Biarlah saya menyuruh orang lain mencari tempat lain yang memerlukan bantuan saya.”

“Tidak masalah, Pangeran. Bukannya saya ingin menyangsikan Anda tetapi saya merasa jauh lebih baik bila saya yang memberikan laporan itu. Saya khawatir mereka tidak mengetahui sebanyak yang saya tahu.”

“Anda tentu telah banyak berkeliling Evangellynn hingga setiap tempat Anda ketahui.”

Gadis itu tersenyum manis. Ia tidak ingin mengaku berterus terang tetapi juga tidak ingin berbohong.

“Saya merasa malu pada Anda. Anda yang putri dari kerajaan lain lebih mengetahui keadaan di Evangellynn daripada saya, Putra Mahkota Evangellynn.”

“Jangan merasa seperti itu, Pangeran. Anda tidak perlu merasa malu pada saya. Saya bukan seorang Putri kerajaan yang selalu sibuk seperti Anda. Saya bisa karena saya mempunyai banyak waktu luang daripada Anda.”

“Saya masih sukar mempercayai Anda bukan Putri suatu kerajaan.”

“Saya tidak tahu harus berkata apa pada Anda, Pangeran. Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga biasa. Saya bukan orang penting seperti yang Anda katakan.”

“Anda bisa membuat saya percaya bila Anda memberitahu saya nama Anda. Setidaknya nama keluarga Anda.”

Gadis itu menggeleng. “Anda tidak ingin mengetahuinya.”

“Saya sangat ingin mengetahuinya.”

“Percayalah kepada saya, Pangeran, Anda tidak ingin mengetahuinya. Saya yakin Anda akan merasa sangat kecewa dan sedih ketika mengetahui siapa saya. Saya bukan orang seperti yang ada dalam pikiran Anda.”

“Siapapun Anda, saya tidak akan merasa menyesal. Saya tidak menyesal karena mengetahui asal usul Anda.”

Gadis itu tersenyum tetapi tidak mau menjawab pertanyaan Pangeran.

Daripada menjawab pertanyaan Pangeran, ia lebih senang mengalihkan perhatian Pangeran pada hal-hal lain yang penting.

Sepanjang hari ini Pangeran terus berada di Xelnyz, di sisi gadis itu tetapi ia tidak pernah bisa mendapatkan nama gadis itu. Harapan Pangeran untuk mengetahui latar belakang gadis yang menarik itu pupus.

Setiap kali Pangeran menanyakannya, gadis itu selalu mengelak.

“Nama saya tidaklah penting,” katanya tiap kali Pangeran menanyakannya.

Tidak sesuatu katapun tentang keluarganya yang terucapkan gadis itu. Gadis itu seperti menjaga agar dirinya tetap menjadi suatu misteri bagi orang lain dan Pangeran.

Seperti penduduk Pienlang, para suster di Popolo tidak mengetahui siapa gadis itu yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui gadis itu tiba-tiba muncul di tempat itu dua tahun lalu. Gadis itu tidak menyebutkan namanya dan tidak ingin orang lain mengetahui siapa dia.

Yang diinginkan gadis itu adalah orang-orang mengetahui keberadaannya tetapi tidak namanya, asal usulnya. Para suster di Popolo akhirnya memanggilnya ‘Nona’. Demikian pula anak-anak di Panti Asuhan itu.

Pangeran mengerti mengapa gadis itu menolak memberitahu asal usulnya pada para suster di Popolo. Gadis itu tidak ingin karena ia seorang Putri Kerajaan, para suster selalu menyediakan makanan yang lezat pada setiap kunjungannya. Gadis itu tidak ingin merepotkan orang lain.

Penolakan gadis itu padanya, juga dimengerti Pangeran. Pangeran tahu gadis itu khawatir ia marah karena urusan dalam negeri Evangellynn telah dicampuri oleh Putri dari Kerajaan lain itu.

Hari ini Pangeran tidak berhasil mengorek diri gadis itu, tetapi Pangeran tidak mau berhenti mencoba. Selama Pangeran mengetahui keberadaan gadis itu, Pangeran tidak akan menyerah.

“Di mana gadis itu?” tanya Pangeran khawatir. “Apakah ia sudah pergi?”

“Siapa yang Anda maksud, Pangeran?” tanya Suster Bernadetta ikut kebingungan.

“Gadis itu,” Pangeran tidak tahu harus bagaimana menjelaskan. Segalanya menjadi sulit karena gadis itu tidak mau memberitahu siapa dirinya. “Gadis yang membantu kalian.”

“Oh…” Suster Bernadetta akhirnya mengerti, “Nona pergi ke Xelnyz. Katanya ia ingin membeli sesuatu. Ia berangkat pagi tadi. Sebentar lagi ia juga akan tiba.”

“Terima kasih, Suster,” Pangeran bergegas meninggalkan tempat itu.

Pangeran menuju tempat para pengawalnya menambatkan kuda mereka. Tanpa banyak memilih, Pangeran naik ke punggung seekor kuda.

Pengawal Pangeran yang baru menyadari hal itu setelah Pangeran duduk di atas kuda segera mencegah Pangeran.

“Anda mau ke mana, Pangeran?”

“Aku akan ke Xelnyz. Kalian tidak perlu mengawalku.”

Pangeran segera memacu kuda sebelum seorangpun di antara mereka mencegahnya. “Tunggu aku di sini!” serunya berlalu dari Panti Asuhan Popolo.

Laju kuda yang dikendarai Pangeran sangat cepat. Seolah-olah dikejar setan, kuda itu menyusuri jalanan yang berdebu. Debu-debu beterbangan tinggi menutup jalanan di belakang Pangeran.

Hanya satu yang dipedulikan Pangeran saat ini. Pangeran ingin menjemput gadis itu. Ia takut gadis itu menghilang lagi. Belum banyak keinginannya yang terkabulkan. Pangeran tidak ingin kehilangan gadis itu. Ia takut.

Ketakutan Pangeran akan kehilangan gadis itu membawanya semakin kencang melajukan kuda ke Xelnyz yang hanya berjarak dua kilo dari Popolo.

Tiba-tiba muncul seseorang di jalan yang sepi itu.

Pangeran terkejut. Cepat-cepat ia menarik tali kekang kudanya sebelum menabrak orang itu.

Jeritan kaget gadis itu beradu dengan ringkik kuda.

Kedua kaki depan kuda itu terangkat tinggi-tinggi tepat di depan gadis itu sebelum akhirnya kuda itu dengan mantap kuda itu menjejakkan kaki depannya di tanah.

Gadis itu terduduk kaget di depan kuda Pangeran. Sayur mayur berhamburan dari keranjang rotan yang dibawanya.

Pangeran cepat-cepat meloncat turun. Pangeran terkejut melihat rambut hitam menutupi wajah orang itu. Hatinya menjadi was-was. Pikirannya mengatakan gadis itu adalah gadis yang akan dijemputnya.

“Anda tidak apa-apa?” tanyanya cemas.

Gadis itu menoleh pada Pangeran dan menggeleng perlahan.

Pangeran cemas melihat wajah pucat pasi gadis itu. Tangannya terulur membantu gadis itu berdiri. “Anda yakin?” tanyanya.

Gadis itu tersenyum. “Ini kedua kalinya Anda hampir menabrak saya.”

“Ya,” Pangeran mengakui, “Aku menyesal.”

Lutut gadis itu masih gemetar ketika ia berdiri. Pangeran menyanggah tubuhnya dengan cemas. “Anda yakin tidak apa-apa?”

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk.

Kening Pangeran berkerut melihat keringat dingin di wajah gadis itu. Detik itu pula Pangeran mengangkatnya.

Gadis itu terlambat menyadari. Ketika ia sadar akan perbuatan Pangeran, ia sudah duduk di atas kuda Pangeran. Gadis itu berdiam diri. Ia mau memprotes pun telah terlambat. Ia memperhatikan Pangeran berlutut mengambil sayur-mayur yang berceceran dan memasukkannya ke dalam keranjang.

“Terimalah ini sebagai permintaan maaf saya,” Pangeran menyerahkan keranjang itu.

Gadis itu tersenyum. “Saya memaafkan Anda bila Anda berjanji untuk tidak melaju secepat itu. Anda beruntung saya tidak apa-apa, tetapi entahlah dengan orang lain. Saya tidak ingin orang lain mendapatkan musibah ini juga.”

“Saya berjanji.”

Gadis itu mengangguk senang dan memalingkan kepala.

Pangeran segera naik di belakang gadis itu. Tangannya melingkari erat-erat gadis yang duduk menyamping di depannya.

Gadis itu tersentak. Ia segera menghindar dari tangan Pangeran hingga ia hampir jatuh.

Pangeran menahan tubuh mungil itu. Matanya menatap gadis itu lekat-lekat.

Wajah pucat gadis itu berganti dengan wajah panik yang memerah. Gadis itu tampak sangat manis. “T…t…,” gadis itu tergagap. “Te…terima kasih, Pangeran, tetapi saya bisa menjaga diri.”

Pangeran tersenyum lembut. Matanya memandang sayu. “Apakah tunangan Anda akan marah bila pria lain menyentuh Anda.”

Gadis itu membelalak heran kemudian ia berkata, “Sepertinya kemarin saya telah menjelaskan bahwa saya tidak mempunyai tunangan.”

Kening Pangeran berkerut. “Sukar dipercaya gadis secantik engkau tidak mempunyai kekasih.”

Sekilas Pangeran melihat tatapan tidak senang di mata gadis itu tetapi ia berkata lembut sambil tersenyum manis, “Lihatlah, Pangeran. Apakah Anda melihat cincin di tangan saya? Saya bukan gadis cantik yang menyenangkan.”

“Menurut pandangan saya, Anda sangat menarik.”

“Saya mohon, jangan mengucapkan hal-hal seperti itu pada saya.” Pangeran tertegun mendengar suara tegas itu. “Baiklah, saya berjanji,” Pangeran tidak ingin gadis itu membencinya. “Saya juga percaya Anda tidak mempunyai tunangan. Lalu, mengapa Anda seperti menghindari saya?”

Gadis itu memalingkan kepala dan terdiam. Ia terdiam sangat lama hingga akhirnya ia berkata, “Anda tidak keberatan memberitahu alasan Anda ke tempat ini?”

“Suster Bernadetta berkata Anda pergi ke Xelnyz. Kemudian saya berpikir untuk menjemput Anda. Anda sendiri mengapa pagi-pagi sudah pergi ke Xelnyz?” Pangeran balas bertanya.

“Saya ingin membeli sesuatu di Xelnyz.”

Mata Pangeran melirik keranjang besar di pangkuan gadis itu. “Anda berbelanja sangat banyak. Mengapa Anda tidak meminta orang mengantar Anda?”

“Pagi ini terlalu indah untuk dilewatkan berjalan-jalan.”

“Rupanya Anda senang berjalan-jalan.”

“Hanya bila hari indah. Rasanya sangat menyenangkan bisa merasakan kaki melangkah di alam yang indah ini.”

Pangeran melingkarkan tangan di sekeliling pinggang gadis itu.

Gadis itu tersentak kaget. Ia tidak bisa menghindar karena detik itu juga Pangeran melajukan kudanya dengan kencang.

“P…Pangeran…?”

“Saya ingin mengajak Anda berjalan-jalan.”

Gadis itu panik. Matanya menatap segala penjuru dengan gelisah.

“Jangan khawatir. Suster Bernadetta mengetahui saya akan menjemput Anda. Ia tentu tidak khawatir bila kita pulang terlambat.”

Gadis itu mengangguk perlahan tetapi Pangeran merasakan keengganan gadis itu yang sangat besar.

Pangeran tidak tahu mengapa. Ia merasa suatu hari nanti ia pasti bisa membuat gadis itu menerimanya dengan terbuka. Hari ini tidak bisa tetapi tidak berarti besok ia tidak bisa. Tak peduli apakah semua kata gadis itu benar atau tidak, Pangeran akan menyukai saat-saat ini.

Gadis itu tidak tampak ingin segera menghilang seperti biasanya. Ia tinggal lama di Popolo.

Pangeran sangat senang. Tetapi kecemasannya akan kehilangan gadis itu setiap hari terus bertambah. Semakin hari bersama gadis itu, Pangeran semakin takut kehilangan gadis itu. Pangeran selalu merasa banyak yang belum dikatakannya dan banyak yang belum dilakukannya bersama gadis itu.

Setiap pagi Pangeran berangkat dari Istana dengan perasaan bahagia. Ketika mendekati Popolo, Pangeran mulai cemas gadis itu akan menghilang.

Gadis itu telah berjanji pada Pangeran untuk berpamitan bila ia pergi. Entah berapa kali ia mengatakannya, tetapi kecemasan Pangeran tidak kunjung berkurang.

Saat bersama gadis itu adalah saat yang paling indah dalam hidup Pangeran. Banyak hal yang dilihatnya pada gadis itu. Kemisteriusannya, kecantikannya, kelembutannya, kasih sayang yang besar, keanggunannya, dan banyak lagi hal yang membuat Pangeran semakin terpesona padanya.

Setiap melihat wajah cantik gadis itu, Pangeran selalu terbakar oleh kecemburuan tak beralasan. Pangeran cemburu pada pria yang menjadi kekasih gadis itu. Ingin Pangeran melenyapkan orang itu agar ia bisa memiliki gadis itu karena… karena Pangeran mencintainya.

Pangeran tersentak kaget ketika menyadari perasaannya itu. Ia telah bersumpah seumur hidup tidak akan jatuh cinta pada seorang wanita pun dan sekarang ia tengah dimabuk cinta pada seorang gadis yang telah bertunangan.

Perasaan ini membuat Pangeran menjadi gila. Ia ingin melakukan segala cara untuk mendapatkan wanita satu-satunya dan yang pertama ia cintai tetapi ia tidak dapat. Ia tidak tega melihat gadis itu menderita karena pria yang dicintainya meninggal.

Sementara ini bagi Pangeran cukup bila ia dapat bersama gadis itu. Ia merasa memiliki gadis itu ketika gadis itu berada di negeri ini. Selama berada di Popolo, gadis itu tidak menoleh pada laki-laki lain selain dia. Itu sudah cukup membuat Pangeran merasa memiliki gadis itu.

No comments:

Post a Comment