Wednesday, March 21, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 8

Gadis itu perlahan-lahan membalikkan badannya.

Pangeran terpesona oleh mata hijau bening yang menatapnya lembut. Wajah cantik itu tersenyum padanya dan suaranya yang lebih lembut dari nyanyian burung surga berkata,

“Selamat siang, Pangeran.”

“S… selamat siang.”

Pangeran tidak dapat melepaskan pandangannya dari wajah cantik di depannya. Matanya yang hijau dengan bingkai rambut hitam yang bersinar seperti membawa sinar misterius yang membuat Pangeran terjebak di dalam pesonanya.
Pangeran menatap gadis itu lekat-lekat.

Seperti yang biasa dilihat Pangeran, gadis itu mengenakan baju sederhana. Tidak ada pita berumbai yang menghiasi. Tidak ada lekukan-lekukan yang rumit. Gaun yang dikenakannya benar-benar gaun sederhana tanpa model yang selalu dikenakan oleh para gadis desa. Tetapi kain yang digunakan untuk membuat gaunnya adalah kain katun yang halus.

Gadis itu tampak manis dengan gaun coklat mudanya yang serasi dengan kulitnya yang kuning kecoklatan. Pipinya yang selalu memerah membuatnya tampak kekanak-kanakan. Tetapi sinar matanya yang lembut dan garis wajahnya yang klasik menunjukkan kedewasaannya.

“Bila Anda tidak tersinggung, Yang Mulia Pangeran, dapatkah Anda memberitahu saya apakah yang membuat Anda terus menatap saya?” gadis itu bertanya sopan dengan suaranya yang membawa Pangeran terbuai oleh perasaan.

“T… tidak. Tidak ada apa-apa,” sahut Pangeran cepat-cepat. “Sungguh tidak ada apa-apa.”

Gadis itu tersenyum mempesona.

“Dari mana Anda mengetahui kedatangan saya?” Pangeran kebingungan, “Saya yakin saya telah berjalan sepelan mungkin hingga tak menimbulkan suara sedikitpun.”

Gadis itu memalingkan kepala pada anak di tempat tidur. Kedua tangannya mengelus penuh kasih sayang wajah anak itu. “Ia yang memberitahu saya.”

“Rupanya aku telah meremehkanmu.”

Anak itu tersenyum.

“Bagaimana Anda bisa sampai ke tempat ini?”

“Dengan kendaraan tentunya,” jawab gadis itu.

Pangeran benar-benar terpesona oleh suara merdu yang tegas itu. Suara maupun gerakan gadis itu sangat luwes dan anggun. Pangeran tidak pernah menemukan gadis seperti itu di tempat mana pun.

“Apa yang Anda lakukan di sini?”

“Saya membantu para suster merawat anak-anak. Mereka membutuhkan pengasuh terutama anak-anak yang berada di ruangan ini dan tidak dapat meninggalkan tempat ini. Mereka kesepian dan membutuhkan kawan.”

“Mengapa mereka tidak dapat meninggalkan tempat ini?”

“Sebenarnya mereka dapat, tetapi bila mereka di luar, tidak ada yang dapat menjaganya. Kami kekurangan tenaga. Saat ini kami berharap para suster segera datang untuk membantu. Tetapi, beberapa hari lalu saya mendengar kabar dari biara pusat bahwa mereka kekurangan orang.”

“Permintaan biarawati banyak tetapi yang mendaftarkan diri menjadi biarawati sedikit. Menurut saya, yang membuat sedikit orang yang mendaftarkan diri menjadi biarawati adalah ketatnya peraturan biara. Biara-biara hanya mau menerima orang dari kalangan tertentu. Andai mereka mau terbuka pada setiap orang, entah itu miskin atau kaya, akan banyak biarawati yang kita miliki.”

“Saya sungguh menyesali keadaan ini. Pimpinan gereja pun menggunakan kekuasaan mereka untuk memeras rakyat. Entah kapan seorang pastor benar-benar mengabdikan diri mereka pada Tuhan.”

Pangeran terkesan oleh pengetahuan gadis itu yang luas.

“Andai dalam waktu sebulan, seperti yang dijanjikan pimpinan biara, para biarawati itu tidak datang, saya akan bertindak.”

“Tindakan apa yang akan Anda ambil?”

“Saya akan melanggar wewenang pihak gereja. Saya akan mengirim orang ke tempat ini. Saya tidak akan mempedulikan apakah tempat ini dikelola oleh gereja atau tidak. Anak-anak membutuhkan pengasuh.”

Pangeran kagum oleh keberanian gadis itu. Ia tidak pernah melihat seorang gadis seberani gadis ini. Biasanya ia mendengar kata-kata para gadis yang berani tetapi keberanian mereka hanya dalam kata-kata. Gadis ini lain. Pangeran melihat sinar perlawanan di mata hijau bening yang mengagumkan itu.

Gadis itu benar-benar ciptaan yang paling mempesona!

Matanya hijau bening seperti kelereng kaca yang dalam. Sinar matanya yang lembut seperti tidak pernah terlepas darinya. Di dalamnya terdapat banyak kejutan-kejutan yang mengagumkan. Sungguh menyenangkan untuk terus dipandang.

“Saya mendukung Anda,” kata Pangeran.

“Saya sangat berterima kasih pada kebaikan hati Anda, Pangeran. Tetapi Anda tidak perlu repot-repot melakukannya. Saya tidak ingin kerajaan ini bertengkar dengan pihak gereja. Anda mengerti apa akibatnya bila kita berseteru dengan Roma. Dengan seluruh Raja Eropa tunduk padanya, Uskup Agung Roma bisa membuat Evangellynn dibenci semua negara. Jangan mempersulit kerajaan Anda sendiri demi rakyat dan juga demi keturunan Anda kelak.”

“Bagaimana dengan kerajaan Anda?”

Gadis itu kebingungan. “Kerajaan saya?”

“Kalau Anda membuka perselisihan dengan biara, kerajaan Anda bisa terkena dampaknya.”

Gadis itu tertawa geli – membuat Pangeran keheranan.

“Dari mana Anda mendapatkan ide itu?” tanyanya tanpa dapat menyembunyikan senyum gelinya yang manis.

Pangeran kebingungan oleh tindakan gadis itu.

“Bukan kehendak saya mengecewakan Anda, tetapi Anda harus tahu saya tidak mempunyai kerajaan apapun.”

“Dari mana Anda bisa memperoleh semua bantuan yang Anda berikan untuk penduduk Pienlang?”

“Bila saya tidak salah, tentunya Anda berpikir sayalah yang mendatangkan semua bantuan itu.” Gadis itu menatap Pangeran dengan pandangannya yang menghanyutkan. “Sungguh menyesal saya membuat Anda kecewa. Semua bantuan itu tidak berasal dari saya. Dengan rendah hati, saya mengakui bahwa saya tidak mampu memberikan semua bantuan itu. Sebagian besar bantuan yang saya berikan kepada penduduk Pienlang berasal dari penduduk Evangellynn pula. Saya hanya membantu menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.”

Pangeran tidak percaya.

“Tidak seorangpun yang dapat memberikan bantuan yang setiap hari membutuhkan uang jutaan selama satu bulan lebih termasuk saya dan Anda. Kerajaan tidak dapat membiayai kehidupan Pienlang sampai mereka mampu bangkit kembali tanpa bantuan rakyat.”

Pangeran menatap gadis itu. Ia tidak mempercayai kata-kata gadis itu.

“Saya tidak ingin meremehkan kekayaan Evangellynn tetapi apa yang saya katakan ini benar. Pikirkanlah, Pangeran. Bila Anda tidak tersinggung, saya menyarankan Anda menghitung berapa pengeluaran yang harus Anda keluarkan untuk memenuhi semua kebutuhan penduduk Pienlang. Cukup dalam satu hari.”

“Sehari kurang lebih tujuh ratus lima puluh ribu Golpie atau delapan ribu lima ratus Poundsterling tetapi itu belum termasuk bila mereka ke dokter.”

Gadis itu menatap anak kecil itu dan tersenyum. “Engkau pintar. Setiap hari engkau makin pintar menghitung. Berapa orang yang kauhitung dalam perkiraanmu itu?”

“Saya mengira jumlah penduduk desa itu dua ribu orang.”

“Hampir sesuai, sayang. Engkau pandai. Suatu hari nanti aku akan mengusulkan orang mengambilmu sebagai akuntan mereka.”

“Sungguh? Saya ingin sekali menjadi ahli keuangan yang pandai.”

“Tentu, sayang. Tetapi engkau harus rajin berlatih bila ingin cita-citamu terwujud. Ingat kata dokter. Engkau harus rajin berlatih kalau ingin kakimu sembuh benar.”

“Saya pasti rajin berlatih, Nona.”

Gadis itu tersenyum senang. Ia menepuk kepala anak itu dengan lembut.

“Jangan sampai aku mendengar Suster Bernadetta mengeluh karena engkau tidak mau melatih kakimu. Bila aku mendengarnya, aku akan membatalkan semua janjiku padamu. Engkau mengerti?”

“Saya mengerti!”

“Bagus, anak manis. Aku bangga padamu.” Gadis itu mencium dahi anak itu.

“Saya berjanji melaporkannya pada Anda bila ia membandel lagi, Nona.”

Pangeran terkejut oleh kedatangan suara wanita lain.

Gadis itu membalikkan badannya dan tersenyum. “Aku berharap tidak mendengarkan laporannya, Suster Bernadetta.”

“Saya juga berharap tidak melaporkannya.”

“Adakah sesuatu yang terjadi hingga Anda ke sini, Suster?”

“Suster Theodore ingin Anda dan Pangeran, bila Pangeran tidak keberatan, untuk makan siang bersama kami. Sekarang sudah waktunya makan.”

“Saya sangat menghargai tawaran itu, Suster. Saya sangat senang bisa menikmati makan siang bersama Anda semua.” Gadis itu menatap Pangeran. “Bagaimana dengan Anda, Pangeran?”

“Aku juga tidak keberatan. Aku merasa sangat tersanjung.”

“Mari, Pangeran, Nona.” Suster Bernadetta mengantar mereka ke ruang makan.

Anak-anak telah berkumpul di dalam ruangan. Mereka telah duduk rapi menghadapi piring mereka. Mereka menanti saat membuka hidangan-hidangan di atas meja yang tertutup oleh kain. Mereka tidak sabar untuk segera makan. Kedua tangan mereka telah menggenggam erat sendok makan mereka.

Puluhan pasang mata kecil itu mengawasi kedatangan mereka.

Pangeran duduk bersama suster-suster lain di meja kecil yang terpisah dari meja besar di dalam ruangan itu.

Di seputar meja kecil itu tertata rapi piring dan sendok. Di tengah, terdapat berbagai hidangan yang tertutup oleh kain putih yang telah menguning. Kursi-kursi kayu sederhana mengitari mja kotak kecil itu.

“Silakan duduk, Pangeran.”

“Terima kasih, Suster.” Pangeran menoleh pada gadis di sampingnya. Ia ingin berbuat sopan dengan menarikkan kursi bagi gadis itu tetapi gadis itu telah mengangkat bangku kayu itu lalu duduk di atasnya.

“Sekarang kita bisa memulai makan siang,” kata Suster Theodore.

Suster Bernadetta berjalan ke samping meja besar itu dan berkata, “Anak-anak sekarang waktunya kita berdoa agar Tuhan memberkati makan siang kita ini.”

Anak-anak meletakkan sendok mereka dan melipat tangan di atas meja.

Seperti biasa, Suster Bernadetta menunjuk seorang anak untuk memimpin doa.

“Tuhan, terima kasih Engkau telah memberikan kesempatan pada kami untuk menikmati makan siang ini. Berkatilah makanan ini. Semoga kami masih dapat menyantap hidangan seperti ini esok hari. Berkatilah pula orang-orang yang telah menyiapkannya untuk kami.”

Untuk mengakhiri doa yang diucapkan anak itu, Suster Bernadetta mengajak semua berdoa Bapa Kami.

Pangeran merasa asing dengan suasana ini. Biasanya ia tidak pernah berdoa sebelum makan maupun setelah makan.

Suster Bernadetta kembali menempati tempat duduknya.

Suara riang anak-anak yang sudah tidak sabar memenuhi Ruang Makan. Bunyi sendok yang beradu dengan piring menyemarakkan riuh anak-anak.

Pangeran tertarik oleh suasana ini. Ia tidak pernah berada dalam suasana seperti ini sebelumnya.

Pangeran mengamati anak-anak yang berebut mengambil makanan duluan. Anak-anak itu sudah tidak sabar mengisi perut mereka.

“Mereka selalu ribut saat makan,” Suster Theodore memberitahu, “Berulang kali kami ajarkan untuk tidak berebut tetapi mereka tetap seperti ini.”

Pangeran memalingkan kepala dari anak-anak itu. Pangeran kebingungan melihat makanan yang telah tersaji di meja.

Di Istana, pelayan-pelayan muncul membawakan makanan. Seorang pelayan membawa satu jenis makanan. Ia mendatangi Pangeran dan menawarkan makanan yang dibawanya pada Pangeran. Bila Pangeran mau, ia mengambilkannya untuk Pangeran setelah itu ia kembali ke dapur bersama makanan yang dibawanya.

Gadis di samping Pangeran tersenyum. Ia mengambil piring Pangeran dan berkata, “Bisakah Anda memberitahu saya apa yang Anda sukai, Pangeran?”

Pangeran terdiam.

“Kami menyesal tidak dapat menghidangkan makanan selezat yang koki Istana buat.”

“Tidak apa-apa,” Pangeran cepat-cepat berkata, “Aku tidak kecewa dengan yang telah kalian siapkan untuk menjamuku. Aku hanya tidak tahu harus makan apa. Semua ini menggiurkan.”

Gadis itu mengambilkan segala sesuatu yang dikiranya akan disukai Pangeran kemudian ia meletakkan piring yang penuh berisi makanan itu ke depan Pangeran.

“Silakan, Pangeran. Saya berharap saya tidak salah memilih.”

Pangeran menatap mata hijau yang tersenyum lembut itu. “Terima kasih,” kata Pangeran canggung. Pangeran tidak biasa diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita.

Pangeran menatap makanannya dengan terkagum-kagum.

Gadis itu menatakan makanannya dengan indah. Sayur-mayur yang hijau menghiasi piring di satu sudut. Di atasnya terdapat ikan bakar yang menggiurkan. Di sisi yang lain, bulir-bulir nasi yang putih memanjang seperti sebuah pulau kecil.

Tatanan sederhana buatan gadis itu menambah selera makan Pangeran. Tangannya yang terampil tidak kalah dari koki Istana.

Tengah Pangeran asyik menghabiskan makanan yang menurutnya adalah makanan terlezat yang pernah dinikmatinya, gadis itu berdiri.

“Bila Anda tidak keberatan, saya ingin membawakan makanan bagi anak-anak di Ruang Tidur.”

“Saya akan membantu Anda, Nona.”

“Tidak perlu. Kalian bisa menghabiskan makanan Anda setelah itu membantu saya. Saya tidak ingin menganggu saat makan Anda.”

Gadis itu menuju dapur yang letaknya tepat di samping Ruang Makan.

Pangeran cepat-cepat menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin gadis itu menghilang lagi. Baru pertama kali ini Pangeran bisa berbicara dengan gadis menarik itu. Karena itu Pangeran tidak ingin ditinggal begitu saja.

Seusai menghabiskan makan siangnya, Pangeran bangkit sambil berkata, “Bila Anda semua tidak keberatan, saya ingin undur diri dulu.”

“Silakan, Pangeran.”

Pangeran meninggalkan Ruang Makan dan bergegas ke Ruang Tidur. Pangeran lega melihat rambut hitam bergelombang di tepi sebuah tempat tidur.

“Anak manis harus makan yang banyak setelah itu harus minum obat,” terdengar suara merdu gadis itu membujuk.

Gadis itu tersenyum senang ketika memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut anak itu.

“Pintar,” katanya.

Pangeran berdiri di belakang gadis itu dan mengawasinya dengan penuh kekaguman. Pangeran tidak akan menemukan gadis lain yang selembut gadis ini. Hatinya lembut dan penuh kasih sayang. Sungguh gadis yang sulit ditemukan.

Beberapa saat kemudian beberapa suster muncul dengan beberapa anak. Mereka datang untuk menyuapi anak-anak yang lain.

“Ayo, sayang, tinggal satu sendok. Setelah ini semuanya habis,” bujuk gadis itu, “Jadilah anak pintar. Jangan membuat nasi ini sedih. Teman-temannya telah meninggalkannya. Ia tentu ingin menyusul kawan-kawannya.”

Gadis kecil itu membuka mulutnya.

“Pintar, sayang. Engkau telah menghabiskan makan siangmu.”

Gadis itu meletakkan piring di meja samping tempat tidur dan mengambil gelas dan sebutir pil. Dengan sabar, gadis itu menanti anak itu menelan makanannya.

“Sekarang waktunya minum obat,” gadis itu mengangkat tubuh anak itu dengan hati-hati. Dengan penuh kelembutan ia membantu anak itu meminum air putih yang telah disiapkannya bersama obatnya.

Setelah itu gadis itu menunduk mencium pipi gadis kecil itu. “Engkau anak yang pintar, sayang,” katanya kemudian meninggalkan anak itu.

Gadis itu melakukan pekerjaan yang sama kepada beberapa anak. Dengan penuh perhatian, ia menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke dalam mulut anak-anak itu. Dengan penuh kasih sayang ia menyodorkan gelas ke mulut anak-anak itu.

Pangeran senang mengawasi gadis itu.

Tubuhnya yang luwes berputar-putar di dalam ruangan luas itu. Gerakannya yang anggun menyertai setiap lambaian rambut hitamnya yang tergerai panjang.

Walaupun di ruangan ini masih ada suster-suster lain dan anak-anak yang cukup dewasa untuk membantu pekerjaan para suster, Pangeran masih dapat menemukan gadis itu. Walaupun gadis itu tersembunyi di antara puluhan gadis lain, Pangeran yakin ia masih dapat menemukan gadis itu.

Gadis itu sangat unik. Kulitnya kuning berseri kecoklatan seperti orang timur. Pipinya kemerahan. Rambutnya hitam lebat dan bergelombang indah pada ujungnya. Matanya hijau tua bening seperti sebuah kelereng. Perpaduan antara mata, rambut dan kulitnya yang berseri membuatnya tampak unik.

Unik tak terkatakan.

Wajahnya yang manis memancarkan keanggunan. Matanya yang bening mengantarkan suasana lorong yang dalam dan penuh misteri. Rambut hitam legamnya menambah kesan misteriusnya.

Pipinya selalu merona kemerahan seperti bibir mungilnya yang selalu memerah.

“Pangeran…”

Gadis itu tersenyum dan mengulangi,

“Pangeran, apakah yang Anda pikirkan?”

Pangeran terkejut. Gadis itu tiba-tiba saja berada di depannya. Wajah gadis itu dekat dengan wajahnya. Mata hijau bening itu menatapnya dengan penuh kegelian. Mulut mungilnya membentuk seulas senyum lembut.

“Apa yang terjadi?” tanya Pangeran menyembunyikan kekagetannya.

“Kita harus meninggalkan ruangan ini. Sudah waktunya anak-anak ini tidur.”

“Kita tidak boleh menganggu mereka, bukan?”

Gadis itu tersenyum dan meninggalkan ruangan itu. Pangeran mengikuti gadis itu.

Sebelum meninggalkan ruangan itu, gadis itu menutup pintu.

“Anda telah melihat keadaan anak-anak di Panti ini. Saya bisa berharap Anda melakukan sesuatu untuk membantu mereka.”

Pangeran merasa suasana seperti ini pernah terjadi. Gadis itu lebih dulu memberi bantuan. Akhirnya Pangeran mengetahui keadaan rakyatnya dan setelah itu gadis itu pergi dengan keyakinan Pangeran akan melakukan sesuatu untuk membantu rakyat.

“Anda akan pergi?” tanya Pangeran menahan kekecewaan.

Gadis itu tersenyum sebagai jawabannya.

“Ke mana Anda akan pergi? Bolehkah saya mengantar Anda ke penginapan Anda?”

“Tidak perlu merepotkan Anda, Pangeran. Saya tidak akan pergi ke mana-mana.”

“Maksud Anda?”

“Saya baru saja berjanji pada seorang anak untuk menginap di sini untuk beberapa hari.”

Pangeran gembira mendengarnya. Ia tidak perlu lagi kesulitan mencari gadis itu. “Dalam hari-hari mendatang, saya bisa menemui Anda di sini?” tanya Pangeran sambil menahan luapan kegembiraannya.

“Tentu saja, Pangeran. Saya tidak melarang Anda untuk menemui saya.”

Pangeran tersenyum senang. “Anda tidak keberatan saya menemui Anda. Betapa sangat melegakan.”

Gadis itu memandang Pangeran dengan keheranan tetapi ia tidak mau bertanya. Ia pergi ke Aula tempat anak-anak bermain.

Kedatangan gadis itu segera disambut oleh anak-anak.

“Nona, mainlah bersama kami.”

“Tidak. Mainlah bersama kami.”

“Bersama kami saja.”

Gadis itu melerai anak-anak itu. “Aku akan bermain dengan kalian semua.”

“Kata Suster Bernadetta Anda akan menginap di sini. Benarkah itu?”

“Benar.”

Anak-anak itu berlompat-lompatan gembira. Mereka tertawa dan menari senang.

Gadis itu tersenyum. “Sudah,” suaranya yang lembut menenangkan anak-anak itu, “Jangan berlompat-lompatan lagi. Kalau kalian jatuh, aku akan dimarahi oleh Suster Theodore.”

Beberapa anak bergelayutan di tangan gadis itu tetapi ia tidak merasa keberatan. Ia menggandeng anak-anak itu ke tengah ruangan.

“Hari ini aku tidak bisa bermain bersama kalian. Ada sesuatu yang harus kubicarakan bersama Suster Theodore dan Pangeran.”

Anak-anak itu mendesah kecewa.

“Aku berjanji akan segera menyelesaikannya kemudian kita akan bermain sampai puas. Sepanjang hari esok aku ada di sini. Besok aku akan menemani kalian bermain.”

“Janji?” tanya anak-anak itu.

Gadis itu tersenyum. “Aku janji.”

“Baiklah, Anda boleh pergi bersama Pangeran.”

Gadis itu tersenyum cantik. “Mari, Pangeran. Para pengawal kecil saya telah memberikan ijin.”

Pangeran mengikuti gadis itu ke ruangan Suster Theodore.

“Selamat siang, Suster Theodore. Saya berharap saya tidak menganggu istirahat siang Anda.”

“Tidak. Anda tidak menganggu saya. Saya belum berencana untuk beristirahat. Silakan masuk, Nona.”

“Silakan, Pangeran.”

Gadis itu membiarkan Pangeran memasuki ruangan kecil itu kemudian ia menutup pintu.

“Silakan duduk, Pangeran,” kata Suster Theodore.

Pangeran menatap sebuah kursi kayu di depan meja.

“Silakan duduk, Pangeran. Saya lebih senang berdiri,” kata gadis itu.

Pangeran ragu-ragu.

“Silakan, Pangeran,” ulang gadis itu.

Pangeran duduk dengan perasaan mengganjal. Sudah menjadi suatu kebiasaan di sini untuk memperlakukan wanita dengan sopan. Segala sesuatu pertama kali untuk wanita tetapi gadis ini lain. Ia tidak berusaha diperlakukan sopan tetapi memperlakukan orang lain dengan sopan.

“Apakah yang membuat Anda menemui saya, Nona?”

“Saya merasa Anda harus melaporkan segala sesuatu di tempat ini kepada Pangeran agar Pangeran tahu harus berbuat apa untuk menolong anak-anak ini.”

“Sejujurnya, saya merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan oleh Pangeran. Semua telah Anda atasi sejak dua tahun lalu. Anda tidak pernah membiarkan kami kekurangan sesuatu apapun.”

“Sebaliknya, saya tidak dapat melakukan apa yang bisa dilakukan Pangeran.”

“Apakah itu, Nona?”

“Sudah waktunya tempat ini mendapatkan bangunan baru. Tahun ini, Popolo masih dapat menampung anak walaupun berdesak-desakkan tetapi tahun depan, saya tidak yakin lagi. Sudah waktunya pula tempat ini mempunyai dokter tetap yang tinggal di tempat ini dan selalu siap memberikan bantuan pada anak-anak yang cacat. Mereka juga membutuhkan orang yang ahli dalam bidang ini.”

“Anda juga memerlukan sebuah sekolah besar yang dapat menampung semua anak. Kasihan anak-anak yang harus belajar hingga larut malam. Mereka telah merasa sangat lelah ketika memulai pelajaran mereka.”

“Perawat-perawat yang sabar juga diperlukan dalam pelatihan dan perawatan anak-anak yang cacat. Saya berharap suatu hari nanti mereka bisa seperti kawan-kawan mereka. Mereka ingin keluar dari ruang tidur dan kita tidak boleh mengurung mereka. Saya tidak setuju kebebasan anak-anak itu terus dikurung.”

“Dan, yang tidak kalah pentingnya. Seorang guru yang khusus bagi anak-anak cacat itu perlu didatangkan agar kelak mereka bisa bekerja seperti orang normal lainnya. Anak-anak buta perlu mendapat guru yang bisa mengajari mereka menulis. Anak-anak tuli perlu belajar mendengar dengan melihat gerak mulut lawan bicara. Mereka juga perlu diajari berbicara dengan normal.”

“Anda benar, Nona. Saya merasa malu tidak memikirkan semua itu.”

“Jangan merasa seperti itu, Suster. Anda membuat saya merasa tidak enak telah mengatakan semua itu. Mungkin sebaiknya saya tidak mengatakannya di depan Anda.”

“Anda adalah gadis yang cerdas, Nona. Semua yang Anda pikirkan belum pernah terlewat dalam pikiran saya walaupun saya telah mengelola tempat ini selama puluhan tahun. Anda seperti sebuah berkah yang diberikan Tuhan pada kami.”

“Terima kasih atas pujian Anda yang tulus, Suster. Saya sangat menghargainya tetapi saya merasa Anda terlalu melebih-lebihkan kenyataan. Saya membantu karena saya merasa sudah sepatutnya saya membantu.”

Gadis itu melirik Pangeran dan melanjutkan. “Sekarang bukan waktunya untuk berparade pujian, Suster Theodore. Saya menemui Anda di sini untuk membicarakan masalah-masalah Popolo dengan Pangeran. Agar Pangeran tahu harus berbuat apa untuk Popolo.”

“Saya mengaku kalah, Nona.” Suster Theodore tersenyum.

“Apakah semuanya telah jelas bagi Anda, Pangeran?”

“Ya. Apa yang Anda katakan telah memberikan banyak bantuan bagi Evangellynn. Saya sangat menghargai usul-usul Anda yang sangat bagus itu.”

“Saya merasa senang bisa berguna bagi Evangellynn.”

“Apa yang menyebabkan kecacatan anak-anak itu?”

“Sebagian besar dari mereka cacat sejak lahir. Dan, beberapa cacat akibat kecelakaan. Anak-anak yang lumpuh setelah kecelakaan inilah yang mempunyai harapan besar untuk sembuh. Dibanding anak-anak yang lumpuh sejak lahir, mereka bisa berjalan dengan normal bila setiap hari rajin berlatih. Karena kekurangan orang, kami tidak dapat melakukannya secara rutin setiap hari. Dengan sangat menyesal, kami melatih mereka seminggu dua kali.”

“Besok bantuan yang saya minta akan datang,” kata gadis itu. “Saya sangat menyesal tidak bisa sering datang ke sini hingga tidak menyadari kekurangan Popolo.”

“Anda sudah berkenan datang sudah membuat kami sangat senang, Nona. Anda tidak perlu merasa bersalah. Kami sudah mengirim permintaan bantuan kepada biara pusat sejak tahun lalu tetapi hingga kini belum ada balasan.”

“Aku akan menghubungi biara pusat untuk memperhatikan masalah Popolo,” Pangeran menawarkan bantuan.

“Terima kasih, Pangeran. Sejujurnya saya berharap Anda melakukannya. Tetapi, jangan sampai membuat perselisihan dengan mereka. Saya yakin Anda telah mengetahui keadaan saat ini.”

“Saya akan mengingat baik-baik pesan Anda,” janji Pangeran.

Tiba-tiba pintu diketuk.

Gadis itu segera menuju pintu.

Fahrein berdiri di depan pintu dengan raut wajahnya yang cemas.

“Kepala Pengawal Anda datang mencari Anda, Pangeran.”

Pangeran segera menemui Fahrein. Pangeran menutup pintu dan berkata perlahan, “Ada apa?”

“Sudah waktunya kita menuju tempat lain, Pangeran. Waktu berkunjung Anda di tempat ini telah usai sejak satu setengah jam yang lalu.”

Biasanya, Pangeran akan marah karena Fahrein terlambat memberitahunya. Tetapi sekarang Pangeran berkata,

“Lupakan saja. Di sini masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan.”

“Tetapi, Pangeran… Mereka tentu telah menunggu Anda.”

“Kirim prajurit untuk mengatakan pada mereka untuk tidak menungguku. Aku harus menyelesaikan urusan penting ini.”

“Te…”

“Tidak ada bantahan!” Pangeran membalikkan badan dan membuka pintu.

Fahrein tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat Pangeran menghilang ke dalam ruangan kecil itu.

“Maafkan atas gangguan kecil ini,” kata Pangeran, “Sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan kita.”

Lonceng berdentang dengan keras.

Gadis itu tersenyum. “Dengan sangat menyesal, saya memberitahu bahwa waktu tidak mengijinkan kita untuk melanjutkan pembicaraan ini.”

“Anda akan pergi?” tanya Pangeran khawatir.

“Apakah Anda lupa, Pangeran? Saya telah berjanji pada puluhan anak untuk menginap di sini. Saya tidak ingin mengecewakan Anda.”

Pangeran lega diingatkan kembali oleh janji gadis itu pada anak-anak.

“Sekarang sudah waktunya tidur siang bagi penghuni Popolo,” gadis itu memberitahu, “Anda juga, Suster Theodore. Jangan sampai Anda jatuh sakit lagi karena lelah.”

Gadis itu berdiri di samping Suster Theodore dan membantunya berdiri.

“Saya masih cukup sehat untuk berjalan sendiri , Nona.”

“Ijinkanlah saya membantu Anda, Suster Theodore,” bujuk gadis itu. Dengan penuh hati-hati, ia memapah Suster Theodore.

Pangeran cepat-cepat membukakan pintu.

“Terima kasih, Pangeran,” gadis itu tersenyum pada Pangeran.

Pangeran tidak ingin kehilangan gadis itu lagi. Ia mengikuti gadis itu yang memapah Suster Theodore ke ruang tidurnya.

Mereka berjalan melalui lorong panjang yang terang benderang dengan jendela-jendela yang berjajar rapi di dindingnya.

Ruang tidur para suster terletak di belakang ruang tidur anak-anak. Bila sewaktu anak-anak itu membutuhkan para suster, dengan mudah mereka bisa menuju tempat para suster itu. Sebuah lorong kecil menghubungkan kedua lorong itu.

Pangeran membukakan pintu ruang tidur Suster Theodore.

“Terima kasih, Pangeran,” kata gadis itu lagi. Gadis itu memapah Suster Theodore ke dalam ruangan kemudian menutupnya dengan perlahan.

Tak lama kemudian ia muncul kembali.

Panti Asuhan yang ramai ketika Pangeran datang, sekarang menjadi sepi. Anak-anak telah naik ke tempat tidur masing-masing.

Gadis itu menuju di Ruang Tidur anak-anak.

Anak-anak yang sudah berbaring itu duduk tegak di tempat tidurnya.

“Anda akan tidur bersama kami?”

“Tidak, aku akan menemani kalian sampai kalian semua tidur. Sekarang berbaringlah. Bila para suster tahu kalian terbangun karena aku, mereka akan memarahiku. Kalian tidak ingin melihat aku dimarahi para suster, bukan?”

Gadis itu mendekati sebuah ranjang dan menyelimuti anak-anak itu. Setiap satu langkah, gadis itu berhenti untuk mencium dahi anak-anak itu dan menyelimutinya. Kadang, gadis itu mengatakan sesuatu kepada anak itu.

Sementara gadis itu mengelilingi ruangan itu, Pangeran terus mengikuti di belakangnya.

Ketika ia telah mencium anak terakhir, gadis itu menuju pintu.

“Selamat tidur, anak-anak manis. Bermimpilah yang indah,” kata gadis itu sebelum menutup pintu.

Matahari telah membelakangi jendela yang menghadap timur. Matahari yang semakin condong ke barat memberikan sinar hangat di lorong.

Gadis itu berdiri di samping jendela dan memandang keluar.

“Hari sudah siang. Tak lama lagi matahari akan tenggelam.”

Pangeran menatap gadis itu.

“Bukan maksud saya untuk mengusir Anda, Pangeran. Juga bukan kehendak saya untuk meminta Anda kembali. Waktu terus berjalan. Kekhawatiran Kepala Pengawal Anda sangat berarti. Bila Anda tidak segera kembali, saya khawatir Anda akan tiba di Schildi setelah langit menjadi gelap.”

“Hal sekecil ini bukan masalah bagi saya. Saya bisa menginap di Xelnyz.”

“Saya juga mempunyai pendapat, Pangeran. Dengan kuda-kuda Anda yang perkasa itu, Anda bisa mencapai Schildi dalam waktu dua jam.”

Pangeran tersenyum senang.

“Jangan membuat Paduka Raja dan Ratu mencemaskan Anda. Saya yakin Anda bisa mengirim prajurit untuk memberitahu Paduka Raja dan Ratu bahwa hari ini Anda tidak akan pulang. Tetapi, alangkah baiknya bila Anda berpamitan dulu pada mereka. Mereka tentu akan lebih lega bila mendengar sendiri dari Anda.”

Gadis itu berjalan ke gereja.

Pangeran mengikuti gadis itu hingga di depan gereja.

Ketika melihat kereta kudanya, Pangeran terkejut. Ia seperti tidak sadar ketika mengikuti langkah-langkah ringan gadis itu.

“Selamat sore, Pangeran,” kata gadis itu dengan senyumnya yang mempesona.

“Engkau tidak akan pergi, bukan?”

“Tidak. Untuk beberapa hari mendatang, saya akan berada di sini,” gadis itu mengatakan dengan tegas.

Pangeran meraih tangan gadis itu dan menciumnya dengan lembut. “Selamat sore, M’lady. Semoga besok kita masih bisa bertemu.”

“Selamat sore, Pangeran. Semoga perjalanan Anda menyenangkan.”

Pangeran menoleh pada gadis itu sebelum menaiki keretanya.

Ketika kereta mulai bergerak, gadis itu melambaikan tangannya. Pangeran melihat gadis itu terus melambaikan tangannya hingga kereta cukup jauh.

Seperti yang ditakutkan gadis itu, langit telah gelap ketika Pangeran memasuki Istana Welyn.

Setelah menginjakkan kaki di halaman Istana yang luas, Pangeran segera menuju kamarnya. Hatinya sangat gembira. Semua beban pikiran yang selama ini memenuhi pikirannya hilang. Malam ini Pangeran akan tidur sangat nyenyak dengan mimpi yang paling indah di dunia.

No comments:

Post a Comment