Friday, March 23, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 10

“Eduardo!” Ratu membuyarkan lamunan Pangeran.

Seketika Pangeran terkejut.

“Hari ini jangan pulang larut.”

Pangeran menatap ibunya dengan bingung. “Mengapa?”

“Malam ini ada pesta ulang tahun Duke Xellz yang ke delapan puluh. Ia mengharapkan kita hadir,” jawab Raja.

“Aku tidak ingin engkau tidak hadir,” Ratu menekankan, “Kudengar Duke mengundang pula keluarga Horthrouth. Dulu engkau tidak dapat bertemu dengan putri bungsu mereka. Kali ini aku ingin engkau bertemu dengannya.”

“Benarkah itu?” Raja tidak percaya, “Aku sangat berharap bertemu dengan gadis itu. Aku tidak dapat melupakan janjiku pada Emilie.”

“Kesempatan ini sangat baik. Jangan kau sia-siakan. Kita jarang diundang ke pesta yang sama dengan ketujuh gadis cantik itu. Engkau akan melihat betapa cantiknya mereka ketika para Pelangi itu berjajar bersama.”

Pangeran muak mendengar pembicaraan ini. “Aku tidak mau hadir!”

“Engkau harus!” Ratu balik membentak. “Engkau harus memikirkan tahta kerajaan ini. Ingat engkau sudah…”

“Aku selesai!” Pangeran meletakkan sendoknya dengan jengkel.

Tanpa perlu diberitahu berulang-ulang, ia sudah tahu tahun ini ia telah berusia dua puluh lima dan sudah waktunya ia menikah. Ia juga tahu ia harus menikah untuk meneruskan tahta kerajaan.

Pangeran melangkah dengan kesal ke pintu.

“JANGAN PULANG TERLAMBAT!!!” seruan Ratu terdengar ketika Pangeran melangkah di koridor luar.

Pangeran menggerutu.

Kebahagiaannya hari ini rusak sudah karena ulah Ratu.

Semula ia sangat gembira karena akhirnya gadis itu mau diajak pergi olehnya dan hanya berdua. Keberhasilan ini tidak didapatnya dengan mudah. Untuk dapat mengajak gadis itu Suster Theodore yang paling dihormati gadis itu di Popolo, sampai ikut membujuk.

Pangeran sudah mencoba membujuk gadis itu untuk mau berjalan-jalan hanya dengannya tetapi ia tidak mau.

“Tidak, Pangeran. Saya tidak bisa. Masih banyak yang harus saya lakukan di sini,” katanya menolak ajakan Pangeran.

“Saya melihat Anda telah banyak bekerja di sini. Setiap saat saya melihat selalu ada yang Anda kerjakan. Anda beristirahat sehari tentu tidak masalah.”

“Sejujurnya saya tidak senang mengatakan ini, Pangeran,” kata gadis itu, “Andai saya tidak membantu para suster akan kerepotan mengurus anak-anak ini. Untuk itulah saya berada di sini. Sekali lagi maaf, saya tidak bisa pergi dengan Anda.”

“Apakah tunangan Anda marah bila ada pria yang mengajak Anda pergi?” Hati Pangeran pedih membayangkan gadis itu bersama pria lain. Bila ia menjadi tunangan gadis cantik ini, ia pasti akan sangat cemburu bila gadis ini pergi bersama pria lain.

Gadis itu menatap Pangeran. “Saya belum bertunangan dengan pria manapun,” katanya. “Tidak ada yang melarang saya pergi bersama siapapun yang saya sukai.”

“Lalu mengapa Anda tidak mau pergi bersama saya?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia menatap Pangeran dengan lembut seperti suaranya, “Sekali lagi, Pangeran. Saya sangat berterima kasih atas ajakan Anda tetapi saya benar-benar tidak bisa pergi.”

Pangeran sudah hampir putus asa mengajak gadis itu ketika Suster Theodore tiba-tiba muncul dan berkata,

“Pangeran benar, Nona. Anda telah melakukan banyak hal untuk kami. Kami tidak bisa terus menerus membuat Anda membantu kami. Anda juga perlu beristirahat. Terimalah ajakan Pangeran.”

Gadis itu menatap Suster Theodore dengan kebingungan. “Saya tidak bisa, Suster. Masih banyak yang harus saya lakukan di sini.”

“Omong kosong,” bantah Suster Theodore, “Sudah banyak yang Anda lakukan di sini. Para suster pun sudah datang seperti permintaan. Kami tidak lagi kerepotan seperti dulu.”

“Suster Theodore benar,” Pangeran kembali bersemangat membujuk, “Peringatan yang Anda berikan pada pimpinan biara itu telah mendapatkan hasil. Pergilah bersama saya hanya untuk besok. Anda telah berjanji akan memberitahu saya tempat-tempat lain di Evangellynn yang masih membutuhkan perhatian saya dan Anda belum menepatinya.”

“Saya telah membuat laporannya. Besok atau lusa saya pasti telah memberikannya pada Anda.”

“Menurut saya, lebih baik bila Anda sendiri yang mengatakannya.”

Gadis itu terdiam dan berkata, “Baiklah. Saya setuju.”

Mendengar jawaban singkat itu, Pangeran merasa sangat bahagia. Begitu tiba di Istana, ia segera memerintahkan koki Istana untuk menyiapkan bekal pikniknya untuk besok.

Segala macam rencana telah disusun Pangeran tetapi semua itu rusak karena kata-kata Ratu.

Dalam hati Pangeran terus menggerutu ketika ia mulai melajukan kudanya ke Xelnyz. Ia sangat berharap tidak dapat hadir ke pesta itu. Ia tidak tertarik untuk datang ke tempat itu. Pangeran yakin di tempat itu ada banyak gadis-gadis yang membosankan.

Daripada berkumpul dengan gadis-gadis yang membosankan itu, lebih baik bersama seorang gadis yang sangat mempesona.

Pangeran melupakan kejengkelannya melihat puncak gereja. Dengan hati riang, ia melangkah memasuki gereja.

Hari ini adalah hari yang dinanti-nantikannya. Ia akan pergi hanya berdua dengan gadis yang dicintainya. Tanpa pengawal, tanpa orang yang menganggu.

Suster Bernadetta berdiri di depan altar.

“Selamat pagi, Suster,” sapa Pangeran, “Di mana dia?”

“Pagi-pagi tadi Nona pergi. Katanya ada urusan penting yang harus diselesaikannya.”

Pangeran memucat. Ia takut gadis itu menghilang dan ia tidak dapat menemuinya lagi.

“Nona meminta Anda menantinya. Katanya ia tidak akan lama.”

Pangeran cemas. “Apakah Anda yakin?”

“Nona tidak pernah mengingkari janjinya,” Suster Bernadetta meyakinkan.

Sesaat kemudian terdengar kereta mendekat.

Pangeran berlari keluar. Ia berharap gadis itulah yang datang.

Seorang gadis turun dari dalam kereta. Ia berbicara pada kusir kuda kemudian mengambil koper kecil di dalam kereta. Kusir kuda segera membantu gadis itu menurunkan barang.

Pangeran merasa sangat lega melihat gadis itu. Ketakutannya serta merta menghilang. Ingin Pangeran memeluk gadis itu untuk meyakinkan gadis itu benar-benar ada tetapi ia menahan perasaannya.

Pangeran mendekati gadis itu. “Mari saya bantu.”

Gadis itu menoleh. “Terima kasih, Pangeran. Tetapi semua barang telah diturunkan.”

Pangeran melihat dua peti besar itu beserta sebuah koper kecil yang dibawa gadis itu.

“Engkau bisa kembali sekarang. Terima kasih.”

“Saya senang bisa mengantar Anda, Tuan Puteri.”

Gadis itu tersenyum lembut. Ia melambaikan tangannya seperti yang biasa dilakukannya saat mengantar kepergian Pangeran.

“Dari mana Anda?”

“Menyelesaikan urusan kecil yang tidak bisa ditunda dan mengambil barang-barang ini. Peti-peti ini berisi mainan dan baju untuk anak-anak. Saya yakin mereka sangat senang menerimanya.”

Baru saja gadis itu selesai berkata ketika terdengar seruan gembira anak-anak.

Anak-anak berebutan menghampiri peti-peti itu.

“Sudah, anak-anak. Jangan berebutan,” Suster Bernadetta melerai.

“Lagi-lagi Anda membawa banyak barang,” kata Suster Theodore.

Gadis itu tersenyum. “Semua ini adalah bantuan yang harus saya berikan pada Anda. Mereka akan menyalahkan saya bila saya tidak mengantarkannya.”

“Ayo anak-anak, bawa masuk peti-peti ini,” Suster Bernadetta memberi komando.

Anak laki-laki yang bertubuh besar beramai-ramai mengangkat peti-peti itu.

“Biar saya yang membawa koper itu, Nona,” kata Suster Bernadetta, “Anda dan Pangeran ingin pergi, bukan? Jangan sampai kalian kesiangan.”

Gadis itu menyerahkan koper pada Suster Bernadetta. “Terima kasih, Suster.”

Suster Bernadetta tersenyum.

“Mari,” kata Pangeran.

“Kami permisi dulu,” gadis itu membungkuk dengan hormat.

“Berhati-hatilah,” pesan Suster Theodore, “Jaga Nona dengan baik, Pangeran.”

“Tentu, Suster Theodore,” janji Pangeran.

Pangeran mengajak gadis itu ke kudanya.

Gadis itu keheranan melihat keranjang besar di atas punggung kuda itu.

“Kita akan pergi berpiknik, bukan?”

Gadis itu tidak menyahut.

Pangeran mengangkat tubuh gadis itu ke atas kudanya kemudian duduk di belakangnya.

Setelah melewati hari-hari yang lama bersama Pangeran, gadis itu akhirnya terbiasa disentuh Pangeran. Ia tidak mengelak seperti dulu tetapi Pangeran tetap merasa gadis itu tidak terlalu senang disentuh olehnya.

“Kita akan ke mana?”

“Ke mana Anda ingin pergi?” gadis itu balas bertanya.

“Ke manapun Anda suka,” jawab Pangeran.

“Ke manapun tidak masalah bagi saya.”

“Baiklah, saya yang memutuskan.”

Pangeran mengarahkan kuda ke hutan tempat pertama kali Pangeran hampir menabrak gadis itu. Pangeran yakin gadis itu senang bisa piknik di hutan yang sejuk.

Selama perjalanan, gadis itu memangku keranjang dengan hati-hati. Tangan Pangeran yang kokoh menjaganya dari bahaya. Mereka tidak banyak berbicara selama perjalanan itu.

Perkiraan Pangeran tidak salah. Gadis itu merasa sangat senang. Kebahagiaannya itu terpancar jelas di matanya ketika ia membentangkan kain di atas rumput yang masih hijau.

“Saya berharap hari ini tidak hujan,” gadis itu memandang langit.

Pangeran tidak menjawab. Dalam hati ia berkata, “Aku berharap hujan turun dengan deras.”

Gadis itu memandang Pangeran. Di hadapan mereka, terletak keranjang yang dibawa Pangeran.

“Bila Anda berkenan, katakanlah kepada saya apa yang merisaukan hati Anda?”

Pangeran enggan memberitahu.

“Apakah Anda marah karena saya pergi tanpa memberitahu Anda?” tanya gadis itu.

Pangeran masih berdiam diri.

“Saya menyesal tidak memberitahu Anda sebelumnya. Semua ini sangat mendadak. Kemarin malam utusan ayah saya datang. Karena itu pagi ini saya harus kembali untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Tidak, saya tidak marah pada Anda. Saya percaya Anda menepati janji Anda,” kata Pangeran walau dalam hatinya ia takut gadis itu tiba-tiba menghilang.

“Lalu, apakah yang merisaukan hati Anda? Tidak berkenankah Anda memberitahu saya?”

Pangeran menatap langit. “Sejujurnya saya tidak tahu harus bagaimana. Orang tua saya memaksa saya untuk menghadiri pesta ulang tahun Duke Xellz terutama karena para Pelangi Evangellynn akan datang.”

“Pelangi Evangellynn?” gadis itu keheranan.

“Itu adalah sebutan untuk ketujuh putri keluarga Horthrouth yang katanya paling cantik di Evangellynn.”

“Mengapa Anda bersedih hati? Seharusnya Anda senang dapat bertemu dengan ketujuh gadis cantik itu, Pangeran.”

“Mereka tidaklah secantik yang engkau kira. Mereka wanita-wanita yang membosankan dan menjemukan. Aku membenci mereka.”

Gadis itu melihat sinar kebencian di mata Pangeran.

“Pernah seminggu lamanya aku menderita karena mereka. Ibuku memaksaku untuk menemani mereka selama sehari penuh dan itu merupakan penderitaan terbesarku.”

Kebencian yang belum pernah dilihat gadis itu terlihat jelas di mata kelabu Pangeran. “Kau tidak tahu bagaimana aku merasa sangat menderita karena mereka. Aku bersumpah tidak akan menikah dengan seorangpun dari mereka. Aku akan sangat bahagia bila mereka semua tidak pernah ada.”

“Putri pertama mereka, Carmen, sangat menyebalkanku. Ia sangat manja. Aku bergidik dibuat oleh kemanjaannya. Ia memang pendiam tetapi putri kedua mereka, Emilie, sangat cerewet. Telingaku dibuat panas harus mendengar omelannya selama seharian. Tiap kali ia berbicara, ingin sekali aku menyumbal mulutnya dengan sesuatu yang besar. Ia sangat cerewet dan berotak kosong!”

“Putri-putri itu semuanya parah! Aku tidak menyukai mereka. Putri ketiga mereka angkuhnya membuatku ingin menamparnya. Pandangannya membuat aku merasa jijik. Pandangannya kepada orang lain begitu rendah seolah-olah di dunia ini hanya dia yang paling pantas dipandang.”

“Adiknya, Nelly hampir mirip Shelvy. Bedanya, Nelly selalu mencari perhatian sedangkan Shelvy merasa hanya dia yang pantas diperhatikan. Aku benar-benar dibuat bosan oleh Nelly yang selalu mencari perhatianku. Sedikit saja aku tak memperhatikannya, ia pasti akan melakukan segala cara untuk mendapatkan perhatianku.”

“Lain lagi Coudy yang usilnya membuat aku gila. Sedikitpun aku tidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Selalu ada saja yang dilakukannya. Entah itu menjahili aku atau orang lain. Janet juga tidak banyak berbeda. Ia gadis yang egois. Sedikitpun ia tidak mau membagikan miliknya dengan orang lain. Apa yang menjadi miliknya adalah miliknya tak boleh ada yang mengambilnya.”

“Saya rasa Anda terlalu melebih-lebihkan, Pangeran. Mereka semua adalah putri-putri yang cantik.”

Pangeran menatap tidak senang. “Mereka memang seperti itu. Tidak seorangpun yang membuatku tidak merasa bosan. Mereka membuatku tersiksa hingga aku ingin kabur dari Istana selama seminggu yang menjengkelkan itu. Minggu itu adalah minggu paling kubenci dalam hidupku. Dan para gadis itu adalah gadis yang paling tak ingin kutemui di dunia ini.”

“Mereka semua menunjukkan sifat jelek para gadis terutama putri bungsu Horthrouth,” Pangeran menekankan dengan tegas.

“Mengapa Anda berpikiran seperti itu, Pangeran?”

“Gadis itu sombong. Kesombongannya melebihi kakaknya, Shelvy.”

Gadis itu menatap Pangeran.

“Sudah beruntung ia diundang Ratu untuk datang ke Istana menemui aku, tetapi ia tidak mau datang dengan alasan sakit. Aku tak peduli apa alasannya tidak mau datang, tetapi ia benar-benar membuatku muak. Sakit apa dia sehingga orang lain tidak boleh melihatnya? Ia sakit ataupun sehat, aku tetap tidak akan jatuh cinta padanya. Aku sudah bersumpah tidak akan jatuh cinta pada para gadis itu sebelum aku bertemu seorangpun dari mereka. Merekalah yang telah mengurung kebebasanku selama seminggu yang sial.”

Gadis itu tersenyum. “Begitu bencinyakah Anda pada mereka? Saya melihat Anda ingin mengusir mereka dari dunia ini. Dalam mata Anda, saya melihat Anda ingin mereka lenyap dari manapun karena mereka adalah makhluk yang paling menjijikkan.”

“Kau benar!” kata Pangeran, “Aku ingin sekali melenyapkan makhluk-makhluk yang menjijikkan itu.”

“Tetapi, semua orang mengatakan mereka sangat cantik. Banyak pria yang jatuh cinta pada mereka. Banyak orang yang menganggap mereka adalah makhluk yang sempurna.”

Pangeran tertawa mengejek.

“Orang-orang bodoh itu tertipu oleh penampilan mereka yang cantik. Kalau mereka mau membuka mata sedikit, mereka akan tahu betapa menjemukannya gadis-gadis itu, betapa menjijikkannya mereka.”

“Jangan berkata seperti itu, Pangeran. Anda mengatakan membenci mereka, tetapi siapa mengetahui di dalam hati Anda mencintai seorang dari mereka. Beda antara benci dan cinta lebih tipis dari kertas,” goda gadis itu.

“Aku akan membunuh mereka!”

“Apa kata rakyat bila mendengar kata-kata Anda yang sekejam itu?” gadis itu terkejut, “Saya khawatir rakyat akan merasa takut pada Anda.”

“Seperti kata Emilie, bila rakyat takut pada Raja maka ia akan tunduk pada Raja.”

“Tidak, Yang Mulia Pangeran. Apa yang dikatakan Emilie sama sekali salah. Raja yang baik tidak membuat takut rakyatnya. Ia harus bisa menumbuhkan cinta rakyat padanya untuk bisa menjadi raja yang besar. Raja yang menimbulkan ketakutan pada rakyatnya, tidak akan berumur panjang. Sedikit demi sedikit ketakutan itu akan berkumpul menjadi kekuatan yang sangat besar yang akhirnya menghabiskan raja itu sendiri.”

Gadis itu menekankan kata-kata terakhirnya. Matanya yang lembut bersinar serius ketika melanjutkan,

“Bila rakyat tunduk pada seorang Raja, itu karena kharisma Raja tersebut. Dengan kharismanya, seorang Raja harus bisa membuat rakyat mencintainya.”

Pangeran terpana.

Gadis itu keheranan. “Apakah ada sesuatu yang salah pada saya?”

“Tidak,” Pangeran menggeleng, “Hanya saja aku tidak pernah menduga engkau bisa berpikir sedalam ini. Benar-benar berbeda dengan para Pelangi itu. Mereka semua cantik tetapi berotak kosong.”

Gadis itu tersenyum simpul.

“Aku yakin ketujuh gadis itu tidak dapat mengatakan apa yang baru saja kaukatakan. Mereka semua bodoh. Lihatlah pakaian mereka yang mewah bertahtahkan berlian. Aku yakin mereka tidak berpikir berapa orang yang bisa mereka tolong dengan menggunakan uang untuk membeli baju mewah itu.”

“Sebesar apapun kebenciaan Anda pada mereka, tidak seharusnya Anda tidak datang ke pesta ulang tahun Duke Xellz.”

“Aku tidak ingin bertemu dengan mahkluk menjijikkan itu!”

Gadis itu tersenyum lembut. Seperti menghibur seorang anak yang sedang marah, ia berkata,

“Jangan berkata seperti itu. Sikap Anda tidak jauh berbeda dengan seorang anak kecil yang sedang marah.”

Pangeran cemberut tidak senang.

“Dengarlah anak manis,” gadis itu tersenyum menggoda Pangeran.

“Yang mengundang Anda datang ke tempat itu adalah Duke bukan keluarga Horthrouth. Bila keluarga Horthrouth turut diundang ke pesta, itu adalah hak Duke. Bukan maksud saya menghakimi Anda, tetapi Anda sungguh tidak sopan bila tidak menghadiri undangan itu. Tunjukkanlah penghargaan Anda pada rakyat, pada orang lain dengan menghadiri pesta Duke.”

Pangeran tidak mau mendengarkan. Ia merasa menyesal telah menceritakan hal ini pada gadis itu. Semula ia berpikir gadis itu akan membiarkannya, ternyata ia salah. Gadis itu malah membujuknya.

“Hargailah Duke sebagai orang tua di Evangellynn. Ia jauh lebih tua dari Anda, bahkan Raja Evangellynn sendiri. Sudah sepatutnyalah kita yang lebih muda menghormatinya tak peduli apa status kita. Pertemuan Anda dengan keluarga Horthrouth mungkin tidak dapat dihindari tetapi kali ini tidak ada yang memaksa Anda untuk menemani mereka.”

Gadis itu merasa Pangeran tidak mendengar kata-katanya. “Saya telah mengatakan apa yang dapat saya katakan. Selanjutnya, saya tidak dapat memaksa.”

Tangan gadis itu membuka kain yang menutupi permukaan keranjang. “Hari sudah siang. Sebaiknya kita memakan apa yang telah Anda siapkan dari Istana.”

Pangeran hanya mengawasi gadis itu.

Dengan cekatan, gadis itu mengeluarkan semua yang ada di dalam keranjang dan menatanya dengan rapi. Tangan-tangannya tampak telah terampil melakukan semua pekerjaan ini.

Dengan rambutnya yang digelung rapi, gadis itu tampak sangat dewasa. Ia seperti seorang yang telah menikah.

Selama berada di Popolo, Pangeran tidak pernah melihat gadis itu menggelung rambutnya. Biasanya ia hanya membiarkannya terurai atau mengikatnya dengan kain. Sehari-hari, ia tampak manis kekanak-kanakkan. Sekarang ia seperti seorang anak manis yang telah berubah menjadi seorang wanita dewasa yang sangat cantik.

Pangeran merasa begitu enggan meninggalkannya siang ini untuk menghadiri pesta ulang tahun Duke. Daripada menghadiri pesta itu, Pangeran lebih memilih terus di sini bersama gadis cantik ini.

“Maukah Anda ikut dengan saya?”

Gadis itu menghentikan pekerjaannya mengoles roti. Matanya membalas tatapan Pangeran. “Ke manakah Anda ingin mengajak saya pergi, Pangeran?”

“Ke pesta Duke Xellz.”

“Terima kasih atas ajakan yang berharga itu, Pangeran, tetapi saya tidak ingin pergi ke sana.”

“Mengapa?” tanya Pangeran. “Apakah karena engkau tidak membawa gaun pesta?”

Gadis itu tersenyum. “Saya sungguh tidak bisa dan tidak ingin ke sana, Pangeran. Sejujurnya, saya lebih senang berada di Popolo.”

“Anda tidak mau,” kata Pangeran, “Saya juga tidak akan pergi.”

“Tidak boleh!”

Pangeran terkejut.

“Maafkan saya,” gadis itu menutup mulutnya dengan perasaan bersalah, “Tidak seharusnya saya membentak Anda. Saya sangat menyesali tindakan saya.”

“Tidak apa-apa,” Pangeran tersenyum menghibur, “Saya baru saja berpikir apa yang Anda katakan benar. Yang mengundang saya adalah Duke bukan Horthrouth. Saya tidak mau menemui mereka, tidak akan masalah dalam pesta itu. Masih banyak tamu yang bisa saya temui selain mereka.”

Gadis itu tersenyum. “Apapun pilihan Anda, saya menghargainya.”

Pangeran kecewa. Sejujurnya ia berharap gadis itu akan mencegahnya. Ketika ia akan kembali ke Schildi siang itu, ia juga tidak mencegah sama sekali. Malah gadis itulah yang mengingatkannya untuk pulang lebih awal untuk bersiap-siap ke pesta.

Pangeran sama sekali tidak bersemangat ketika ia melangkah masuk ke Hall Totelp. Suasana di Puri itu telah meriah ketika Pangeran datang dan semakin meriah setiap menitnya.

Banyak undangan yang disebar Duke dan yang datang lebih banyak lagi. Mereka ingin bergabung dalam kegembiraan Duke dalam merayakan ulang tahunnya yang ke delapan puluh.

“Selamat, selamat,” Raja memberi salam dengan penuh kegembiraan.

“Semoga Anda selalu sehat,” timpal Ratu.

“Terima kasih, Paduka. Saya gembira Anda bisa datang.”

“Aku pasti tidak akan melewatkan kesempatan berharga ini,” Raja tersenyum gembira, “Apalagi katanya engkau mengundang pula keluarga Horthrouth dan putri-putrinya yang luar biasa cantik itu.”

“Saya juga senang bisa menghadirkan para gadis itu. Biasanya mereka sulit dihadirkan bersama-sama karena terlalu banyaknya undangan yang mereka terima.”

Ratu tertawa. “Para gadis cantik selalu mendapat banyak undangan.”

“Itu mereka yang kita bicarakan datang,” kata Duke. Duke melambaikan tangannya pada rombongan yang baru masuk.

“Aku sudah tak sabar melihat mereka semua berkumpul.”

Sebaliknya, Pangeran ingin segera meninggalkan tempat itu tetapi ibunya takkan membiarkannya.

“Selamat,” Earl memberi salam, “Semoga Anda dianugerahi umur yang panjang dan kesehatan.”

“Terima kasih.”

“Di mana putri bungsu kalian?” tanya Raja tak sabar lagi.

“Maafkan saya, Paduka. Putri kami itu berhalangan datang. Kami minta maaf, Duke, kami tidak dapat mengabulkan harapan Anda.”

Duke tersenyum gembira. “Jangan khawatir. Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku. Aku mendapat ucapan selamat ulang tahun pertama kali dari gadis yang paling cantik di dunia ini. Putri kalian pagi-pagi tadi datang dan menyuruh pelayan membangunkanku untuk mengucapkan selamat padaku. Ia sangat manis datang dengan membawa makanan kesukaanku dan harapan-harapannya yang mulia. Ia juga telah mengatakan bahwa ia berhalangan datang. Kalian tidak perlu khawatir.”

“Kami sungguh berterima kasih atas pengertian Anda.”

“Siapapun yang mengenal dia pasti mau mengerti. Aku mengerti dia tidak senang datang ke pesta-pesta.”

“Benarkah itu?” Ratu tertarik.

“Benar sekali, Paduka,” sahut Emilie, “Karena itu jarang sekali kami bertujuh benar-benar berkumpul dalam suatu pesta.”

“Kalau kami bisa berkumpul semua itu adalah kesempatan yang sangat langka!” kata Coudy bersemangat.

“Sayang kita tidak bisa memaksanya,” Carmen menyayangkan.

“Kalau dia tidak mau, biar saya,” timpal Shelvy.

“Masih ada kami, benar bukan Duke?”

Duke tertawa. “Benar, Janet. Masih ada kalian yang juga cantik. Aku senang sekali kalian mau datang ke pestaku.”

“Kami pasti datang untuk Anda,” kata Nelly.

“Sayang sekali aku tidak dapat bertemu dengan putri bungsu kalian,” Raja sangat menyesal, “Aku sangat menantikan pesta ini untuk bertemu dengannya. Aku masih ingat dengan janjiku padamu, Emilie.”

“Membandingkan kami semua untuk mencari siapa yang paling cantik?” tebak Nelly.

“Benar,” jawab Emilie.

“Yang paling cantik tentu saja aku!”

“Jangan bercanda, Nelly!” hardik seseorang, “Yang paling cantik menurutku adalah si gadis ketujuh. Di antara semua wanita hanya dia yang paling menarik.”

Serentak keenam gadis itu menoleh.

“Irvainz!” seru mereka gembira.

“Sayang sekali si gadis ketujuh tidak datang. Aku sangat berharap bisa mengalahkan semua pria dalam memperebutkannya tetapi rupanya ia tidak datang. Seharusnya aku bisa menduganya.”

Irvainz menatap Carmen. “Maukah engkau berdansa denganku?”

Carmen tersipu malu-malu.

Tanpa menanti jawaban, Irvainz meraih tangan Carmen. “Kami duluan.”

Beberapa saat kemudian pria-pria lain yang sejak awal memperhatikan keenam gadis itu, mendekat. Masing-masing mengajak para gadis itu berdansa saat lagu mulai dimainkan.

Ketika gadis terakhir pergi bersama pasangannya, Ratu menatap Pangeran dengan kesal.

“Engkau lambat sekali!” katanya kesal, “Lihatlah sekarang semua gadis itu telah memperoleh pasangan.”

“Bukan maksud saya memuji putri-putri saya sendiri, tetapi inilah kenyataannya. Di manapun mereka berada, mereka selalu cepat memperoleh pasangan,” kata Countess.

“Terutama putri bungsumu. Lebih banyak pria yang berusaha mengajaknya berdansa. Tetapi sayang ia jarang sekali muncul dalam pesta. Dalam satu tahun belum tentu sekali ia datang ke pesta.”

“Rupanya putri bungsu ini sangat unik.”

“Tidak,” bantah Earl, “Ia gadis yang sulit diatur.”

“Aku yakin ia mempunyai pekerjaan lain yang lebih menarik untuknya sehingga ia tidak mau datang ke pesta. Atau mungkin ia telah mempunyai kekasih dan tidak ingin ke pesta untuk bertemu laki-laki lain.”

Earl hanya menatap Raja.

“Sayang sekali harapanku kali ini tidak terpenuhi. Aku berharap dia mau datang ke pesta musim dinginku.”

“Saya tidak berani berjanji ia akan datang.”

“Paksalah dia. Aku sudah lama ingin bertemu dengannya. Mulai dari akhir musim panas lalu sampai akhir musim gugur ini, harapanku untuk bertemu dengannya sama sekali tidak terkabulkan.”

“Maafkan saya, Paduka. Saya merasa sangat bersalah.”

“Engkau bisa menebusnya bila engkau bisa membuat putrimu datang ke pesta musim dinginku,” sahut Raja. “Aku sangat menantikan kedatangannya.”

“Akan saya usahakan, Paduka,” janji Earl dan Countess.

“Aku akan senang sekali bila ia datang,” kata Ratu sambil melihat Pangeran, “Berulang kali Eduardo gagal menemuinya. Aku berharap di pesta itu, pertemuan mereka tidak gagal lagi.”

“Saya juga berharap seperti itu.”

“Eduardo, pergilah berdansa dengan gadis-gadis lain!”

“Aku sedang malas berdansa, Papa,” kata Pangeran tanpa berusaha menutupi kemalasannya.

Pangeran membayangkan andai gadis itu ada di sini. Gadis itu tentu lebih cantik dari Pelangi Evangellynn bahkan putri bungsu yang dikatakan paling cantik itu. Mata semua pria pasti akan tertuju pada gadis itu seorang.

Di antara semua baju yang gemerlapan ini, gadis itu akan tampak paling bersinar dengan gaun sederhananya yang anggun. Rambut hitamnya yang bergelombang akan memancar indah mengalahkan pancaran semua baju gemerlap ini dan perhiasan yang mewah.

“Eduardo!”

“Ada apa?” Pangeran kesal lamunannya diganggu ibunya. “Apa yang Mama inginkan dariku?”

“Ajaklah putri-putri Horthrouth berdansa.”

“Aku sedang tidak ingin berdansa.”

“Jangan membantah!” hardik Raja, “Engkau beruntung mereka mau meluangkan waktu untuk berdansa denganmu.”

Dalam hati Pangeran menggerutu ketika ia mengulurkan tangan pada Emilie. Katanya dalam hati, “Mereka yang seharusnya merasa beruntung karena aku mau berdansa dengan mereka!”

“Apa maunya anak itu?” keluh Ratu.

“Mungkin Pangeran masih enggan meninggalkan hidup sendirian tanpa ikatan seperti ini, Paduka.”

Ratu menggeleng sedih. “Tidak, Countess. Anak itu memang perlu dipaksa untuk menikah. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya.”

Dengan menahan rasa kesal, Pangeran melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang Emilie.

Pangeran ingin segera melepaskan tangannya ketika ia menyentuh pinggang Emilie. Ia merasa begitu jijik untuk menyentuhnya. Sungguh berbeda dengan saat ia menyentuh pinggang gadis di Popolo.

Ketika tangannya menyentuh pinggang ramping itu, Pangeran merasakan suatu perasaan yang tak terlukiskan ia merasa seperti memegang sesuatu yang sangat berharga yang harus dijaganya baik-baik, tak boleh ada yang menyentuhnya.

Perasaan itu membuat Pangeran ingin mengajak gadis itu berdansa. Daripada berdansa dengan Emilie maupun putri Horthrouth yang lain, jauh lebih baik berdansa dengan gadis itu yang jauh lebih cantik dan anggun.

“Apa yang akan dikatakan pria-pria di Evangellynn bila mendengar Anda menghina gadis pujaan mereka?”

Pangeran teringat kata-kata gadis itu ketika ia tidak henti-hentinya mengejek pada Pelangi Evangellynn.

“Apapun kata mereka, terserah,” jawab Pangeran pada dirinya sendiri, “Yang penting aku tidak perlu melihat makhluk-makhluk ini lagi.”

No comments:

Post a Comment