Saturday, March 17, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 4

Pangeran memimpin rombongan pembawa bantuan.

Rombongan besar itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan Welyn hingga ke Pienlang. Sebuah kereta barang, penuh oleh dokter yang berbaju putih dan suster-suster yang selalu siap membantunya. Kereta-kereta yang lain penuh berisi barang bantuan. Semuanya berjumlah enam kereta.

Pangeran berkuda di depan. Di kanan-kirinya, berjajar pengawal-pengawalnya.

Ketika desa Pienlang mulai terlihat, Pangeran berkata, “Itu tempatnya.”

Dua ratus meter di luar Pienlang, tanah masih hijau tetapi makin lama tanah makin gersang. Dan, ketika mereka tiba tanah yang tampak adalah tanah kering yang pecah-pecah.

Penduduk desa mendengar langkah-langkah kuda yang banyak. Satu per satu memperlihatkan diri dari dalam sebuah rumah besar. Sebagian dari mereka yang duduk di depan rumah, melongok dengan penuh keingintahuan.

“Inilah desa Pienlang yang membutuhkan bantuan kita,” Pangeran memperkenalkan.

Rombongan Pangeran tercengang melihat keadaan penduduk Pienlang. Di luar Pienlang, rakyat hidup makmur tetapi di tempat ini rakyat sangat pucat. Tubuh kurus mereka seperti tulang terbalut kulit. Wajah mereka lusuh seperti pakaiannya yang kotor.

Anak-anak duduk di depan rumah. Tidak ada keceriaan di wajah mereka. Yang tampak hanya perasaan kelaparan.

Udara sangat tidak nyaman. Penuh debu dan panas. Angin yang bertiup membuat kerongkongan kering.

Pangeran membawa rombongannya memasuki Pienlang.

Dengan penuh keheranan, Pangeran melihat seluruh penduduk desa yang berkumpul di rumah yang paling besar di tempat itu.

Tiba-tiba Pangeran menghentikan langkah kudanya. Mata Pangeran tertumbuk pada lambaian rambut hitam yang mengkilat. Punggung hingga ujung kaki gadis itu terbalut gaun putih yang lembut.

Pangeran ingin mengetahui siapa gadis itu. Sayang, hari ini ia juga tidak dapat melihat wajah gadis itu. Ia hanya dapat melihat punggungnya ketika berjalan ke belakang rumah besar itu.

Pangeran ingin turun dari kudanya dan segera menemui gadis aneh itu tetapi rombongan di belakangnya menanti perintahnya. Pangeran yakin gadis itu masih akan tinggal di tempat ini hingga siang nanti.

“Kita berhenti di sini,” perintah Pangeran.

Pangeran turun dari kudanya kemudian memanggil Roger. “Siapkan makanan untuk penduduk. Aku yakin mereka belum sarapan.”

“Baik, Pangeran.”

“Turunkan makanan!” perintah Pangeran.

Prajurit-prajurit segera menurunkan makanan dan mengangkatnya ke rumah besar tempat penduduk berkumpul.

Penduduk kebingungan melihat prajurit-prajurit datang mengangkat kotak yang sangat besar.

Pangeran mendekati penduduk. “Kami datang membawakan bantuan untuk kalian. Ada dokter, pakaian, obat-obatan, juga makanan. Saya yakin kami belum makan pagi.”

Penduduk desa saling bertatap-tatapan lalu tertawa geli.

Pangeran kebingungan.

“Anda terlambat, Tuan,” kata pria tua yang kemarin diajak bicara Pangeran, “Kami baru saja menyelesaikan sarapan kami.”

Pangeran menatap pria itu.

“Tuan Puteri membawakan kami banyak sekali makanan. Ia baru saja kembali tetapi ia berjanji akan datang lagi untuk mengantarkan obat-obatan yang habis.”

“Sekarang kami berkumpul di sini menanti giliran untuk diperiksa dokter yang dibawa Tuan Puteri,” sahut yang lain.

“Tuan Puteri?” tanya Pangeran keheranan.

“Ia adalah gadis yang kemarin Anda lihat, Pangeran.”

Pangeran merasa terlambat selangkah.

“Tidak apa-apa,” kata Pangeran, “Semakin banyak dokter yang ada, semakin cepat kalian mendapatkan perawatan. Makanan yang kubawa bisa kalian simpan untuk persediaan kalian.”

Pangeran memerintahkan para dokter untuk turun. Para dokter dan suster itu segera masuk untuk membantu dokter yang saat ini bertugas di dalam.

Prajurit-prajurit diperintahkannya untuk menurunkan semua barang. Pelayan-pelayan Istana yang dibawanya diperintahkan Pangeran untuk membagi bantuan pada seluruh penduduk.

Penduduk saling memandang kebingungan. Mereka berbisik satu sama lain.

“Silakan Anda berbaris di sini untuk mendapatkan bantuan.”

Satu persatu penduduk mulai bangkit dan segera berbaris rapi di depan pelayan-pelayan Istana yang dengan sigap memberikan bantuan.

Beberapa prajurit masuk ke dalam rumah besar itu dengan peti-peti yang penuh berisi obat-obatan dan peralatan kedokteran.

Lalu lalang prajurit yang mengangkat peti obat-obatan dan penduduk yang berebut berbaris untuk menerima bantuan membuat pintu masuk ke dalam rumah besar itu penuh sesak. Dokter-dokter juga para suster kewalahan menembus kerumunan penduduk.

Pelayan Istana terus mengulurkan barang kepada penduduk di depannya. Prajurit terus menurunkan peti-peti di sekitar para pelayan.

Ketika semua barang telah diturunkan, para prajurit segera membantu membagikan barang.

Kemacetan di pintu masuk rumah besar itu akhirnya berkurang.

Pangeran melihat keadaan di luar mulai lancar. Ia menuju rumah besar itu. Pangeran mendahului para dokter yang berjubah putih memasuki rumah besar itu.

Semua tertegun melihat keadaan di dalam ruangan itu yang jauh berbeda dengan keadaan di luar.

Dinding ruangan itu kusam. Lantai kayunya berderit tiap kali mereka melangkah. Tetapi ruangan itu bersih. Tak ada satu debupun yang berani mendekati tempat itu walau semua jendela dibuka lebar-lebar.

Di lantai berbaring rapi penduduk yang masih lemah. Tubuh mereka tertutup oleh selimut putih bersih. Tiga suster dengan penuh perhatian merawat mereka.

“Tempat ini seperti rumah sakit sederhana,” kata seorang dokter.

“Siapapun yang membuatnya, ia sangat ahli dalam hal ini.”

Mereka melihat sejumlah penduduk berbaris antri di depan sebuah ruangan.

Pangeran segera menuju ruangan itu. Ia ingin tahu siapa yang berada di dalam sana.

Penduduk menepi melihat sejumlah besar orang berbaju putih mendekat. Mereka membiarkan orang-orang itu memasuki ruangan.

Seorang dokter membungkuk pada pasiennya. Ia memeriksanya dengan teliti.

“Tervis!?” pekik orang-orang itu kaget.

Dokter gemuk yang berjengot putih itu mendongakkan kepalanya dengan marah.

“Apa yang kalian lakukan di sini? Aku takkan mengijinkan seorangpun berteriak di dalam rumah sakit ini.”

Para dokter itu saling berpandangan dengan heran.

Pangeran mendekati Tervis. Ia mengawasi Tervis memeriksa anak kecil.

“Engkau sudah lebih baik, bocah. Katakan pada orang tuamu untuk tidak khawatir lagi pada keadaanmu. Bawa kertas ini dan berikan pada suster di depan. Ia akan memberimu obat yang kauperlukan.”

“Baik, Dokter.”

Anak itu segera mengenakan kembali bajunya dan berlari keluar.

“Rupanya engkau sudah berada di sini,” kata Pangeran, “Pantas saja Jerver tak berhasil menemukanmu ketika aku membutuhkanmu dalam tim medisku.”

“Sudah sejak dua minggu lalu saya berada di sini, Pangeran,” aku Tervis, “Tuan Puteri memanggil saya ke sini untuk merawat penduduk.”

“Tuan Puteri?” Pangeran semakin ingin tahu. Gadis yang dipanggil Tuan Puteri oleh penduduk Pienlang ini tampaknya bukan orang biasa. Ia bisa memanggil dokter terbaik di Evangellynn untuk memeriksa penduduk Pienlang.

Tervis adalah dokter terbaik di Evangellynn. Semua orang kaya selalu mencarinya bila ada keluarga mereka yang sakit. Semua orang mencarinya bila ada penyakit yang sulit disembuhkan. Banyak yang mengatakan tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya.

Nama Dokter Tervis sangat terkenal di Kerajaan Evangellynn. Tak seorangpun yang tidak mengetahui nama dokter pribadi keluarga kerajaan ini. Ia setenar Raja dan Ratu.

“Ia adalah gadis yang pertama kali menemukan desa ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Keadaan Pienlang sekarang ini sudah jauh lebih baik daripada minggu lalu ketika saya baru datang. Tuan Puteri banyak melakukan perubahan di tempat ini. Ia yang mengusulkan untuk mendirikan rumah sakit sederhana ini.”

Tervis memandang dokter-dokter lain di pintu lalu memandang Pangeran dengan heran.

“Aku bermaksud membawa banyak dokter untuk menangani wabah penyakit di tempat ini.”

“Anda terlambat selangkah, Pangeran. Semua masalah di sini telah ditangani oleh Tuan Puteri. Saat ini saya mendengar Tuan Puteri sedang merencanakan sesuatu untuk mengembalikan kesejahteraan penduduk Pienlang.”

“Rencana apa?”

“Saya tidak tahu menahu, Pangeran. Tuan Puteri tidak pernah membicarakannya dengan saya. Setiap kali bertemu dengan saya, pertanyaan yang diajukannya adalah, ‘Engkau membutuhkan apa?’ Ia tidak pernah bertanya yang lain.”

“Sepertinya kedatanganku ini percuma.”

“Tidak, Pangeran. Kedatangan Anda akan mempercepat pemulihan keadaan penduduk Pienlang. Semakin banyak bantuan yang datang, semakin baik.”

Pangeran duduk di tempat tidur pasien. “Sepertinya gadis itu telah melakukan banyak hal yang baru kurencanakan.”

“Anda tidak perlu sesedih itu, Pangeran. Anda hanya terlambat selangkah darinya,” hibur Dokter Tervis. “Anda masih dapat memberikan bantuan. Penduduk Pienlang membutuhkan banyak bantuan untuk dapat pulih kembali.”

Pangeran melompat dari tempat tidur. “Engkau benar, Tervis. Aku datang untuk membawa bantuan bukan untuk bersaing dengan gadis itu. Siapapun dia, aku harus berterima kasih atas bantuannya pada rakyatku.”

Dokter Tervis tersenyum.

“Tervis, pimpinlah tim dokter yang kubawa. Aku membawa dokter umum juga dokter spesialis. Aku yakin mereka akan sangat membantumu.”

“Saya merasa terlalu tua untuk melakukannya, Pangeran.”

“Engkau banyak mengetahui tentang keadaan penduduk tempat ini. Aku yakin engkau mampu melakukannya.”

“Saya akan berusaha melakukan yang terbaik bagi penduduk, Pangeran.”

Dokter-dokter lain memasuki ruangan itu dan mulai mendengarkan instruksi Tervis.

“Penduduk Pienlang telah lama tidak makan. Tubuh mereka kekurangan vitamin. Usus mereka saling mencerna akibat tidak mendapat makanan. Akibatnya perut mereka membengkak. Beberapa sudah membaik tetapi banyak yang masih belum pulih.”

Kenyataan itu sangat mengerikan semua yang mendengarnya.

“Untung Tuan Puteri segera membawaku ke sini sebelum semua orang terkena penyakit ini. Beberapa hampir terkena tetapi aku telah memberikan obat untuk mencegahnya. Tuan Puteri juga telah mengantarkan banyak makanan tiap hari untuk mengatasi kelaparan ini sehingga penduduk mendapatkan kembali kekuatan mereka yang hilang.”

“Kalian bisa mulai memeriksa mereka di luar sana,” Tervis memberikan perintah pertamanya.

Ketika para dokter itu mempersiapkan peralatan mereka dan para suster membantu suster yang telah ada, Pangeran menemui penduduk Pienlang yang terkapar di dalam rumah sakit.

Semua berwajah kurus kering. Wajah mereka pucat pasi. Bibir mereka kering. Mereka tampak sangat menderita.

“Keadaan mereka sangat mengenaskan.”

“Benar, Fahrein.”

“Untung mereka segera ditemukan. Entah apa jadinya bila tidak ada yang menemukan tempat ini.”

“Aku tidak dapat membayangkannya,” desah Pangeran, “Satu desa Evangellynn akan hilang ditelan tanah. Itu yang mungkin terjadi.”

Pangeran mendekati pasien.

“Jangan, Pangeran,” Fahrein cepat-cepat menghadang. “Saya khawatir Anda tertular.”

“Lihatlah suster-suster itu. Mereka telah dua minggu berada di sini tetapi mereka tidak tertular. Lihat pula Tervis. Ia sendiri yang menangani pasien-pasien ini tetapi ia tidak tertular.”

“Tolong, pahamilah keadaan saya, Pangeran. Saya adalah Kepala Pengawal Anda, apa yang harus saya katakan bila Anda jatuh sakit setelah ke tempat ini?”

“Engkau tidak perlu khawatir.”

Pangeran menemui penduduk yang terkapar di lantai.

“Bagaimana keadaan Anda, Tuan?”

“S… aya merasa jauh lebih baik.”

“Saya turut senang mendengarnya. Semoga Anda cepat sembuh.”

“Pasti. Saya harus bisa cepat sembuh agar Tuan Puteri tidak bersedih hati. Tuan Puteri telah melakukan banyak hal agar saya bisa sembuh, saya tidak akan mengecewakannya. Kami tidak akan mengecewakan Tuan Puteri.”

Pangeran diam. Keingintahuannya pada orang yang disebut Tuan Puteri itu semakin besar.

Sepanjang hari itu, semua penduduk diperiksa ulang oleh dokter spesialis penyakit dalam yang dibawa Pangeran. Dokter Tervis meneruskan pemeriksaannya pada penduduk yang telah berdiri antri di depan ruang periksanya.

Pangeran sibuk berbicang-bincang dengan mereka yang sakit. Pangeran selalu memberi mereka dorongan semangat untuk melawan penyakitnya. Kata-kata yang menghibur tak terlewatkan oleh Pangeran.

Banyak hal yang didapat Pangeran dari perbincangannya dengan sebagian penduduk itu. Mereka banyak menyebutkan keluh kesah mereka pada kemarau panjang di desa mereka hingga terjadi wabah penyakit yang menyiksa ini.

Orang-orang tua yang masih percaya takhayul, mengatakan bencana ini dikarenakan kemurkaan para dewa dan leluhur mereka. Tetapi mereka yang tidak mempercayainya mengatakan tidak. Ada pula yang mengatakan mata air sungai yang mengalir di dekat desa mereka, kering.

Pangeran menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bertanya pada mereka. Pangeran telah diberitahu ia tidak dapat bertanya banyak. Mereka masih lemah untuk bergerak apalagi berbicara. Dokter Tervis taku mereka akan menghabiskan banyak tenaga yang saat ini justru banyak dibutuhkan mereka.

“Mereka harus banyak istirahat,” itulah yang ditekankan Dokter Tervis berulang kali.

Pangeran tak mengerti apa-apa tentang kedokteran tetapi ia sependapat dengan Tervis. Orang yang sakit membutuhkan banyak istirahat agar bisa segera sembuh.

Usai bertanya pada semua orang di dalam rumah sakit itu, Pangeran menemui Tervis.

“Apakah ada yang dapat kulakukan untukmu, Tervis?”

“Tidak ada, Pangeran,” jawab Tervis sambil memeriksa pasiennya.

“Bila demikian, aku dapat pulang. Aku masih akan menemui penduduk di luar sebelum pulang. Engkau bisa memberitahuku bila ada yang kaubutuhkan dari kota. Besok pagi aku akan kembali, aku dapat membawakan obat yang kauperlukan.”

“Tuan Puteri telah pergi untuk mengambil obat yang saya perlukan, Pangeran. Tuan Puteri selalu menjaga agar kami tidak kekurangan obat maupun peralatan di dalam rumah sakit ini.”

Pangeran termangu-mangu. “Engkau ada pesan untuk keluargamu? Atau mungkin ada sesuatu yang ingin kautitipkan padaku?”

“Saya sungguh mengecewakan Anda, Pangeran,” Tervis menyesal, “Tuan Puteri telah memberi kabar pada keluarga saya. Saya selalu sibuk dengan para pasien hingga tak sempat menulis surat tetapi Tuan Puteri selalu memberikan kabar pada keluarga saya mengenai keadaan saya. Mereka menulis surat untuk saya yang pada malam hari menjelang tidur baru bisa saya baca. Kemudian saya membalasnya dengan berbicara langsung pada Tuan Puteri. Tuan Puteri langsung menyampaikan balasan saya setibanya ia di Schildi.”

“Aku mengerti, Tervis. Bila ada yang kauperlukan, jangan ragu untuk meminta bantuanku.”

“Tentu, Yang Mulia.”

“Selamat siang, Tervis.”

“Selamat siang, Pangeran. Maaf saya tidak bisa mengantar Anda.”

“Jangan kaupikirkan, Tervis. Aku mengerti kesibukanmu.”

Dengan dikawal pasukan pengawal pribadinya, Pangeran meninggalkan rumah sakit.

Suasana di depan rumah sakit tidak lagi seramai ketika ia datang. Penduduk telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Asap mengepul tinggi dari beberapa cerobong asap rumah penduduk.

Beberapa penduduk duduk di depan rumah sambil menikmati angin kering yang bertiup perlahan. Anak kecil yang kemarin tak terlihat oleh Pangeran terlihat duduk berkumpul bermain dengan mainan kayu yang bagus.

Wajah-wajah lesu dan sedih itu tampak lebih gembira daripada kemarin.

“Semua bantuan telah saya bagikan, Pangeran,” lapor Roger. “Mereka sangat senang dengan pemberian kita.”

Pangeran mengangguk. Pandangannya terus mengawasi rumah-rumah penduduk di sekelilingnya.

Tiba-tiba matanya menumbuk tubuh mungil seorang gadis yang terbalut gaun putih.

Gadis berambut hitam itu tampak menyolok di kawasan kumuh ini. Gaunnya yang putih bersih tampak aneh di antara baju penduduk desa yang lusuh. Kulit tubuhnya yang berseri sangat berbeda dengan kulit penduduk yang kemerahan akibat terlalu lama berjemur dalam musim kemarau panjang.

Tapi ia seperti bagian dari tempat ini. Penduduk desa tampak akrab dengannya. Mereka berkumpul dan berbicara seperti sahabat lama. Penduduk desa begitu tekun mendengarkan gadis itu berbicara. Sesekali mereka tersenyum bahagia. Entah apa yang dikatakan gadis itu pada mereka tetapi sepertinya hal itu membuat penduduk bahagia.

Lama Pangeran menatap punggung gadis itu hingga gadis itu perlahan-lahan memalingkan kepalanya. Gadis itu tersenyum sekilas padanya lalu menghilang di balik sebuah rumah kayu.

Gadis itu bergerak dengan luwes.

Pangeran cepat-cepat mengejar gadis itu.

Sayang, ketika ia tiba di belakang rumah kayu itu, gadis itu telah menghilang. Ia pergi begitu saja seperti ditelan bumi.

Pangeran memandang sekitarnya dengan kebingungan.

“Tuan Puteri tidak akan datang lagi.”

Pangeran terkejut. Ia menatap lekat-lekat orang itu.

“Tuan Puteri mengatakan kami telah kedatangan orang yang tepat. Orang itu akan banyak membantu kami. Lebih banyak dari yang bisa Tuan Puteri lakukan. Tuan Puteri juga mengatakan ia tidak tega meninggalkan kami sebelum kami benar-benar pulih tetapi masih banyak tempat yang membutuhkan perhatiannya. Kami pasti bisa bangkit dengan adanya orang tersebut.”

Pangeran diam tak mengerti.

“Tuan Puteri telah berjanji pada kami untuk datang bila ia memiliki waktu luang. Tetapi ia tidak bisa berjanji akan datang sesering mungkin. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukannya di luar sana.”

“Pangeran, hari sudah sore. Sudah waktunya kita pulang.”

“Pangeran? Anda Pangeran Eduardo?” seru orang-orang itu terkejut.

“Kami sungguh tak menyangka Anda akan datang sendiri untuk memberikan bantuan.”

Penduduk Pienlang segera berkumpul untuk mengetahui apa yang terjadi. Ketika mereka tahu, mereka menangis terharu.

“Tentunya Anda yang dimaksudkan oleh Tuan Puteri. Kemarin malam Tuan Puteri mengatakan tak lama lagi kami akan mendapatkan bantuan besar yang akan semakin mempercepat kepulihan kami. Ternyata orang yang membawa bantuan besar itu adalah Anda, Pangeran.”

Pengawal-pengawal Pangeran segera melindungi Pangeran. Mereka mengelilingi dan mencegah penduduk semakin mendekati Pangeran.

“Sebaiknya kita pulang sekarang, Pangeran. Identitas Anda sudah ketahuan. Bila keadaan ini diteruskan, keselamatan Anda bisa terancam.”

Pangeran tidak dapat membantah ketika pasukan pengawalnya di bawah pimpinan Fahrein mengelilinginya sambil bergerak ke kereta.

Cukup sulit mengendalikan penduduk Pienlang yang sedang terharu akibat Putra Mahkota Kerajaan Evangellynn datang untuk mengulurkan bantuan untuk mereka. Dengan perjuangan yang sulit, pengawal Pangeran berhasil membawa Pangeran ke kudanya.

Mereka masih mengelilingi Pangeran ketika Pangeran telah duduk di atas kudanya. Ketika prajurit yang lain dan pelayan istana telah siap pulang, mereka dengan sigap meloncat ke kuda mereka dan segera mengelilingi Pangeran lagi.

Beberapa prajurit berjalan mendahului untuk menghalau penduduk yang menghalangi jalan.

“Minggir!” seru mereka berulang kali. “Beri jalan pada Pangeran!”

“Pangeran! Pangeran! Datanglah lagi besok. Tuan Puteri pasti akan sangat gembira bertemu dengan Anda,” panggil mereka.

“Aku berjanji. Besok aku akan datang,” balas Pangeran sekeras-kerasnya.

Rombongan Pangeran setengah berlari meninggalkan Pienlang.

“Hari sudah sore. Kita harus cepat bila tidak ingin kemalaman di jalan,” kata Fahrein cemas.

“Dengan kecepatan seperti ini, kita akan terlambat,” kata Pangeran, “Kita percepat laju kuda agar tidak terlambat!”

Mereka menambah kecepatan untuk mengejar waktu yang terus berjalan.

“Pangeran, besok Anda akan datang lagi ke Pienlang?” tanya Fahrein tiba-tiba.

“Tentu, aku telah berjanji pada mereka. Tak mungkin aku mengingkarinya.”

“Tetapi mereka telah mengetahui identitas Anda.”

“Lalu?”

Fahrein terdiam.

“Tidak akan ada pemberontak di sana. Tidak ada orang yang ingin mencelakakanku. Aku berani menjaminnya. Gadis itu sudah lama seorang diri di antara penduduk Pienlang tetapi ia masih sehat-sehat saja. Tak mungkin terjadi sesuatu padaku!”

“Seperti keinginan Anda, Pangeran,” kata Fahrein, “Saya akan menuruti keinginan Anda.”

Pangeran diam. Ia memusatkan perhatiannya pada jalanan. Seperti Fahrein, Pangeran tidak ingin kemalaman tiba di Istana. Bukan karena ia akan dimarahi orang tuanya bila pulang larut malam, tetapi Pangeran tidak ingin melewati daerah yang sepi ini di malam hari yang gelap.

Musim gugur penuh awan. Cuaca tak menentu. Di saat pagi hari cerah, bukan berarti siang hari akan cerah pula. Sepanjang hari ini cerah, tetapi belum tentu malam ini.

Pangeran tidak ingin kehujanan yang akhirnya membuat mereka terpaksa menginap di hutan. Pangeran telah berjanji pada penduduk Pienlang untuk kembali besok pagi. Pangeran telah mengatur barang-barang yang akan dibawanya esok hari. Banyak orang yang akan kecewa bila besok ia tidak dapat datang pagi hari karena bermalam di hutan.

Setelah bermalam di hutan, Pangeran tidak dapat langsung pergi ke Pienlang. Penduduk Pienlang pasti akan kecewa bila ia datang tanpa membawa bantuan untuk mereka.

Menjelang malam, mereka tiba di Istana.

Seluruh yang duduk di kereta segera meloncat turun. Prajurit-prajurit juga turun dari kudanya.

Pangeran segera menuju kamarnya. Ia merasa sangat letih.

“Air mandi untuk Anda sedang disiapkan, Pangeran. Tak lama lagi akan siap,” lapor seorang pelayan, “Setelah mandi Anda mau makan?”

“Kurasa tidak. Aku sangat lelah. Bila ada yang mencariku, katakan aku sedang tidur. Nanti ketika makan malam, aku pasti muncul di Ruang Makan.”

“Baik, Pangeran.”

Cukup sudah yang dilakukannya untuk hari ini. Esok ia masih mempunyai banyak pekerjaan.

Cukup pula keingintahuannya pada gadis aneh yang dilihatnya. Esok ia mungkin dapat menemui gadis itu.

Pangeran menghentikan semua pikirannya dan mencoba tidur tetapi ia tidak bisa. Pikirannya terus melayang pada gadis aneh yang dilihatnya di Pienlang.

Entah mengapa gadis itu terlihat aneh baginya. Ia seperti seorang pria yang belum pernah melihat gadis. Gadis itu telah menimbulkan perasaan mengganjal di hatinya dan membuat pikirannya terganggu.

Pangeran mengeluh pada keingintahuannya. Seorang gadis aneh telah menimbulkan perasaan ingin tahunya hingga ia tidak bisa tidur barang sejenak. Besok ia akan datang lebih pagi sehingga ia mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan gadis itu ketika ia menyiapkan sarapan bagi penduduk Pienlang.

“Tuan Puteri tidak akan datang lagi.”

Pangeran terhenyak kaget.

Besok ia tidak akan dapat menemuinya seperti harapannya. Entah siapa gadis itu, ia tidak akan mengetahuinya.

Lonceng makan malam berbunyi keras.

Dengan lesu, Pangeran turun dari tempat tidur. Pangeran merapikan diri sebelum menuju Ruang Makan.

Ketika Pangeran tiba di sana, kedua orang tuanya juga baru tiba.

Tanpa banyak berbicara, Pangeran memasuki Ruang Makan. Ia sedang tidak tertarik untuk berbicara dengan kedua orang tuanya.

Raja dan Ratu mengikuti langkah Pangeran.

Ketika mereka telah duduk, beberapa pelayan muncul untuk membuka lap bagi mereka. Pelayan yang lain menuangkan minum dalam cangkir. Dan banyak pelayan yang muncul dari pintu samping dengan nampan-nampan emas di tangan mereka.

“Bagaimana kegiatanmu hari ini?” Pertanyaan yang paling dikhawatirkan Pangeran dari ibunya akhirnya muncul.

Pangeran enggan membicarakan kegiatannya hari ini. Ia yakin ia tidak akan dapat membicarakan kegiatannya tanpa menyebut gadis aneh yang ia temui di Pienlang. Pangeran tidak mau didesak lagi untuk menikah. Sudah merupakan keputusannya untuk tidak menikah seumur hidup.

“Semuanya berlangsung tidak seperti yang kuharapkan.”

“Apa maksudmu?” Raja terkejut, “Apakah mereka tidak senang dengan bantuan yang kaubawa?”

“Tidak. Mereka senang,” Pangeran cepat-cepat membantah, “Tetapi mereka tidak segembira yang kuharapkan. Aku telah kedahuluan.”

“Kedahuluan?” dahi Raja mengkerut.

“Ada orang yang telah datang memberikan banyak bantuan sebanyak yang kukumpulkan sejak dua minggu lalu. Bahkan lebih menurutku.”

“Siapa orang itu?”

“Aku tidak tahu. Tidak seorang pun di sana yang bisa memberitahuku siapa orang yang telah memberikan banyak bantuan ini,” Pangeran menyembunyikan keberadaan gadis aneh itu.

Ratu kecewa oleh jawaban itu.

“Pria itu cukup berani juga,” gumam Raja, “Ia mengetahui keadaan Pienlang tetapi tidak melaporkannya padaku bahkan membantunya dengan kemampuannya sendiri.”

Pangeran tidak membenarkan kesalahan ayahnya.

“Aku berharap engkau salah,” keluh Ratu.

Suasana menjadi sepi. Mereka termenung dalam pikirannya masing-masing.

Pangeran memanfaatkan kesunyian ini untuk menghabiskan makan malamnya. Ketika sendok terakhir telah memasuki perutnya, Pangeran berdiri.

“Engkau mau ke mana?” cegah Ratu.

“Aku ingin beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan.”

“Temanilah kami sebentar. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu.”

“Biarlah ia tidur. Kurasa ia sangat lelah.”

“Selamat malam,” Pangeran meninggalkan Ruang Makan.


-----0-----



Walaupun tahu gadis aneh itu tidak akan kembali ke Pienlang, Pangeran tetap berangkat lebih pagi dari kemarin.

“Tuan Puteri berjanji akan datang lagi.”

Kata-kata itulah yang dipegang Pangeran dalam keyakinannya.

Gadis itu telah dua minggu lebih berada di antara rakyat Pienlang. Tak mungkin ia dapat meninggalkan mereka begitu saja setelah semua yang telah ia lakukan dan setelah semua yang telah terjadi di antara mereka.

Pangeran tidak mengetahui bagaimana perasaan gadis itu pada Pienlang. Tetapi Pangeran tahu Pienlang sangat mencintai gadis itu dan tidak ingin ditinggalkan oleh gadis itu.

Langit biru kelam perlahan-lahan mencerah. Sinar matahari menyingkap tabir malam dan membirukan langit.

Penduduk Pienlang sudah bangun semua. Melihat kedatangan Pangeran dan rombongannya, mereka pergi menyambut. Tak seperti kemarin, mereka segera membantu prajurit menurunkan bantuan bagi mereka.

Pangeran melihat sekeliling. Tak seorangpun memperhatikannya ketika ia mengelilingi desa Pienlang.

Suasana desa masih sepi. Dari hutan kejauhan samar-samar terdengar kicau burung bersahut-sahutan. Bunyi serangga masih terdengar di pagi yang sunyi ini.

Di belakangnya, terdengar suara penduduk yang sibuk menurunkan barang dari kereta. Terdengar pula seruan-seruan senang penduduk.

Pangeran gembira. Belum pernah ia merasa segembira ini.

Tak disangkanya membantu orang lain bisa membawa kebahagiaan seperti ini. Kebahagiaan ini terasa lebih berharga dari semua kebahagiaan yang bisa diberikan orang tuanya. Kebahagiaan ini melebihi kebahagiaan atas kekayaannya.

Pangeran merasa damai dalam kebahagiaan ini.

Langkah-langkah kaki Pangeran membawanya ke rumah sakit.

Dokter Tervis segera menyambut kedatangannya.

“Selamat pagi, Pangeran,” katanya, “Bila Anda tidak keberatan, bisakah Anda memberi tahu saya apa yang membuat Pangeran datang sepagi ini?”

“Aku mengkhawatirkan keadaan kalian,” jawab Pangeran berbohong.

“Situasi di tempat ini jauh lebih baik dari hari-hari kemarin. Dan, untuk esok hari akan semakin membaik. Saya yakin Pienlang akan cepat pulih.”

Pangeran melihat sekeliling rumah sakit. Pasien-pasien yang kemarin masih terlantar sudah terawat oleh suster serta dokter yang dibawa Pangeran.

Petugas paramedis yang berbaju putih panjang berlalu-lalang di dalam ruangan yang telah ditata sedemikian rupa menjadi sebuah rumah sakit.

“Aku melihat hampir semua kendala yang ada di sini telah ditangani. Kendala apa yang belum teratasi?”

“Kendala utama kami adalah masalah obat-obatan.”

“Berikan padaku daftar obat yang kalian perlukan. Obat-obatan bisa segera kukirim dalam waktu dekat ini.”

“Baik, Pangeran. Saya akan segera membuat daftarnya berikut jumlah yang saya butuhkan.”

“Aku yakin engkau membutuhkan secepatnya. Aku akan segera mengirim orang ke Schildi setelah daftar itu kaubuat.”

“Saya sangat berharap obat-obatan itu akan segera datang dalam waktu singkat.”

“Aku akan menyuruh Jerver mengumpulkan secepatnya. Ia bisa menyusun tim dokter terbaik Evangellynn dalam waktu semalam. Aku yakin ia juga bisa mengumpulkan obat-obatan dalam jumlah besar. Sayang, ia terlambat memanggil dokter paling baik di Evangellynn.”

“Saya sungguh menyesal, Pangeran. Tuan Puteri telah memanggil saya terlebih dulu.”

“Aku berharap kali ini aku tidak keduluan,” kata Pangeran bercanda.

“Saya yakin tidak, Pangeran. Tuan Puteri berkata kami telah mendapatkan bantuan dari orang yang tepat. Sekarang ia bisa mencurahkan sebagian besar perhatiannya pada hal lain. Ia telah membantu Pienlang sejauh yang ia bisa.”

“Ya, aku telah mengetahuinya dari penduduk. Adakah hal lain yang menjadi kendala?”

“Peralatan kedokteran di tempat ini masih belum memadai untuk merawat pasien. Peralatan kami kurang lengkap. Tempat ini jauh dari kota. Untuk membawa pasien ke kota juga sangat berbahaya.”

“Masalah ini cukup sulit. Aku berpikir satu-satunya jalan adalah membawa peralatan medis ke tempat ini. Kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk…”

Pangeran terdiam.

Matanya menangkap gerakan seseorang yang bergaun putih lembut. Rambut hitam yang panjang bergelombang tergerai indah menutupi punggungnya. Tangannya terulur pada wajah wanita di sampingnya.

Wanita kurus itu tersenyum lemah padanya.

Tangan putih gadis itu mengusap wajah wanita itu dengan penuh kasih sayang. Dengan lembut, ia mengangkat kepala wanita itu dan menyuapkan sesendok bubur.

Wanita itu kesulitan menelan makanan yang disuapkan kepadanya. Dengan sabar, gadis itu menanti hingga wanita itu menelannya.

Ketika gadis itu menyuapkan sesendok lagi, wanita itu menggeleng lemah. Gadis itu terus menyodorkan sendok itu. Tampaknya ia berusaha membujuk wanita itu.

“Itulah antara lain kesulitan kami, Pangeran.”

Pangeran terlonjak kaget.

Dokter Tervis tidak tampak bersalah karena telah menganggu keasyikan Pangeran.

“Penduduk sulit sekali untuk makan. Setiap kali makanan masuk ke mulut mereka, mereka akan memuntahkannya kembali bersama cairan lambungya. Akibatnya mereka takut dan enggan untuk makan. Mereka tidak merasa lapar.”

Tervis menyelipkan tangannya ke dalam kantong jas dokternya.

“Mereka mau makan sedikit demi Tuan Puteri yang telah melakukan banyak hal untuk membantu mereka. Tetapi bila bukan Tuan Puteri yang membujuk mereka, mereka tidak mau.”

Pangeran kembali pada gadis itu tetapi gadis itu telah menghilang. Pangeran menjelajahi seluruh ruangan untuk menemukan gadis bergaun putih lembut yang mencolok itu tetapi ia tidak dapat menemukannya.

“Engkau tahu dia, Tervis?” Pangeran terus menjelajahi ruangan dengan mata tajamnya.

“Tuan Puteri yang Anda maksud, Pangeran?” Tervis balik bertanya. “Saya menyesal, Pangeran. Saya tidak dapat memberitahu hal yang ingin Anda ketahui. Saya tidak mengenalnya.”

“Engkau tidak mengenalnya?” Pangeran keheranan, “Bukankah dia yang membawamu ke sini?”

“Suatu hari tiba-tiba ia muncul di rumah saya dan meminta saya untuk segera mengemasi barang saya. “Sekelompok besar orang membutuhkan Anda saat ini juga. Saya sangat berharap Anda bersedia ikut dengan saya dan tinggal di sana beberapa saat,” itulah yang dikatakannya pertama kali saat saya menemuinya.”

“Dan engkau ikut begitu saja?” selidik Pangeran.

“Tidak bila Tuan Puteri tidak menjelaskan keadaan penduduk Pienlang. Yang mencengangkan saya adalah Tuan Puteri mengetahui tentang ilmu kedokteran. Saat itu ia berkata,

“Saya telah memeriksa beberapa penduduk dan kesimpulan saya mereka terkena radang usus yang cukup parah. Saya berharap kesimpulan saya salah. Ikutlah dengan saya untuk memastikan keadaan mereka, Dokter. Bila Anda enggan meninggalkan pasien Anda, saya bersedia membayar semua pendapatan yang seharusnya Anda terima selama Anda berada di sana.”

Saat itu saya kebingungan. Tetapi Tuan Puteri tidak memberi saya waktu banyak untuk berpikir.

“Putuskanlah sekarang, Dokter. Anda adalah seorang dokter. Tugas seorang dokter adalah menolong sesamanya yang sakit. Hanya Anda yang dapat saya andalkan untuk mengobati mereka. Bila Anda tidak segera memutuskan, ada banyak jiwa yang akan berpulang.”

Tuan Puteri benar-benar membuat saya tergugah. Tuan Puteri tahu saya pasti ikut tetapi wajah maupun nada suaranya sangat sedih. Hingga saat ini ia selalu terlihat sangat sedih setiap kali membicarakan masalah penduduk Pienlang. Tuan Puteri benar-benar mencintai penduduk Pienlang.

Tidak ada jawaban lain yang bisa saya berikan selain, “Saya sudah memutuskan, Nona. Saya akan ikut Anda. Anda tidak perlu membayar semua kerugian saya akibat menolong mereka. Saya merasa sangat senang dapat menyumbangkan keahlian saya untuk menolong sesama.”

Tuan Puteri sangat terharu tetapi ia menyembunyikannya. Tetapi Tuan Puteri tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika ia berkata, “Terima kasih, Dokter. Saya sangat berterima kasih pada Anda.”

Itulah perjumpaan saya yang pertama kali dengan Tuan Puteri. Saya sungguh menyesal tidak dapat memberitahu Anda semua yang ingin Anda ketahui. Bagaimana ia dipanggil Tuan Puteri oleh penduduk Pienlang, saya juga tidak mengetahuinya. Ketika saya tiba, semua orang telah memanggilnya Tuan Puteri.”

“Menurutku ia bukan orang biasa. Ia memiliki pengaruh besar dan tangkas. Ia dapat mengantarkan banyak bahan makanan setiap hari dalam waktu lebih dari dua minggu, pertanda ia orang yang sangat kaya. Sikapnya sungguh anggun seperti seorang Putri. Entah putri dari kerajaan mana dia.”

“Anda benar. Hanya gadis yang cerdas, tangkas serta berpengalaman yang dapat menangani masalah penduduk Pienlang seorang diri.”

“Aku sangat berterima kasih padanya. Ia telah banyak membantu rakyatku bahkan mencintainya. Aku berharap bisa bertemu dengannya.”

“Sungguh disayangkan, Pangeran, keinginan Anda tidak akan tercapai. Tuan Puteri sedang terburu-buru.”

Pangeran kembali kecewa. Ia baru saja berharap gadis itu menghilang keluar dan ia masih bisa menemuinya lagi.

“Pagi ini Tuan Puteri menemui saya untuk memberi saya ganti rugi atas biaya pengobatan yang tidak saya dapatkan selama saya di sini,” Dokter Tervis bercerita, “Tetapi saya menolaknya. Kemudian Tuan Puteri berpesan pada saya untuk merawat penduduk Pienlang hingga mereka sembuh. Tuan Puteri berkata setelah hari ini, ia tidak dapat kembali ke sini. Ia sudah lama meninggalkan rumahnya dan ia tidak ingin orang tuanya terus mencemaskannya.”

“Aku semakin yakin ia tidak berasal dari Evangellynn,” kata Pangeran jujur.

“Saya juga berpikir demikian ketika saya bertemu dengan Tuan Puteri, Pangeran. Tuan Puteri sangat anggun dan cantik tetapi ia berbeda dengan gadis-gadis Evangellynn umumnya. Tidak seorang gadis Evangellynnpun yang memiliki rambut hitam bergelombang seperti Tuan Puteri. Juga tidak ada gadis Evangellynn yang memiliki kulit sekuning Tuan Puteri. Bila Anda mendengar tutur katanya, Anda akan berpikir bahwa Tuan Puteri adalah seorang Ratu. Ia memiliki tata krama yang tinggi.”

“Entah aku harus merasa apa atas kejadian ini. Aku Pangeran dari kerajaan ini tidak mengetahui keadaan Pienlang tetapi ia yang Putri dari kerajaan lain mengetahui. Aku benar-benar tidak dapat tidak berterima kasih padanya.”

“Saya merasa sungguh besar hutang Evangellynn pada Tuan Puteri. Sebelum menemui pasien untuk terakhir kalinya, Tuan Puteri berkata pada saya bahwa ia telah merencanakan pembangunan saluran air dari sungai ke tempat ini. Tuan Puteri meminta saya untuk menyampaikan pada penduduk bahwa tak lama lagi akan ada banyak orang yang datang untuk memulai pembangunan.”

Pangeran diam berpikir.

“Setelah membujuk mereka untuk makan baik untuk saat ini maupun besok, Tuan Puteri akan pergi. Ia mengatakan banyak yang harus dilakukannya dan yang tidak bisa ditinggalkannya terlalu lama.”

“Ia membuatku semakin tidak tahu harus berbuat apa. Semuanya telah dilakukannya. Aku benar-benar merasa terlambat datang.”

“Tidak ada kata terlambat untuk membantu orang lain,” Dokter Tervis membesarkan hati Pangeran.

Pangeran diam. Segala macam pikiran berkecamuk dalam dirinya.

No comments:

Post a Comment