Tuesday, March 27, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 14

Sheba tidak tahu tetapi ia cukup senang berada di tempat ini.

Udara tempat ini sangat segar. Seperti kata Pangeran, tempat ini cocok untuk memulihkan kesehatannya.

Pagi hari Sheba bisa merasakan udara yang dingin hangat memasuki kamarnya. Siang hari tidak ada sinar matahari yang sangat menyengat dan angin dingin yang menyayat.

Hujan salju turun dengan deras kadang-kadang turun di siang hari, kadang di malam hari. Setiap pagi, Sheba dapat melihat tumpukan salju tebal yang menutupi taman.

Pangeran sungguh keras padanya. Jauh lebih keras dari kakak-kakaknya dan orang tuanya.

Sedikitpun Sheba tidak boleh meninggalkan tempat tidur. Pangeran selalu mengawasinya saat makan. Pangeran tidak membiarkan Sheba meninggalkan sedikitpun makanan yang khusus dibuat untuknya. Setiap waktu minum obat, Pangeran tidak lupa untuk mengawasinya.

Sheba merasa seperti berada dalam penjara orang sakit tetapi ia tetap merasa gembira. Seperti kakak-kakaknya, Pangeran selalu menghiburnya sehingga ia tidak pernah merasa bosan di tempat tidur.

Selama berada di Ruethpool, Sheba merasa ia semakin membaik tetapi Pangeran tidak mengijinkan ia meninggalkan tempat tidur. Tidak juga untuk mengintip keluar jendela.

Jendela-jendela besar ruang tidurnya selalu tertutup rapat. Pagi hari pelayan membuka tirainya yang tebal tetapi di sore hari pelayan menutupnya rapat-rapat.
Di siang hari bila tidak sedang turun salju, Sheba dapat melihat gunung putih di kejauhan. Terlihat pula batang pohon yang tertutup salju putih.

Sheba ingin sekali bermain di luar tetapi pengawasnya sangat keras. Ia mudah naik pitam bila melihat Sheba tidak mau menurut.

Satu-satunya yang membuat Sheba tidak bosan berada di tempat tidur adalah Pangeran selalu menemaninya. Mereka berbicara banyak hal dan kadang saling menggoda. Sheba tidak dapat membayangkan betapa bosannya dia bila tidak ada orang yang menemaninya.

Kadang bila melihat keluar jendela, Sheba merasa rindu pada orang-orang di luar sana. Sheba merasa sangat terkurung selama dua hari ini. Sheba ingin menemui penduduk Pienlang, dan banyak tempat lain. Seperti Sheba, mereka pasti juga merindukannya.

Penduduk Herbranchts, tempat ia jatuh ke sungai pasti mencemaskannya karena tak melihatnya. Mereka pasti tengah mencarinya ke mana-mana.

Hari itu Sheba menolong anak yang tergelincir di tepi sungai. Ia berhasil menolong anak itu tetapi ketika ia akan naik ke atas, ia tergelincir dan jatuh ke atas permukaan es yang tipis itu. Seketika es tipis itu retak dan pecah.

Anak-anak itu segera memanggil orang-orang desa.

Untuk beberapa saat, Sheba tidak dapat bernafas. Air dingin itu menghentikan jalannya udara ke paru-parunya. Sheba merasa seluruh tubuhnya membeku. Dalam keadaan seperti itu, Sheba tidak mau berdiam diri. Ia berusaha keluar dari air itu.

Tak lama kemudian orang-orang datang untuk mengeluarkannya dari tempat itu. Mereka membawanya ke sebuah rumah kecil dan menghangatkan tubuhnya.

Seorang dari mereka menawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang, tetapi Sheba menolaknya sebab ia datang dengan kuda. Walaupun cemas, orang-orang itu membiarkannya pulang sendiri.

Sekarang, mereka pasti tengah mencemaskannya. Sheba merasa bersalah pada mereka. Tetapi bila mereka mengetahui siapa dirinya, Shebalah yang akan kerepotan.

Setelah penduduk mengetahui bahwa ia adalah putri bungsu keluarga Horthrouth yang terkenal itu, para pria yang mengejarnya pasti akan mengetahui keberadaannya. Para pria itu kemudian akan menarik perhatiannya dengan ikut dalam perbuatan Sheba.

Sheba tidak mau orang lain berbuat amal hanya karena untuk mendapatkan perhatiannya. Sheba tidak senang.

Kepada saudara-saudaranya sendiri, Sheba tidak pernah mau mengatakan ke mana ia akan pergi. Bukan karena ia tidak mempercayai mereka, tetapi karena ia mencemaskan sifat Emilie yang bila berbicara maka segala hal akan dikatakannya termasuk hal yang tidak boleh dikatakannya.

Demi menjaga ketenangan hidupnya dari pria-pria yang mengejar cintanya, Sheba tidak mau memberitahu orang tuanya ke mana ia pergi. Keluarganya telah memahami dirinya dan mereka tidak pernah mempermasalahkannya walau ia jarang pulang.

Bunga api perapian meloncat-loncat dengan riang. Tawa kayu menghiasi kamar yang sunyi.

Sheba memandangi perapian yang tidak pernah padam sejak ia memasuki kamar ini.

“Apa yang kaulamunkan?”

Sheba terkejut.

Pangeran tersenyum. “Apa yang sedang kaupikirkan?”

“Saya memikirkan Irvainz.”

Kegembiraan Pangeran seketika hilang. Kecemburuan kembali menghantui perasaannya.

Selama dua hari ini Pangeran merasa bahagia bisa bersama-sama Sheba tanpa gangguan, tetapi rupanya gadis itu tidak bisa melupakan pria itu.

Pangeran cemburu. Irvainz sungguh beruntung bisa mendapatkan cinta gadis ini.

“Seharusnya sekarang ia dan Carmen sedang berbahagia,” kata Sheba setengah melamun. Sheba menengadah memandang langit-langit. “Saya ingin mengetahui keadaan mereka.”

Pangeran menatap Sheba. “Sebenarnya apa yang sedang kaukatakan?”

“Irvainz dan Carmen.”

Sheba merasa perlu menjelaskannya pada Pangeran. “Sejak dulu Irvainz mencintai Carmen tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mengatakannya. Irvainz sungguh aneh. Ia mencintai Carmen tetapi mendekati saya. Ia membujuk saya untuk mengatakannya pada Carmen tetapi saya menolaknya.”

“Carmen juga sama anehnya. Ia mencintai Irvainz tetapi selalu mempertemukan saya dengan Irvainz. Saya menjadi serba salah pada mereka. Tetapi seharusnya sekarang semua telah berakhir.”

Pandangan Sheba melembut. “Saya telah memaksa Irvainz mengatakannya pada Carmen sebelum Anda membawa saya ke sini. Tentunya sekarang kedua orang itu sedang berbahagia.”

Pangeran tidak mempercayai cerita Sheba.

“Mereka sedang berbahagia tetapi saya bersedih.”

Pangeran menjadi kecewa. Ternyata ia benar, Sheba mencintai Irvainz.

“Saya merasa terkurung di tempat ini.”

“Engkau belum cukup sehat untuk meninggalkan tempat tidur,” Pangeran berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

“Saya merasa sudah sembuh.”

“Aku akan percaya setelah mendengar dokter yang mengatakannya.”

“Panggilah dokter itu, biarlah ia yang mengatakannya pada Anda agar Anda percaya pada saya.”

“Tidak,” sahut Pangeran, “Aku tidak menyukai dokter cerewet itu. Ia terlalu berbelit-belit. Aku lebih setuju untuk memanggil Tervis.”

“Benarkah itu?” Sheba tersenyum gembira. “Oh, saya sudah sangat merindukannya. Saya merasa seperti dikurung selama berabad-abad di tempat ini.”

Pangeran sedih. Sheba tidak merasakan keberadaannya di sisinya.

“Besok aku akan menyuruh pelayan menjemput Tervis.”

Sheba heran melihat kesedihan Pangeran. “Apakah yang merisaukan hati Anda, Pangeran?” tanyanya penuh perhatian, “Apakah Paduka Ratu marah karena Anda meninggalkan Istana tanpa pamit? Atau Paduka Raja marah karena Anda meninggalkan tugas-tugas kerajaan?”

“Maafkan saya. Saya telah membawa banyak masalah untuk Anda.”

“Tidak apa-apa,” Pangeran mencoba tersenyum.

Sheba sedih melihat Pangeran murung. Ia mendekatkan wajahnya. Tangannya menyentuh wajah Pangeran. “Apakah yang menjadi kerisauan Anda? Beritahulah saya.”

Pangeran memeluk Sheba.

“Pangeran.”

Suara lembut Sheba merasuki pikiran Pangeran. Tiba-tiba Pangeran melepaskan Sheba.

“Tidurlah,” Pangeran membaringkan Sheba, “Kalau sore nanti engkau lebih sehat, aku akan membawamu ke pesta Desa Zerupt.”

Mata Sheba membelalak. “Benarkah, Pangeran?”

Pangeran mengangguk.

“Terima kasih, Pangeran,” Sheba tersenyum bahagia lalu memejamkan matanya.
Sheba berjanji akan segera tidur. Ia sudah tidak sabar meninggalkan ruangan ini. Sheba sudah sangat merindukan suara orang-orang.


-----0-----



“Tuan Puteri, bangun.”

Samar-samar Sheba mendengar suara seseorang memanggilnya.

“Tuan Puteri, bangun.” Suara itu terdengar lagi.

“Bangunlah, Tuan Puteri.”

Sheba membuka matanya.

Seorang wanita muda tersenyum padanya. “Saya tidak senang menganggu tidur Anda yang nyenyak,” katanya, “Tetapi Pangeran telah menanti Anda. Pangeran ingin mengajak Anda ke pesta musim dingin Zerupt.”

Sheba teringat kembali pada janji Pangeran. Ia segera turun dari tempat tidur.

Pelayan itu dan beberapa pelayan lain segera memandikannya dengan air hangat. Selagi mereka menyeka tubuhnya, seorang wanita mencari-cari sesuatu di dalam lemari.

Ketika berangkat ke Istana Ruethpool, Sheba tidak membawa apa-apa selain gaun yang dikenakannya dan mantel tebal. Sheba sama sekali tidak mempunyai rencana ke tempat ini.

Selama berada di sini, Sheba mengenakan gaun-gaun Ratu sewaktu beliau masih muda. Untung sekali gaun itu cukup untuk Sheba. Ukuran tubuh Ratu dan Sheba cocok.

“Kulit Anda sangat indah berseri,” puji seorang pelayan ketika merapikan gaunnya, “Karena itu gaun warna apapun cocok Anda kenakan.”

Sheba tersenyum. Ia sudah sering mendengar pujian seperti itu dari pelayannya di rumah. Seperti yang dikatakannya pada mereka, Sheba berkata, “Aku berpikir kulit yang putih seperti kalian lebih cocok dengan gaun warna apapun.”

“Kulit putih kami terlihat pucat sedangkan kulit Anda kuning berseri. Kami iri pada Anda.”

Sheba memandangi tubuhnya di cermin. Kulitnya berbeda dengan orang-orang Eropa umumnya. Mungkin di kerajaan ini hanya dia yang mempunyai kulit kuning kecoklatan ini.

“Kecantikkanmu seperti orang Timur yang penuh misteri,” puji Pangeran ketika ia masih belum mengetahui namanya.

Bila melihat kakak-kakaknya yang semuanya mempunyai kulit putih, Sheba merasa paling aneh.

Semua mirip ibu mereka, hanya dia yang mirip Earl. Warna rambutnya tidak sama dengan kakak-kakaknya. Rambutnya hitam legam seperti Earl. Gelombang di ujung rambutnya adalah warisan Countess. Mata hijaunya yang bening seperti kelereng adalah perpaduan dari warna mata Countess yang hijau tua dan mata Earl yang biru bening.

Semua dalam dirinya adalah warisan kedua orang tuanya kecuali kulitnya yang kuning ini. Sheba tidak tahu darimana ia mendapatkannya. Sejak kecil ia tampak seperti gadis Timur.

“Kalau rambutmu tidak bergelombang dan warna matamu hitam, aku akan menduga engkau gadis Jepang,” kata Irvainz ketika mereka masih kecil.

“Anda sangat beruntung, Tuan Puteri, Pangeran sangat mencintai Anda,” kata seorang pelayan menghamburkan lamunan Sheba.

Sheba terbelalak kaget.

“Selama ini Pangeran sangat membenci wanita. Sedikitpun ia tidak mau memberikan perhatian pada Anda, tetapi sikapnya kepada Anda sangat lain. Pangeran sangat memperhatikan Anda dan berusaha memberikan yang terbaik bagi Anda,” kata yang lain.

“Itu tandanya Pangeran sangat mencintai Anda,” pelayan yang lain tak mau ketinggalan.

“Anda membuat iri semua gadis di kerajaan ini.”

“Tidak,” Sheba menggeleng, “Kalian semua salah sangka pada kami. Pangeran hanya membantuku memulihkan kesehatan.”

“Dibandingkan Anda, Pangeran lebih mencemaskan kesehatan Anda.”

“Sudahlah. Apakah kalian mengetahui mengapa Pangeran tampak risau?” Sheba mengalihkan pembicaraan, “Apakah ada utusan dari Istana Welyn yang datang menemui Pangeran?”

“Tidak ada, Tuan Puteri,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Sepanjang hari Pangeran bersama Anda, tentunya Anda lebih mengetahuinya dari kami.”

Sheba memandang pelayan itu.

“Pangeran sangat mencintai Anda. Sedetikpun ia tak mau berpisah dari Anda.”

“Ia tidak pernah memperhatikan wanita sebelumnya,” yang lain mengingatkan.

Sheba mengetahui hal itu sejak dulu. Sheba tahu Pangeran sangat membenci makhluk yang disebut wanita. Sheba tahu Pangeran tidak tertarik untuk menikah. Karena itu ia menolak menemui Pangeran juga menerima lamarannya walau Sheba mencintai Pangeran sejak masih kecil.

Mungkin Pangeran telah melupakan perjumpaan mereka ketika masih kecil tetapi Sheba tidak.

Ketika masih berusia lima tahun, Sheba pernah diajak Countess ke Istana Welyn. Saat itu Countess diundang Ratu dalam acara minum teh. Ratu dan Countess adalah sahabat lama. Sering Ratu memanggil Countess ke Istana hanya sekedar untuk berbincang-bincang.

Sheba sangat senang berada di Istana.

Ratu sangat senang melihat kedatangan tamu kecilnya itu. “Mainlah bersama Eduardo. Engkau pasti lebih senang daripada harus mendengarkan kami,” kata Ratu sambil tersenyum.

Ratu memanggil pelayan dan menyuruhnya mengantar Sheba ke Ruang Kanak-Kanak.

Sheba menuruti pelayan itu walau ia enggan berpisah dari ibunya. Sheba merasa asing dengan pelayan yang menggandengnya itu. Ia tidak mengenalnya.

Ketika mereka hampir tiba di Ruang Kanak-Kanak, tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari kencang. Anak itu menabrak Sheba hingga mereka berdua jatuh di lantai.

“Maaf,” kata anak itu sinis sambil membantu Sheba berdiri lalu ia berlari pergi. Sesaat kemudian Sheba melihat sekelompok anak perempuan berlari mengejar anak laki-laki itu.

Sheba memandang penuh keheranan. Lalu ia menengadah memandang pelayan di sampingnya.

“Itu adalah Pangeran,” pelayan itu memberitahu, “Sepertinya Pangeran sedang sibuk sehingga tidak dapat menemani Anda, tetapi saya akan menemani Anda bermain.”

Sejak hari itu, Sheba tidak dapat melupakan anak laki-laki yang menabraknya itu. Wajah tampan yang sinis anak itu ketika menabraknya terus terngiang di benaknya. Seiring tumbuhnya Sheba, perasaan yang timbul pada saat ia pertama melihat Pangeran itu tidak pernah hilang. Perasaan itu semakin dalam.

Dengan berat hati Sheba memutuskan untuk menolak bertemu Pangeran. Dengan sangat berat hati Sheba menolak lamaran Pangeran.

Bila mengingat kejadian itu, Sheba mengerti mengapa Pangeran sangat membenci wanita. Sejak kecil, banyak gadis yang menyukainya dan berusaha mendapatkan perhatiannya.

Pangeran adalah anak yang sangat tampan ketika ia masih kecil. Sekarang ia lebih tampan lagi dan lebih gagah. Takkan ada gadis yang dapat mengalihkan perhatiannya dari Pangeran. Tidak ada yang tidak tergiur oleh kedudukan Pangeran sebagai Putra Mahkota.

Sejak kecil Pangeran telah mendapatkan banyak kesulitan dari para gadis. Mula-mula Pangeran mau bersikap ramah kepada mereka, tetapi karena mereka semakin menjengkelkannya, Pangeran mulai menghindari mereka hingga akhirnya ia sangat membenci mereka.

Sheba mengerti hal itu. Karena itu ia menolak lamaran Pangeran. Sheba tahu bukan Pangeran sendiri yang memberikan lamaran itu tetapi Ratu.

Dalam pesta itu, Sheba melihat Ratu berbicara penuh semangat pada ibunya sambil sesekali meliriknya. Dengan melihat sinar mata Ratu, Sheba tahu Ratu berencana untuk menikahkannya dengan Pangeran.

Setelah mempersiapkan Sheba, pelayan-pelayan itu mengantar Sheba ke Ruang Duduk tempat Pangeran menanti.

Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai.

“Untuk mencegah hilangnya panas tubuh Anda,” kata mereka.

Pangeran segera mendekat ketika pintu terbuka. Ia meraih tangan Sheba dan menciumnya. “Anda tampak sangat cantik.”

“Terima kasih, Pangeran,” Sheba tersenyum. Sheba melihat kerisauan di wajah Pangeran telah hilang.

“Pakaianmu sudah cukup tebal?” tanya Pangeran penuh perhatian, “Engkau merasa kedinginan?”

Sheba tersenyum. “Terima kasih atas perhatian Anda, Pangeran,” katanya sopan, “Saya sudah merasa sangat hangat, bahkan kepanasan. Pelayan telah memberikan berlapis-lapis kain pada saya. Silakan Anda melihatnya.”

Sheba mengulurkan tangannya. Jari-jarinya terbungkus sarung tangan tebal hingga ke sikunya. Kemudian kain tebal lengan bajunya yang panjang menutupi tangannya yang bersarung. Di lapisan paling luar, mantel bulu yang tebal dan berlengan panjang membungkus tubuhnya.

Pangeran tersenyum puas. “Lebih baik Anda kepanasan daripada kedinginan. Saya tidak ingin membuat Anda jatuh sakit lagi.”

“Anda tidak perlu khawatir, Pangeran. Saya adalah gadis yang kuat. Bila bukan karena saya terjatuh ke dalam sungai, saya tidak akan sakit.”

“Ya, aku juga tidak ingin itu terjadi lagi. Karena itu aku akan menjagamu sepanjang sore ini.” Pangeran membuka sikunya.

Sheba meletakkan tangan di siku Pangeran dan mereka berjalan ke luar.

Kereta kuda menanti mereka di depan dengan penuh kesabaran. Kereta emas itu tampak sangat indah dengan latar belakang salju putih. Rodanya yang kokoh berdiri tegak di samping kereta. Kuda-kudanya yang gagah berdiri anggun di depan.

Pelayan memegang pintu yang terbuka. Pelayan itu membungkuk sedikit ketika Pangeran menaikkan Sheba ke dalam kereta.

“Selamat bersenang-senang, Pangeran,” katanya sebelum menutup pintu.

Setelah itu kereta mulai berjalan meninggalkan perkarangan Istana Ruethpool yang tertutup salju putih.

Sheba ingin melihat keluar tetapi Pangeran melarangnya. Pangeran menutup rapat-rapat tirai jendela kereta.

“Engkau bisa sakit karena udara dingin ini,” kata Pangeran.

Sheba tersenyum masam. Ia sedih.

“Kalau engkau semakin memburuk, aku akan mengurungmu di Ruethpool tak peduli berapa lama. Aku telah berjanji pada keluargamu akan mengembalikan engkau dalam keadaan sehat.”

“Mereka telah memberi ijin,” kata Pangeran pula.

Sheba sedih.

“Pangeran,” kata Sheba tiba-tiba. Matanya menatap Pangeran dengan serius.

“Apa?”

“Kita jangan berhenti di Zerupt,” Sheba berkata serius. “Lebih baik kita berhenti di luar Zerupt.”

“Tidak,” Pangeran menggeleng, “Udara di luar sangat dingin untukmu.”

“Tetapi penduduk desa akan mengetahui siapa kita. Pesta mereka tidak akan menarik lagi.”

Pangeran menatap Sheba.

“Saya tidak ingin mereka berbuat lebih dari kemampuan mereka karena mengetahui kita datang. Saya ingin benar-benar berada dalam pesta rakyat.”

Pangeran menatap Sheba. Akhirnya ia benar-benar yakin mengapa Sheba tidak pernah mau mengatakan siapa dirinya. Siapapun yang mengetahui bahwa ia adalah putri keluarga bangsawan, pasti akan berusaha melakukan yang terbaik untuk memuaskan sang putri sedangkan Sheba ingin diperlakukan seperti rakyat biasa.

“Baiklah,” kata Pangeran. Pangeran mengetuk kaca di belakang tempat duduk kusir kuda.

Kusir kuda menghentikan laju kereta.

Pangeran membuka pintu lalu menutupnya kembali. Sesaat kemudian ia masuk kembali ke dalam kereta.

“Aku telah mengatakan keinginanmu padanya. Kita akan diturunkan lima puluh meter di luar Zerupt. Di sana ia akan menanti kita hingga kita muncul.”

“Kasihan dia,” kata Sheba.

Pangeran keheranan.

“Apakah kita pasti akan pulang cepat? Kalau ia harus menanti kita, ia pasti akan bosan. Tidak enak menanti seorang diri.”

Pangeran menatap Sheba. Gadis itu benar. Sheba pasti akan sangat senang di pesta itu dan tidak ingin segera pulang. Pangeran sendiri belum tentu bisa memaksa Sheba pulang.

“Aku akan menyuruhnya segera pulang setelah menurunkan kita,” janji Pangeran.

Sheba bahagia.

Pangeran menepati janjinya. Setelah menggendong Sheba turun, ia segera menyuruh kusir kuda itu pulang.

“Pulanglah. Kami akan pulang sendiri.”

“Biarlah saya menanti Anda di sini, Pangeran,” kata kusir kuda itu, “Saya ingin mengantar Anda pulang.”

“Pulanglah. Ini perintah. Kami bisa pulang sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkan kami.”

“Baik, Pangeran,” kusir kuda itu mengalah.

Mereka menanti hingga kusir kuda itu membelok pergi.

Pangeran merangkul Sheba dan berjalan ke Zerupt.

Seperti perkiraan Pangeran, Sheba sangat gembira di pesta itu.

Sepanjang jalan penuh gerobak-gerobak yang menjual bermacam-macam benda. Ada yang menjual manik-manik, makanan khas Zerupt di musim dingin, baju, dan banyak lagi. Suasana di dalam Zerupt seperti pasar kecil.

Di tengah desa, berkumpul para muda-mudi dan para tetua. Semua menari gembira diiringi musik gembira.

Melihat orang-orang itu Sheba ingin bergabung tetapi Pangeran tidak akan mengijinkannya.

Pangeran tidak pernah melepaskan tangannya dari pundak Sheba sejak mereka memasuki Zerupt.

Sejak melangkah ke dalam desa yang sedang berpesta itu, Pangeran sadar banyak pria yang melirik Sheba. Topi mantel yang dikenakan gadis itu tidak dapat menutupi kecantikkannya.

Mereka menelusuri sepanjang jalan desa Zerupt yang dipenuhi orang-orang yang sedang bergembira.

“Tempat ini sangat ramai,” kata Sheba.

“Engkau tidak boleh lepas dariku,” Pangeran memperingati, “Aku akan kewalahan mencarimu di keramaian ini.”

“Saya tidak berani,” kata Sheba berjanji.

Tiba-tiba Pangeran berhenti. “Tunggu di sini. Jangan pergi ke manapun. Jangan ikut orang yang mengajakmu,” Pangeran memperingati.

Sheba mengangguk.

Pangeran menerobos orang-orang.

Sheba berdiri memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Keramaian ini seperti keramaian pesta di Pienlang. Mungkin seperti pesta di Pienlang, penduduk dari desa lain juga datang meramaikan suasana.

Sheba merasakan ada orang yang mendekat. Sheba membalikkan badan sambil tersenyum, “Pa…”

Wajah Sheba memucat melihat pria bertubuh besar itu. Tubuhnya tinggi besar seperti batang pohon. Mukanya dipenuhi janggut tebal. Matanya yang buas menatap Sheba dengan tajam.

“Apa yang Anda lakukan di sini, Nona cantik?”

Tubuh Sheba bergidik ketakutan mendengar suara besar yang menakutkan itu.

“Seharusnya Anda tidak sendirian di sini.”

Sheba ketakutan. Kakinya mundur selangkah demi selangkah. Tiba-tiba Sheba menabrak seseorang di belakangnya.

Sheba tidak berani menoleh. Ia takut orang yang ditubruknya adalah teman pria itu.

“Ia tidak sendirian. Ia bersamaku.”

Sheba sangat lega mendengar suara Pangeran.

“Baiklah,” kata pria bertubuh besar itu, “Hati-hati menjaga dia. Banyak pria bermata jalang di tempat ini.”

“Tentu.”

Setelah pria itu pergi Sheba baru berani membalikkan badan. Sheba memeluk Pangeran. Tubuhnya bergetar ketakutan.

“Tidak perlu takut. Ia adalah kepala desa Zerupt. Setiap kali ada pesta besar, ia selalu berkeliling dengan wajahnya yang seram itu.”

“Ia membuat saya sangat ketakutan.”

“Itulah gunanya wajahnya yang seram. Untuk menakuti gadis nakal sepertimu,” goda Pangeran.

Sheba mengangkat wajahnya. “Lebih cocok untuk menakuti Anda yang jahat,” Sheba balas menggoda.

Pangeran tertawa. “Jangan marah. Sebagai permintaan maafku, kuberikan ini khusus untukmu.”

Sheba terkejut melihat rangkaian bunga mawar putih di tangan Pangeran.

Pangeran tersenyum lembut.

Sheba mencium wangi bunga itu. “Terima kasih, Pangeran. Anda membuat saya gembira.”

“Aku ingin terus membahagiakanmu,” gumam Pangeran kemudian mencium dahi Sheba.

Wajah Sheba memerah menatap Pangeran.

“Mari kita berjalan lagi.”

Sheba merangkul bunga mawarnya dan berjalan di sisi Pangeran.

“Sup jagung! Sup jagung!”

Pangeran berhenti. “Engkau ingin mencobanya?”

Sheba menatap Pangeran.

“Rasanya sangat enak. Engkau pasti akan menyukainya.” Pangeran membawa Sheba ke tempat wanita yang meneru-nyerukan dagangannya itu.

“Kami beli dua mangkuk,” kata Pangeran.

“Baik, Tuan.”

Wanita itu segera menyajikan dua mangkuk supnya yang masih panas.

Sheba menatap sup yang kuning itu. Ia belum pernah melihat masakan semacam ini. Sheba menatap Pangeran.

“Hati-hati sup ini sangat panas.”

Sheba mengambil sesendok sup itu dan meniupnya sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya.

Kehangatan sup itu memenuhi seluruh tubuh Sheba. Seluruh pori-pori Sheba terasa sangat hangat. Dalam dadanya terasa sesuatu yang hangat mengalir turun.

“Seperti minum susu jagung tetapi rasanya lebih enak,” kata Sheba kepada wanita itu.

“Tentu saja, Nona. Ini adalah makanan khas kami di musim dingin. Di setiap pesta musim dingin, saya selalu menjualnya.”

Sheba menyukai sup itu tetapi ia tidak sanggup menghabiskannya. Sheba tidak sedang berselera makan. Selama ia sakit, selera makannya turun. Sehari-hari ia makan sedikit. Sekarang ia makan lebih sedikit lagi.

Pangeran memperhatikannya seolah ingin mengatakan tidak baik meninggalkan sisa. Sang wanita penjual tidak akan senang melihat pembelinya tidak menghabiskan makanan yang dipujinya.

Perlahan-lahan Sheba menghabiskan sup itu.

Sesaat kemudian mereka meninggalkan wanita itu dan berjalan-jalan kembali.

Pangeran terus membawa Sheba berkeliling sambil sesekali berhenti melihat keramaian. Pangeran membuat Sheba sangat bahagia.

Tak terasa hari sudah malam. Langit sudah gelap ketika Pangeran menyadari betapa lamanya mereka berada di Zerupt.

“Sebaiknya kita kembali sekarang.”

Sheba melihat kekhawatiran Pangeran. “Saya tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan kita.”

Pangeran menarik Sheba merapat.

“Apakah kita akan berjalan pulang?” tanya Sheba penuh harap.

“Tidak, aku tidak ingin engkau sakit,” kata Pangeran tegas.

“Saya ingin sekali berjalan pulang,” bujuk Sheba dengan manis, “Saya sangat menginginkannya.”

“Bagaimana kalau engkau jatuh sakit lagi?” tanya Pangeran, “Udara semakin dingin.”

“Tidak,” bantah Sheba tetapi gadis itu menggosok-gosokkan tangannya.

Pangeran tersenyum. “Benarkah?” tanyanya tak percaya.

“Sewaktu Anda berada di sisi saya, saya merasa hangat.”

Tiba-tiba raut gembira Pangeran menghilang.

“Apakah saya mengucapkan sesuatu yang salah, Pangeran?” Sheba kebingungan.

“Tidak,” Pangeran mengelak, “Mari kita pulang.”

Sheba merasa tidak enak. Sepanjang jalan itu mereka sama-sama berdiam diri.

“Pangeran,” panggil Sheba lembut.

“Ada apa?”

“Apakah yang membuat Anda risau?” tanya Sheba, “Apakah saya membuat Anda sedih?”

“Tidak, Sheba. Tidak ada yang merisaukanku.”

“Saya melihat Anda sedang memikirkan sesuatu. Apakah Paduka Raja marah karena Anda meninggalkan pekerjaan Anda?”

“Tidak.”

“Apakah…” Sheba memberanikan diri, “Anda merasa tidak enak karena hal itu?”

“Hal apa?” tanya Pangeran lembut.

“Anda mengatakan banyak hal tentang kakak saya kepada saya.”

“Ya,” Pangeran akhirnya mengakui, “Antara lain itu yang kupikirkan. Aku merasa sangat menyesal telah mengatakannya.”

“Tidak, Pangeran,” Sheba menggeleng, “Sebagian besar dari yang Anda katakan itu benar. Carmen adalah gadis yang manja. Emilie adalah gadis yang cerewet. Itu semua benar. Juga tentang kakak-kakak saya yang lain.”

“Tetapi aku sangat salah menilaimu.”

“Tidak,” bantah Sheba, “Sebagian yang Anda katakan benar. Saya menyadari saya sangat sombong dan angkuh. Saya tidak mau memenuhi panggilan Ratu juga tidak mau menghadiri pesta orang-orang yang telah mengundang saya.”

“Tetapi engkau mempunyai alasan yang tepat.”

“Karena saya menghindari laki-laki yang mengejar saya?” tanya Sheba.

“Aku mengerti mengapa engkau melakukannya.”

“Mengapa Anda membenci para wanita kecuali saya?” tanya Sheba tiba-tiba.

Pangeran tidak menjawab.

Sheba berharap mendengarnya langsung dari Pangeran tetapi sepertinya harapan itu terlalu tinggi.

No comments:

Post a Comment