Monday, March 26, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 13

Ratu sangat puas.

Lamaran kepada Sheba telah disampaikannya dan sekarang hanya menanti jawaban dari gadis itu sendiri.

Setelah itu, Ratu akan membuat kejutan bagi putranya. Pangeran pasti akan sangat senang ketika mengetahui Ratu telah melamar Sheba untuknya dan gadis itu menerimanya.

Ratu tidak sabar melihat wajah terkejut Pangeran.

Sepanjang malam kemarin Ratu mengawasi Pangeran dan Sheba dan ia yakin pada keputusannya.

“Countess of Horthrouth datang menemui Anda, Paduka.”

“Persilahkan dia masuk.”

Ratu tidak sabar menanti jawaban Sheba.

“Selamat siang, Paduka,” kata Countess.

“Selamat siang, Countess. Silakan duduk.”

Countess duduk di depan Ratu. “Saya datang mewakili putri saya memberikan jawaban.”

“Katakanlah apa jawaban putrimu. Aku sudah tidak sabar lagi.”

“Dengan sangat menyesal, saya mengatakan Sheba tidak bersedia menjadi istri Pangeran.”

“APA!?” Ratu membelalak kaget. “Mengapa? Mengapa?”

“Saya sendiri kurang mengerti, Paduka.”

“Bukankah Sheba mencintai Eduardo? Aku yakin gadis itu mencintai Eduardo, aku melihatnya kemarin malam.”

Countess tidak dapat menjawab. Kemarin malam ia juga sempat merasa Sheba mencintai Pangeran. Ia melihat pula cara Sheba menatap Pangeran yang penuh kelembutan dan cinta kasih.

Tetapi hari ini Sheba menolak lamaran Pangeran.

“Aku menolaknya,” kata Sheba dengan tenang.

“APA!?” keenam gadis yang lain terkejut.

“Mengapa engkau menolaknya? Semua gadis berharap dilamar Pangeran kami tetapi engkau malah menolaknya? Apakah engkau tidak salah?”

“Tidak, Emilie. Kalau engkau tertarik, terimalah lamaran itu.”

“Apakah engkau sudah memikirkannya masak-masak?” tanya Countess.

Sheba mengangguk. “Selamat pagi, semuanya. Aku pergi dulu.”

“Engkau mau ke mana?” tanya Countess.

“Aku mempunyai janji yang tidak bisa kutinggalkan.”

“Lalu bagaimana dengan lamaran Pangeran ini?”

“Aku telah menjawabnya, Mama. Mama bisa mengatakan semua yang kukatakan ini pada Pangeran.”

“Tetapi apa alasannya?”

“Pangeran tahu mengapa,” jawab Sheba sambil berlalu.

“Sheba!” panggil Countess tetapi gadis itu sudah menghilang dari Ruang Makan.
Countess menatap Earl. “Apa yang harus kita katakan?”

“Mungkin Sheba benar, sebaiknya mengatakan yang sebenarnya. Apapun jawaban Sheba, itu adalah haknya.”

Countess menghela napas panjang. Ia tidak mengerti dengan putrinya ini. Sepertinya ia tidak pernah bisa mengerti putri bungsunya ini.

“Saya tidak bisa berlama-lama di sini, Paduka Ratu. Saya berjanji pada putri-putri saya untuk menemani mereka berjalan-jalan.”

“Terima kasih engkau mau memberitahu jawaban Sheba, Countess,” kata Ratu, “Apapun jawaban Sheba, aku sangat menghargainya.”

“Terima kasih atas pengertian Anda, Paduka.”

Countess membungkuk dan meninggalkan tempat itu.

Ratu tidak habis pikir. Ia tidak mengerti mengapa Sheba menolak lamaran Pangeran. Kemarin malam, ia juga Countess telah melihat sendiri bagaimana cara kedua orang itu berpandangan. Mereka saling menatap tanpa berbicara. Pandangan mereka adalah pandangan dua orang yang sedang terpesona.

Siapapun itu walau orang buta sekalipun akan mengetahui mereka saling mencintai. Tetapi…

Ratu tidak habis pikir.

“Ada apa Mama memanggilku?”

“Engkau sudah datang, rupanya,” kata Ratu. Harapannya untuk menyampaikan berita gembira pada putranya, pupus. “Tadinya aku ingin memberimu berita gembira, tetapi harapanku tidak terwujud. Dia menolak lamaranmu.”

“Dia siapa?” Pangeran kebingungan.

Ratu benar-benar menyesal ketika berkata, “Dengan menyesal aku mengatakan Sheba menolak lamaranmu.”

Pangeran menatap ibunya tanpa rasa percaya sedikitpun. “Apa yang telah Mama lakukan?”

“Aku melamarkan dia untukmu.”

“Mengapa Mama melakukan itu!?”

Ratu terkejut. Ia tidak menduga reaksi putranya akan seperti ini. “Ada apa? Bukankah engkau mencintainya?”

Pangeran tidak dapat berkata apa-apa. Ia diam memandang keluar jendela.

“Ya,” Pangeran termenung, “Aku mencintainya. Sangat mencintainya.”

Ratu ikut sedih melihat Pangeran termenung sedih. “Apakah aku harus menggunakan kekuasaan untuk memaksanya menikahimu?”

Pangeran terkejut. “Maksud Mama?”

“Aku akan memaksanya menikah denganmu,” ulang Ratu.

“Tidak!” bantah Pangeran, “Aku tidak setuju!”

“Lalu bisakah engkau menjelaskan mengapa ia menolakmu?”

Pangeran terdiam.

“Aku tahu engkau sangat mencintainya dan engkau tidak ingin menyakitinya. Tetapi, aku tidak ingin engkau patah hati seperti ini. Ini adalah pertama kalinya engkau mencintai seorang gadis. Aku tidak ingin engkau gagal. Selama ini engkau adalah pria yang selalu menjadi perhatian para gadis, ia harus mempunyai alasan yang tepat untuk menolakmu.”

“Ia sudah punya,” jawab Pangeran, “Irvainz.”

“Omong kosong!” seru Ratu, “Irvainz dan Sheba hanya teman! Countess telah meyakinkan hal itu.”

“Apapun yang menjadi alasannya, aku tidak setuju Mama memaksanya!” Pangeran ikut berseru.

“Tetapi…”

“Sudahlah, aku pergi,” dengan kesal Pangeran meninggalkan Ratu.

Sebelum menutup pintu, Pangeran membalikkan badan dan berkata tegas, “Aku tidak akan menikahinya bila Mama memaksanya menikahiku!”

Ratu terdiam. Ia tidak dapat berbuat apapun. Ratu sungguh tidak tega melihat putranya patah hati. Walau Pangeran tidak menunjukkannya, namun Ratu tahu di dalam hatinya, Pangeran merasa kecewa.

Ini adalah pertama kalinya putranya jatuh cinta. Ratu tidak ingin putranya patah hati pada cinta pertamanya ini.

Ratu ingin memaksa juga tidak dapat. Eduardo tidak akan mau menikahi gadis itu bila gadis itu setuju karena dipaksa. Ratu pusing. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

Apakah dosanya sehingga putranya tidak bisa menikah seumur hidup? Dulu putranya bersikeras tidak mau jatuh cinta pada seorang gadispun. Sekarang setelah putranya jatuh cinta, gadis itu menolaknya. Apakah dosanya?


-----0----



“Anda mencari siapa, Pangeran?” tanya Coudy.

“Anda pasti mencari Sheba,” sahut Nelly. “Sayang sekali ia tidak ada di rumah.”

“Ke manakah perginya?”

“Kami tidak pernah mengetahui ke mana ia pergi, Pangeran. Ia pergi dan pulang tanpa pamit seperti angin,” jawab Emilie.

“Terima kasih,” kata Pangeran.

Para gadis itu mengantar Pangeran hingga ke pintu depan.

“Selamat tinggal,” kata Pangeran kemudian melompat ke punggung kudanya.

“Selamat tinggal, Pangeran!” seru para gadis itu sambil melambaikan tangannya. “Kalau Sheba pulang, kami akan memberitahu dia bahwa Anda mencarinya.”

“Menurutmu mengapa Pangeran mencari Sheba?” tanya Nelly.

“Pasti karena ia ingin tahu mengapa Sheba menolaknya,” jawab Emilie.

“Aku heran mengapa Sheba menolak Pangeran,” ujar Shelvy.

“Semua gadis di kerajaan ini sangat mengharapkan Pangeran melamarnya. Sheba sangat beruntung Pangeran melamarnya tetapi ia menolaknya. Apakah ia sudah gila?” Janet keheranan. “Kalau aku yang dilamar, aku tidak akan menolak. Semua gadis pasti akan iri padaku.”

“Sekarang, semua gadis pasti akan iri pada Sheba juga marah padanya karena telah menolak lamaran Pangeran,” kata Emilie.

“Tetapi mereka pasti bersyukur karena Sheba menolaknya. Mereka pasti akan berusaha lebih keras agar Pangeran jatuh cinta pada mereka seperti ia mencintai Sheba.”

“Ada dampak lainnya, Nelly,” timpal Carmen.

“Apa itu?” tanya kelima gadis lain – penuh ingin tahu.

“Setelah mengetahui Pangeran melamar Sheba, para lelaki yang mencintai Sheba pasti akan segera mengirimkan lamarannya pada Sheba. Mereka tentu tidak ingin Sheba jatuh pada tangan pria lain.”

“Benar. Aku baru menyadarinya sekarang.”

“Pasti akan seru sekali, Emilie,” sahut Coudy, “Rumah kita akan penuh bunga dan surat lamaran.”

“Tetapi Sheba tidak akan pulang rumah selama berhari-hari,” kata Nelly sedih. “Kalau ia tidak ada, rasanya tidak lengkap. Ia sangat menarik untuk kita goda.”

“Benar,” para gadis itu sedih.

Apapun yang terjadi setelah berita lamaran Pangeran yang ditolak ini didengar orang lain, dampaknya tidak akan terlalu menyenangkan.

Sheba yang tidak senang menjadi pusat perhatian, pasti akan menghilang sejauh mungkin dari pandangan orang-orang yang mengenalnya. Sebelum ia mendengar seorangpun membicarakan dirinya, Sheba pasti telah berada di suatu tempat yang jauh dari Schildi.

Pangeran juga berpikir seperti itu.

Setelah meninggalkan Istana, Pangeran segera menuju Kastil Clypst tempat tinggal keluarga Horthrouth. Untuk pertama kalinya Pangeran ke sana atas keinginannya sendiri.

Pangeran ingin menemui Sheba untuk meminta maaf atas lamaran yang pasti telah menganggunya ini. Pangeran juga ingin meyakinkannya agar tidak perlu khawatir akan apapun setelah menolaknya.

Pangeran sangat kecewa. Hatinya sakit mendengar penolakan Sheba atas lamarannya. Tetapi itu adalah hak Sheba.

Salahnya sendiri Sheba menolaknya. Sheba berulang kali berkata padanya, “Jangan berpikir seburuk itu tentang wanita, Pangeran. Tidak semua wanita sejelek dalam pandangan Anda.” Tetapi Pangeran tidak pernah berhenti menjelek-jelekkan Pelangi Evangellynn yang dibencinya di depan gadis itu sendiri.

Pangeran tidak tahu di mana ia bisa menemukan Sheba. Kemarin ia tidak sempat bertanya ke mana gadis itu akan pergi hari ini. Pangeran juga merasa tidak enak pada Sheba.

Di manapun ada orang yang membutuhkan bantuan, selalu ada Sheba tetapi di tempat yang manakah gadis itu sekarang berada? Kerajaan ini luas. Banyak tempat yang mungkin didatangi Sheba.

Bisa saja Pangeran mencarinya di seluruh kerajaan ini tetapi belum tentu besok gadis itu berada di tempat yang sama. Akan sangat sulit sekali menemukan Sheba.

Pangeran bingung. Ia akan merindukan Sheba tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk menemui gadis itu.

Sekarang Pangeran baru menyadari betapa pengecutnya dia. Ia berani menjelek-jelekkan putri keluarga Horthrouth di hadapan sang putri bungsu. Dan, ketika menyadari kepada siapa ia mengatakan semua pendapatnya, ia takut menemuinya lagi.

Pangeran marah pada dirinya sendiri. Ia ingin mencabik-cabik dirinya dan melampiaskan penyesalan ini.

Hatinya sudah merasa bersalah dan semakin merasa sakit.

Di manakah Pangeran dapat menemukan gadis yang tak pernah jelas keberadaannya itu? Andaikan ada sesuatu yang bisa membuat gadis itu tetap bertahan di rumahnya walau hanya sehari…

Sudah cukup sehari bagi Pangeran untuk mengatakan semua yang ingin dikatakannya. Dan andai Pangeran mempunyai kesempatan, Pangeran ingin memperbaikinya. Hingga kini –setelah mengetahui siapa gadis yang dicintainya, Pangeran tetap takut kehilangan gadis itu.

Gadis itu telah mengambil tempat yang sangat besar di hatinya.

Esok paginya Pangeran kembali ke Kastil Clypst. Pangeran berharap ia dapat menemui Sheba sebelum gadis itu pergi.

“Pangeran!” Carmen terkejut ketika membukakan pintu.

“Selamat pagi,” sapa Pangeran. “Saya mencari…”

“Anda pasti datang mencari Sheba!” seru Coudy dari dalam. “Cepatlah masuk, Pangeran! Sheba gawat sekali.”

Pangeran terkejut. Sebelum disadarinya, ia telah melalui Carmen. “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya cemas.

“Keadaannya gawat!” kata Coudy.

“Apa yang terjadi padanya?” ulang Pangeran cemas.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan!” Coudy menarik tangan Pangeran.

“Coudy!” panggil Carmen tetapi gadis itu tidak mendengarkannya. Begitu pula Pangeran.

Dengan wajahnya yang diliputi kecemasan, Pangeran mengikuti Coudy yang menariknya ke tingkat atas.

“Apa yang terjadi pada Sheba?”

“Sudahlah. Anda lihat saja dia.”

Carmen berlari-lari mengikuti di belakang.

Coudy membuka pintu besar.

Pangeran terkejut melihat Emilie, Shelvy, Nelly, juga Janet berkumpul mengelilingi suatu tempat tidur.

Tirai-tirai tempat tidurnya yang halus terikat rapi di tiang-tiang penyangga besi. Kain penutup tempat tidur yang putih jatuh menyentuh permukaan permadani yang biru.

Pangeran cemas membayangkan apa yang terjadi pada Sheba yang terbaring di tempat tidur itu.

Para gadis itu juga terkejut melihat Pangeran tiba-tiba masuk.

“Coudy!” hardik Carmen terengah-engah, “Jangan suka membuat keributan!”

Coudy tersenyum nakal.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Pangeran cemas.

“Jangan khawatir, Pangeran. Sheba hanya flu tetapi ia memaksa keluar rumah,” kata Carmen.

Pangeran mendekati tempat tidur.

Sheba bersandar di tepi tempat tidur dan tersenyum padanya. “Selamat pagi, Pangeran,” sapanya.

Kembali Pangeran merasa kikuk. “Selamat pagi. Ba…”

“Sheba! Sheba!”

Semua menoleh ke pintu.

Irvainz menerjang semua orang dan duduk di samping tempat tidur. “Bagaimana keadaanmu? Kudengar engkau sakit.”

“Aku tidak apa-apa. Aku hanya sakit biasa.”

Hati Pangeran panas melihat Irvainz meletakkan tangan di dahi Sheba dengan mesra.

“Engkau tidak demam.”

“Aku hanya sakit flu biasa,” ulang Sheba, “Tetapi mereka memperlakukanku seperti orang sakit parah.”

Pangeran hampir tidak dapat menahan kecemburuannya ketika Irvainz memeluk Sheba.

“Anak manis, cepatlah sembuh lalu kita akan berjalan-jalan.”

Sheba tersenyum. “Aku pasti cepat sembuh kalau engkau membantuku.”

“Katakan apa yang bisa kulakukan.”

Sheba membisikkan sesuatu di telinga Irvainz.

Pangeran ingin mengetahui apa yang dikatakan Sheba pada pria itu. Ia ingin mendengar pula. Kedua tangan Pangeran terkepal di sisi tubuhnya. Kecemburuan membakar hati Pangeran. Kalau kedua orang itu tidak segera berpisah, Pangeran tidak dapat menjamin tindakannya.

Irvainz tersenyum geli lalu berkata, “Baiklah, Tuan Puteri. Akan hamba lakukan sesuai keinginan Anda.”

Sheba tertawa gembira. “Jangan kecewakan aku, Irvainz.”

“Pasti,” janji Irvainz. Pria itu mencium dahi Sheba.

Pangeran semakin marah. Pria itu telah memeluk Sheba dan sekarang menciumnya.

“Carmen, maukah engkau pergi denganku?” tanya Irvainz.

Carmen kebingungan.

Sheba tersenyum memandang kakaknya.

“Ada sesuatu yang penting yang harus kukatakan padamu,” kata Irvainz sambil menarik Carmen pergi.

Wajah Carmen memerah ketika Irvainz menyentuh tangannya.

Sheba bahagia melihat kepergian dua orang itu.

Emilie tersenyum melihat Sheba. “Engkau memang nakal,” katanya, “Engkau menyuruh Irvainz membawa pergi Carmen agar engkau bisa pergi tetapi aku tidak akan membiarkanmu.”

“Menurutku, sekarang kita harus pergi juga,” kata Shelvy tiba-tiba. Shelvy melirik Pangeran lalu Sheba.

“Kita harus menjaga pintu,” sahut Coudy, “Jangan sampai ada seorang priapun yang memasuki kamar Sheba.”

“Aku ingin melihat siapa yang pertama kali mengirimkan bunga untuk Sheba,” timpal Janet.

“Ayo kita pergi!” Nelly setuju.

“Aku bergantung pada kalian,” kata Sheba.

“Jangan khawatir, Sheba. Kami akan mencegah setangkai bungapun memasuki kamarmu,” gadis-gadis itu berjanji.

Satu per satu mereka mencium dahi Sheba lalu meninggalkan kamar itu.

Sebelum pergi, Emilie berpesan, “Pangeran, tolong jaga Sheba. Jangan sampai ia meninggalkan tempat tidurnya.”

Pangeran mengangguk.

Sheba tersenyum senang melihat kakak-kakaknya pergi. Saat mendengar suara canda tawa mereka menjauh, Sheba segera menyingkap selimutnya.

Pangeran terkejut melihat Sheba telah mengenakan gaun yang rapi dan bersiap meninggalkan kamarnya.

“Apa yang kaulakukan? Cepat kembali ke tempat tidurmu!” Pangeran mendorong Sheba kembali ke tempat tidur.

“Saya mempunyai janji,” kata Sheba.

“Tidak bisa!” bantah Pangeran. Dengan lembut Pangeran mendorong Sheba kembali berbaring di tempat tidur. “Engkau sedang sakit.”

“Saya hanya sakit biasa.”

Tiba-tiba Sheba terbatuk-batuk.

“Sakit biasa katamu?” ejek Pangeran, “Selama aku berada di sini, engkau tidak boleh meninggalkan tempat tidur!”

“Anda akan membuat saya mengalami kesulitan dengan para pria itu,” keluh Sheba.

Tiba-tiba Pangeran tersentak kaget. Ia baru menyadari sebuah alasan yang lebih masuk akal. Sheba bukan tidak senang bila ada orang yang mengunjunginya tetapi ia tidak senang menerima bunga-bunga itu dari para lelaki.

Sheba memanfaatkan kediaman Pangeran untuk beranjak dari tempat tidur.

“Kembali ke tempat tidurmu!” perintah Pangeran.

Sheba memandangi Pangeran. Ia tersenyum. “Maafkan saya, Pangeran. Sakit seperti ini tidak akan membuat saya menjadi penurut.”

Sheba membuka lemari bajunya.

“Mau ke mana engkau?”

“Ke tempat di mana saya bisa beristirahat dengan tenang,” jawab Sheba.

“Ke mana?” desak Pangeran.

“Ke tempat yang tak seorang priapun bisa menemukan…” Sheba kembali terbatuk-batuk.

Pangeran mendekati Sheba. Tangannya menepuk-nepuk punggung Sheba dengan lembut. “Batukmu sedemikian parah, engkau masih mau keluar di hari sedingin ini.”

“Udara musim dingin memang tidak bersahabat,” kata Sheba, “Dingin dan kering.”

Angin musim dingin yang bertiup sangat dingin. Dinginnya sangat tajam melebihi ketajaman pisau tetapi sinar matahari bersinar dengan terik. Sinar matahari terasa menyengat kulit tetapi angin dingin terus bertiup.

Udara tidak benar-benar panas juga tidak benar-benar dingin. Banyak orang yang sakit di saat seperti ini.

Pangeran meraih mantel tebal di dalam lemari dan mengenakannya pada Sheba.

“Terima kasih, Pangeran,” Sheba merapatkan mantel itu pada tubuhnya.

Sesaat kemudian Sheba merasa kakinya tidak lagi menginjak lantai. Sheba membelalak menatap Pangeran.

“Aku akan membawamu ke tempat yang kauinginkan.”

“Tetapi…”

Pangeran tidak senang melihat wajah panik itu. Selalu! Setiap disentuh olehnya, gadis itu selalu panik seperti ini tetapi bila Irvainz menyentuhnya, ia tidak panik.

“Kalau engkau tidak menurut padaku, mereka tidak akan membiarkanmu meninggalkan rumah ini,” kata Pangeran tegas.

Shebapun terdiam. Ia memeluk leher Pangeran dan menyandarkan kepalanya di bahu bidang itu.

Samar-samar Pangeran dapat mencium bau wangi rambut Sheba. Pangeran ingin menyentuh rambut itu dan mencium wanginya yang khas, lembut tetapi menyegarkan.

“Anda mau ke mana?” tanya Emilie mencegat Pangeran.

“Aku akan membawa Sheba ke dokter.”

“Benar,” kata Nelly, “Bawalah dia ke dokter agar ia cepat sembuh dan tidak merepotkan kami.”

“Lihatlah, Sheba. Sudah ada dua rangkaian bunga yang datang untukmu,” Coudy mengangkat dua rangkaian besar bunga mawar merah yang segar, “Engkau ingin aku meletakkannya di kamarmu?”

“Aku akan membencimu seumur hidupku kalau engkau melakukannya,” ancam Sheba.

Coudy tertawa geli.

“Bolehkah aku meletakkannya di kamarku?” tanya Janet.

“Dengan sangat senang hati.”

Pangeran meletakkan Sheba ke atas kudanya.

“Selamat tinggal, semuanya,” kata Sheba sambil melambaikan tangannya ketika kuda mulai bergerak.

“Jangan lupa pulang!” sahut kelima gadis itu.

Sheba tertawa riang. “Akhirnya saya bisa meninggalkan…,” Sheba kembali terbatuk-batuk.

“Lihatlah,” hardik Pangeran, “Sudah kuperingatkan untuk tidak keluar tetapi engkau tidak mau menurut.”

“Kalau saya semakin parah, saya tidak akan menyalahkan Anda,” kata Sheba sambil tersenyum.

“Tetapi aku akan menyalahkan diriku sendiri.”

“Saya gadis yang kuat,” Sheba meyakinkan.

“Aku juga yakin tetapi kalau kita tidak berpindah ke kereta, engkau akan jatuh sakit juga.”

Pangeran membelokkan kudanya ke Istana. Pangeran terus melajukan kudanya ke istal belakang istana.

“Cepat siapkan kereta,” perintahnya pada penjaga kuda.

“Baik, Pangeran.”

Pangeran menggendong Sheba turun dan segera membawanya masuk ke dalam kereta yang siap untuk berangkat.

“Katakan pada orang tuaku kalau aku pergi.”

“Baik, Pangeran.”

“Bawa kami ke Ruethpool,” perintah Pangeran lalu ia masuk ke dalam kereta.

Kusir segera membawa kereta meninggalkan Istana.

Pangeran melihat Sheba yang duduk di tepi kereta sambil memeluk tubuhnya. “Kemarilah,” Pangeran membentangkan tangannya.

Sheba kebingungan dan ragu-ragu.

“Mendekatlah agar engkau merasa hangat.”

Sheba hanya menatap Pangeran.

“Apakah engkau takut Irvainz akan marah padaku dan padamu?”

Sheba menggeleng.

“Mendekatlah. Jangan sampai engkau merasa kedinginan sebelum engkau lebih baik.”

“Tetapi saya hanya sakit biasa,” bantah Sheba, “Tak lama lagi saya juga akan sembuh.”

“Pantaslah Earl mengatakan engkau gadis yang sulit diatur,” Pangeran tersenyum lembut, “Mendekatlah. Jangan takut aku akan mencelakakanmu. Katamu seorang Pangeran harus memegang janjinya, aku juga akan melakukannya.”

Perlindungan di antara kedua tangan Pangeran itu sangat menarik. Sheba pernah merasakan kehangatan di dalam sana. Sheba menyukai perasaan hangat ketika berada di dalam sana.

Pangeran tersenyum lembut sambil tetap membentangkan tangannya.

Sheba menatap wajah Pangeran dan menunduk lalu menatap Pangeran lagi.

Dengan sabar Pangeran menanti Sheba.

Sheba ragu-ragu melihat Pangeran. Perlahan-lahan ia mendekatkan diri pada Pangeran dan membiarkan Pangeran menariknya ke dalam pelukannya.

“Tidurlah yang nyenyak. Perjalanan kita akan panjang.”

“Ke mana Anda akan membawa saya?” tiba-tiba Sheba merasa panik.

“Ke tempat di mana Anda bisa beristirahat dengan nyaman. Tempat itu tidak terlalu dingin dan juga tidak terlalu panas. Sangat cocok untuk memulihkan keadaan Anda,” Pangeran ikut bersikap sopan.

Sheba menatap Pangeran. “Bagaimana dengan janji saya?”

“Saya akan mengijinkan Anda pergi menemui orang itu setelah Anda cukup sembuh.”

“Tetapi saya belum memberitahu keluarga saya,” protes Sheba.

“Saya telah mengaturnya. Saya telah menyuruh orang untuk memberitahu keluarga Anda bahwa saya membawa Anda ke tempat yang sejuk untuk membantu kepulihan kesehatan Anda.”

Sheba tidak berusaha menutupi kesedihan di wajahnya.

“Jangan bersedih,” hibur Pangeran. Pangeran merasa ikut sedih melihat wajah cantik itu. “Saya berjanji akan menuruti semua keinginan Anda setelah Anda sembuh.”

Pangeran menunduk mencium dahi Sheba.

Seketika wajah Sheba memerah. Sheba merasa pipinya memanas dan ia malu melihat Pangeran. Sheba menyembunyikan wajahnya di dada Pangeran.

Pangeran tersenyum lembut. Sikap Sheba itu tidak menunjukkan ia benar-benar mencintai Irvainz. Artinya masih ada harapan bagi Pangeran untuk mendapatkan cinta gadis itu. Pangeran memeluk Sheba semakin erat.

Sheba merasakan kepala Pangeran di atas kepalanya. Tangan Pangeran membelai rambutnya dan membawa jantung Sheba berdebar semakin kencang. Sheba panik. Ia bingung harus berbuat apa.

Sheba memejamkan matanya dan berharap mereka segera tiba entah ke manapun Pangeran membawanya pergi. Sheba ingin menyembunyikan diri dari Pangeran.

Pangeran merasakan getaran tubuh Sheba tetapi ia menduga Sheba kedinginan. Pangeran semakin merapatkan Sheba pada dirinya – berusaha melindungi gadis itu dari udara dingin.

Sesaat kemudian Pangeran merasa Sheba sudah tidak bergetar lagi. Pangeran bertanya lembut, “Engkau sudah merasa hangat?”

Tidak ada jawaban dari Sheba.

“Sheba,” bisik Pangeran.

Sheba masih tidak menjawab.

“Rupanya engkau sudah tidur,” ujar Pangeran. “Tidurlah yang nyenyak sampai kita tiba,” Pangeran mencium dahi gadis itu.


-----0-----



Sheba terbangun. Ia merasa sudah tidur begitu lama seperti berabad-abad.

Mata Sheba mengerjap-ngerjap – berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang memasuki kamarnya yang gelap.

Sheba kebingungan melihat ruangan di sekelilingnya.

Ini bukan kamarnya, bukan tempat tidurnya.

Sheba tidak mengenali tempat ini.

Samar-samar Sheba teringat di mana ia berada. Pangeran membawanya ke Istana musim dinginnya, Ruethpool. Sekarang Sheba tengah berbaring di salah satu kamar di Ruethpool.

Sheba berdiri.

Tiba-tiba Sheba merasa kepalanya sangat sakit. Seperti ada sesuatu yang mencengkeram kepalanya.

Sheba terduduk di tempat tidur dan berusaha bertahan dalam sakit kepalanya. Sheba merasa seluruh tubuhnya sangat lemas. Sakitnya terasa lebih parah dari tadi pagi. Tadi pagi Sheba hanya batuk-batuk dan sedikit demam. Sekarang Sheba merasa kepalanya sangat sakit dan tubuhnya lemas.

Sheba berjalan gontai ke pintu.

Sesaat sebelum Sheba membuka pintu, seseorang telah membukanya.

“Ya Tuhan, apa yang kaulakukan, Sheba!?”

Suara tinggi itu membuat kepala Sheba semakin sakit. Sheba merasa tubuhnya diangkat dan sesaat kemudian ia telah berbaring kembali di tempat tidur.

“Apa yang kaulakukan?” tegur Pangeran.

“Bisakah Anda memelankan suara Anda?” pinta Sheba, “Anda membuat kepala saya semakin pening.”

Pangeran menyentuh dahi Sheba. “Panasmu semakin tinggi,” katanya terkejut.

“Sepertinya memang begitu,” Sheba tersenyum.

“Apanya yang sepertinya?” Pangeran naik pitam, “Tubuhmu semakin panas dan engkau berani meninggalkan tempat tidur!?”

Sheba terkejut. Pangeran lebih menakutkan dari kakak-kakaknya. Mata hijaunya menatap Pangeran.

“Aku akan pergi sebentar,” kata Pangeran kemudian dengan nada tegas, ia mengancam, “Kalau engkau berani meninggalkan tempat tidur, aku akan menghukummu.”

Sheba tersenyum. Ia merasa sudah tidak kuat lagi untuk membantah.

Pangeran mencari pelayan. “Panggil dokter,” perintahnya ketika ia menemukan seorang pelayan.

Tanpa menanti jawaban pria itu, Pangeran segera kembali ke sisi Sheba. Pangeran mencemaskan Sheba.

Pangeran merasa bersalah. Karena ia memaksa membawa Sheba dalam udara sedingin ini, sakit Sheba semakin parah.

Sheba menyadari perasaan Pangeran itu.

“Keadaan saya seperti ini bukan karena Anda,” kata Sheba menghibur, “Tetapi sudah seharusnya saya semakin parah. Kemarin saya menolong anak yang tergelincir di tepi sungai. Saya berhasil menyelamatkan anak itu tetapi saya terjatuh ke air sungai yang dingin.”

Pangeran terkejut. “Engkau masih bisa tersenyum di saat seperti ini?” Pangeran marah, “Bagaimana kalau engkau terkena paru-paru air!?”

“Menurut saya, itulah yang sedang terjadi pada saya,” jawab Sheba sambil tersenyum.

“Ingin sekali aku menghukummu. Di saat aku merasa cemas seperti ini, engkau masih bisa tersenyum,” geram Pangeran.

“Jangan terlalu kejam, Pangeran,” goda Sheba, “Saya akan takut mendekati Anda bila Anda kejam pada saya.”

Pangeran menggeram panjang.

Sheba tertawa.

Tiba-tiba Pangeran menjatuhkan diri di atas Sheba. Tangannya mencengkeram kuat kedua tangan Sheba.

Sheba terbatuk-batuk.

“Itu adalah hukuman karena mempermainkanku.”

Sheba ingin membalas Pangeran tetapi batuknya tidak mau berhenti.

Pangeran cemas melihat Sheba. Ia menepuk-nepuk punggung Sheba hingga akhirnya batuk panjang itu berakhir.

“Jangan membuatku cemas, Sheba.” Pangeran memeluk Sheba.

Wajah Sheba merah padam. Entah karena batuknya atau karena kepanikannya.

“Saya sudah membaik,” kata Sheba malu-malu.

Pangeran membaringkan Sheba dengan hati-hati bagai membaringkan bayi di tempat tidur.

Sheba menatap langit-langit kamar lalu jendela yang tertutup tirai tebal. “Saya merasa telah tidur selama berabad-abad.”

“Engkau tidur pulas seperti seekor babi kecil.”

Sheba memasang wajah cemberut.

Pangeran tertawa geli. “Benar, engkau tidur seperti seekor babi kecil. Babi kecil yang cantik.”

“Sepertinya Anda menyukai seekor babi,” balas Sheba.

“Ya, aku mencintai babi kecil cantik ini,” Pangeran berterus terang. Ia tidak dapat lagi menahan perasaannya lebih lama.

Sheba terpana. Wajahnya memerah. Ia tidak tahu Pangeran bersungguh-sungguh atau hanya menggodanya. Yang pasti Sheba tidak sedang serius.

Seseorang mengetuk pintu.

Pangeran pergi membuka pintu.

“Dokter sudah datang, Pangeran.”

“Suruh dia masuk memeriksa Sheba,” perintah Pangeran.

“Baik, Pangeran.”

“Jangan bertingkah nakal,” pesan Pangeran sambil tersenyum nakal lalu menghilang dari ruangan itu.

“Silakan masuk, Dokter. Pasien Anda telah menanti di tempat tidur.”

“Permisi, Pangeran,” dokter itu memasuki kamar Sheba bersama seorang pelayan wanita.

Pangeran menanti di depan kamar.

Tak lama kemudian dokter itu muncul kembali. “Tuan Puteri sepertinya sudah tahu ia sakit apa,” katanya memuji, “Ia mengerti kedokteran.”

“Bagaimana keadaannya?” tanya Pangeran.

“Penyakit biasa di musim dingin,” jawab dokter itu. “Anda tahu bukan orang-orang di musim dingin selalu mudah sakit flu karena udara yang tidak enak ini. Dinginnya menyengat kulit tetapi panasnya sangat terik. Sudah banyak orang yang menemui saya karena sakit ini.”

“Terima kasih, Dokter,” potong Pangeran. Pangeran enggan mendengar ceramah dokter itu yang berbelit-belit. “Bisakah saya meminta obat untuk dia?”

“Tuan Puteri tahu obat apa yang diperlukannya. Tetapi sekarang ia sedang memegang resep saya,” Dokter itu kembali berbelit-belit. “Resep saya itu sangat manjur. Saya yakin Tuan Puteri akan segera sembuh. Keampuhannya sudah…”

“Terima kasih,” Pangeran memotong dengan kesal. Saat ini ia tidak membutuhkan ceramah dokter itu. “Mari saya antar ke depan.”

Dokter itu terus berceramah hingga mereka tiba di depan pintu.

“Sekali lagi terima kasih atas kehadiran Anda, dokter.”

“Saya senang dapat membantu. Bila keadaan Tuan Puteri tidak segera membaik, panggillah saya lagi.”

“Tentu,” kata Pangeran tetapi dalam hatinya ia berjanji untuk tidak memanggil dokter itu lagi.

Pangeran menanti hingga kereta kuda membawa pergi dokter itu kemudian kembali ke kamar Sheba.

Pelayan tengah menyuapi Sheba ketika Pangeran datang.

Sheba sangat gembira melihat kedatangan Pangeran. “Tanyalah pada Pangeran kalau Anda tidak percaya.”

Pangeran tidak mengerti apa yang dibicarakan Sheba.

“Ia memaksa menyuapi saya,” lapor Sheba, “Tolong katakan padanya bahwa saya bisa makan sendiri.”

Pangeran tersenyum nakal. “Berikan padaku.”

Pelayan itu memberikan piring itu pada Pangeran lalu mengundurkan diri dari ruangan.

“Terima kasih, Pangeran.” Sheba mengulurkan tangannya.

“Buka mulutmu untuk menunjukkannya.”

Sheba terbelalak.

Pangeran menyuapkan bubur panas itu ke dalam mulut Sheba.

“Saya merasa seperti seorang bayi lemah.”

“Dan aku akan menjadi pengasuhmu sampai engkau sembuh.”

“Saya sungguh merasa tidak enak pada Raja dan Ratu. Karena saya, Anda meninggalkan tugas-tugas kerajaan.”

“Aku akan merasa sangat bersalah pada rakyat Evangellynn bila gadis yang mereka cintai ini tidak segera pulih.”

“Saya tidaklah lebih penting dari Anda.”

“Anda tidak menghargai bantuan saya?”

“Bukan maksud saya berkata seperti itu, tetapi saya sungguh merasa bersalah.”

“Engkau tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang ini,” kata hati Pangeran sambil menatap Sheba. “Aku sungguh tak mengerti mengapa aku bisa berbohong seperti ini. Aku merasa serba salah tetapi aku masih bisa bersikap wajah seolah aku tak pernah berkata apa-apa.”

“Pangeran,” panggil Sheba cemas, “Apakah yang menjadi ganjalan hati Anda? Maukah Anda mengatakannya padaku.”

Pangeran menatap Sheba. “Tentu,” jawab Pangeran, “Aku sedih karena engkau tidak mau makan.”Sheba menatap Pangeran. Ia tahu bukan itu yang dipikirkan Pangeran. Mungkinkah Pangeran merasa menyesal telah membawanya ke sini? Bukankah Pangeran melakukan ini semua karena tidak ingin kehilangan orang yang sangat penting bagi rakyatnya?

No comments:

Post a Comment