Wednesday, March 28, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 15

Keesokan harinya Sheba terus memikirkan sikap Pangeran.

Tidak ada sikap Pangeran yang aneh pada mulanya tetapi semakin lama Pangeran terlihat semakin risau. Semakin lama bersamanya, Pangeran semakin muram.

Sheba tidak tahu apa kesalahannya. Sepanjang malam kemarin ia telah membujuk Pangeran untuk menceritakannya padanya tetapi Pangeran tetap bersikeras berkata tidak ada apa-apa.

Perjalanan kemarin malam sangat membahagiakan Sheba.

Pangeran berkata akan menyewa kereta tetapi ia tidak melakukannya. Tidak ada kereta yang berjalan saat itu. Semua orang sibuk menikmati pesta Zerupt.

Dengan terpaksa, Pangeran menuruti keinginan Sheba. Tentu saja yang paling bahagia dengan keputusan itu adalah Sheba.

Pangeran menarik Sheba merapat dan berjalan perlahan-lahan.

Walaupun hari telah gelap dan jalan-jalan semakin gelap, Sheba tidak takut. Ia merasakan perlindungan dari Pangeran. Sheba tidak merasa kedinginan. Tubuh Pangeran yang hangat menyelimutinya.

Sheba sangat bahagia hingga tidak menyadari mereka telah tiba di Istana Ruethpool.

Para pelayan telah menanti mereka dengan cemas.

Begitu mereka memasuki Istana, Pangeran memerintahkan pelayan untuk membawa Sheba ke tempat tidur. Katanya, Sheba sudah lelah dan harus beristirahat.

Sheba tidak membantah. Ia menurut ketika para pelayan mengajaknya kembali ke kamarnya di tingkat atas.

Sebelum tidur, Pangeran mampir ke tempat Sheba untuk mengucapkan selamat malam. Pangeran meninggalkan kecupan di dahi Sheba sebelum meninggalkan gadis itu.

“Orang suruhanku baru tiba,” kata Pangeran, “Ia mengatakan Tervis baru bisa datang besok.”

“Bolehkah saya bermain di luar?”

“Bermain apa!? Engkau ingin sakit!?”

“Tetapi saya sudah sembuh,” bantah Sheba. “Saya sangat ingin bermain di luar.”

“Sekali aku memberimu ijin, engkau terus memaksa.”

“Sekarang masih siang. Matahari akan membuat saya merasa hangat.”

“Sekarang mengertilah aku mengapa Earl tidak bisa menolak bujukanmu. Engkau sungguh membuat tiap orang menurutimu.”

Sheba tersenyum bahagia. “Terima kasih, Pangeran.”

“Aku belum memberimu ijin.”

“Tetapi saya yakin Anda akan mengijinkan saya.”

“Dasar anak nakal,” gerutu Pangeran. “Kenakan baju yang tebal. Aku akan menantimu di bawah.”

“Tentu,” Sheba melompat turun dari tempat tidur.

Pangeran memanggil pelayan untuk membantu Sheba kemudian ia mengambil mantelnya sendiri.

Pangeran tidak perlu menanti lama. Sesaat setelah ia tiba di depan pintu, Sheba muncul dengan wajah cerianya.

Siang itu Pangeran membawa Sheba berkeliling.

Sheba sangat gembira ketika melihat Istana Ruethpool berdiri di tepi sebuah danau yang luas. Permukaan danau yang tertutup es berkilau-kilau seperti permata emas. Di sekitarnya terlihat hutan putih.

“Indah sekali!” seru Sheba. “Saya ingin terus berada di sini.”

“Dan sakit?” tambah Pangeran.

Sheba menatap Pangeran. Ia tahu Pangeran mencemaskannya. Sheba membungkuk mengambil segumpal salju dan melemparkannya pada Pangeran.

Pangeran terkejut. Ia tidak sempat menghindar.

Sheba tertawa gembira. Sejak ia melihat salju putih, inilah yang ingin dilakukannya. Biasanya di musim dingin, ia selalu bermain salju bersama anak-anak. Sekarang ia tidak mempunyai kawan selain Pangeran.

Pangeran membalas perbuatan Sheba.

Sheba tetap tertawa gembira walau ia terkena lemparan Pangeran. Sambil menghindari lemparan Pangeran, Sheba membalas serangan Pangeran.

Pangeran senang melihat tawa Sheba. Saat ini Sheba bisa melupakan kesedihannya akan Irvainz tetapi hingga kapan?

Sheba kesal.

Setiap lemparan Pangeran selalu bisa mengenai Sheba tetapi Sheba sukar mengenai Pangeran. Dengan gesitnya, Pangeran selalu menghindari lemparan Sheba.

Mereka berdua bermain seperti dua anak kecil.

Tiba-tiba Sheba menjerit kaget. Ia jatuh terperosok di antara salju yang dingin.

“Sheba!” seru Pangeran panik. Pangeran mendekati Sheba. “Engkau tidak apa-apa?”

Sheba tersenyum licik. Tiba-tiba ia melemparkan bola salju di wajah Pangeran. “Kena,” katanya gembira.

“Anak nakal,” geram Pangeran sambil mencengkal tangan Sheba.

Sheba tertawa. Batuk Sheba yang mulai mereda tiba-tiba muncul lagi.

“Itu adalah hukuman untuk anak nakal.”

Batuk Sheba tidak mau berhenti. Pangeran mulai cemas.

“Engkau baik-baik saja?”

Sheba mengangguk dan berusaha menghentikan batuknya.

“Kita akan kembali. Engkau mulai sakit lagi.” Pangeran sudah siap mengangkat Sheba ketika Sheba memegang tangan Pangeran.

“Tidak,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Saya ingin bermain di sini.”
“Engkau akan sakit lagi,” bujuk Pangeran, “Kalau engkau tidak segera sembuh, aku tidak akan segera memulangkanmu.”

“Saya tidak ingin pulang!”

Pangeran terdiam.

“Saya tidak akan pulang sebelum mengetahui apa yang merisaukan Anda. Saya tidak ingin mengembalikan Anda pada Evangellynn dalam keadaan seperti ini.”

“Aku tidak apa-apa.”

“Anda sedang memikirkan sesuatu yang sangat membebani pikiran Anda. Apapun itu, saya tahu Anda tersiksa olehnya.”

“Besok lusa Tervis akan datang memeriksamu. Bila ia mengatakan keadaanmu sudah baik, aku akan mengantarmu pulang.” Pangeran mengacuhkan kata-kata Sheba.

“Apakah saya yang membuat Anda risau?”

“Tidak, Sheba,” elak Pangeran, “Engkau ingin mengetahui bagaimana Carmen dan Irvainz, bukan?”

“Saya sangat ingin mengetahuinya tetapi tidak lebih penting dari mengetahui apa yang merisaukan Anda.”

“Tidak ada yang merisaukanku, Sheba. Tidak ada.”

“Saya sangat sedih, Pangeran,” Sheba mengakui, “Saya sedih Anda tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada saya.”

“Engkau terlalu perhatian, Sheba. Aku sungguh tidak apa-apa. Aku akan segera mengantarkanmu pulang.”

“Apakah Anda tidak menyukai saya?” tanya Sheba mengejutkan Pangeran. “Mengapa Anda sangat ingin mengusir saya?”

“Aku tidak ingin mengusirmu tetapi keluargamu pasti telah mencemaskanmu.”

“Bukankah Anda telah memberitahu mereka di mana saya?”

“Tidak, Sheba. Waktu itu aku begitu tergesa-gesa sehingga aku terpaksa mengatakannya padamu. Saat itu aku berpikir untuk mengirim orang dari sini tetapi hingga saat ini aku lupa melakukannya.”

“Saya telah banyak merepotkan Anda. Pantas saja Anda tidak menyukai saya.”

“Aku tidak membencimu.”

“Tetapi Anda tidak pernah senang melihat saya. Tidak akhir-akhir ini. Saya yakin ada yang merisaukan Anda. Pas…”

Batuk Sheba muncul lagi.

“Kita kembali sekarang,” Pangeran memutuskan dengan tegas.

Sheba menahan tangan Pangeran dan menggelengkan kepala. “Sa… saya… ti… dak… mm…a…u…”

Sheba berusaha keras menghentikan batuknya. “Tidak setelah Anda mengatakan apa yang merisaukan Anda.”

Pangeran bersikeras tidak mau memberitahu.

Sheba merasa sangat sedih. Apakah Pangeran menyesal telah membawanya ke sini? Apakah Pangeran merasa telah dibodohi olehnya? Apakah Pangeran menyesali semua ini? Mungkinkah Pangeran membencinya seperti ia membenci para wanita yang lain?

Benar, pasti karena itu. Bukankah Pangeran tidak pernah menyukai para Pelangi Evangellynn termasuk dirinya. Bukankah Pangeran pernah bersumpah tidak mau berhubungan dengan Pelangi Evangellynn.

Bila bukan karena ia adalah orang yang banyak berjasa bagi Evangellynn, Pangeran tidak akan mau bersusah payah seperti ini.

Air mata Sheba meleleh.

Pangeran terkejut. “Ada apa, Sheba? Apa yang membuatmu sedih?”

“Anda,” jawab Sheba, “Anda membenci saya, bukan?”

“Tidak, Sheba,” kekerasan hati Pangeran luluh melihat sinar sedih itu. “Bagaimana aku bisa membencimu kalau aku sangat mencintaimu? Katakan padaku, Sheba.”

Sheba membelalak kaget.

“Aku sangat mencintaimu dan aku cemburu pada Irvainz. Itulah yang membuatku risau akhir-akhir ini. Aku selalu berpikir hingga kapankah aku bisa membuatmu melupakan pria itu.”

Sheba terpana.

“Tidak pernah ada apa-apa di antara saya dan Irvainz. Saya tidak pernah mencintai Irvainz lebih dari kasih sayang adik kepada kakak. Sejak dulu Irvainz mencintai Carmen tetapi ia tidak berani mengakuinya. Irvainz mencintai saya juga tetapi sebagai adik. Sebagai kakak, ia selalu merasa harus melindungi saya. Saya tahu ia lebih dekat dengan saya daripada kakak-kakak saya yang lain. Saya tahu Carmen selalu merasa cemburu pada saya karena Carmen juga mencintai Irvainz. Bagaimana saya bisa mengganggu mereka? Saya berusaha menyatukan mereka.”

“Sepertinya Anda tidak pernah mempercayai apa yang saya katakan,” kata Sheba sedih.

“Maafkan aku,” Pangeran menyesal, “Aku mempercayaimu tetapi rasanya sukar bagiku untuk mempercayai bahwa gadis secantik engkau tidak mempunyai kekasih.”

“Saya tidak dapat mencintai seorang laki-lakipun sejak saya jatuh cinta pada seorang lelaki. Sejak kecil saya mencintainya dan saya tidak pernah melupakannya.”

Sheba melihat kecemburuan di mata gelap Pangeran. Tiba-tiba saja Sheba ingin mempermainkan Pangeran sebelum mengatakan semuanya.

“Sekali saya bertemu dengannya tetapi sejak itu saya tidak dapat melupakannya. Saya sangat mencintainya hingga tidak dapat melihat lelaki yang lain.”

Rahang Pangeran mengeras.

“Dia adalah laki-laki yang sangat tampan. Banyak gadis yang mencintainya dan berharap menjadi istrinya. Tetapi ia tidak pernah memperhatikan mereka.”

“Siapa dia?” tanya Pangeran tidak sabar.

Sheba tahu Pangeran sudah siap meledak karena cemburu. Ia memutuskan untuk menghentikan permainannya. Sheba tidak mau Pangeran marah padanya.

“Pria itu sekarang menatap saya,” jawab Sheba.

Pangeran menatap Sheba.

“Apakah Anda percaya bila saya mengatakan saya mencintai Anda sejak masih kanak-kanak?”

“Apakah aku pernah bertemu denganmu waktu engkau masih kecil?”

“Anda pasti telah melupakannya. Anda menabrak saya ketika menghindari kejaran para gadis.”

“Aku tidak dapat mengingatnya,” Pangeran mengeluh. Pangeran berbaring di atas es seperti Sheba.

Pangeran menatap Sheba. “Engkau membuatku sangat bahagia, Sheba. Engkau telah melelehkan keangkuhan hatiku dan aku telah terjerat olehmu tetapi aku tidak ingin melepaskan diri. Aku ingin semakin menjeratkan diri padamu dan menjeratmu.”

“Saya merasa hati saya telah terjerat oleh Anda sejak saya lahir.”

“Kalau engkau mencintaiku sejak dulu, mengapa engkau menolak bertemu denganku? Mengapa engkau menolak lamaran itu?”

Akhirnya Pangeran menanyakannya. Sheba mulai berpikir untuk mengatakan semuanya ketika Pangeran bertanya.

“Pertama-tama karena saya tahu Anda sangat membenci wanita. Anda sama sekali tidak tertarik untuk jatuh cinta pada seorang wanitapun. Kedua saya tidak ingin menjajakan diri saya pada Anda.”

“Menjajakan?”

“Itulah istilah saya. Saya merasa seperti barang dagangan yang akan dipamerkan kepada pembeli ketika Ratu mengundang saya. Saya tidak menyukainya. Saya tahu Anda juga tidak akan menyukainya. Daripada membuat saya dan Anda sama-sama tersiksa, lebih baik saya pergi ke tempat yang lebih menyenangkan.”

“Jadi, itu pikiranmu waktu itu,” gumam Pangeran, “Sekarang apa yang akan kaulakukan bila hal yang sama terjadi.”

“Hal seperti itu tidak akan terjadi lagi. Tidak akan sampai Ratu memaksa Anda untuk menemui saya.”

“Tidak, bukan itu yang kumaksudkan. Aku sendiri yakin tidak perlu mencarimu dengan susah payah untuk menemuimu. Yang kumaksud adalah apa yang akan kaulakukan bila aku melamarmu?”

Sheba bingung. Wajahnya memerah.

“Sejak dulu aku ingin melakukan ini ketika wajahmu memerah.” Pangeran mencium pipi Sheba yang memerah.

Tiba-tiba Pangeran menarik kepalanya dengan kaget. Ketika bibirnya menyentuh pipi Sheba, ia merasakan panas. Pangeran mengulurkan tangannya menyentuh dahi Sheba.

“Ya, Tuhan. Panasmu naik lagi,” Pangeran terkejut, “Aku begitu ceroboh membiarkanmu berbaring di atas es.”

Pangeran berdiri dan mengangkat Sheba. “Kali ini tanpa protes. Engkau harus kembali ke kamar.”

Sheba patuh. Ia melingkarkan tangan di leher Pangeran dan membaringkan kepala di pundak Pangeran dengan mesra.

“Ada apa? Engkau merasa pusing?”

“Tidak, Pangeran. Saya merasa lelah.”

“Tentu saja. Engkau telah berlari-lari sepanjang siang ini dan tidur di es yang dingin. Aku juga bersalah dengan mudahnya luluh pada bujukanmu yang menggoda.”

Sheba tertawa senang. “Kalau saya tidak membujuk Anda, saya akan merasa sangat jenuh di ruangan itu. Saya juga ingin berjalan-jalan di sekitar Istana.”

“Aku akan membawamu kalau engkau sudah sembuh.”

“Saya akan menagihnya kalau saya sudah sembuh.” Batuk Sheba kambuh lagi.

Pangeran mempercepat langkahnya.

Dalam waktu singkat Sheba telah berbaring di tempat tidurnya yang empuk dan berselimutkan selimut yang sangat tebal. Sheba tidak tahu berapa lapis selimut di atasnya itu tetapi ia merasa kepanasan. Api perapian yang membara terus memanaskan ruangan.

Pangeran begitu khawatir padanya.

Sheba merasa bahagia mendapatkan perhatian Pangeran.

“Tidurlah,” bisik Pangeran lalu mencium mulut Sheba.

Wajah Sheba memerah. Matanya perlahan-lahan menutup karena pengaruh obatnya yang mengandung obat tidur. Bibirnya melekuk membentuk senyum yang paling indah yang pernah dilihat Pangeran.


-----0-----



“Di mana anak itu?” geram Raja.

Sudah hampir sebulan lamanya Pangeran meninggalkan Istana Welyn tanpa memberitahu keberadaannya.

Ratu sangat mencemaskan keadaannya. Ratu takut karena patah hati setelah lamarannya ditolak Sheba, Pangeran melakukan sesuatu yang mencelakakan dirinya. Setiap hari Ratu takut mendengar berita ditemukannya Pangeran dalam keadaan tewas.

Akhirnya Raja mendengar bahwa Pangeran berada di Istana Ruethpool.

Segera Ratu memutuskan untuk pergi menyusul putranya. Ratu ingin menasehati Pangeran untuk melupakan kesedihannya. Ratu ingin menyadarkan Pangeran bahwa masih banyak wanita lain di dunia ini yang lebih pantas untuknya.

Raja dan Ratu langsung berangkat setelah mempersiapkan segalanya.

“Pangeran sedang pergi ke danau, Paduka,” jawab pelayan.

“Oh, Tuhan. Apa yang dilakukannya di sana?” tanya Ratu cemas. “Kita segera ke sana. Aku khawatir ia melakukan sesuatu yang bodoh di sana.”

Raja dan Ratu berjalan tergesa-gesa ke tepi danau.

“Danau ini sangat luas. Di manakah ia berada?” tanya Ratu cemas. “Kita harus segera menemukannya sebelum ia bertindak bodoh.”

“Kita berpencar. Engkau ke timur, aku ke barat.”

Ratu bergegas mencari putranya. “Eduardo!” panggilnya.

Raja juga menelusuri tepi danau.

Tiba-tiba terdengar tawa riang seorang gadis ketika mereka tiba di sana. Belum hilang keheranan Raja ketika seorang gadis muncul dari semak-semak dan menabraknya.

“Hati-hati!” Raja menahan gadis itu.

Sheba terkejut. Ia menatap Raja. “Oh, maafkan saya, Paduka.”

Raja tertegun melihat Sheba.

“Mau ke mana engkau?” terdengar seruan yang lain. Bersamaan dengan itu sebuah bola salju jatuh di wajah Raja.

“Eduardo!”

Pangeran tertegun.

Sheba mengangkat tangannya menyeka wajah Raja. “Maafkan kami, Paduka. Kami tidak bermaksud mengenai Anda.”

“Juga jangan Anda marahi Pangeran, Paduka,” pinta Sheba, “Pangeran meninggalkan Istana karena ia ingin membantu saya memulihkan kesehatan saya.”

“Rupanya engkau menghilang ke sini bersama putraku untuk memulihkan kesehatan. Bukan ke tempat yang tak diketahui untuk menghindari pria-pria yang terus mengirimimu hadiah, seperti kata kakak-kakakmu.”

“Benar,” Sheba membenarkan.

Raja menatap Pangeran. Sedikitpun tidak ada kesedihan di wajah Pangeran. Yang ada hanya kegembiraan.

“Engkau telah membuat putraku sangat bahagia. Engkau patut mendapatkan hadiah.”

Raja menunduk hendak mencium dahi Sheba.

Tiba-tiba Pangeran menarik Sheba.

Raja terkejut ketika menyadari Sheba sudah tidak ada di dalam pelukannya lagi.

“Orang tua tidak tahu diri!” terdengar seruan marah Ratu, “Sudah tua masih ingin merebut kekasih putranya.”

“Aku hanya ingin memberinya ciuman kasih sayang.”

Ratu membuang muka.

Sheba menahan tawa gelinya. “Mereka seperti anak kecil,” bisiknya pada Pangeran.

Rupanya Raja dan Ratu mendengarnya karena seketika itu juga mereka menatapnya.

Sheba bersembunyi di belakang Pangeran. Ia takut melihat tatapan tajam Raja dan Ratu.

Kedua orang tua itu menatap Pangeran lalu Sheba. Keduanya tampak sangat bahagia.

“Kupikir engkau bunuh diri tetapi rupanya engkau sedang bersenang-senang,” kata Ratu kesal tetapi dalam hati ia bahagia.

Ratu tidak dapat menutupi kebahagiaannya melihat putranya dan Sheba.

“Jadi, apakah ini berarti akan ada berita yang menggembirakan?” tanya Raja.

Pangeran menatap wajah Sheba yang memerah. Pangeran mengulurkan tangannya ke dahi Sheba. “Kita harus kembali sebelum engkau sakit lagi.”

“Bagaimana keadaanmu, Sheba?” tanya Ratu penuh perhatian, “Kudengar engkau sakit. Apakah engkau sudah menemui dokter?”

“Aku telah memanggil Tervis,” lapor Pangeran, “Ia mengatakan keadaan Sheba sudah membaik tetapi ia harus menjaga diri selama bulan ini. Bulan ini akan menjadi musim dingin yang sangat dingin. Ia khawatir sakit Sheba kambuh lagi.”

“Lebih baik kita masuk ke dalam dan menghangatkan diri. Jangan sampai engkau sakit lagi.”

“Ayo, Sheba,” Pangeran mengulurkan tangannya. Sheba memeluk tangan itu dan berjalan di samping Pangeran. “Kalau engkau lelah, katakan padaku.”

Sheba mengangguk.

“Aku iri pada mereka,” gumam Ratu di belakang Pangeran dan Sheba, “Andai aku masih muda.”

“Kita juga bisa seperti mereka,” Raja membuka sikunya.

Ratu tersenyum dan memasukkan tangannya di siku Raja dan berjalan mengiringi putra mereka.

Pelayan segera menyiapkan minuman hangat untuk mereka di Ruang Duduk.

Seperti biasa, Pangeran memaksa Sheba duduk di dekat perapian di atas karpet hijau tebal. Lalu Pangeran duduk di samping Sheba.

“Kapan kami akan mendengar berita yang membahagiakan itu?” tanya Ratu memecah kesunyian.

“Mengapa Mama tidak menginap di sini untuk beberapa hari?” Pangeran balas bertanya.

“Baiklah, aku akan menginap di sini sampai aku mendapatkan apa yang kuinginkan.”

Sheba batuk-batuk.

Pangeran segera menepuk punggung Sheba.

“Beri dia minuman yang hangat.”

“Tidak perlu. Sekarang sudah waktunya dia minum obat dan tidur.”

“Pangeran membuat saya tidur tiga kali dalam sehari,” lapor Sheba, “Seperti waktu makan saja.”

“Itu demi kebaikkanmu,” Pangeran mengangkat Sheba. Kepada kedua orang tuanya, Pangeran berkata, “Aku akan membawa Sheba ke kamarnya.”

Selepas kepergian mereka, Ratu bertanya pada pelayan. “Selama mereka berada di sini, apa saja yang mereka lakukan?”

“Tidak ada, Paduka. Pangeran sangat mencemaskan kesehatan Tuan Puteri sehingga ia melarang Tuan Puteri meninggalkan kamar. Hanya beberapa hari ini setelah keadaan Tuan Puteri membaik, setiap siang Pangeran mengajak Tuan Puteri berjalan-jalan di sekitar danau.”

Ratu menatap Raja.

“Aku juga berharap ada berita gembira.”

“Aku ingin menemui Sheba,” Ratu bangkit. “Tunjukkan di mana kamar Sheba.”

Di dalam kamar, Pangeran tengah menyuapkan obat Sheba.

“Setelah ini tidurlah. Sore nanti engkau akan merasa lebih baik.”

“Saya tidak ingin tidur tetapi saya selalu merasa mengantuk setiap meminum obat. Pasti Anda menyuruh Tervis memberikan obat tidur pada saya.”

“Sebab engkau gadis yang keras kepala untuk beberapa hal terutama kalau sakit.” Pangeran membungkuk mencium bibir Sheba.

Tiba-tiba terdengar suara batuk Ratu.

Tanpa merasa bersalah, Pangeran menatap ibunya yang sedang tersenyum penuh arti.

“Engkau tidak keberatan aku berbicara dengan kekasihmu?”

“Tidak selama tidak menganggu waktu tidurnya.”

“Tentu,” Ratu berjanji, “Aku akan pergi bila aku telah selesai.”

“Kalau ia memaksamu, jangan mau. Ingat, turuti pesan dokter.”

Sheba hanya tersenyum.

“Aku bersungguh-sungguh, sayang,” Pangeran mencium bibir Sheba lalu pergi. “Jangan lupa,” bisik Pangeran ketika melewati Ratu.

Ratu tersenyum melihat kepergian putranya lalu ia duduk di sisi Sheba. Matanya memandang seluruh ruangan dengan jeli.

“Seumur hidup aku belum pernah melihat bunga mawar sebanyak ini di musim dingin.”

Sheba tersenyum melihat rangkaian-rangkaian bunga mawar berbagai macam warna di seputar dinding kamar.

“Dari mana ia mendapatkannya?”

“Saya kurang tahu, Paduka. Setiap pagi Pangeran membawakannya.”

“Aku akan lebih senang bila engkau bersikap lebih akrab denganku. Tak lama lagi kita akan menjadi ibu dan anak.”

“Bila hal itu telah terjadi, Paduka.”

“Engkau berkata seperti engkau tidak mau menikah dengan Eduardo,” Ratu tidak senang, “Aku tidak dapat mengerti engkau. Dulu engkau menolak lamaran Eduardo sekarang engkau begitu dekat dengannya. Apakah selamanya engkau tidak mau menikah dengan Eduardo?”

“Anda salah menangkap maksud saya, Paduka. Saya mencintai Pangeran. Sangat mencintainya sejak saya masih kecil.”

“Masih kecil?” Ratu terkejut, “Apakah engkau pernah berjumpa dengannya sebelumnya?”

Sheba tersenyum penuh pengertian. Semua orang telah melupakan kejadian itu.

“Sewaktu saya masih anak-anak, ibu saya pernah membawa saya ke Istana. Anda menyuruh pelayan mengantar saya ke Ruang Kanak-Kanak untuk bermain dengan Pangeran.”

Ratu termenung.

“Kejadian itu telah berlangsung sekitar dua belas tahun lalu, saya tidak berani berharap Anda mengingatnya.”

“Aku ingat!” sahut Ratu gembira, “Waktu itu aku meminta Countess datang karena telah begitu lama kami tidak bertemu. Countess datang dengan putri bungsunya dan itu adalah engkau.”

“Aku ingat sekarang! Dulu aku memintamu bermain dengan Eduardo sewaktu aku dan ibumu berbicara.”

Sheba mengangguk.

“Kalau engkau telah mencintai Eduardo sejak dulu, mengapa engkau menolak lamarannya?” tanya Ratu keheranan, “Kata orang tuamu engkau juga tidak tertarik untuk bertemu dengan Eduardo. Mengapa, Sheba?”

“Jawabannya sangat mudah, Paduka. Saya tidak ingin menikah dengan orang yang jelas-jelas tidak tertarik untuk menikah. Saya juga tidak mau menikah dengan pria yang tidak mencintai saya.”

“Terdengar sangat mudah tetapi sulit kupahami.”

“Tidak terlalu sulit bila Anda memikirkan kesedihan Pangeran bila Anda memaksanya menikahi gadis yang tidak Pangeran cintai dan di saat Pangeran tidak tertarik untuk menikah.”

Ratu tersenyum. “Engkau ingin berkata penderitaan Eduardo, bukan?”

Sheba tersenyum.

“Aku begitu senang engkau telah meluluhkan kekerasan hatinya. Aku sangat menantikan berita yang lebih menggembirakan dari ini.”

Sheba mulai merasa mengantuk. Obat yang diminumnya telah bekerja.

“Tidurlah, anakku. Jangan sampai aku menganggu istirahatmu,” Ratu mencium dahi Sheba yang mulai tertidur.


-----0-----



Sheba merasa bermimpi. Ia seperti mendengar bisik-bisik kakaknya.

“Lihatlah wajahnya yang semakin memerah.”

“Aku ingin sekali mencubitnya.”

“Aku lebih ingin memakan pipinya yang memerah seperti buah apel itu.”

“Jangan ribut! Biarkan ia beristirahat.”

“Aku akan menuntutnya bila ia terbangun.”

“Kupikir ia sedang bersembunyi tetapi ia sedang bersenang-senang di sini.”

Suara mereka semakin terdengar jelas. Sheba membuka matanya perlahan-lahan.

“Bangun juga engkau, putri tidur.”

Mata hijau Sheba berkedip melihat wajah Nelly yang sangat dekat dengannya. Di belakang Nelly, tampak wajah-wajah kakaknya yang lain yang dengan penuh ingin tahu menatapnya lekat-lekat.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

Semua gadis itu berdiri tegak dan bertopang pinggang. “Begitukan sambutanmu?”

Sheba menatap mereka. Angin dingin yang memasuki ruangan membuatnya batuk-batuk.

“Coudy!” Carmen marah, “Sudah kukatakan engkau tidak boleh membuka jendela!”

“Udara di sini sangat panas,” Coudy membela dirinya.

Dengan kesal Emilie menutup jendela.

“Kalau Sheba sakit lagi, engkau tidak akan mendapatkan pengampunan!” Mata Janet bersinar kejam ketika memperingati.

“Maafkan aku, Sheba,” Coudy mengenggam tangan Sheba, “Jangan kaukatakan yang kulakukan pada Pangeran.”

Sheba memandang kakak-kakaknya dengan bingung. “Mengapa kalian di sini?”

“Paduka Raja dan Ratu memanggil kami,” jawab Shelvy, “Ia mengundang kita semua ke sini.”

“Mama dan Papa juga datang!” sahut Nelly. “Kita semua berkumpul di sini!”

“Engkau sangat beruntung,” Janet memandang sekitar, “Pangeran membawamu ke tempat yang sangat indah.”

“Engkau membuat kami benar-benar menjadi penjaga pintu,” keluh Shelvy, “Sepanjang hari kami harus berdiri di depan pintu dan menolak semua surat dan bunga yang dikirim untukmu.”

“Semuanya sangat indah!” seru Coudy kagum, “Engkau takkan melihat bunga sebanyak itu dan surat yang menggunung itu seumur hidup!”

Sheba tersenyum.

“Pangeran sangat mencintaimu,” sahut Emilie, “Aku bisa melihatnya ketika ia menyebut namamu.”

“Ceritakan apa saja yang kaulakukan di sini,” desak Coudy.

“Tidak ada,” jawab Sheba.

“Jangan pelit!” Janet cemberut, “Ceritakan pada kami.”

“Benar, tidak ada,” ulang Sheba, “Setiap hari aku hanya boleh berada di tempat tidur.”

“Jangan bohong,” Emilie memperingati.

“Ia tidak bohong.”

Gadis-gadis itu menoleh ke pintu.

“Aku melarangnya meninggalkan Istana sebelum ia sembuh benar,” Pangeran menegaskan.

Pangeran duduk di sisi Sheba. “Bagaimana tidurmu?” tanyanya lembut.

“Sangat nyenyak.”

“Ibuku tidak mengajakmu berbicara lama, bukan?”

“Tidak. Ratu hanya mengajak saya berbicara sebentar kemudian ia menyuruh saya tidur.”

Pangeran tersenyum puas lalu ia menoleh pada para gadis yang dengan tertarik menatap mereka. “Apakah kalian tidak ingin melihat matahari terbenam di danau saat musim dingin?”

Para gadis itu menoleh ke jendela.

“Belum terlambat kalau kalian pergi sekarang.”

“Selamat sore, Pangeran!” para gadis itu berlomba pergi.

Sheba menatap mereka dengan kebingungan.

“Kupikir aku salah menilai mereka. Aku harus belajar menyukai mereka walau akan membutuhkan waktu yang sangat lama.”

“Saya akan membantu Anda.”

“Engkau guru yang sangat baik,” Pangeran mencium Sheba, “Sejak mengenalmu, semua pandangan burukku kepada wanita menghilang. Dan sejak itu mataku selalu tertuju padamu.”

Sheba membaringkan kepala di dada Pangeran. “Bagaimana mereka bisa berada di sini?”

“Ibuku mengirim utusan ke Kastil Clypst untuk mengundang mereka datang. Agar semua orang bisa berbagi kebahagiaan, katanya.”

“Mereka baru bertanya padaku kapan kita memutuskan untuk menikah.”

“Saya menyerahkan keputusannya pada Anda, Pangeran.”

“Apakah itu berarti engkau setuju?”

“Saya sangat mencintai Anda. Saya sangat menginginkan menjadi istri Anda.”

Pangeran mempererat pelukannya. “Kita akan menikah secepatnya. Aku begitu takut engkau menjadi milik yang lain. Sejak awal bertemu denganmu, aku sangat takut kehilanganmu.”

“Saya tidak akan pergi ke manapun tanpa Anda. Saya ingin selalu berada di sisi Anda.”

Pangeran mencium Sheba. Ia tidak ingat lagi kapan Sheba membuatnya sangat bahagia seperti ini. Setiap hari ia sangat bahagia bersama Sheba. Dulu Pangeran cemburu pada pria yang mendapatkan gadis ini tetapi sekarang Pangeran merasa sangat beruntung mendapatkan Sheba, gadis yang telah menjerat hatinya sejak awal.

“Sekarang dan selamanya engkau akan menjadi milikku yang paling kucintai,” janji Pangeran.

“Saya sangat bahagia.”

“Aku harus meninggalkanmu,” bisik Pangeran, “Aku ingin engkau berdandan yang cantik untuk kemudian aku ajak berjalan-jalan.”

Sheba membelalak senang.

Pangeran mencium dahi Sheba lalu meninggalkannya.

Seperti janjinya, setelah pelayan mempersiapkan Sheba, Pangeran mengajak gadis itu berjalan-jalan di sepanjang tepi danau.

Keluarga mereka yang lain telah berada di danau itu. Mereka bersenang-senang di sana.

Raja dan Ratu sedang berbicara dengan Earl dan Countess sambil mengawasi para gadis keluarga Horthrouth. Para gadis itu saling melempar bola salju yang dingin.

Sheba hanya bisa melihat mereka. Pangeran takkan mengijinkannya bermain bersama mereka ketika hari sudah malam seperti ini. Udara semakin dingin dan salju sangat dingin. Tubuh Sheba telah dibungkus oleh baju musim dingin yang tebal dan mantel bulu yang sangat tebal.

Pangeran berdiri di sisi gadis itu.

“Mereka sangat bahagia.”

“Aku pun bahagia bersamamu.”

“Sheba!” akhirnya para gadis itu menyadari kehadiran Sheba.

Seketika para orang tua membalikkan badan.

“Sheba!” Countess mendekat dengan cemas, “Engkau tidak apa-apa keluar?”

“Jangan khawatir, Countess. Ia telah mengenakan baju hangat.” Pangeran menarik Sheba mendekat.

Countess memandang mereka dengan tatapannya yang aneh.

Keenam kakak Sheba berlari mendekat. “Engkau mau bermain dengan kami?”

“Ia tidak boleh bermain dengan kalian sebelum ia benar-benar pulih,” jawab Countess.

Para gadis itu kecewa.

“Bukankah Sheba sudah jauh lebih baik dari terakhir kali kami melihatnya?” protes Coudy.

“Benar, Mama,” sahut yang lain.

“Kata Tervis, lebih baik menjauhkan dia dari udara dingin ini sampai musim ini benar-benar berlalu. Tervis takut sakitnya akan kambuh lagi.”

“Masuklah agar tidak sakit,” sahut Ratu.

“Tidak apa-apa. Aku yang mengajaknya keluar.”

“Berhati-hatilah. Jangan sampai ia kedinginan,” timpal Raja.

Pangeran menatap Sheba dan tersenyum. “Ia tidak akan kedinginan.”

Mereka percaya pada Pangeran dan meninggalkan Pangeran untuk bersenang-senang lagi. Mereka tidak perlu takut akan Sheba sebab Pangeran tidak mengijinkan gadis itu berlama-lama di luar.

Ketika hari mulai malam, Pangeran membawa masuk gadis itu. Mereka berkumpul di Ruang Keluarga ketika Ratu kembali mengajukan pertanyaannya.

“Kapan berita gembira itu muncul?”

Pangeran menatap Sheba. “Secepatnya tetapi kupikir Sheba akan lebih senang bila Carmen menikah dulu.”

Kelima gadis yang lain membelalak pada Carmen.

“Dengan siapa?” desak mereka.

Wajah Carmen memerah. Ia menatap Sheba – berharap gadis itu mengantikannya menjawab pertanyaan itu tetapi Sheba membuang muka.

“D… dengan Irvainz,” jawab Carmen malu-malu.

“Sejak kapan?” tanya Countess terkejut, “Kupikir Irvains mencintaimu, Sheba.”

“Mereka sepasang orang yang aneh,” Sheba menerangkan, “Irvainz sudah sejak dulu menyukai Carmen tetapi malah mendekatiku. Carmen juga sama. Ia mencintai Irvainz tetapi mendesakku untuk mendekati Irvains.”

Semua orang menatap wajah merah Carmen.

“Mengapa engkau tidak pernah mengatakannya pada kami?” tanya Emilie.

“Kupikir kalian sudah tahu.”

“Jahat sekali engkau! Engkau sudah tahu tetapi tidak mau memberitahu kami!” Coudy marah.

Sheba tak merasa bersalah.

“Jadi, kapan kalian akan menikah, Carmen?”

“Saya belum tahu, Paduka Ratu. Irvainz dan saya belum memutuskan.”

“Sebaiknya secepatnya,” desak Ratu, “Aku sudah tak sabar menjadi ibu mertua.”

“Daripada menanti Carmen, bukankah lebih baik kalian cepat-cepat menikah?” tanya Raja, “Melihat kalian berdua sangat dekat seperti itu, aku yakin semua orang berpikir kalian sudah menikah.”

Pangeran hanya tersenyum – menanggapi pernyataan ayahnya. “Bukankah lebih baik begini daripada ia direbut orang lain?” tangan Pangeran meraih Sheba ke dalam dekapannya yang hangat.

Sheba memerah.

“Dalam satu keluarga selalu ada yang berbeda,” ujar Ratu, “Tetapi Sheba ini benar-benar berbeda. Dasar gadis ketujuh.”

Pangeran menatap Sheba. Gadis itu tidak unik tetapi sempurna. Ia mencintai gadis itu dan selamanya tidak akan melepaskannya walau maut memisahkan mereka. Seumur hidupnya akan digunakan untuk mencintai gadis itu.

Sheba adalah gadis yang sangat dicintai Pangeran. Kebaikkan hatinya yang lembut membawa kedamaian bagi seluruh rakyat. Dulu Pangeran iri pada kerajaan yang memiliki putri ini. Sekarang Pangeran merasa sangat beruntung. Gadis yang dikaguminya akan menjadi Ratu di hatinya dan di hati rakyatnya. Selamanya…

No comments:

Post a Comment