Friday, March 9, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 9

“Kami tidak setuju!”

Altamyra keheranan melihat orang-orang yang dengan tegas menolaknya. “Mengapa tidak?” tanyanya heran, “Tidak ada yang salah bila aku ikut kalian.”

“Keselamatan Anda terancam, Paduka,” ujar Kincaid, “Kita akan bertemu langsung dengan rakyat. Kemungkinan adanya pemberontak di antara mereka sangat besar. Bila rakyat mengetahui Anda bersama kami, mereka mungkin akan menjadi tidak teratur. Saat itu kami akan kesulitan melindungi Anda. Walaupun seluruh pasukan Istana dikerahkan untuk menjaga Anda, kami tidak dapat melawan rakyat banyak. Selain itu Anda pasti melarang kami mencelakakan rakyat.”

Altamyra tersenyum. “Aku mengerti kekhawatiranmu, Kincaid. Mereka tidak akan tahu aku ada di antara kalian. Mereka belum bertemu denganku dan hari ini adalah pertama kalinya kita akan menyalurkan bantuan. Tak seorangpun yang mengetahuinya selain kita karena aku baru saja memutuskannya.”

“Kincaid benar, Paduka. Perhatian kami nanti akan lebih tertuju pada rakyat daripada untuk Anda.”

“Aku tahu, Ludwick. Aku telah memikirkannya.”

“Biarkan kami sendiri yang melakukannya, Paduka. Kami bisa melakukannya.”

“Aku percaya padamu, Briat.” Altamyra diam berpikir lalu ia tersenyum. “Aku tahu bagaimana agar kalian tidak khawatir. Tunggulah aku di sini.”

Altamyra berlari ke dalam.

Orang-orang yang ditinggalkan gadis itu berpandangan-pandangan dengan heran.

Hannah dan para pelayan wanita masih sibuk membongkar gaun-gaun Altamyra di ruang ganti kamar gadis itu. Mereka tak menyadari kedatangan Altamyra.

“Tunggu sebentar!” cegah Altamyra.

“Ada apa, Paduka?” tanya Hannah heran.

“Tidak ada apa-apa, Hannah. Aku hanya ingin mengambil gaun ibuku yang kaupegang itu.”

Hannah menyerahkan gaun itu dengan keheranan. “Untuk apa gaun ini, Paduka?”

Altamyra membentangkan gaun itu di depannya. “Engkau akan tahu, Hannah.” Lalu gadis itu menghilang ke kamar tidurnya.

Altamyra tersenyum puas ketika melihat dirinya di cermin. Gaun hijau tua itu sudah kuno dan membuatnya tampak puritan. Dan, tak ada yang mengenalinya sebagai Ratu Vandella. Siapa yang akan menyangka gadis dalam baju kuno ini adalah seorang Ratu?

“Aku tak ingin menyia-nyiakan pekerjaan kalian, tapi ini akan membuatku semakin mirip gadis desa yang kuno,” gumam Altamyra ketika ia melepas gelungan rambutnya yang berhiaskan muntiara-muntiara murni yang berkilauan.

Rambut keemasan yang panjang itu tergerai hingga hampir mencapai lutut Altamyra. Sejak ibunya meninggal, Altamyra terus memanjangkan rambutnya. Rambut kesayangannya itu menyimpan kenangan-kenangan indah saat ibunya masih hidup.

Ketika menyisir rambutnya, Altamyra teringat ibunya yang suka membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tanpa disadarinya, Altamyra menitikkan air mata.

“Sekarang aku menduduki tahta kerajaan ini, Mama. Aku berjanji akan memperbaiki semua kesalahan serigala itu,” janji Altamyra.

Dihapusnya air matanya lalu ia segera kembali ke Hall.

Semua yang sibuk memindahkan barang ke wagon, keheranan melihat Altamyra.

“Aku mirip gadis desa?” tanya Altamyra sambil tersenyum.

Mereka hanya bisa menatap Altamyra lekat-lekat. Dengan gaun hijau tuanya yang sudah kusam itu, Altamyra tidak nampak seperti seorang ratu. Gaun polos itu terbuat dari kain katun biasa dengan lengannya yang panjang dan kerahnya yang menutup rapat leher Altamyra yang indah. Dengan rambut panjang yang tergerai, Altamyra mirip gadis perawan jaman kuno.

“Tampaknya kita harus mengalah, Kincaid.”

“Anda benar, Tuan Dewey.”

Altamyra tersenyum puas. “Mana kereta yang sudah siap?”

“Kereta ini yang hampir siap untuk diberangkatkan, Paduka,” jawab Briat, “Kami menanti bingkisan terakhir. Itu dia datang!”

Pelayan memasukkan sebungkus gaun terakhir ke dalam wagon.

“Ayo kita berangkat!” Altamyra memanggil Ludwick dan Dewey. Lalu ia menerima uluran tangan dua prajurit di dalam wagon.

Dewey menatap Kincaid. “Engkau yang kami andalkan.”

“Jangan khawatir, saya tidak akan pergi dari sisi Paduka.”

Kusir kuda segera membawa wagon meninggalkan Azzereath setelah semua naik.

Semua yang ada di dalam kereta mencemaskan keselamatan Altamyra. Hanya gadis itu sendiri yang tidak tampak cemas. Gadis itu tampak gembira.

Senyum gembiranya berubah menjadi senyum ramah ketika kereta berhenti di sebuah pemukiman miskin.

Penduduk tempat itu keheranan melihat datangnya wagon besar itu dan mereka lebih keheranan ketika seorang prajurit berseru,

“Kami datang membawa bantuan untuk kalian. Bila kalian mau, antrilah di sini.”

Penduduk berbisik-bisik.

Altamyra segera bertindak. Sebelum ada yang menyadari tindakannya, ia meloncat turun. Gadis itu membawa sesuatu dalam keranjang dan berjalan mendekati orang tua yang tengah berbaring lemah di depan rumah reyot.

Orang-orang yang di dalam wagon terkejut. Mereka berteriak, “Pa…” Tiba-tiba mereka menutup mulut rapat-rapat. Mereka sadar kata-kata yang biasa mereka sebut untuk memanggil Altamyra itu bisa membuat celaka gadis itu.

Kincaid melompat turun dan segera mengejar Altamyra.

Altamyra berlutut di sisi orang tua itu. Ia mengeluarkan makanan yang ada di dalam keranjang dan memberikannya sambil berkata, “Terimalah, Tuan. Saya membawanya untuk Anda. Jangan membiarkan Anda dan keluarga Anda kelaparan.”

Altamyra melihat anak-anak kecil yang kurus kering di sisi pria tua itu. Ia tersenyum ramah pada mereka dan berkata, “Saya yakin kalian mau mencoba kue-kue yang lezat ini.”

Anak-anak kecil itu tanpa ragu mengambil sendiri apa yang ada di keranjang Altamyra. Mereka terlalu lapar untuk memikirkan siapa Altamyra dan mengapa ia datang membawa makanan.

Pria tua itu tidak tahan melihat anak-anaknya makan selahap itu. Ia mengulurkan tangan mengambil roti yang diulurkan Altamyra padanya.

Melihat mereka makan dengan lahap, Altamyra tersenyum senang. Penduduk lain yang juga kelaparan tidak dapat menahan air liur mereka. Perut mereka merengek minta makan melihat teman-teman mereka makan dengan lahap. Mereka segera menyerbu Altamyra.

Kincaid segera melindungi Altamyra. “Kalian bisa mengambil makanan sebanyak-banyaknya di kereta!”

Orang banyak itu beralih ke kereta.

“Paduka membuktikan perbuatan lebih berguna daripada kata-kata,” kata Ludwick lalu ia melompat turun diikuti prajurit lain.

Dalam waktu singkat mereka sibuk menurunkan makanan dari kereta untuk diberikan pada warga. Mereka sibuk mengatasi tangan banyak yang terulur itu. Beberapa orang berusaha masuk ke kereta untuk mengambil sendiri makanan dan membuat prajurit kebingungan.

“Tenang! Semua pasti mendapatkan!”

Teriakan-teriakan itu terdengar di sekitar kereta.

Altamyra melihat kereta yang dikerumuni orang yang sedang berebutan itu. Ia berdiri dan berjalan ke sana untuk membantu mereka.

Kincaid segera menyusul gadis itu untuk melindunginya dari kerumunan orang banyak. Kincaid turut membantu menurunkan barang-barang dan membagikannya pada orang-orang.

Karena semua mencegah ia turun tangan, Altamyra hanya bisa duduk di antara orang-orang itu dan berbincang-bincang dengan mereka. Sambil berbincang-bincang, Altamyra memberikan obat-obatan kepada mereka yang membutuhkan. Gadis itu juga tidak segan merawat mereka yang terluka.

Kincaid yang berjanji untuk terus berada di sisi Altamyra, mengambilkan segala yang diperlukan gadis itu.

“Anda pusing?” tanya Altamyra penuh perhatian, “Sejak tadi saya melihat Anda terus memegang dahi.”

“Tidak, Nona.”

Altamyra tersenyum. “Kincaid, tolong kau carikan obat untuk Tuan ini.”

“Baik, Nona.”

Altamyra merasa pria itu terus menatapnya tetapi ia tidak mempedulikannya. Dalam hari-hari terakhir ini, Altamyra sudah biasa menjadi pusat perhatian. Gadis itu meneruskan kesibukannya menjadi dokter untuk orang-orang miskin itu.

Pria itu terus berusaha mengenali Altamyra. Ia merasa pernah bertemu gadis itu. Di suatu waktu dan di suatu tempat. Ia terus berpikir keras.

“Anda membuat saya khawatir, Tuan. Apakah Anda sakit? Kalau Anda merasa tidak sehat, silakan mengatakannya. Saya akan mencari dokter untuk Anda.”

Pria itu terus menatap Altamyra. Mata biru yang penuh perhatian itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dengan tegas berkata…

“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” seru pria itu, “Tidak salah lagi. Anda pasti Paduka Ratu. Saya pernah melihat Anda di Gedung Parlemen ketika Anda mengumumkan kematian Raja Wolve.”

Altamyra terkejut. Mungkinkah pria itu adalah salah satu wartawan yang dulu mengikui jalannya kegiatan di Gedung Parlemen.

Tetapi, Kincaid lebih terkejut lagi. Ia cepat-cepat menghampiri Altamyra dan membantu gadis itu berdiri.

Orang-orang berpandang-pandangan tak percaya.

“Anda pasti Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” kata pria itu percaya diri.

“Sebaiknya kita segera kembali, Paduka,” bisik Kincaid.

Altamyra tersenyum manis pada pria itu lalu mengikuti Kincaid ke kereta.

Melihat keributan itu, pasukan segera bersiap-siap kembali ke Azzereath.

“Paduka! Paduka!”

Orang-orang itu berseru memanggil Altamyra dan berusaha mendekati gadis itu. Namun, pasukan segera menghadang mereka.

“Paduka! Paduka!” Orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada Altamyra. “Paduka, terima kasih! Terima kasih atas kebaikan hati Anda!”

“Mari, Paduka,” Ludwick dan Dewey dengan tidak sabar mengulurkan tangannya.

Pasukan yang sedikit itu mulai tidak sanggup menghadapi rakyat yang terus memaksa mendekati Altamyra.

“Kita kembali ke Istana Azzereath!” seru Kincaid.

Segera pasukan itu melompat ke kereta. Kusir kuda melajukan kereta dengan kencang.

“Terima kasih, Paduka! Terima kasih!”

Dari dalam kereta, Altamyra melihat mereka berlutut di tanah dan menyembah-nyembah sambil terus meneriakkan ucapan terima kasih mereka. Hingga mereka jauh pun suara-suara itu masih terdengar.

“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud membuat kalian kewalahan.”

“Sudah menjadi tugas kami untuk melindungi Anda, Paduka,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Aku senang mempunyai orang-orang sesetia kalian. Kalian selalu menjaga dan melindungiku. Aku takkan melupakan hal ini.”

“Anda terlalu berlebihan, Paduka. Tugas kami adalah terus menjaga dan melindungi Anda,” kata Kincaid.

Altamyra hanya tersenyum.

Tak lama kemudian kereta berhenti di depan pintu Istana. Dua orang prajurit sudah bersiap untuk membantu Altamyra.

“Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?” sambut Briat.

“Baru kali ini aku harus lari dari orang banyak karena ketahuan,” kata Altamyra menahan geli, “Aku merasa seperti pencuri.”

“Benarkah itu?” tanya Briat tidak percaya.

“Benar, Briat. Kami tidak menyangka ada yang mengenali Paduka di sana. Kami telah memilih tempat yang cukup jauh dari Istana,” Ludwick menerangkan.

“Saya bersyukur Anda baik-baik saja, Paduka.”

“Jangan memberitahu Hannah. Aku tidak ingin dia khawatir.”

“Tentu, Paduka. Ketika mengetahui Anda pergi, ia sangat cemas.”

“Aku akan menemuinya agar ia tidak cemas lagi.”

Altamyra berlari ke kamarnya.

“Paduka! Mengapa Anda melakukan tindakan berbahaya seperti itu?”

Serbuan yang didapatnya ketika ia tiba, membuat Altamyra tersenyum, “Aku harus melakukannya, Hannah. Engkau tidak perlu cemas. Aku pergi dengan beberapa prajurit.”

Hannah tidak dapat berbuat apa-apa. “Brenda, ambilkan baju ganti untuk Paduka!” perintahnya.

Altamyra tidak membantah sedikitpun ketika para pelayan sibuk membantunya mengganti gaun. Mereka menyiapkan air mandi yang hangat dan wangi untuknya. Mereka pula yang mengenakan gaun sutra lain yang indah pada dirinya dan menghiasi rambut panjangnya dengan manik-manik yang indah.

Hingga mereka selesai dengan dirinya, Altamyra diam berpikr.

“Terima kasih, Hannah,” Altamyra bersiap pergi lagi setelah rambutnya selesai disisir rapi.

“Anda mau ke mana lagi?”

“Jangan khawatir. Aku ingin menemui Ludwick.”

“Anda harus beristirahat. Anda sudah terlalu lama bekerja.”

Altamyra beranjak ke pintu sebelum dicegah Hannah. “Selamat tinggal,” katanya ketika membuka pintu.

“Jangan lupa untuk makan malam!”

Altamyra tersenyum mendengar seruan itu, “Kali ini aku takkan lupa, Hannah,” katanya perlahan sambil menuju Hall.

Briat masih sibuk mengatur Hall ketika Altamyra datang.

“Di mana Ludwick dan Dewey serta Kincaid?”

“Kincaid pergi ke pusat kota untuk mengumumkan titah Anda sedangkan Tuan Ludwick dan Tuan Dewey saya minta untuk beristirahat. Apakah Anda memerlukan mereka, Paduka? Saya akan memanggil mereka untuk Anda.”

“Tidak perlu, Briat. Biarkan mereka beristirahat. Suruhlah seorang prajurit untuk menemuiku di Ruang Kerjaku.”

“Baik, Paduka.”

Altamyra kembali ke Ruang Kerjanya dan menulis sesuatu pada secarik kertas.

“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka.”

Altamyra menghampiri prajurit itu. “Antarkan surat ini pada Menteri Keamanan.”

“Baik, Paduka.”

Setelah prajurit itu pergi, Altamyra menemui penjaga pintu Ruang Kerjanya. “Salah satu dari kalian, panggilkan Liplannd untukku.”

“Baik, Paduka.”

Sesaat kemudian Liplannd sudah menghadap Altamyra.

“Apakah semua ahli keuangan itu masih ada di sini?”

“Tidak, Paduka. Siang tadi beberapa di antara mereka meninggalkan Istana.”

“Bila malam ini mereka makan di Ruang Makan cukup?”

Liplannd berpikir sebentar lalu berkata, “Cukup, Paduka.”

“Siapkan makan malam di sana. Aku akan makan bersama mereka.”

“Baik, Paduka.”

“Bila Ludwick dan Dewey masih di sini, aku ingin mereka turut bersamaku.”

“Saya akan memberitahu mereka, Paduka.”

Altamyra kembali menekuni pekerjaannya membuat keputusan baru untuk memperbaiki kehidupan rakyat.

Ketika hari mulai gelap, seorang pelayan datang untuk menutup jendela-jendela dan menghidupkan lilin. Ia tahu kesibukan Altamyra, karena itu ia tidak mengusik gadis itu.

Hingga hari menjadi gelap, Altamyra masih sibuk di ruangannya dengan tumpukan tebal laporan para menterinya dan surat-surat keputusannya.

“Makan malam sudah disiapkan, Paduka.”

Altamyra mengangkat kepalanya. “Aku akan segera ke sana.”

Pelayan itu membungkuk dan pergi.

Altamyra merapikan meja kerjanya. Lalu meraih secarik kertas dan pergi ke Ruang Makan.

“Selamat malam, Paduka.”

“Selamat malam, Ludwick, Dewey.”

“Anda akan mengumumkannya sekarang, Paduka?”

“Benar. Aku tidak dapat menunda hal ini lebih lama lagi, Dewey. Aku akan mengatakannya seusai makan malam.”

“Saya melihat Anda bekerja terlalu keras, Paduka. Beristirahatlah demi kesehatan Anda. Bila Anda sakit, siapa yang akan memperbaiki kehidupan rakyat?”

Altamyra tersenyum. “Engkau mirip Hannah, Ludwick.” Sebelum pria itu menanggapi, Altamyra berkata, “Bagaimana perkembangan tugas yang kuberikan pada kalian?”

“Saya hampir selesai, Paduka. Kami telah menyusun semuanya. Sekarang kami sedang memeriksa ulang semuanya.”

“Karena undang-undang kami berhubungan dengan negara lain, kami sedikit mengalami hambatan karena hampir semua keputusan itu masih dilaksanakan. Tetapi, kami telah menghubungi negara-negara tersebut dan meminta mereka tetap mau bekerja sama dengan kita bila keputusan baru itu dilaksanakan. Mereka mengetahui perubahan yang terjadi di kerajaan ktia dan mereka mendukung Anda sepenuhnya. Kami sedang membuat laporannya.”

“Aku berharap menteri-menteri lain juga hampir selesai.”

“Mereka juga hampir selesai, Paduka,” kata Ludwick dengan tersenyum, “Kami terpengaruh oleh semangat Anda. Kami ingin memberikan yang terbaik untuk Anda.”

“Tidak, Ludwick. Kalian bisa melakukan tugas besar ini dengan cepat karena sejak dulu kalian tahu mana yang salah dan mana yang harus diubah. Sejak dulu kalian telah mempunyai gambaran tentang peraturan yang lebih baik, tetapi kalian tidak berani mengatakannya. Sekarang kalian mengingatnya kembali dan menyempurnakannya.”

Tidak seorang pun dari mereka yang bisa membantah Altamyra karena saat itu mereka sudah tiba di Ruang Makan. Prajurit membuka pintu dan mengumumkan kedatangan Altamyra.

Mereka segera berdiri dan berkata, “Selamat malam, Paduka Ratu Altamyra.”

“Selamat malam,” balas Altamyra, “Silakan duduk, Tuan-tuan.”

Selama makan malam berlangsung, Altamyra tidak menyebutkan siapa saja yang telah berhasil melalui penyeleksian keduanya. Ia mengajak mereka membicarakan hal selain itu.

Setelah pelayan membawa pergi hidangan penutup, Altamyra berkata,

“Dalam kesempatan ini saya akan mengumumkan nama-nama mereka yang telah lolos pemilihan kedua.”

“Ijinkan saya untuk menggantikan Anda, Paduka.”

“Silakan.” Altamyra kembali duduk.

Ludwick berdiri dan mulai menyebut satu per satu nama yang tertera di kertas.

Sesaat Ruang Makan menjadi ramai setelah Ludwick selesai membaca nama-nama itu. Altamyra menanti ruangan menjadi sepi sebelum ia berkata,

“Selamat pada kalian yang berhasil. Bagi yang belum berhasil, jangan putus asa. Berusahalah terus. Mereka yang nama-namanya disebutkan Ludwick, aku tunggu di Ruang Pertemuan besok setelah makan pagi.”

Altamyra beranjak bangkit. “Selamat malam, Tuan-tuan.”

Ludwick dan Dewey segera mengikuti Altamyra.

“Paduka, Anda akan bekerja lagi?”

“Kalian tidak perlu mencemaskanku,” Altamyra menerangkan, “Aku ingin malam ini kalian menginap di sini tetapi bila kalian merindukan keluarga kalian, aku tidak melarang. Selamat malam.”

Altamyra membuka pintu Ruang Kerja dan menghilang di baliknya.

Ludwick dan Dewey hanya dapat berpandang-pandangan sambil mengangkat bahu.

Altamyra mirip ayahnya bila sedang bekerja. Mereka bekerja siang malam tanpa henti dan tanpa kenal lelah.

Mereka tidak tahu Altamyra melakukannya di samping untuk rakyatnya juga untuk mencegah dirinya memikirkan Erland.

Setelah makan pagi usai, Altamyra berada di Ruang Pertemuan. Tak lama ia menanti ke 36 ahli keuangan itu datang.

“Selamat pagi,” sapa Altamyra.

“Selamat pagi, Paduka Ratu.”

“Silakan duduk. Kita akan segera memulai rapat kecil kita.”

Mereka duduk mengitari meja panjang.

Altamyra menatap mereka semua dan memulai rapat.

“Saya memilih kalian bukan tidak berdasar. Saya percaya pada kemampuan kalian. Itulah sebabnya saya memilih kalian. Kalian, yang terpilih, akan saya beri tugas. Kalian saat ini bukan lagi sebagai saingan tetapi sebagai satu kelompok orang yang bekerja sama.”

“Tugas kalian adalah menghitung jumlah pemasukan dan pengeluaran selama 20 tahun terakhir ini. Di hadapan saya ini telah tercantum macam-macam pajak berikut besarnya dan jumlah penduduk selama kurun waktu 20 tahun terakhir.”

“Untuk melakukan tugas ini, aku ingin kalian tetap tinggal di Istana. Agar keluarga kalian tidak cemas, tulislah surat pada mereka dan berikan pada pelayan. Mereka akan mengumpulkan surat-surat kalian dan mengantarnya.”

“Untuk kelancaran tugas ini, aku mempersilakan kalian menggunakan ruangan ini sebagai tempat kerja kalian. Sebelum kalian memulainya, aku ingin menegaskan kalian bekerja sebagai satu kesatuan. Sebuah kesatuan pasti memiliki pemimpin. Oleh karena itu, aku menunjuk Toed menjadi pemimpin kalian. Ada yang tidak setuju?”

“Kami setuju, Paduka.”

“Kalian bisa memulai tugas kalian sekarang. Bila kalian mengalami kesulitan, jangan ragu untuk bertanya padaku.”

“Kami mengerti, Paduka.”

Altamyra meninggalkan Ruang Pertemuan dan segera menuju Ruang Kerja.

“Kalian berdua masuklah, aku mempunyai tugas untuk kalian.”

Kedua prajurit penjaga pintu Ruang Kerja itu mengikuti Altamyra.

Altamyra mengeluarkan dua tumpuk kertas dari lacinya.

“Masing-masing dari kalian kuperintahkan menyebar sepuluh surat. Tunggulah sebentar jawaban para Menteri itu. Bila tugas ini sudah selesai, segeralah kembali.”

Mereka menerima surat-surat itu lalu berkata, “Hamba akan melakukan tugas sebaik-baiknya.”

Kedua prajurit itu baru saja pergi ketika seorang pelayan muncul.

“Kepala Penjara Vandella datang menghadap, Paduka.”

“Suruh dia masuk.”

Kepala Penjara itu membungkuk dan berkata, “Selamat pagi, Paduka Ratu. Saya datang membawa nama-nama penghuni penjara di seluruh Vandella seperti yang Anda minta.”

Pria kurus ceking itu menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.

“Duduklah,” kata Altamyra, “Aku akan mempelajarinya sebentar.”

Altamyra membalik-balik kertas itu.

“Saya sudah mengelompokkan antara yang dipenjara karena melanggar hukum dan yang dipenjara karena tidak membayar pajak maupun yang menentang Paduka Raja Wolve.”

Altamyra tidak terkejut melihat yang dipenjara karena melanggar hukum lebih sedikit dari yang tidak bersalah. Ia sudah dapat menduganya sebelum menerima laporan ini.

Altamyra bersyukur nama-nama itu dipisahkan pada lembar yang berbeda sehingga bisa menghemat waktunya. Ia segera membagi-bagi berkas-berkas itu menjadi dua kelompok, bersalah dan tidak bersalah.

“Nama-nama ini sudah kaukelompokkan berdasarkan tempat mereka dipenjara?”

“Sudah, Paduka. Setiap tahun Paduka Raja Wolve meminta laporan penghuni penjara dari masing-masing penjara yang sudah dikelompokkan seperti itu. Saya hanya perlu menyatukan mereka dan menyerahkannya pada Anda.”

“Ternyata serigala itu ada baiknya juga,” Altamyra berkata pada dirinya sendiri.

“Aku menugaskanmu berkeliling tiap penjara dan membacakan titahku ini,” Altamyra mengeluarkan selembar kertas dari lacinya yang sudah ditandatanganinya.

Kepala Penjara itu melihat isinya yang berbunyi:

Atas titah dari Ratu Kerajaan Vandella, nama-nama yang tersebut di bawah ini mulai saat ini dinyatakan tidak bersalah. Oleh karena itu, mereka dibebaskan dari penjara dan semua yang menjadi milik mereka dikembalikan.

“Nama yang harus kausebutkan adalah nama yang ada di kertas ini. Bila engkau menyelesaikan tugasmu di satu penjara, segera kirim daftar namanya kepadaku.”

“Baik, Paduka.”

“Satu hal yang tidak boleh kaulakukan adalah mewakilkan tugas ini pada orang lain. Aku percaya engkau dapat melaksanakannya dengan baik.”

“Saya akan berusaha menjalankan titah Anda sebaik-baiknya, Paduka.”

Altamyra tersenyum puas melihat kepergian pria itu. Satu tugas lagi telah dilakukannya. Sekarang ia menanti kabar dari Menteri-menterinya sebelum menjalankan setumpuk keputusan yang sudah dibuatnya.

Menjelang sore, kedua prajurit yang diutus Altamyra datang. Mereka menyerahkan surat balasan para Menteri itu pada Altamyra.

Altamyra tersenyum puas setelah membaca surat-surat balasan itu. Para Menterinya hampir menyelesaikan tugas mereka dan itu artinya Altamyra bisa segera mengadakan rapat.

No comments:

Post a Comment