Friday, March 9, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 10

Dua hari setelah pengumuman titah Altamyra, Hall Istana mulai ramai. Bangsawan-bangsawan mulai berdatangan untuk menyerahkan bantuan mereka. Orang-orang kaya pun tak mau ketinggalan.

Altamyra menyadari ini semua berkat koran yang dengan gencar mengabarkan dirinya yang menyamar menjadi gadis desa untuk memberi bantuan sendiri pada rakyat. Sayangnya, menurut Altamyra, koran-koran itu terlalu memujinya. Karena dalam koran dikatakan ia mau melupakan kedudukannya demi menyuapkan nasi pada orang tua yang lumpuh.

Walaupun begitu, Altamyra berterima kasih pada mereka. Berkat mereka penyebaran kegiatan amalnya menjadi cepat.

Bantuan sudah banyak yang terkumpul di Hall. Prajurit-prajurit Vandella terus mengantarkan bantuan ke kota-kota di seluruh Vandella. Bahkan, penduduk Perenolde turut membantu mengantarkan bantuan ke daerah-daerah di luar Perenolde.

“Ratu Altamyra Menggerakkan Mega Bantuan untuk Rakyat Vandella.” Demikian judul salah satu koran.

Sekali lagi Altamyra membuat gempar rakyatnya. Tak seorang pun dari rakyat Vandella yang menduga Ratu mereka yang keturunan langsung Raja Wolve yang kejam, sebaik ini. Ratu telah menunjukkan ketulusannya dengan membuang harga dirinya sebagai Ratu saat ia mengunjungi pemukiman penduduk miskin pada hari pertama ia menyalurkan bantuan.

Rakyat juga mengetahui Altamyra telah mengeluarkan mereka yang tak bersalah dari penjara. Banyak di antara mereka yang keheranan ketika dibebaskan. Ketika mereka tahu apa yang terjadi, mereka sangat bersyukur pada Tuhan yang mengirim Ratu sebaik Altamyra pada mereka.

Dalam waktu kurang dari dua minggu pemerintahannya, Altamyra membuat rakyat menganggapnya sebagai anugerah yang luar biasa. Ia yang semula ditakuti kini menjadi pujaan tiap orang. Rakyat memuja dan menyanjungnya.

Walaupun begitu, Altamyra tak melihat adanya seseorang yang datang ke Istana untuk mengambil bantuan. Tempat penerimaan bantuan sangat ramai, tapi tempat pengambilannya sangat sepi.

“Mereka tidak berani masuk?” tanya Altamyra heran.

“Benar, Paduka. Tampaknya mereka takut Anda mempunyai rencana tertentu. Perlukah kami membujuk mereka?”

“Jangan,” Altamyra cepat-cepat mencegah. “Aku khawatir mereka semakin curiga bila kau melakukan itu.”

“Apakah yang harus kami perbuat, Paduka?”

Altamyra mengawasi kerumunan orang jauh di depan gerbang Istana. Mereka sejak tadi hanya menggerombol di sana. Tidak maju juga tidak mundur. Jumlah mereka terus bertambah, tapi tidak keberanian mereka.

“Baiklah,” kata Altamyra tiba-tiba, “Aku yang akan menanganinya sendiri.”

“Jangan, Paduka,” cegah Kincaid.

“Percayakan padaku, Kincaid. Sekarang perintahkan prajurit membuka gerbang belakang. Aku akan tiba di sana dalam waktu lima menit.”


-----0-----



“Mengapa kalian berkumpul di sini?”

“Kami ingin masuk ke sana, tapi kami tidak berani.”

“Ya, aku mengerti perasaan kalian. Aku pun demikian ketika pertama kali diundang oleh Ratu. Di sana aku disambut dengan baik.”

“Anda lebih kaya dari kami, Nona,” seseorang menyelentuk, “Paduka Raja sangat benci pada kami, orang miskin karena kami tidak pernah mampu membayar pajak. Apalagi putrinya. Siapa tahu ia mengundang kami semua untuk dibunuh?”

Altamyra tidak menanggapi. Ia berjalan ke tempat ia menyembunyikan bola. Di sana, ia pura-pura tersandung bola itu.

“Bola sialan!” umpat Altamyra, “Siapa yang meletakannya di sini?”

Beberapa anak yang mendengar umpatan itu mendekati Altamyra.

Dalam hati Altamyra tersenyum senang tapi di luar, ia tetap menahan amarah. Altamyra mengambil bola itu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah gerbang istana seraya berkata, “Pergi jauh dan jangan mengangguku lagi.”

Lagi-lagi dalam hati Altamyra tersenyum senang karena rencananya berhasil. Anak-anak itu berlari mengejar bola yang terus menggelinding ke gerbang Istana. Altamyra pura-pura terkejut melihatnya.

“Gawat!” serunya.

“Lihat! Ini semua kesalahanmu. Apa yang harus kami lakukan kalau mereka dibunuh?” Orang-orang itu menyalahkan Altamyra.

“Tenang,” kata Altamyra tenang, “Aku akan menolong mereka. Para prajurit itu patuh padaku.”

Altamyra berjalan ke gerbang Istana sementara itu orang-orang di belakangnya mengikuti di jarak yang cukup jauh.

Bola menggelinding terus hingga memasuki halaman Istana. Anak-anak kecil itu terus mengejar tapi mereka dihadang penjaga pintu gerbang. Orang tua mereka berteriak panik di belakang Altamyra.

“Biarkan mereka masuk!” seru Altamyra.

Penjaga pintu gerbang mengijinkan mereka masuk.

“Mengapa engkau membiarkan mereka masuk?” Orang-orang itu menuntut Altamyra.

“Jangan khawatir, aku yakin mereka baik-baik saja.”

“Kalau terjadi sesuatu pada mereka, engkau harus bertanggung jawab!”

“Tentu saja,” jawab Altamyra tenang.

Saat itu pula anak-anak tadi muncul. Mereka tampak senang. Mulut mereka penuh dengan makanan. Teman-teman mereka yang lain mendekat melihat hal itu. Mereka bercakap-cakap lalu bersama-sama masuk ke Istana.

Para orang tua yang panik itu segera mencegah anak mereka hingga tanpa sadar mereka juga telah memasuki Istana.

Altamyra masuk dengan tersenyum. “Anak-anak berani memasuki Istana, mengapa kita tidak?”

Orang-orang itu terkejut saat menyadari mereka telah berada di halaman Istana. Mereka hendak keluar tapi saat itu pula muncul pelayan-pelayan Istana dari segala penjuru.

“Jangan takut,” kata Altamyra lembut, “Aku akan melindungi kalian. Aku menjamin keselamatan kalian.”

Altamyra tetap tersenyum lembut ketika melihat wajah takut mereka. Ia terus berjalan memasuki Istana.

“Selamat datang,” sambut penjaga pintu sambil membuka pintu utama lebar-lebar.

Orang-orang itu terheran-heran melihat di Hall telah disiapkan berbagai macam makanan yang lezat-lezat.

Anak-anak yang tidak punya kekhawatiran apa-apa, melesat ke meja makan dan menyantap semua yang ada.

Sekelompok orang mendekati anak-anak itu dan mencegah mereka makan lebih banyak lagi. “Jangan dimakan! Siapa tahu ini beracun,” kata mereka.

Altamyra mendekati sebuah meja dan mengambil sepotong biskuit. Ia memakannya lalu berkata, “Ini enak sekali. Tidak mungkin ada racunnya.”

Beberapa orang terpengaruh tindakan Altamyra. Mereka mulai mengambil makanan walau dengan takut-takut. Melihat teman-teman mereka makan dengan lahap, yang lain menyusul. Orang-orang miskin yang selalu kelaparan itu melupakan segalanya. Saat itu yang penting bagi mereka adalah mengisi perut mereka yang berbunyi.

Makanan terus berpindah dengan cepat, tapi yang ada di hadapan mereka tidak kunjung habis.

Pelayan-pelayan Istana terus membawakan makanan dan sesekali berkata sopan, “Silakan makan.”

Altamyra senang melihat pemandangan di depannya. Akhirnya para fakir miskin itu dapat mengenyangkan perut mereka.

“Anda tidak makan, Nona?”

“Tidak, Tuan. Silakan Anda melanjutkan, saya sudah kenyang. Ini semua disiapkan khusus untuk kalian.”

“Tidak apa-apa, Nona. Makanan ini masih banyak. Ia terus mengalir seperti sungai,” celetuk yang lain.

“Sungai yang nikmat dan mengenyangkan,” timpal yang lain.

Altamyra tersenyum.

“Paduka!”

“Ada apa, Kincaid?”

“Para menteri sudah tiba, Paduka.”

“Baiklah, aku mengerti. Tolong temani para tamu kita sementara aku menemui mereka.”

“Baik, Paduka.”

“Maafkan saya, saudara-saudara. Saya tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Ada yang harus saya lakukan.”

Orang-orang itu menatap Altamyra lekat-lekat.

Altamyra tersenyum dan sambil mengangguk kecil, ia meninggalkan Hall.

“D… dia…”

“Gadis itu Ratu Altamyra.”

“Aku tidak percaya!”

“Ratu sendiri yang mengajak kita masuk! Aku tidak percaya!”

“Aku merasa bersalah telah mencurigainya.”

“Ia sama sekali tidak marah telah kita tuding seperti itu. Itu artinya ia benar-benar bermaksud baik.”

Suasana Hall menjadi ramai.

Kincaid tersenyum geli mendengar apa yang dibicarakan mereka.

“Memang tak seorang pun menduga ia adalah Ratu,” gumamnya.

Bukan karena Altamyra tidak pantas menjadi Ratu, orang-orang sukar mengenalinya sebagai Ratu. Altamyra mewarisi ketegasan dan wibawa ayahnya. Tetapi, ia juga mewarisi sifat lembut ibunya. Sifat lembut itu lebih nampak pada dirinya dan dengan raut wajahnya yang masih sangat muda, semua orang mengira ia adalah gadis cantik yang lembut seperti seorang bidadari.

Kedudukannya di Kerajaan Vandella ini sangat tinggi. Ia adalah pemimpin dari kerajaan ini dan demi dia, semua orang mau melakukan apa saja. Kepadanya semua nasib rakyat ini terletak.

Tetapi, tingkahnya tidak menunjukkan kedudukannya. Ia lebih banyak berkelakuan seperti gadis pada usianya yang selalu gembira. Di balik itu semua, Altamyra menyimpan kekuatan yang luar biasa.

Kekuatan menentukan yang baik dan yang salah.

Kekuatan mengambil keputusan yang tepat.

Kekuatan memberi perintah.

Kekuatan bertindak tegas.

Kekuatan yang menunjukkan ia adalah seorang Ratu yang tegas dan penuh wibawa serta bijaksana.

Kekuatan itulah yang selalu dia tampakkan saat memberi titah pada orang lain.

Kekuatan itu pula yang membuat semua orang mau memberi lebih dari yang diminta gadis itu.

“Selamat pagi, Tuan-tuan,” kata Altamyra sambil tersenyum ramah, “Maaf saya membuat Anda menunggu.”

Menteri-menteri itu berdiri. “Selamat pagi Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” balas mereka.

Altamyra duduk di kursi tingginya dan berkata,

“Aku senang kalian bisa menyelesaikan tugas yang kuberikan dua minggu lebih cepat dari waktu yang kuberikan. Hari ini aku meminta kalian datang untuk melaporkan hasil kerja kalian dan untuk membicarakan beberapa hal."

“Agar segalanya lebih cepat, aku meminta kalian menyerahkan laporan kalian padaku sekarang juga. Tidak perlu berdiri, berikan saja pada orang di samping kalian.”

Dalam waktu singkat berkas-berkas laporan itu berjalan dari satu tangan ke tangan lain hingga tiba di tangan Altamyra.

Altamyra menumpuk laporan-laporan yang masing-masing tebalnya hampir tiga sentimeter itu. Kemudian ia berkata,

“Aku akan mempelajari laporan-laporan ini sebelum membicarakannya dengan kalian. Sekarang yang akan kita bicarakan adalah keputusan-keputusan yang telah kubuat tapi belum kulaksanakan. Aku ingin meminta pendapat kalian tentang hal ini.”

Altamyra mengambil lembar teratas dari kertas-kertas yang dibawanya ketika memasuki Ruang Rapat tadi.

“Ada banyak yang ingin kubicarakan dengan kalian. Yang pertama akan kita bicarakan adalah mengenai Mardick.”

Altamyra melihat Orwell.

“Sudah saatnya engkau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada atasanmu itu, Orwell. Sebelumnya aku memintamu untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun termasuk keluarga Mardick.”

“Hamba mengerti, Paduka.”

Altamyra tersenyum puas sebelum melanjutkan, “Mardick tidak membantuku seperti yang dikatakan koran-koran. Ia kutahan di sini atas tindakannya yang melanggar hukum. Kecurigaanku telah terbukti. Aku telah menghitung kekayaannya yang seharusnya dan membandingkannya dengan kekayaan yang dimilikinya. Hasilnya adalah ia mencuri uang negara selama ia menjabat sebagai Menteri Keuangan.”

Menteri-menteri berbisik membicarakan pengumuman Altamyra.

Siapa yang menyangka Menteri kesayangan Raja Wolve itu mencuri uang negara? Selama pemerintahan Raja Wolve, Mardick selalu membuat Raja senang. Ia selalu tepat waktu menyetor pajak. Ia adalah tangan kanan Raja yang sekejam Raja Wolve sendiri dalam menarik pajak.

“Aku tidak akan membuka sidang sebelum para ahli keuangan membuktikannya. Dalam waktu dekat ini Toed akan memberikan hasil perhitungannya. Saat itu akan terbukti jumlah uang yang selama ini telah dicuri Mardick. Sampai saat itu tiba, aku tetap ingin kalian merahasiakan hal ini.”

“Kami mengerti, Paduka.”

“Masalah lain yang ingin kubicarakan adalah mengenai keputusan-keputusanku. Aku telah mengelompokannya sesuai dengan bidang kalian masing-masing.”

Altamyra berdiri untuk membagikan surat-surat keputusannya.

“Bacalah dan beritahu aku bila ada yang tidak kalian setujui.”

Sementara mereka membacanya, Altamyra kembali ke kursinya dan berkata, “Keputusan-keputusanku ini sangat erat dengan bidang kalian masing-masing dan undang-undang yang kalian perbaharui itu. Aku sengaja menunda pelaksanannya untuk disesuaikan dengan Undang-undang yang baru. Bila kalian telah setuju dan merasa tidak ada yang perlu diperbaiki, segera lakukan hal itu.”

“Permisi, Paduka. Ada yang ingin saya tanyakan.”

“Silakan, Orwell.”

“Anda menurunkan pajak hingga tingkat terendah. Apakah hal ini tidak akan mengurangi pendapatan kita?”

“Pasti akan mengurangi pemasukan kita. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, aku telah menghitung semuanya. Uang yang kita miliki saat ini sangat cukup untuk membiayai segala pengeluaran kita dalam beberapa tahun ke depan. Ingatlah, Orwell, ayahku menarik pajak yang sangat tinggi selama lima puluh tiga tahun ia memerintah dan ia sangat kikir dalam membelanjakannya.”

“Anda mengatakan uang negara dicuri Mardick. Bukankah itu…”

“Aku akan membuat Mardick mengembalikan sebesar yang ia curi pada rakyat. Kalian tidak perlu merisaukan hal ini. Mardick cukup pintar untuk mengetahui ketelitian ayahku. Ia tidak mencuri apa yang harus dia berikan pada ayahku tapi ia mencuri dari rakyat sendiri. Dengan kekuasaannya sebagai Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas segala penarikan pajak, Mardick meminta sedikit lebih banyak dari yang ditetapkan ayahku, yaitu sekitar seperdua puluh bagian. Kelebihannya itu adalah untuknya dan agar ayahku tidak marah bila mengetahuinya, ia memberikan sebagian kecil dari kelebihan itu.”

“Apakah uang yang kita miliki cukup untuk membeli bahan baku dari luar negeri dan memberi bantuan pada rakyat untuk mengembangkan industri?” tanya Noah khawatir.

Altamyra menatap Menteri Ekonominya itu.

“Sebelum aku memutuskan hal itu, Noah, aku telah memperhitungkan segalanya. Aku telah membuat perhitungan kasar atas uang yang kita miliki. Aku juga telah membuat uraian pengeluaran yang akan timbul karena keputusan-keputusanku itu.”

Altamyra mengangkat seberkas dokumen. “Inilah perhitungan kasarku. Kepastian yang lebih tepat akan keluar setelah Toed dan para ahli keuangan lainnya selesai dengan tugas mereka. Kalian hanya perlu melakukan tugas di tangan kalian itu. Jangan mengkhawatirkan dananya. Kekayaan kita cukup untuk semua itu.”

“Sungguh sangat disayangkan Raja saja yang semakin kaya di negeri ini sedangkan rakyat semakin miskin. Aku akan merubah semua itu. Aku, dengan dukungan kalian, akan memperbaiki keadaan ini,” kata Altamyra bersungguh-sungguh.

“Setelah semua pembaharuan ini dilaksanakan, aku yakin lima tahun lagi rakyat sudah makmur. Saat itu kita secara bertahap akan menaikkan pajak untuk memperbesar pemasukan kita. Jangan membebani rakyat dengan pajak-pajak yang tinggi selama masa perbaikan ini. Kita harus menyesuaikan pajak dengan keadaan rakyat. Pajak bukan untuk Raja tapi untuk rakyat,” Altamyra menegaskan.

“Saya mengerti, Paduka. Saya akan segera mengumumkan keputusan Anda tentang perpajakan ini.”

Altamyra mengangguk puas. “Untuk kedamaian rakyat ini pula aku akan memperbaiki hubungan dengan para pemberontak itu.”

Semua mengerti terlonjak kaget tapi Altamyra tetap melanjutkan,

“Setelah masalah-masalah pembaharuan ini selesai, aku akan mengundang pemimpinnya ke sini. Dan, hingga saat itu tiba, aku ingin peperangan dengan mereka dihentikan. Aku berharap minggu depan aku telah menyelesaikan pekerjaanku mempelajari Undang-undang yang kalian buat ini dan mengesahkannya.”

“Saya tidak setuju, Paduka!” Rasputin mengangkat tangannya, “Para pemberontak itu tidak menyukai Raja Wolve. Saya khawatir mereka tidak menyukai Anda pula. Pemimpin mereka mungkin akan menggunakan undangan itu untuk membunuh Anda.”

Dalam hati Altamyra percaya hal itu bisa terjadi tapi ia berkata,

“Aku berada di antara mereka hampir dua bulan, Rasputin. Aku tahu mereka berjuang demi kemakmuran rakyat. Mereka membenci ayahku atas kekejamannya. Bila mereka juga membenciku itu adalah wajar. Aku adalah putri serigala yang mereka benci. Tetapi, pemimpin mereka pandai. Ia pasti tahu apa dampaknya bila ia membunuhku. Ia pasti mengerti hal itu.”

“Rasputin benar, Paduka. Bila kekhawatiran itu terjadi, bagaimana nasib kami rakyat Vandella? Siapa yang akan melanjutkan perbaikan ini?” kata yang lain hampir bersamaan.

“Bila kita memutuskan terus berperang dengan mereka, apa kata rakyat?” tanya Altamyra tegas.

Semua terdiam.

“Dalam masa-masa pembaharuan ini, jangan mengeluarkan biaya yang tidak berguna seperti untuk perang. Apa yang kita dapatkan dengan perang? Tujuan kita dan pemberontak itu sama, menciptakan kehidupan yang adil dan makmur. Aku tidak akan mengorbankan rakyat untuk perang bodoh ini.”

“Paduka…”

“Aku mengerti kekhawatiran kalian. Tapi, untuk kali ini aku tidak ingin dibantah,” Altamyra menegaskan, “Aku tahu apa yang kulakukan. Dan, aku tahu mereka pasti tahu apa yang telah kita lakukan untuk memperbaiki keadaan yang kacau ini. Pemimpin mereka juga tidak akan membunuhku tanpa alasan kuat.”

“Anda harus memperhitungkan semuanya masak-masak, Paduka,” Rasputin mengingatkan.

“Telah kulakukan, Rasputin. Aku tidak akan menarik keputusanku ini walau kalian tidak setuju. Bila memang mereka membunuhku, biarlah itu terjadi. Apa artinya sebuah nyawa ini dibandingkan mereka yang menderita?”

Sebelum ada yang membantahnya lagi, Altamyra cepat-cepat melanjutkan, “Bila tidak ada lagi pertanyaan, kalian bisa mengatakan segala yang terlupakan olehku dalam keputusan itu.”

Para menteri mendesah panjang. Dalam hal ketegasan, Altamyra seperti ayahnya, membuat orang lain tahu ia bersungguh-sungguh.

“Satu tugas lagi untuk kalian semua, aku ingin kita membina hubungan baik dengan semua negara lain. Kita membutuhkan dukungan luar negeri dalam masa-masa ini.”

“Kami mengerti, Paduka.”

“Silakan mengatakan apa yang terlupakan olehku.”

Semua termenung melihat kertas-kertas di hadapan mereka. Altamyra pun tidak mau duduk berdiam diri. Gadis itu mengambil seberkas laporan dan mempelajarinya.

Lama ia menanti, tapi tidak ada yang mengangkat tangan untuk melaporkan apa yang terlupakan olehnya.

“Mengapa kalian diam saja?” tanya Altamyra heran.

“Saya merasa tidak ada yang perlu diperbaiki maupun ditambahkan, Paduka,” kata Ludwick jujur. “Bagi saya, semuanya telah Anda putuskan tanpa ada yang terlewat.”

“Saya pun merasa seperti itu, Paduka.”

“Yang lain?”

“Tidak ada, Paduka.”

“Baiklah, rapat kita hari ini selesai. Aku akan membutuhkan kalian bila aku telah membaca semua laporan kalian. Aku akan selalu terbuka untuk menerima pertanyaan kalian.”

Altamyra berdiri diikuti menteri-menterinya.

“Selamat siang.”

“Selamat siang, Paduka Ratu.”

Altamyra meninggalkan ruangan itu diikuti para menteri. Kepada prajurit yang menjaga pintu, Altamyra berkata, “Tolong kalian letakkan tumpukan berkas itu di Ruang Kerja.”

“Baik, Paduka.”

Altamyra kembali ke Hall. Ia melihat orang banyak itu tampak gembira. Mereka mendapatkan makanan dan barang-barang lain yang selama ini tidak pernah mereka mimpikan.

Terlihat kerumunan wanita yang sibuk memilih gaun dan kerumunan anak-anak yang memilih mainan.

Perbedaan hidup Raja Wolve dan rakyat Vandella benar-benar tampak jelas.

Badan mereka yang kotor dan kebersihan Istana Azzereath yang selalu gemerlap. Baju mereka yang compang-camping dengan benda-benda Istana yang mewah.

Semuanya menggambarkan dengan jelas ketimpangan yang ada.

Diam-diam Altamyra meninggalkan Hall. Ia merasa tindakannya tepat. Ia tidak bisa menyerahkan tahta pada orang lain sebelum ia memperbaiki kesalahan ayahnya. Tetapi ia tidak bisa bersantai-santai dalam hal ini.


-----0-----



“Lihat ini!”

Erland hanya membuang wajah. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Fred.

“Ratu Altamyra turun dari tempatnya yang tinggi untuk mengusap wajah rakyat. Ini judul berita utama koran lima hari yang lalu. Lihatlah ini pula Ratu mengumumkan pada rakyat untuk mau mengambil sendiri bantuan di Istana Azzereath dan untuk mereka yang kaya, Ratu meminta mereka untuk turut menyumbang.”

Erland mengacuhkannya.

Fred meneruskan membaca koran.

Letak Lasdorf yang tersembunyi membuat daerah ini selalu ketinggalan berita. Koran yang datang selalu koran beberapa hari yang lalu.

Seluruh rakyat Erland sudah tahu apa saja yang dilakukan Altamyra dan mereka sukar mempercayainya. Tapi, mereka tidak tahu Altamyra adalah Rara.

Sejak Giorgio melaporkan hasil pengintaiannya, Fred selalu memuji-muji Altamyra di hadapan Erland. Berlainan dengan Erland, Fred mempercayai segala maksud baik Altamyra. ia menyukai segala yang dilakukan gadis itu untuk Altamyra.

“Lihat ini!” lagi-lagi Fred berseru tak percaya, “Ratu menyumbangkan gaun-gaunnya! Aku tak percaya Ratu sekaya dia memberikan gaun-gaun terbaiknya untuk rakyat.”

Erland bosan. Dalam hari-hari terakhir ini Fred benar-benar membuatnya muak dan bosan.

“Tindakannya ini menunjukkan niatnya yang benar-benar tulus,” komentar Fred, “Aku ingin tahu apa yang disidangkannya dengan para Menteri hari ini. Giorgio mengabarkan mereka bersidang hari ini, bukan?”

Erland mengangguk malas.

“Dia gadis yang luar biasa. Ia pasti akan membawa kita pada kemakmuran,” Fred berkata mantap.

“Erland, engkau akan meneruskan pemberontakanmu?”

“Sementara ini aku akan diam melihat keadaan. Aku yakin tak lama lagi ia akan menunjukkan taringnya yang sesungguhnya.”

“Dan engkau akan mulai peperangan lagi,” tebak Fred.

“Tepat!” sahut Erland tegas.

“Aku tidak mengerti, Erland. Mengapa engkau tidak bisa mempercayainya? Paduka Ratu telah menunjukkan niat baiknya dan engkau tetap tidak mempercayainya.”

“Paduka Ratu?” Erland mengejek, “Sejak kapan engkau menghormatinya sebagai Ratu?”

“Sejak aku mempercayainya,” jawab Fred dengan tersenyum.

Erland mendengus kesal. “Dia tidak pantas kauhormati setinggi itu. Percayalah padaku, ia adalah serigala berbulu domba.”

“Ia memperbaiki pemerintahan ayahnya. Apakah ia akan memperbaiki hubungan pemerintah denganmu?” Fred bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “Kalau ia mengajakmu berdamai, engkau mau menerimanya?”

“Aku akan membunuhnya,” geram Erland, “Sekarang hentikan omong kosongmu itu. Aku benar-benar muak mendengarnya!”

Fred mengangkat bahunya dengan pasrah.

No comments:

Post a Comment