Wednesday, March 7, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 8

Seperti yang telah diramalkan Altamyra sendiri, hari-hari berikutnya menjadi hari yang panjang dan melelahkan baginya.

Sepanjang hari ia duduk di meja kerjanya untuk mempelajari laporan ke dua puluh menterinya. Laporan dari awal mereka menjabat sampai saat ini lebih tebal dari bayangan Altamyra. Tetapi ia tidak mengeluh.

Altamyra mensyukuri kesibukannya itu. Dengan kesibukannya, ia dapat melupakan Erland dan malam hari ia sudah terlalu lelah untuk mengenang Erland.

Seperti Altamyra, semua Menteri juga sibuk, kesibukan para Menteri yang luar biasa ini menarik perhatian para kuli koran.

Siapa yang tidak tertarik oleh para Menteri yang tiba-tiba mengacak-acak kantor mereka untuk membuka undang-undang lama?

Siapa yang tidak ingin tahu melihat ke dua puluh kantor itu beserta karyawan-karyawannya bersidang terus tanpa henti?

Tindakan Altamyra membuat warga Vandella bertanya-tanya khususnya warga Perenolde. Seperti belum puas membangkitkan keheranan rakyatnya, Altamyra membuat kejutan lagi dengan pengumumannya.

Semua koran memuat titah Altamyra dengan huruf besar-besar dan diletakkan di halaman depan. Bunyi titahnya:

Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra mengundang semua ahli keuangan Kerajaan Vandella untuk datang ke Istana Azzereath. Paduka Ratu akan mengadakan pemilihan untuk mengambil seorang ahli keuangan terbaik yang akan menjadi penasehatnya. Para ahli keuangan yang berminat harap segera menuju Istana Azzereath untuk segera mendaftarkan diri. Paduka Ratu hanya memberi waktu kurang dari satu minggu untuk mereka yang tinggal di sekitar Perenolde dan satu setengah minggu untuk mereka yang tinggal di luar radius 400 mil dari Perenolde.

Semua orang sibuk membicarakan kedua titah Altamyra di rapat pertamanya. Koran-koran menyoroti kedua titah itu.

Tanpa mereka sadari, keingintahuan mereka yang besar membuat mereka menulis lebih banyak dan lebih berani daripada sebelumnya. Koran-koran mulai dapat menjawab keingintahuan rakyat.

Sebagai orang yang pertama menyadarinya, Altamyra gembira. Ia tersenyum senang melihat koran telah berani berpendapat. Mereka berani menulis: Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ratu?

Altamyra yakin mereka tidak menyadari keberadaan kalimat itu. Kalimat yang pada masa pemerintahan ayahnya dianggap tidak mempercayai Raja. Tetapi setelah koran dicetak dan mereka membacanya, mereka pasti menyadari kalimat yang dulu bisa menyebabkan hukuman pancung itu.

Sebelum ada yang menemuinya untuk minta maaf, Altamyra segera menyebar ucapan selamat pada koran-koran.

“Koran Anda bagus sekali isinya. Saya senang atas kemajuan ini. Teruslah berkembang dengan bebas! Jadilah koran yang benar-benar dapat memberi informasi pada rakyat.”

Demikian kata-kata yang Altamyra tulis pada surat-suratnya.

Menjelang siang hari, kata-kata yang penuh dukungan itu telah tersebar di semua penerbitan koran. Kedatangan surat itu mula-mula menakutkan para pemilik penerbitan koran, tetapi mereka bersorak sorai setelah membaca isinya yang penuh dukungan dan kepuasan. Mereka merasa seperti mendapat sinar kehidupan baru dalam kerja mereka memberi informasi pada rakyat.

Di hari-hari selanjutnya, Altamyra yakin ia bisa tersenyum puas ketika membaca koran. Ia tidak perlu lagi merasa muak membaca koran yang isinya tidak berguna.

Baru dua hal hasil rapat pertama Altamyra dengan Menteri-menterinya, yang diketahui rakyat. Bila mereka tahu Altamyra mengurung Menteri Keuangan di Istananya, rakyat pasti akan menjadi semakin ramai.

Hingga hari ketiga keberadaan Mardick di Istana, tak seorang pun yang tahu. Keluarga Mardick sendiri tidak tahu apa-apa.

Untuk menenangkan keluarga Mardick, Altamyra mengirim Briat ke rumah Mardick. Melalui Briat, Altamyra mengatakan saat ini Mardick diperlukan di Istana dan untuk beberapa waktu ia tidak dapat menghubungi keluarganya.

Keluarga Mardick mempercayainya dan tidak ambil pusing walau sudah lama tidak ada kabar dari Mardick. Semua percaya Altamyra membutuhkan bantuan Mardick untuk menghitung kas negara.

Tak seorang pun di luar Istana yang tahu Altamyra menghitung sendiri uang yang dimiliki Vandella. Untuk melakukan pekerjaan itu, Altamyra meminta seluruh penghuni Istana menulis macam-macam pajak yang dibebankan ayahnya berikut jumlahnya.

Untuk menghilangkan kecurigaan rakyat akibat hilangnya Mardick, Altamyra memerintahkan Orwell, wakil Menteri Keuangan, menggantikan tugas-tugas Mardick. Kepadanya Altamyra tidak menjelaskan apa-apa tentang keberadaan Mardick di Azzereath. Ia hanya meminta Orwell melakukan pekerjaan yang sama seperti menter-menteri lainnya.

Begitu sibuknya Altamyra hingga ia sering melalaikan dirinya sendiri. Tidak ada lagi waktu istirahat untuknya.

Langkah besar yang diambil Altamyra di awal pemerintahannya ini mengguncang warga Vandella. Mulai dari Perenolde hingga ke daerah perbatasan. Mereka yang dulu tidak tertarik untuk mengetahui apa yang dilakukan rajanya menjadi terbangkitkan untuk mengikuti perkembangan suasana ibukota.

Guncangan ini sampai pula di tempat Erland dan menjadi yang paling besar.

Suatu pagi yang serah terdengar suara kuda mendekat beserta teriakan, “Pangeran! Pangeran!”

“Ada apa, Giorgio?” tanya Erland, “Apakah engkau sudah mengetahui bagaimana keadaannya?”

“Gawat, Pangeran. Benar-benar gawat.”

Erland segera menarik Giorgio ke kamarnya.

Fred yang mendengar pembicaraan singkat itu mengikuti Erland.

Erland menutup pintu kamarnya rapat-rapat lalu berkata, “Ceritakan apa yang kaudapatkan di sana?”

“Gadis itu, Pangeran,” Giorgio berkata antara takjub dan takut, “Gadis itu…”

“Cepat katakan, kenapa dia,” Erland tidak sabar lagi.

“Ia adalah Ratu Vandella.”

Baik Erland maupun Fred terhenyak kaget. Mereka menatap Giorgio dengan tak percaya.

“Kau yakin?” tanya Erland.

“Ia adalah Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella, Pangeran,” Giorgio meyakinkan, “Hamba sendiri yang mendengar ia berkata seperti itu di Gedung Parlemen.”

Giorgio segera menceritakan apa yang terjadi selama ia berada di Perenolde. Ia menceritakan bagaimana ia menyamar menjadi wartawan demi mendapatkan informasi untuk Erland.

“Saat itu saya berpikir Anda pasti senang kalau saya memberi Anda informasi apa yang dilakukan Raja Wolve di Gedung Parlemen setelah sekian lama menghilang. Saya tidak menduga akan bertemu Rara di sana. Mulanya saya tidak percaya ia adalah Rara tapi ia sangat mirip dengan Rara. Akhirnya saya bertanya padanya siapa dia. Dengan tegas ia menjawab, ‘ Saya Altamyra, Ratu Kerajaan Vandella’.”

“Kurang ajar,” geram Erland, “Setan cilik itu telah menipuku.”

“Altamyra…” gumam Fred, “Aku merasa pernah mendengar nama itu.”

“Ia adalah putri Raja Wolve yang dibawa pergi Ratu Reinny bertahun-tahun lalu,” Giorgio memberitahu.

“Benar!” seru Fred, “Aku ingat dulu Ratu Reinny membawa pergi putrinya yang baru lahir dan membuat Vandella gempar kecuali Raja Wolve. Rupanya ia telah mencari putrinya sebelum ia mati dan berjaga-jaga agar tidak terjadi perebutan tahta. Cukup beralasan mengapa ia tidak pernah mengumumkan Prischa sebagai pewaris tahta.”

“Saya rasa tidak. Menurut isu yang beredar di Perenolde, hingga Raja Wolve meninggal, ia tidak pernah memerintahkan pencarian terhadap putrinya. Para menterilah yang mencari mereka.”

“Menteri yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka baru mengumumkan hal ini setelah sepuluh bulan serigala itu mati.”

“Karena mereka mengalami kesulitan dalam menemukan tempat tinggal Ratu, Pangeran. Ratu menghilang tanpa jejak.”

“Benar-benar budak yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka mau menahan berita kematian serigala itu sampai sang Putri kembali?”

“Saya tidak tahu tentang itu, Pangeran.”

“Kejadian itu terjadi enam belas tahun yang lalu, berarti…” Tiba-tiba Fred berseru takjub, “Gadis itu masih sangat muda!”

“Setan cilik itu masih anak-anak,” Erland membetulkan.

“Aku tak percaya sekarang kita mempunyai Ratu semuda itu.”

“Ratu muda yang bodoh. Apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak sepertinya?”

“Banyak, Pangeran,” jawab Giorgio, “Ketika saya hendak kembali ke sini, terdengar kabar Ratu memanggil semua menterinya. Saya pikir Anda akan tertarik untuk mengetahui apa rencana Ratu. Karena itu saya menunda kepulangan saya.”

“Ratu memanggil semua menterinya untuk memerintahkan mereka membongkar semua peraturan lama. Ratu ingin membuat peraturan baru. Ratu juga menyebarkan pengumuman panggilan terhadap semua ahli keuangan Vandella. Ratu meminta mereka datang ke Azzereath karena ia akan memilih ahli keuangan terbaik.”

“Gebrakan yang mengejutkan,” ejek Erland.

“Benar, Paduka,” sahut Giorgio, “Ratu membuat seluruh Perenolde gempar. Koran-koranpun menjadi berani untuk mengupasnya. Lihatlah ini.”

Erland membaca kalimat yang ditunjuk Giorgio dan berkomentar, “Berani juga mereka meragukan kemampuan keturunan serigala itu.”

“Itu belum apa-apa dibandingkan dengan koran-koran ini, Pangeran. Saya dengar Ratu memberi dukungan pada tiap koran untuk terus berkembang.”

“Rencana licik apalagi yang dibuatnya? Ia memang licik. Harus kuakui ia cukup cerdik dalam mendapatkan simpati rakyat,” kata Erland sinis.

“Beristirahatlah dulu, Giorgio. Lalu kembalilah ke Perenolde dan terus kabari aku apa yang terjadi. Jangan katakan hal ini pada yang lain. Aku tak ingin mereka khawatir Ratu sial itu menyerbu kita sewaktu-waktu.

“Saya kita dalam waktu dekat ini, hal itu tidak akan terjadi. Saat ini Ratu sibuk dengan kas negara. Bahkan, ia meminta Mardick tinggal di Istana.”

“Aku tetap ingin engkau tutup mulut, Giorgio,” kata Erland tegas.

“Baik, Pangeran.”

“Beristirahatlah lalu segera kembali ke Perenolde.”

Giorgio segera meninggalkan kamar Erland.

“Biacaramu terlalu sinis, Erland. Mengapa engkau mencurigai dia? Belum tentu ia selicik dugaanmu. Mungkin saja setelah melihat apa yang terjadi di sini, ia ingin memperbaiki pemerintahan ayahnya.”

“Aku percaya pada diriku sendiri. Aku tidak mungkin salah,” Erland murka, “Ia pasti menyesal bila bertemu denganku. Aku akan membuatnya menyesal telah menipuku dan rakyatku. Aku ingin sekali membunuhnya.”

“Ia tidak sepenuhnya membohongi kita. Setidaknya ia masih memberikan nama aslinya.”

Erland tidak tertarik untuk mendengarnya, tapi Fred tetap melanjutkan.

“Ia menyuruh kita memanggilnya Rara. Panggilan itu dari namanya, Altamyra. Nama yang menyenangkan untuk didengar seperti mengandung sinar bintang yang cerah.”

“Berhentilah menyebut-nyebutnya. Aku muak mendengarnya!”

“Engkau boleh marah, Erland. Tapi engkau tidak bisa membohongiku.”

“Cukup!” bentak Erland.

Fred hanya mengangkat bahunya. Ia tahu Erland benar- benar murka saat ini. Ia juga tahu takkan ada yang berani mengusik Erland dalam hari-hari belakangan ini termasuk Cirra.

Sejak Rara kembali bersama para pasukan itu, Erland sangat cemas. Ia mengirim pasukan untuk mengintai pasukan kerajaan dan mencari kesempatan untuk menculik Rara kembali.

Setelah tidak berhasil merebut Rara, Erland mengirim Giorgio untuk mencari tahu keberadaan Rara.

Orang yang paling bersorak dengan hilangnya Rara adalah Cirra. Wanita itu seperti mendapatkan kembali kesempatan untuk berdua dengan Erland.

Cirra semakin berani. Bahkan, ia meminta Erland mengajaknya tidur di kamarnya seperti yang ia lakukan pada Rara. Erland dengan dingin menolaknya.

Suasana di Vandella tengah berubah. Demikian pula suasana hati Erland. Tapi, tidak suasana rakyat Lasdorf.

Meskipun mereka membaca koran yang menyerukan perubahan yang dilakukan Altamyra, mereka tidak akan tahu Altamyra adalah gadis yang sama dengan Rara. Rakyat kecil ini baru akan gempar bila tahu gadis yang dulu mereka puja adalah Ratu Vandella.

Tujuh ratus mil dari tempat itu Altamyra tetap meneruskan kesibukannya. Siang malam ia terus terlihat di Ruang Kerjanya dengan tumpukan kertas yang tinggi.

Terlalu banyak yang harus dilakukannya hingga ia sering melupakan waktu. Setiap kali hari menjadi gelap, Altamyra berkata, “Waktuku cepat berlalu.”

Waktu yang terus berganti dengan cepat, mendorong Altamyra untuk bekerja lebih cepat lagi. Lebih banyak yang diselesaikan Altamyra, semakin puas hatinya.

Kesibukan yang ada di Azzereath tidak hanya terjadi pada Altamyra saja. Seluruh pelayan Istana ikut disibukkan oleh kedatangan para ahli keuangan yang datang memenuhi panggilan Altamyra.

Orang yang pertama kali terkejut dengan banyaknya ahli keuangan yang datang adalah Briat. Saat ia mencatat nama ke lima puluh, ia segera menemui Altamyra.

“Luar biasa, Paduka,” serunya tak percaya, “Lihatlah ini. Ini nama ke lima puluh yang saya catat.”

Altamyra tertawa geli. “Berilah dia hadiah, Briat, sebagai penghargaan menjadi orang ke lima puluh.”

“Anda seperti akan mengadakan perlombaan, Paduka.”

“Engkaulah yang membuatnya seperti itu, Briat,” Altamyra tersenyum geli, “Aku berjanji minggu depan engkau akan lebih terkejut.”

“Anda benar, Paduka, mereka masih banyak.”

“Aku sudah mengatakannya padamu,” Altamyra mengingatkan dengan lembut, “Lebih baik sekarang engkau kembali ke bawah. Aku yakin sudah banyak yang menanti engkau memasukkan nama mereka dalam daftar peserta lombamu.”

Melihat wajah Briat yang seperti anak kecil yang sedang marah, Altamyra tertawa geli. “Pergilah menemui para peserta lombamu sebelum mereka membatalkan niatnya untuk mengikuti lombamu.”

Briat tersenyum ketika ia membungkuk. Ia masih tersenyum ketika kembali ke Hall.

Altamyra tersenyum melihat kepergian Briat lalu kembali menekuni pekerjaannya. Membaca laporan telah diselesaikannya berhari-hari lalu. Sekarang yang menjadi pekerjaannya adalah menyusun hal-hal yang harus segera dilakukannya setelah membaca laporan kedua puluh menterinya serta membuat keputusan-keputusan baru.

Segala hal baik yang terlintas dalam pikirannya segera ditulisnya dan dipisah-pisahkannya. Sangat banyak hal yang terlintas dalam pikiran Altamyra hingga ia bingung mana yang harus dilakukannya lebih dulu.

Di tengah-tengah kesibukannya, Altamyra masih menyempatkan diri untuk menyelesaikan masalah Mardick dan menerima menteri-menterinya yang datang untuk menanyakan sarannya.

Sejak mengurung Mardick di salah satu kamar Istana, Altamyra tidak pernah bertemu dengannya lagi. Namun, dari prajurit yang menjaga kamar tempat Mardick berada, ia mengetahui Mardick gelisah menanti hasil pemeriksaan Altamyra terhadap dirinya.

Ketika hari terakhir yang ditentukan tiba, Altamyra memanggil Ludwick ke Istana. Dari hasil pendataan Briat, Altamyra mengetahui jumlah orang yang datang.

Pagi hari setelah makan pagi, Altamyra meminta Briat menyuruh pelayan menyiapkan kertas dan pena di Ruang Rapat.

Pelayan-pelayan Istana segera melaksanakan perintah Altamyra itu. Mereka tidak mau kalah dengan Altamyra yang juga sibuk menyiapkan segala-galanya untuk pertemuannya yang pertama dengan semua ahli keuangan Vandella itu.

Kesibukan di dalam Istana yang terjadi sejak pagi itu membuat para tamu Altamyra tahu saat pemilihan telah tiba. Mereka pun sibuk mempersiapkan diri.

Menjelang siang, pelayan telah menyiapkan segalanya seperti perintah Altamyra.

Briat memanggil seluruh tamu Istana itu ke Ruang Rapat tempat Altamyra dan Ludwick telah menanti.

Sambil menunggu mereka semua berkumpul, Altamyra berbincang-bincang dengan beberapa orang. Ketika semua telah berkumpul, Altamyra tetap berbincang-bincang.

Ludwick juga menyibukkan diri dengan bercakap-cakap dengan mereka. Ia telah diberitahu Altamyra untuk membiarkan mereka menunggu.

“Aku ingin tahu sampai di mana batas kesabaran mereka,” kata Altamyra sebelum seorang pun memasuki Ruang Rapat.

Setelah hampir setengah jam menanti, orang banyak itu mulai gelisah. Mereka mulai mengkhawatirkan rencana Ratu mereka.

“Di mana Paduka Ratu, Ludwick?”

“Sejak tadi kami menanti di sini.”

“Beliau sudah ada di sini sebelum kalian datang,” Ludwick berkata sambil melihat seorang gadis muda yang tengah berbicara dengan seorang pria tua.

“Dia!?” Mereka terkejut ketika melihat Altamyra.

Kemudian mereka mendekati Altamyra dan berlutut, “Maafkan kami, Paduka Ratu. Kami tidak menyapa Anda sebagaimana mestinya.”

Dalam waktu singkat semua yang hadir ikut berlutut dan memohon maaf.

Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Berdirilah kalian semua. Masih banyak yang harus dilakukan daripada mempermasalahkan sopan santun.”

“Baik, Paduka,” kata mereka serempak. Dengan hampir bersamaan, mereka berdiri.

“Dari kalian yang ada di sini, aku ingin memilih beberapa orang yang benar-benar ahli dalam hal pembukuan uang,” Altamyra menegaskan, “Sebagai pemilihan pertama, aku akan memberi pertanyaan mudah. Jawabannya tidak perlu dikatakan, tetapi tulis di kertas dan berikan pada Ludwick. Kalian mengerti?”

“Kami mengerti, Paduka.”

“Pertanyaannya adalah bila kalian mempunyai uang lebih banyak dari impian kalian, apa yang akan kalian lakukan? Kutunggu jawabannya dalam lima menit.”

Altamyra menuju kursi tingginya di ujung meja rapat dan melihat orang-orang yang mulai menulis jawaban mereka.

Tak lama kemudian, Ludwick menyerahkan tumpukan kertas jawaban itu pada Altamyra.

“Terima kasih, Ludwcik.”

Altamyra mulai melihat lembar teratas. Gadis itu hanya melihat sebentar lalu menyingkirkannya. Ia mengambil lembar yang lain dan segera menyingkirkannya.

Ludwick tidak terkejut maupun heran dengan kerja Altamyra yang cepat. Gadis itu memang tangkas. Dalam satu minggu, ia sudah membuat banyak perubahan yang dilakukan raja lain dalam sepuluh tahun.

Dalam waktu singkat di hadapan Altamyra telah ada dua tumpuk kertas. Altamyra mendesah panjang ketika menyerahkan setumpuk kepada Ludwick.

“Mereka tidak berhasil.”

Altamyra kecewa melihat tumpukan kertas itu.

Ludwick melihat jawaban itu lalu dengan heran ia menatap Altamyra.

“Aku membutuhkan orang yang selalu tanggap dengan perubahan bukan yang mengikuti masa lalu,” Altamyra menjelaskan, “Sayang, beberapa dari mereka masih mengira aku sama dengan ayahku. Sudah banyak koran yang menuliskan keinginanku, tapi mereka tidak tahu. Aku sengaja tidak mengatakannya pada mereka untuk melihat siapa yang selalu mengikuti perubahan jaman.”

Ludwick mengerti keinginan Altamyra.

Tumpukan kertas yang diberikan Altamyra itu pada intinya mengatakan, “Aku akan memberikan uangku pada Raja agar ia senang.” Sedang tumpukan yang lain intinya berisi, “Aku akan menggunakannya untuk memperbaiki kehidupan rakyat.”

Ludwick mengumumkan hasil pemilihan pertama.

Setelah semua yang gagal pergi, Altamyra berdiri dengan tumpukan kertas baru.

“Pertanyaan yang kedua adalah kalian harus menyelesaikan hitungan ini,” Altamyra berkata tegas.

Ludwick mengambil kertas itu dari Altamyra dan membagikannya.

Sekagi Ludwick membagikan soal kedua, Altamyra berkata, “Silakan menggunakan meja rapat. Aku hanya memberi waktu lima belas menit untuk hitungan mudah itu. Kumpulkan pada Kincaid.”

Ludwick mendekati Altamyra. “Soal telah saya bagikan, Paduka.”

“Sekarang ikutlah denganku. Banyak yang harus kita selesaikan.”

Altamyra menuju meja yang baru dipindahkan ke sudut ruangan itu pagi tadi. Di meja itu tampak setumpuk kertas berisi hitungan.

Ludwick duduk di depan Altamyra.

“Periksalah ini. Apakah benar ini semua pajak yang ditarik ayahku?”

Selagi Ludwick memeriksa, Altamyra mengawasi orang-orang yang sibuk menghitung itu.

Ludwick mengangkat kepala dari kertas itu.

“Selain pajak tanah, pajak pendapatan, apakah ayahku juga menarik pajak hasil panen, pajak barang, pajak rumah, pajak ternak, pajak kendaraan, dan semua macam pajak yang ada di situ?”

“Benar, Paduka.”

Beberapa orang yang telah selesai memberikan hasil perhitungan mereka pada Kepala Keamanan Istana yang mengawasi mereka.

“Bolehkan saya mengajukan pertanyaan, Paduka?”

“Silakan.”

“Mengapa Anda membuat soal yang berbeda-beda?”

“Aku ingin tahu kemampuan mereka yang sebenarnya. Aku membutuhkan orang yang dapat bekerja cepat dan teliti.”

“Waktu telah habis!” Kincaid mengumumkan, “Anda dipersilakan beristirahat di kamar Anda masing-masing.”

Semua berdiri. Beberapa mengeluh panjang. Yang lain tersenyum senang. Ada juga yang berbisik-bisik. Suasana sepi Ruang Rapat menjadi riuh.

“Seperti anak-anak sekolah yang sedang ujian,” gumam Ludwick.

“Aku membuatnya seperti itu,” sahut Altamyra dengan senyum manisnya.

Kincaid mendekat. “Semua jawaban telah saya kumpulkan, Paduka.”

“Terima kasih, Kincaid. Maukah engkau membawakannya ke Ruang Kerjaku?”

“Dengan senang hati, Paduka.”

“Mari kita berangkat, Ludwick,” Altamyra mengambil tumpukan tugasnya.

“Ijinkan saya membantu Anda, Paduka,” Ludwick mengulurkan tangan.

“Terima kasih, Ludwick,” Altamyra menyerahkan bawaannya.

Altamyra meninggalkan Ruang Rapat dikawal kedua orang itu,

Penjaga pintu membukakan pintu untuk mereka.

Kincaid dan Ludwick meletakkan kertas-kertas itu di meja.

“Aku tidak ingin merepotkanmu, Kincaid, tapi aku ingin meja kecil di Ruang Rapat itu dikembalikan ke tempat asalnya.”

“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya,” Kincaid membungkuk hormat dan meninggalkan tempat itu.

“Menteri Luar Negeri datang menghadap, Paduka.”

“Suruh dia masuk.”

“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka,” Dewey membungkuk hormat.

“Engkau datang tepat waktu, Dewey. Kemarilah dan bantu kami memeriksa jawaban-jawaban ini.”

“Baik, Paduka.”

Dewey duduk di samping Ludwick.

Altamyra menyerahkan kepada mereka masing-masing selembar kertas. “Ini adalah jawaban untuk semua soal ini. Perhatikan baik-baik soalnya. Ada lima belas jenis soal di sini.”

“Kami akan berhati-hati, Paduka.”

Ketiganya segera tenggelam dalam kesibukan mereka. Di antara mereka bertiga, Altamyralah yang paling cepat. Gadis itu membuat semua soal itu. Gadis itu pula yang membuat jawabannya. Ia telah ingat semua jawaban, semua angka yang berderet-deret itu.

Selama hari-hari terakhir ini Altamyra terbiasa bekerja cepat. Tak heran ia menjadi tangkas dalam segala hal namun penuh perhitungan.

Dari 8454 orang yang telah tiba, 157 orang yang lolos dalam pemilihan pertama. Dari pemilihan kedua, yang lolos hanya 36 orang.

Altamyra memandang kertas yang berisi jawaban yang benar itu.

“Biarkan mereka menanti,” kata Altamyra, “Besok baru kita umumkan. Sampai saat itu tiba, jangan mengatakan hasilnya pada siapa pun.”

“Kami mengerti, Paduka.”

“Mendekatlah!”

Ludwick dan Dewey berdiri di samping Altamyra.

“Ini adalah hasil perhitungan kasarku,” Altamyra mengangkat selembar kertas, “Kuingin kalian memberitahu mana yang salah, mana yang terlewat.”

“Ini, Paduka,” Ludwick menunjuk sederet angka, “Jumlah yang ditarik lebih besar dari ini.”

Altamyra menghitung kembali hasil perhitungannya. Baik Ludwick maupun Dewey tidak henti-hentinya memberi bantuan pada gadis itu. Tiap ada yang salah, mereka tak ragu untuk memberitahu. Mereka juga tidak segan memuji pekerjaan Altamyra.

Altamyra juga dengan senang hati menerima pendapat kedua menterinya.

“Sudah saatnya beristirahat!”

Altamyra terkejut melihat pelayan tuanya yang setia membawa nampan penuh berisi makanan. “Apa yang kaulakukan di sini, Hannah?” Altamyra memandang seorang wanita, “Brenda, bukankah aku memberimu tugas untuk mencegahnya bekerja?”

“Maafkan saya, Paduka Ratu, tapi saya pikir Hannah benar. Telah seharian Anda bekerja bahkan Anda sampai melewatkan waktu makan siang. Sekarang terlalu terlambat untuk makan, tetapi tidak untuk waktu minum teh.”

Altamyra hanya menghela nafas. “Letakkan saja di meja lalu antar Hannah kembali ke kamarnya.”

“Anda harus beristirahat, Paduka,” Hannah menasehati, “Sepanjang minggu ini saya melihat Anda bekerja terlalu keras. Kalau Anda jatuh sakit, siapa yang akan melakukan perbaikan hidup rakyat.”

“Selain itu saya tidak suka berdiam diri,” Hannah mengingatkan.

Altamyra diam memandang wajah keriput pelayan tua itu. Dalam benak gadis itu telah muncul gagasan baru.

Rakyat membutuhkan bantuannya saat ini juga. Bukan nanti bukan juga esok, tapi sekarang. Segala perubahan yang dilakukannya membutuhkan waktu lama untuk benar-benar berjalan. Saat ini detik ini pula rakyat mengharapkan batuan.

“Brenda,” kata Altamyra tegas, “Panggil Kincaid, Briat juga Liplannd saat ini juga.”

“Baik, Paduka,” Brenda beranjak pergi.

“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Hannah keheranan.

“Memberimu pekerjaan,” jawab Altamyra tenang, “Sekarang engkau duduk saja menanti mereka.” Altamyra berpaling pada kedua menteri di kanan kirinya itu, “Mari kita lanjutkan,” katanya.

Tak lama kemudian Brenda datang dengan ketiga pria itu.

“Kami datang menghadap, Paduka,” mereka melapor.

“Liplannd, Briat, Kincaid, aku punya tugas untuk kalian,” Altamyra memulai, “Liplannd, ajak pelayan-pelayan Istana membantu Hannah membongkar semua gaun-gaunku juga gaun ibuku dan memilih yang baik untuk diberikan pada rakyat.”

Hannah terkejut tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk membantah.

“Hannah, pimpin pelayan-pelayan Istana memilih gaun-gaunku itu lalu bawa ke Hall lantai pertama. Briat, siapkan beberapa kereta kuda untuk membawa gaun-gaun itu. Dan engkau Kincaid, bawa prajuritmu untuk membagikan gaun-gaun itu pada rakyat. Ajak juga para pelayan, kalau engkau kekurangan orang. Untukmu, Brenda, bantu Hannah dan cegah ia ikut mengangkat kopor-kopor itu.”

“Paduka!” Hannah menyahut, “Saya tidak setuju! Gaun-gaun itu menyimpan banyak kenangan. Kalau semua disumbangkan, apa yang tersisa?”

“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” Altamyra berkata lembut, “Mama pasti mengerti keinginanku ini. Ia pasti senang gaun-gaunnya berguna untuk rakyat. Aku juga akan senang sekali kalau milikku dapat membantu rakyat yang menderita. Ini adalah langkah kecil yang dapat kulakukan saat ini selagi yang besar masih direncanakan.”

“Aku ingin bangsawan-bangsawan lain dan mereka yang kaya membantu rakyat. Tapi, yang lebih dulu melakukannya harus aku, mereka akan mengikutiku. Aku takkan melarang bila kalian ikut membantu. Bantuan yang sangat kecil tetapi penuh keikhlasan akan sangat berarti daripada bantuan besar yang hampa.”

“Kincaid, bila engkau sampai di kota, umumkan pada rakyat yang mampu untuk ikut menyumbang dan pada yang tidak mampu untuk mau datang ke Istana mengambil bantuan. Briat, kalau engkau selesai menyiapkan kereta, aturlah Hall menjadi dua bagian. Satu untuk penerimaan bantuan dan satu untuk pemberian bantuan. Mulai besok Hall dibuka untuk umum dan kalian tetap berkeliling menyalurkan bantuan, tapi tidak di sini melainkan di kota-kota lain. Mungkin di kota-kota lain juga perlu pengumuman, aku akan membuatnya.”

Altamyra mengambil secartik kertas dan mulai menulis.

“Kincaid,” panggil Altamyra seusai menandatangani pengumumannya, “Ini untuk dibacakan di ibukota dan ini di kota-kota lain. Ingat, aku hanya membuat dua. Bila ada pengumuman yang lain, cari dan periksa. Aku tidak mau hal ini digunakan oleh orang-orang tamak untuk mengumpulkan harta.”

“Baik, Paduka.”

Melihat kelima orang itu masih tidak bergerak, Altamyra berkata, “Apa yang kalian tunggu?”

“Kami akan melakukan tugas sebaik-baiknya, Paduka,” kata mereka serempak sambil membungkuk.

Altamyra melihat kedua menterinya bergantian. “Hannah benar, kita butuh istirahat.” Altamyra berdiri dan menuju sofa di depan meja kerjanya itu. Altamyra menuang teh dan memberikannya pada Ludwick dan Dewey.

“Terima kasih, Paduka.”

Altamyra tersenyum, “Katakanlah padaku bagaimana kehidupan rakyat selama ini sejauh yang kalian ketahui.”

“Rakyat hidup menderita, Paduka. Raja menarik pajak terlalu banyak dan terlalu besar. Sulit bagi rakyat miskin untuk bertahan hidup, banyak orang yang kelaparan di desa-desa. Di di kota, hanya mereka yang kaya yang mampu bertahan hidup. Bangsawan tidak lagi mengalami masa kejayaan. Pajak terlalu tinggi.”

“Sulit untuk menjadi kaya,” Dewey menambahkan, “Lebih mudah untuk jatuh miskin. Pajak perdagangan pun sangat tinggi.”

“Tak ada yang berani menentang Raja. Siapa yang tidak mau membayar pajak akan dipenjara. Raja juga tidak segan-segan membunuh orang yang tidak disukainya. Penjara dipenuhi orang-orang yang menangis menderita. Janda-janda meratapi anak-anaknya. Anak-anak kelaparan.”

“Untuk semua itu sudah berakhir,” kata Dewey bersemangat, “Anda hadir di sini sebagai bidadari kami. Anda memberikan banyak kebahagiaan. Anda menghidupkan suasana suram ini dan kerajaan yang menderita ini. Banyak anugerah yang Anda berikan tapi Andalah anugerah terbesar kami.”

“Terima kasih, Dewey. Aku senang mendengarnya. Aku berharap semua orang juga berpikiran seperti itu. Sayangnya, banyak yang takut dan membenciku.”

“Kami tidak membenci Anda, Paduka,” hibur Ludwick, “Suatu saat nanti rakyat akan mengetahui ketulusan Anda dan mereka akan mencintai Anda.”

Altamyra tersenyum lalu bangkit. “Aku tidak bisa duduk-duduk saja di sini. Aku ingin membantu mereka. Kalau kalian lelah, kalian boleh beristirahat. Aku tidak mengharapkan kalian ikut denganku.”

Ludwick dan Dewey berpandang-pandangan.

“Bagaimana menurutmu?”

“Bagaimana lagi, Dewey? Paduka gadis yang tangkas. Ia bekerja tanpa henti tapi tak terlihat lelah. Apakah kita harus kalah?”

“Baik! Kita ikut Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra.”

Mereka segera mengejar Altamyra yang telah berada di Hall dan bersiap-siap naik wagon ke kota.

No comments:

Post a Comment