Tuesday, March 6, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 7

Suasana di Gedung Parlemen ramai.

Di dalam orang-orang sibuk membicarakan kejadian tak terduga ini. Di luar para wartawan bersiap-siap untuk meliput kejadian ini dari awal sampai akhir.

Semua orang ingin tahu mengapa Raja Wolve tiba-tiba menyatakan diri setelah sekian lama tak pernah muncul. Apalagi Raja Wolve muncul di Gedung Parlemen yang dibencinya dan hendak makan malam dengan orang-orang yang direndahkannya.

Hal luar biasa ini segera tersebar cepat di Perenolde dan memancing keingintahuan warga.

Semua ingin tahu Raja Wolve muncul di Parlemen untuk apa. Ada yang menduga ia datang untuk membubarkan Parlemen. Ada pula yang menduga ia akan mengumumkan Prischa sebagai pewaris tahtanya.

Banyak anggota dewan yang berdiri di depan Gedung menanti kedatangan Raja Wolve. Mereka menanti dengan cemas.

Dari jauh tampak kereta emas mendekat. Kereta itu berhenti tepat di depan pintu.

Prajurit-prajurit pengawal Raja segera turun dari kudanya. Seorang di antara mereka membuka pintu dan seorang lain mengulurkan tangan untuk membantu Raja turun.

Sebuah tangan kecil yang terbungkus kain sutra putih terulur dari dalam. Tangan itu menyambut uluran tangan prajurit itu. Kemudian dari dalam kereta muncul seorang gadis.

Orang-orang berbisik-bisik melihat gadis itu. Semua ingin tahu siapa dia. Semua bertanya-tanya mengapa Raja Wolve membawanya. Pertanyaan itu hilang ketika gadis itu berdiri di samping kereta.

Semua yang ada di sana menatap gadis itu dengan penuh ingin tahu. Mereka tidak mengenal gadis itu tetapi mereka mengenali mahkota yang dikenakan gadis itu. Mereka mengenali jubah kebesaran Raja yang dikenakan gadis itu.

Altamyra tersenyum ramah pada orang di hadapannya lalu melangkah masuk.

Anggota dewan sampai lupa menyambut Altamyra karena herannya.

Merasakan suasana sekitarnya, Altamyra tersenyum. Ia telah memutuskan akan mengatakan segalanya di dalam.

“Selamat datang, Paduka,” Ludwick yang telah lama menanti, menyambut Altamyra.

“Semua sudah siap?”

“Sesuai perintah Anda, Paduka. Semua anggota dewan telah hadir.”

Ludwick mengantar Altamyra ke tempat yang telah disiapkan untuk gadis itu.

“Paduka, apakah Anda akan terus membiarkan mereka kebingungan seperti ini?”

“Tidak, Ludwick. Tetapi aku akan membiarkan mereka berpikir dulu.”

Ludwick menarik kursi untuk Altamyra.

“Terima kasih, Ludwick.”

Seperti perkataannya, Altamyra membiarkan semua orang bertanya-tanya selama makan malam itu. Ia mengajak bicara orang-orang di sekitarnya tetapi tidak menyebut siapa dirinya.

Walau kebingungan, mereka menjawab tiap pertanyaan Altamyra. Altamyra tidak menanyakan masalah kerajaan ataupun rakyat Vandella. Ia bertanya tentang kehidupan mereka sendiri, tentang keluarga mereka.

Altamyra ingin menjalin hubungan baik dengan mereka sebelum ia mengumumkan siapa dirinya.

Sikap Altamyra menimbulkan suasana aneh di gedung itu. Orang-orang bertanya-tanya siapakah dia dengan penuh ingin tahu, tetapi keramahan Altamyra membuat mereka ikut terbawa dalam suasana hangat.

Altamyra berbicara dengan santainya seperti mereka semua adalah temannya. Bahkan, Altamyra sesekali mengajak mereka bergurau.

Keramahan Altamyra lambat laun mencairkan suasana keheranan orang-orang itu. Ia membuat mereka melupakan keingintahuan mereka dengan pesonanya.

Ludwick tersenyum melihat suasana hangat itu. “Tampaknya Vandella akan mengalami kecerahan,” katanya pada dirinya sendiri.

Sebagai keturunan langsung raja yang teramat kejam, keramahan Altamyra sangat mengejutkan. Sedikit pun tidak nampak bahwa ia adalah putri Raja Wolve yang selama ini ditakuti rakyat dan keluarganya sendiri.

Sebagai orang yang dibesarkan di pedesaan pun, Altamyra tetap mengejutkan. Gadis itu seperti terbiasa dengan kerumunan orang banyak seperti ini. Kalau orang melihatnya yang penuh wibawa seperti ini, takkan ada yang percaya ia dibesarkan di sebuah desa kecil di pinggiran kota.

Hingga makan malam usai, Altamyra tak menyebutkan apa-apa tentang dirinya.
Ludwick bergegas bangkit untuk membantu Altamyra berdiri dan mengantar gadis itu hingga di pintu masuk.

Seorang prajurit telah membuka pintu kereta dan bersiap-siap untuk membantu Altamyra.

Tiba-tiba Altamyra berhenti dan berbalik.

“Maafkan saya,” katanya menyesal, “Saya lupa memberitahu Anda berita duka yang penting. Raja Wolve telah meninggal sepuluh bulan yang lalu dan ia secara diam-diam telah dimakamkan.”

Suasana menjadi ramai karena pemberitahuan Altamyra itu.

“Sebagai wakilnya, saya mewakilinya meminta maaf atas semua yang dilakukannya semasa ia hidup.”

“Siapakah Anda, Nona?” seorang pria bertanya pada Altamyra.

Altamyra mengenali pria itu. Ia pernah melihatnya di benteng Erland.

“Nama saya Altamyra, anak kedua sekaligus putri tunggal Paduka Raja Wolve dan Paduka Ratu Reinny, Ratu Kerajaan Vandella yang baru,” jawab Altamyra tegas, “Penobatan saya dilaksanakan oleh Uskup Vandella serta disaksikan oleh Ludwick dan Dewey sebagai wakil dari seluruh masyarakat Vandella dan luar kerajaan.”

Altamyra merasakan suasana tegang di sekitarnya. Ia tersenyum lembut dan berkata, “Terima kasih atas makan malam yang menyenangkan ini. Saya berharap kita mempunyai kesempatan lagi di lain waktu.”

Seorang prajurit membantu Altamyra naik kereta. Kemudian kereta melaju kembali ke Istana Azzereath yang megah.

Altamyra tahu ia telah membuat mereka semua terkejut. Ia lega karena telah mengumumkan kabar kematian ayahnya dan menyatakan diri sebagai Ratu.

Kedua orang tuanya hidup terpisah. Setelah mereka meninggal pun, mereka terpisah.

Pagi ini Altamyra telah mengunjungi makam ayahnya dan Allan untuk menunjukkan baktinya pada keluarganya. Altamyra pergi berdua dengan Hannah dengan dikawal beberapa prajurit.

Tak seorang pun yang memperhatikan mereka saat itu. Tetapi setelah malam ini, Altamyra akan menjadi pusat perhatian. Altamyra menyadari hal itu.

Kereta berhenti di depan tangga masuk.

Lagi-lagi seorang pengawal Altamyra mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu. Dalam sehari ini Altamyra telah terbiasa dengan hal itu dan ia tidak banyak mengomentarinya.

Altamyra memasuki Istana yang selalu cemerlang setiap saat.

“Anda sudah datang, Paduka?”

Altamyra hanya berpaling sebentar lalu kembali menatap lukisan di depannya.

“Siapa yang Anda pandangi, Paduka?”

“Allan, Hannah,” jawab Altamyra.

“Pangeran Allan sangat tampan. Saya senang terus memandangnya.”

“Engkau benar, Hannah. Tetapi ia juga sangat menderita,” kata Altamyra sedih.

“Bagaimana perjamuannya?” Hannah mengalihkan pembicaraan.

“Lancar seperti yang kuharapkan.”

“Besok pasti mereka terkejut.”

“Tidak perlu menunggu besok untuk membuat setiap orang tahu akan berita besar ini. Aku yakin tengah malam nanti hampir semua orang tahu apa yang telah terjadi.”

“Anda terlalu melebih-lebihkan, Paduka.”

“Tidak, Hannah. Percayalah padaku.” Altamyra meyakinkan, “Peristiwa ini akan menjadi berita besar di koran.”

Altamyra melanjutkan perjalanannya ke kamar.

Kamar tidur utama yang ditempati Altamyra sangat megah. Tempat tidurnya luas dan empuk. Langit-langitnya tinggi dengan jendela-jendela yang tinggi dan pintu besar. Permadani merah terhampar di seluruh ruangan itu dan menimbulkan suara bergemerisik tiap kali Altamyra melangkah.

Sepuluh pelayan telah bersiap-siap di dalam kamar untuk melayani Altamyra.

Melihat kedatangan Altamyra, mereka segera mendatangi gadis itu. Ada yang menyiapkan gaun tidur Altamyra. Ada yang membantu Altamyra melepaskan jubahnya. Ada yang mengambil mahkota dari kepala Altamyra.

Altamyra benar-benar seorang Ratu saat ini. Cukup dengan kata-kata, semua keinginannya terkabulkan.

Usai melayani Altamyra, pelayan-pelayan itu meninggalkan kamar.

Altamyra memandang langit-langit kamarnya dan membayangkan reaksi rakyat esok. Altamyra dapat membayangkan wajah-wajah terkejut rakyatnya tetapi ia tidak dapat membayangkan tindakan Erland bila ia mengetahui hal ini.

Erland tidak hanya terkejut tetapi juga murka. Altamyra telah menipu pria itu dan pria itu paling tidak suka ditipu.

Setelah selama satu bulan lebih tidur sekamar dengan Erland, Altamyra merasa kesepian di kamar yang besar ini. Ia telah terbiasa dengan ucapan selamat tidur Erland.

Altamyra menghapus segala kenangan itu dari benaknya. Sekarang bukan saatnya ia memikirkan dirinya sendiri. Banyak yang harus dilakukannya esok hari. Tugas-tugas telah menantinya.

“Tidak buruk,” gumam Altamyra. Gadis itu tersenyum melihat sederet tulisan besar di halaman pertama koran. “Sang Putri telah kembali. Aku suka judul ini.”

“Anda telah membuat setiap orang terkejut, Paduka.”

“Aku sependapat denganmu, Sylta. Sayangnya, mereka terlalu menyanjungku. Lihatlah apa yang mereka tulis.”

Altamyra membaca surat kabar keras-keras.

SANG PUTRI TELAH KEMBALI


Putri Altamyra yang menghilang bertahun-tahun lalu telah kembali. Untuk pertama kali beliau menyatakan diri di Gedung Parlemen setelah sebelumnya membuat para anggota dewan bertanya-tanya. Dalam kesempatan itu pula Putri Altamyra mengumumkan kematian Raja Wolve. Putri juga menyatakan diri sebagai Ratu Vandella yang baru, menggantikan ayahnya.

Warga Vandella berduka cita atas kepergian Raja Wolve yang arif. Segenap warga berdoa untuknya. Dalam kesempatan in pula warga mengucapkan selamat pada Putri Altamyra atas penobatan dirinya. Semoga Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra dianugerahi umur panjang untuk memerintah negeri ini.

Ratu Altamyra yang tampil dengan pesonanya, memikat setiap anggota dewan dan semua orang yang ada di Gedung Parlemen. Dengan keanggunan dan wibawanya, Ratu membuat semua orang mengaguminya.

Suasana hangat yang tercipta di Gedung Parlemen menunjukkan keramahan Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra. Ratu cantik yang memikat ini tampaknya akan membawa rakyat Vandella pada kemakmuran.

Dengan pendidikan yang diperolehnya di kota suci Vatikan, Ratu akan membawa rakyat pada kehidupan yang lebih baik. Kepandaian Ratu Altamyra tidak diragukan lagi.

Sangat disayangkan Paduka Ratu Reinny, ibunda Ratu Altamyra, telah meninggal dunia di kota suci Vatikan. Ratu yang setia itu telah meninggalkan ktia selama-lamanya. Tetapi, kita yakin Raja dan Ratu akan senantiasa melindungi kerajaan Vandella. Dengan putri mereka yang cantik sebagai Ratu, Vandella akan mengalami masa-masa kejayaan.

Altamyra tertawa geli. “Tidakkan itu berlebihan, Sylta? Mereka memuja-mujaku seperti aku adalah dewi.”

“Mereka tidak berlebihan, Paduka. Anda cantik seperti yang dikatakan dalam koran.”

“Engkau jangan terbawa mereka, Sylta.”

“Saya bersungguh-sungguh, Paduka,” Sylta meyakinkan, “Tak seorangpun di kerajaan ini yang mempunyai mata biru secerah mata Anda ataupun rambut yang bersinar keemasan seperti Anda.”

“Sayangnya, Sylta,” Altamyra menyesali, “Kalian terlalu memujaku. Lihat saja koran ini. Bagiku ini bukan berita tetapi acara penyanjungan. Koran ini sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak menyebutkan bagaimana aku membuat tiap orang kebingungan, ketakutan, dan perasaan lain karena sikapku. Mereka terus menyanjungku dan ayahku.”

Altamyra mendesah panjang.

“Kalian benar-benar tidak bebas selama pemerintahan ayahku. Tidak hanya rakyat yang tertindas, tetapi juga koran. Koran yang seharusnya mengatakan yang sebenarnya, jadi tidak berguna. Koran-koran hanya bisa memuat berita-berita palsu dan sanjungan-sanjungan terhadap rajanya. Sebenarnya kalian bersorak atas kematian serigala itu, tapi kalian mengatakan berduka. Kalian was-was terhadapku dan takut aku sama seperti serigala itu, tetapi kalian mengatakan Vandella akan mengalami kejayaan di bawah pemerintahanku.”

“Kalian benar-benar takut padaku,” Altamyra berkata dengan sedih. “Kalian memutuskan segalanya dengan cepat hanya untuk menyanjungku dan membuatku gembira. Kalian tidak akan pernah percaya kalau aku membenci serigala itu dari lubuk hatiku yang terdalam.”

“Kami percaya, Paduka,” kata Sylta, “Sebelum Anda tiba di sini, Hannah telah bercerita banyak tentang Anda. Ia menceritakan pula bagaimana Anda dengan tegas menolak kembali ke Kerajaan ayah Anda. Anda tidak mau kembali kekuasaan orang yang dibenci Anda sekali pun orang itu telah meninggal. Tetapi, demi kami, rakyat Vandella, Anda bersedia kembali.”

Altamyra tersenyum tetapi matanya bersinar sedih. Gadis itu berjalan ke jendela dan memandang seluruh wilayah kerajaannya yang terhampar di depannya.

“Andaikan kalian semua percaya padaku.”

“Kami mempercayai Anda, Paduka.”

Altamyra tiba-tiba berbalik. “Aku tahu, Sylta. Bila tidak, engkau takkan berani menyanggahku.”

Sylta tersenyum. “Kami tahu Anda tidak sama dengan ayah Anda.”

“Serigala itu,” gumam Altamyra, “Ia telah menjadi lembar hitam Kerajaan Vandella.”

Tiba-tiba pintu diketuk seseorang.

Sylta segera membuka pintu.

“Lapor, Paduka,” seorang prajurit masuk, “Duke Apaleah datang menemui Anda untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan diri Anda menjadi Ratu Vandella.”

Altamyra menatap kedua orang di hadapannya dan berkata, “Pagi ini akan menjadi pagi yang melelahkan bagiku.”

“Saya akan meminta Duke kembali bila Anda keberatan, Paduka,” kata prajurit itu.

“Terima kasih atas kesediaanmu, tapi kurasa aku harus menemuinya katakan padaku di mana ia dan putrinya berada?”

“Bagaimana Anda tahu, Paduka?” pertanyaan itu terlompat begitu saja dari mulut prajurit yang keheranan itu. Saat itu juga ia menyadari kelancangannya, ia cepat-cepat berkata, “Maafkan ke…”

“Putrinya adalah mantan pewaris tahta,” jawab Altamyra, “Tetapi itu kalau aku tidak ada. Mereka tentu datang berdua untuk mendapatkan perhatian dariku.”

Altamyra segera berlalu sebelum prajurit itu melanjutkan kata-katanya yang sengaja dipotong Altamyra.

Prajurit itu menatap Sylta dengan bingung.

“Pergilah!” kata Sylta, “Antar Paduka.”

Prajurit itu bergegas menyusul Altamyra.

“Jangan mudah merasa bersalah hanya karena tidak sengaja bertanya tanpa disuruh,” Altamyra memberi nasehat dengan lembut, “Bertanya bukan hal yang patut dimasukkan dalam daftar kesalahan. Mengerti?”

“Hamba mengerti, Paduka.”

Altamyra tersenyum.

Prajurit segera membukakan pintu Ruang Tamu ketika melihat Altamyra mendekat.

Dua orang yang duduk di dalam seger berdiri untuk menyambut kedatangan Altamyra.

“Selamat pagi, Duke Apaleah, Lady Prischa. Apa yang membuat datang sepagi ini.”

“Kami datang untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan diri Anda, Paduka.”

“Terima kasih, Duke. Anda bersedia datang sepagi ini hanya untuk mengatakan hal sekecil ini.”

“Kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk mengucapkan selamat pada Anda, Paduka,” kata Prischa.

Altamyra tahu sesungguhnya Prischa merasa enggan untuk menemuinya. Prischa merasa Altamyra merebut tahtanya.

“Aku merasa tersanjung, Lady Prsicha. Aku juga telah menyesal telah merebut tahtamu.”

Prischa terkejut. Ia cepat-cepat berkata, “Anda sama sekali…”

“Tidak, Prischa,” potong Altamyra, “Semua orang tahu engkaulah yang akan naik tahta bila Raja Wolve meninggal. Tentu sudah banyak yang kalian korbankan untuk mempersiapkan hal ini.”

Duke tertawa. “Anda sangat terbuka, Paduka.”

“Aku menyukai kejujuran, Duke. Bagiku kejujuran lebih berharga daripada pujian yang tinggi,” Altamyra menegaskan.

“Tentu, Paduka. Di dunia ini apa yang dapat mengalahkan kejujuran?”

“Tidak ada, Duke. Kita semua mengetahuinya,” kata Altamyra, “Sangat disayangkan kerajaan ini lama terpuruk dalam kepura-puraan.”

“Anda terlalu melebihkan, Paduka.”

“Aku tidak tahu apa-apa tentang kerajaan ini, tapi aku tidak buta untuk mengetahuinya,” Altamyra mengingatkan dengan lembut.

“Ayah saya benar, Paduka. Anda terlalu melebih-lebihkan.”

Altamyra menatap lekat-lekat kedua orang itu lalu ia tersenyum. “Seharusnya aku menyadarinya dari tadi. Sebagai ayah dan anak kalian sangat mirip, membuatku iri.”

Pandangan Altamyra menembus mata hijau kedua orang itu. Raut wajah mereka tidak terlalu menyenangkan untuk dipandang. Mata mereka bersinar licik dan seperti ingin selalu berpura-pura.

Keduanya terdiam.

“Bagi kalian, aku adalah orang asing di tempat ini. Tetapi, jangan melupakan siapa aku. Aku lahir di sini sebagai keturunan serigala yang kalian takuti itu. Mungkin aku buta tentang kerajaan ini, tapi aku bisa menjadi seperti ayahku. Dalam tubuhku mengalir darahnya, jangan lupa itu.”

“Tentu tidak, Paduka,” sahut Prischa ketakutan, “Anda tidak buta sama sekali tentang Vandella. Saya yakin Anda akan membawa Vandella pada kejayaannya.”

Altamyra menatap Prischa lekat-lekat. Ia tahu wanita itu lebih tua darinya tetapi tidak lebih tegas darinya. Kalau Altamyra menjadi Prischa, ia pasti tidak akan ketakutan hanya karena sedikit diperingati gadis yang jauh lebih muda darinya.

Pintu diketuk seseorang kemudian seorang prajurit muncul.

“Maaf menganggu Anda, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya hendak melaporkan bahwa para Menteri telah tiba.”

“Terima kasih. Tolong katakan pada mereka, aku akan segera datang.”

“Baik, Paduka.”

“Maafkan saya, Duke Apaleah, Lady Prischa. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi.”

“Kami mengerti, Paduka. Lagipula kami juga hendak pamit.”

“Saya berharap kita mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi, Duke.”

“Saya juga berharap, Paduka.”

Altamyra tersenyum melihat kepergian mereka lalu ia meninggalkan Ruang Tamu dan bergegas menemui para Menterinya.

Semua menteri telah duduk di meja perundingan. Mereka berbincang-bincang sambil menanti kedatangan Altamyra. Mereka semua terdiam ketika Altamyra memasuki Ruang Rapat dan cepat-cepat bangkit.

Altamyra menuju kursi tingginya di salah satu ujung meja kotak itu.

“Selamat pagi, Tuan-tuan,” sapa Altamyra, “Maafkan keterlambatan saya.”

“Selamat pagi, Paduka.”

“Silakan duduk,” kata Altamyra, “Kita akan segera memulai rapat pertama kita ini. Sebagai perkenalanku dengan kalian, aku takkan menyebut siapa aku dan bagaimana asal usulku. Aku yakin kalian telah mengetahuinya. Aku hanya akan mengatakan rencana-rencanaku di awal pemerintahanku ini.”

“Seperti yang kita ketahui, kehidupan rakyat sangat menderita. Itulah yang pertama-tama akan kita ubah. Aku ingin memajukan kemakmuran rakyat sebelum melangkah lebih jauh. Untuk itu aku ingin membeli bahan-bahan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Apakah ada yang tidak setuju?”

“Maafkan kelancangan saya, Paduka. Menurut perhitungan saya, kas kita tidak cukup untuk melakukan itu.”

“Tidak, Mardick. Lihatlah Istana ini. Apa yang ada di dalamnya lebih dari cukup untuk meningkatkan kehidupan rakyat."

“Penduduk Vandella sangat banyak, Paduka. Kas kita terus menipis karena kurangnya pajak yang masuk. Bila ditambah beban pembelian itu, saya khawatir kas kita akan kosong. Anda harus memperhitungkan hal itu, Paduka,” Mardick bersikeras, “Dana kita tidak cukup untuk membeli barang-barang kebutuhan untuk dibagikan pada rakyat. Kita bisa jatuh miskin karenanya.”

“Tidak mungkin! Kemarin aku telah menghitung jumlah uang yang kita miliki cukup untuk membiayai hidup rakyat. Bahkan, lebih dari yang kuminta!” ujar Ratu.

“Tapi…”
“Cukup!” potong Altamyra tajam, “Jangan mencoba membantahku! Aku tahu ayahku tidak mungkin menghamburkan uangnya. Ia lebih suka menimbun kekayaan daripada berfoya-foya.”

“Daulat, Paduka,” Menteri Keuangan itu membela pendapatnya.

“Penjaga!” Ratu cantik itu sudah tidak menahan diri, “Jaga dia! Tanpa ijin dariku, ia tidak boleh meninggalkan istana ini!”

“Baik, Paduka.” Dua prajurit yang berjaga-jaga di dalam Ruang Rapat segera memegang erat-erat tangan Mardick. Mardick berusaha melawan. Kedua prajurit itu terpaksa memunting tangan Mardick ke belakang punggungnya.

“Jangan karena aku tidak dibesarkan di sini, engkau menyangka aku tidak tahu apa-apa tentang ayahku. Ayahku orang yang kikir,” Ratu mengingatkan. Lalu dengan lembut ia berkata, “Siapkan kamar. Mardick akan menginap di sini untuk waktu yang lama.”

“Baik, Paduka.”

Mardick memucat ketakutan.

“Anda tidak boleh melakukan itu, Paduka.”

“Simpan pendapatmu itu, Ludwick. Sekarang lebih baik engkau mengumpulkan semua ahli keuangan di kerajaan ini.”

Ludwick memandang heran, namun ia tetap berkata, “Baik, Paduka.”

“Aku berharap sebelum dua minggu mendatang semua telah berkumpul di sini.”

“Baik, Paduka.”

Setelah Ludwick pergi, Altamyra berkata, “Bawa Mardick ke kamarnya. Kurasa ia butuh banyak istirahat sampai aku selesai dengannya.”

“Dan untukmu, Mardick, kuperingatkan untuk tidak mengirim kabar apa pun pada keluargamu. Aku ingin mereka semua ada ketika hartamu kuperiksa. Aku ingin tahu sebesar apa uang negara yang kaucuri selama dua puluh satu tahun engkau menjadi Menteri Keuangan,” Altamyra mendekati pria itu dan berkata pelan tapi tajam.

Prajurit-prajurit itu memberi hormat pada Altamyra sebelum meninggalkan ruangan luas yang dipenuhi oleh seluruh menteri.

Altamyra menghadap menteri-menterinya yang lain. “Maafkan atas gangguan tadi. Aku harap kalian mengerti aku tidak ingin menjelaskan apa pun sampai kecurigaanku terbukti. Kusarankan kalian tidak memikirkannya sebab aku akan memberi kalian tugas berat. Sebelum aku melanjutkan, aku perlu menegaskan tindakanku tadi agar kalian tidak khawatir ketika menyelesaikan tugasku.”

“Aku tidak akan menahan kalian,” kata Altamyra tegas, “Dan, sampai semua terbukti, aku ingin kalian merahasiakan hal ini dari orang lain.”

Altamyra tersenyum manis dan berkata lembut, “Kalian mengerti?”

Mereka membalas senyuman itu dengan tulus tanpa rasa takut sedikitpun. “Kami mengerti, Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” kata mereka serempak.

Altamyra kembali duduk di kursinya yang tinggi, menghadap menteri-menteri yang melihatnya. Altamyra menengakkan punggung dan berkata tegas,

“Kalian tahu aku berniat merubah pemerintahan otokrasi ayahku. Sebagai langkah awal, aku ingin merubah semua peraturan yang dibuat semasa pemerintahan ayahku. Masing-masing dari kalian kuperintahkan membentuk sebuah badan dengan kalian sebagai kepalanya. Badan ini bertugas menuliskan semua peraturan yang ada dalam lembaga kalian masing-masing dan merubah semua peraturan yang membebankan rakyat. Dalam hal ini aku menegaskan aku berbeda dengan ayahku.”

Ratu tersenyum lembut. “Kalian tidak perlu khawatir aku akan menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak mengenal dan tidak mempercayaiku. Aku meyakinkan kalian untuk memegang kata-kataku ini.”

“Kami percaya pada Anda, Paduka,” kata mereka hampir bersamaan.

“Terima kasih,” Altamyra tersenyum manis, “Aku percaya kalian juga menginginkan perbaikan bagi kerajaan ini. Aku percaya kalian akan memilih orang yang benar-benar sesuai dengan bidang yang kalian tangani dan benar-benar ingin memperbaiki negara ini. Tanpa perlu melaporkan siapa saja yang kalian masukkan dalam badan-badan itu, aku percaya kalian dapat menyelesaikan tugas ini kurang dari satu bulan.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya, Paduka.”

Altamyra mengangguk. “Aku ingin laporan terperinci mulai dari peraturan lama hingga peraturan baru yang kalian buat.”

“Baik, Paduka.”

Altamyra bangkit diikuti para menteri itu. “Sebelum kalian mulai mengerjakan perintahku, aku berpesan kalian tidak perlu ragu untuk menemuiku bila kalian mengalami kesulitan.”

“Kami mengerti, Paduka.”

Menteri-menteri itu membungkuk hormat sebelum meninggalkan Ruang Rapat.

Altamyra mengawasi kepergian mereka hingga orang terakhir. Altamyra pergi ke jendela yang menghadap gerbang keluar Istana, tapi yang dilihatnya bukan kereta-kereta yang membawa pergi menteri-menterinya. Altamyra melihat wilayah kerajaannya yang luas yang perlu pertolongannya.

Gadis itu menghela nafas membayangkan orang-orang yang menderita di luar sana karena kekejaman ayahnya. Ia sendiri telah melihatnya. Mata kepalanya sendiri telah melihat anak-anak yang kurus, orang tua yang sakit-sakitan, kaum pria yang kelelahan bekerja, kaum wanita yang menangis. Mereka semua merintih sedih dan kelaparan.

Banyak yang harus dilakukannya untuk memperbaiki semua ini.

Altamyra kembali duduk di kursinya. Dibukanya sebuah laporan kerja di hadapannya.

Altamyra mendesah panjang melihat laporan yang dibuat dengan rasa takut itu. Tiap tulisan menyiratkan perasaan takut akan kesalahan.

Mereka semua takut. Takut ia sama seperti ayahnya.

“Paduka!”

Altamyra mengangkat kepala dari pekerjaannya.

Ludwick memandang ruangan kosong itu dengan heran.

“Mereka telah pergi melakukan tugas mereka,” kata Altamyra, “Aku juga akan memberimu tugas yang sama. Aku ingin engkau membentuk sebuah badan. Pimpin badan itu memeriksa semua peraturan lama dan merubah peraturan lama yang membebani rakyat. Kalau diperlukan peraturan baru, buatlah. Aku ingin laporan terinci paling lambat satu bulan mendatang.”

“Hamba mengerti, Paduka.”

“Sebelum kau pergi, aku ingin memberimu tambahan tugas.”

“Hamba siap melaksanakannya, Paduka.”

Altamyra tersenyum. “Aku ingin semua ahli keuangan itu tinggal di sini.”

“Hamba mengerti, Paduka.”

Ludwick membungkuk hormat lalu pergi.

Altamyra menumpuk laporan-laporan di hadapannya menjadi satu. Dibawanya tumpukan kertas itu meninggalkan Ruang Rapat.

Prajurit di luar terkejut melihat kehadirannya.

“Ijinkan saya untuk membantu Anda, Paduka,” seorang dari mereka berkata.

“Terima kasih.”

Prajurit itu mengambil alih tumpukan kertas yang hampir menutupi wajah Altamyra.

Kepada prajurit yang lain, Altamyra berkata lembut tapi tegas, “Tolong kau panggilkan Briat, Kepala Rumah Tangga Istana untukku. Aku menunggu di Ruang Kerja.”

“Baik, Paduka.”

Setelah prajurit itu beranjak pergi, Altamyra pun pergi ke Ruang Kerja.

Tengah ia sibuk memeriksa lembaran-lembaran tugasnya, Briat datang.

“Hamba datang menghadap, Paduka.”

“Duduklah, Briat.”

Setelah Briat duduk di hadapannya, Altamyra baru berkata, “Mulai hari ini, Istana akan dipenuhi orang. Semua ahli keuangan di negeri ini kukumpulkan di sini. Aku ingin engkau mengatur tempat untuk mereka. Tempatkan mereka hanya di lantai dua. Bila perlu satu kamar untuk dua orang. Aku yakin kamar-kamar yang luas ini cukup untuk lebih dari satu orang.”

“Anda benar, Paduka. Kamar-kamar di Istana sangat luas. Demikian pula tempat tidurnya. Takkan ada masalah bila dua orang tinggal di satu kamar.”

“Mengenai teman sekamar itu, aku ingin orang yang berasal dari tempat sama ditempatkan dalam satu kamar. Aku tidak mau tamu-tamuku merasa tidak nyaman di sini,” Altamyra menegaskan.

“Baik, Paduka,” kata Briat sambil mengangguk.

“Kalau memang sudah tidak cukup, tempatkan mereka di lantai empat.”

“Di lantai empat, Paduka?” tanya Briat heran, “Bukankah itu berarti mereka akan terpencar?”

“Aku ingin lantai satu dan lantai tiga dibiarkan seperti itu. Lantai dua dengan kamarnya yang mencapai dua ratus kamar akan cukup untuk mereka.”

Briat berpikir keras.

“Untuk sementara waktu ini biarkan mereka makan di Ruang Makan. Selanjutnya, bila jumlah mereka telah banyak, siapkan di Hall lantai dua.”

Briat hanya memandang wajah cantik Ratunya itu. “Apakah mungkin jumlah mereka mencapai empat ratus orang?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Altamyra mengerti apa yang ada di pikiran pria tua itu. Ayahnya adalah seorang Raja yang curang. Ia selalu melebih-lebihkan jumlah pajak yang harus dibayar seseorang. Karena ia tidak ingin ada yang tahu kecurangannya, ia menghancurkan masa depan ahli keuangan di negeri ini dan membuat tak seorang pun ingin menjadi ahli keuangan.

Tapi Altamyra juga tahu masih banyak ahli keuangan di kerajaan ini.

“Bila telah ada yang datang, jangan lupa untuk mendatanya,” Altamyra melanjutkan, “Satu tambahan tugas lagi. Tempatkan Mardick di salah satu kamar di lantai tiga dan aku ingin penjagaannya diperketat.”

“Hamba akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Paduka.”

Altamyra tersenyum puas.

No comments:

Post a Comment