Monday, March 5, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 6

“Sekarang semuanya telah berubah.”

Itulah yang dikatakan Altamyra pada dirinya sendiri saat melihat bayangannya di cermin.

Sementara ia duduk diam, pelayan-pelayan sibuk menata rambutnya. Ada yang khusus bagian menggelung, ada yang khusus memberi hiasan, ada pula yang khusus menyisiri. Altamyra dibuat pusing karenanya.

Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya duduk diam sampai mereka selesai mendandaninya. Altamyra benar-benar lega ketika akhirnya mereka selesai.

“Bawa masuk makan siang untuk Paduka,” Sylta memberi perintah pada pelayan-pelayan lainnya.

“Kurasa aku tidak akan makan siang, Sylta.”

“Seperti keinginan Anda, Paduka.”

Altamyra menangkap kekecewaan di wajah Sylta. Altamyra ingat Hannah selalu kecewa bila ia menolak memakan apa yang ia siapkan untuknya.

“Tunggu!” Altamyra cepat-cepat mencegah. Dengan tersenyum, ia melanjutkan, “Aku tidak akan membuat usaha kalian sia-sia. Jadi, aku akan makan. Tetapi, aku tidak ingin sendirian. Tolong panggilkan Ludwick dan Rasputin untuk menemaniku.”

Walau ia tidak menampakkannya, Altamyra tahu Sylta merasa senang. Terlihat dari nada suaranya ketika ia menjawab, “Baik, Paduka!”

Sylta segera menyuruh pelayan-pelayan itu berangkat dan ia sendiri pergi untuk memanggil kedua Menteri itu.

Altamyra mendesah. Tenda yang disiapkan untuknya benar-benar besar. Seratus orang masuk ke dalam tenda ini, takkan membuat sesak suasana di dalam tenda. Benar-benar tenda seorang Raja.

Altamyra duduk di kursi di tengah tenda. Ia diam merenung sampai Sylta datang melapor,

“Tuan Ludwick dan Tuan Rasputin telah tiba, Paduka.”

“Persilakan mereka untuk masuk.”

“Hamba datang menghadap,” kata kedua orang itu sambil membungkuk hormat.

“Duduklah,” kata Altamyra, “Temani aku makan.”

Mereka duduk dan pelayan-pelayan mulai berdatangan dengan bermacam-macam makanan yang lezat.

Selama makan siang itu Altamyra tidak banyak berbicara. Ia terus memusatkan perhatiannya pada pikirannya. Sikapnya itu membuat Ludwick dan Rasputin was-was.

Altamyra menyadarinya. “Ada apa?” tanyanya, “Kalian sudah makan siang?”

“Belum, Paduka,” jawab mereka ketakutan.

Altamyra tersenyum. “Aku meminta kalian menemaniku bukan untuk memberi hukuman pada kalian. Aku selalu merasa harus menghabiskan semua ini bila aku makan sendirian. Ayahku tidak pernah mengajak kalian makan bersama. Aku benar?”

Mereka diam ketakutan.

“Hanya satu yang dapat kukatakan kepada kalian,” Altamyra melanjutkan dengan tegas, “Aku bukan ayahku dan aku membenci segala sikapnya.”

Pelayan membawakan hidangan terakhir.

Altamyra menggerakkan tangannya untuk menyatakan ia tidak mau.

Pelayan itu melayani Ludwick dan Rasputin lalu meninggalkan tenda.

“Aku tidak akan memaksa kalian untuk mempercayaiku,” Altamyra mengambil gelasnya yang berisi air jeruk dan meminumnya dengan tenang.

Pelayan-pelayan segera membersihkan meja seusai mereka selesai dengan makan siang mereka.

Altamyra menuju meja rias dan mencari-cari sesuatu di lacinya.

Kedua menteri itu memandangi Altamyra dengan penuh ingin tahu.

Altamyra menulis sesuatu pada selembar kertas lalu kembali pada kedua menterinya.

“Rasputin, kuperintahkan engkau membawa pulang pasukanmu sore ini. Bawa pula kereta kudaku dan para pelayan.”

Mereka terkejut tetapi Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk membantah.

“Dari sini ke Perenolde membutuhkan waktu berapa lama?”

“Paling cepat satu minggu, Paduka.”

“Bukan tiga hari?”

“Dengan kecepatan tinggi, waktu itu bisa tercapai, Paduka. Tetapi kita tidak bisa secepat itu dengan Anda bersama kami. Kami harus berhati-hati dalam setiap langkah kami demi keselamatan Anda.”

Altamyra berpikir keras. “Aku ingin kalian berdua kembali ke Perenolde sore ini juga. Ludwick, kuperintahkan engkau untuk menyebar titahku ini pada para Menteri.”

Sementara Ludwick membaca kertas itu, Altamyra melanjutkan, “Aku ingin engkau mempersiapkan rapat di Istana tepat minggu depan. Aku ingin kalian berdua juga membuat laporan atas apa yang kalian kerjakan selama ini. Mulai dari ayahku sakit hingga saat ini.”

“Bagaimana dengan Anda, Paduka?” Rasputin memberanikan diri untuk bertanya.

“Tinggalkan seekor kuda untukku dan empat prajurit terbaikmu, Rasputin. Aku akan segera berangkat setelah kalian pergi. Satu tugas lagi untukmu, Ludwick, aku ingin engkau memberitahu Hannah bahwa aku baik-baik saja dan aku akan segera tiba.”

“Maafkan saya, Paduka, tetapi saya tidak menyetujui usul Anda. Rencana ini terlalu berbahaya. Kami mengkhawatirkan keselamatan Anda.”

“Apakah engkau kira dengan sekompi pasukan, aku akan selamat?” tanya Altamyra.

“Tidak, Rasputin. Sebuah kereta emas telah menarik perhatian apalagi dengan banyak pasukan. Engkau juga harus ingat aku baru saja meninggalkan Lasdorf. Tentunya saat ini mereka sedang mengawasi kita dan bersiap-siap untuk menculikku kembali. Aku telah mengetahui persembunyian mereka. Bagi mereka, aku terlalu berbahaya untuk dilepas di tengah-tengah kalian.”

Rasputin ingin mengatakan sesuatu tetapi Altamyra mendahuluinya,

“Jangan menyarankan aku untuk menyerang mereka. Aku tidak akan pernah menyerang mereka. Mereka berjuang untuk kemakmuran mereka. Bukan untuk menggulingkan pemerintah. Di samping itu, saat ini yang terpenting adalah menyelesaikan masalah pergantian tahta ini.”

Mereka diam memikirkan rencana Altamyra.

Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk berpikir terlalu lama. “Hari mulai siang. Kembalilah kalian untuk beristirahat. Pukul lima sore nanti kembalilah kalian ke Perenolde. Dan, bila kalian masih mengkhawatirkan keselamatanku, tinggalkan empat jendral terbaikmu, Rasputin.”

Kedua menteri itu terbiasa untuk tidak membantah titah Raja. “Kami mengerti, Paduka,” kata mereka. Sekali lagi mereka membungkuk hormat dan meninggalkan tenda Altamyra.

Sylta masuk tak lama setelah kepergian kedua pria itu.

“Sore ini kembalilah ke Perenolde bersama pasukan yang lain,” kata Altamyra, “Katakan pada Hannah untuk tidak mencemaskanku. Aku akan segera tiba.”

“Anda tidak pulang bersama kami, Paduka?”

“Aku akan pulang setelah kalian berangkat.”

“Biarlah saya ikut dengan Anda, Paduka. Saya ingin terus melayani Anda.”

“Engkau akan melakukannya, Sylta. Tapi tidak saat ini. Banyak yang ingin kulakukan sepanjang perjalanan pulang nanti. Aku ingin engkau kembali ke Azzereath.”

“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya, Paduka.”

Altamyra mengeluh. Semua orang tidak ada yang berani membantahnya. Mereka semua takut padanya. Kalau ada yang salah di mata mereka, mereka hanya berani bertanya. lalu diam lagi setelah mendapat jawaban. Untuk mengatakan tidak setuju pun mereka takut dan didahului kata ‘maaf’.

“Apakah sedemikian kejamnya ayahku hingga kalian takut pada keturunannya?” tanya Altamyra, “Apakah aku sekejam dia di mata kalian?”

“T…tidak, Paduka.”

“Aku tahu, Sylta,” Altamyra berkata lembut untuk menenangkan ketakutan wanita itu, “Di dalam tubuhku mengalir darah serigala itu. Aku mempunyai jiwa kejam serigala itu dan kalian takut padaku. Anak serigala adalah serigala, bukan?”

Sylta ingin membantah tapi Altamyra sudah berkata, “Beristirahatlah, Sylta. Tak sampai tiga jam lagi engkau akan kembali ke Perenolde dan sebelum itu engkau harus berbenah.”

Sylta pergi tanpa sempat menjawab pertanyaan Altamyra.

Altamyra merasa awal-awal pemerintahannya ini akan menjadi tugas yang sangat berat. Dan yang terberat adalah membuat mereka percaya padanya.

Satu jam kemudian kesibukan perkemahan di tepi Thamasha itu mulai terlihat.

Prajurit-prajurit mulai membongkar tenda. Pelayan-pelayan membereskan barang-barang. Kusir kuda menyiapkan keretanya. Para Jenderal mengatur pasukan. Sementara itu Altamyra hanya boleh duduk diam di dalam tendanya.

Altamyra bersyukur atas kecermatan Hannah. Wanita tua itu membawakan baju berkuda untuknya lengkap dengan segala perlengkapannya. Baju itu akan membuat segalanya menjadi lebih mudah untuk Altamyra.

Tepat ketika para pasukan sudah bersiap-siap untuk berangkat, Altamyra selesai berganti baju.

Rasputin, Ludwick serta pasukan lainnya berbaris rapi di depan tenda Altamyra. Mereka hendak berpamitan pada gadis itu sebelum mereka pergi.

Altamyra melangkah keluar dari tendanya. Ia menemukan dirinya menghadapi orang-orang yang sedang terpana.

“Ada apa?” tanya Altamyra, “Ada yang tidak beres?”

“Ti…tidak, Paduka,” Rasputin cepat-cepat menjawab, “Kami…”

“Kami tidak menduga Anda sekecil ini,” Ludwick memberanikan diri untuk berterus terang.

Altamyra tertawa geli.

Gadis itu tidak menyadari ia tampak bersinar saat itu. Baju berkudanya membungkus ketat tubuhnya dan menonjolkan kerampingannya.

Sepatu bot kulit hitam yang bertumit membungkus kakinya yang telah terbalut celana berkuda putih, hingga ke lutut. Baju merah yang membungkus tubuhnya tampak sangat serasi dengan kulit putihnya. Ujung sarung tangan putihnya tersembunyi di balik lengan bajunya yang panjang. Tangannya menggenggam erat cemeti hitam.

Rambut panjangnya tersembunyi di balik topi hitamnya. Rambutnya yang terjuntai keluar tertimpa sinar matahari sore dan bersinar indah seperti perhiasan yang tak ternilai harganya.

Wajah cantiknya bersinar ceria. Matanya memandang lembut. Senyum manis tersungging di wajahnya yang berseri.

Gadis itu berdiri tegak dan menampakkan wibawanya sebagai seorang Ratu.

“Kalian membuatku geli,” kata Altamyra, “Apakah kalian berpikir aku sebesar gajah hingga kalian terkejut ketika aku tiba-tiba menjadi tidak lebih besar dari semut? Hidup makmur seperti ini dapat membuat aku bertambah gemuk tetapi waktu dua bulan lebih belum cukup untuk membuatku tampak subur seperti gajah.”

“Sudahlah,” Altamyra menghentikan tawa gelinya, “Segeralah kembali ke Perenolde sebelum hari gelap. Jangan buat keluarga kalian menanti dengan cemas lebih lama lagi.”

“Kami berangkat, Paduka.”

Altamyra melambaikan tangannya sampai mereka jauh.

“Kita juga harus segera berbenah dan kembali ke Perenolde.”

“Baik, Paduka.”

Keempat pasukan terbaik yang ditinggalkan Rasputin untuk mengawalnya, mulai membongkar tenda Altamyra.

Segala perabot yang ada di dalam tenda itu telah dibawa kembali pasukan tadi. Sekarang yang tertinggal hanya sebuah tenda kosong.

Gaun-gaun Altamyra juga telah dibawa pulang semua. Altamyralah yang memerintahkan hal itu. Ia menolak membawa baju ganti karena itu akan merepotkan rencananya.

Hari mulai gelap ketika Altamyra menaiki kuda hitam yang ditinggalkan untuknya.

“Ke mana kita akan pergi, Paduka?” tanya Jenderal Duane.

“Kita akan meninggalkan tempat ini,” kata Altamyra, “Semakin larut kita melewati daerah pemberontak, semakin baik. Malam-malam seperti ini mereka tidak akan mengenali kita.”

“Kami mengerti, Paduka.”

Segera dua orang menempatkan diri di kanan kiri Altamyra dan yang lain mengekor di belakang Altamyra.

Seperti perhitungan Altamyra, suasana sekitar Lasdorf sangat sepi. Tak tampak seorang pun hingga mereka berada jauh dari tempat itu.

Melihat hari semakin larut, Altamyra berkata, “Kita harus cepat-cepat mencapai kota terdekat.”

“Jidoor terletak di sekitar tempat ini, Paduka,” kata Jenderal Hermit, “Kita bisa mencapainya dalam lima belas menit.”

“Kita ke sana,” Altamyra memutuskan, “Tunjukkan jalannya padaku, Hermit.”

Hermit memimpin mereka ke Jidoor.

Di kota kecil itu Altamyra memutuskan akan tinggal untuk malam ini. Kota kecil ini tidak mempunyai penginapan mewah, tapi Altamyra tidak mengeluh. Ia tahu ia tidak bisa mengharapkan kemewahan dari kehidupan rakyatnya yang menderita.

Hermit memesan tiga kamar yang berjajar untuk mereka. Kamar Altamyra di tengah dan kedua kamar lain untuk mereka.

Malah sudah larut ketika mereka tiba di penginapan. Altamyra tidak ingin membuat para Jenderal yang mengawalnya lelah. Ia tahu tugas mereka berat. Ia pun segera masuk kamarnya seusai makan malam.

Pagi setelah makan pagi, mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah melihat kehidupan rakyat Lasdorf, Altamyra tidak terkejut melihat kehidupan di Jidoor. Rakyat tampak letih dan lemah. Mereka seperti sudah berhari-hari tidak makan. Hanya mereka yang cerdik yang bisa bertahan dalam situasi seperti ini.

Altamyra melihat sendiri bagaimana orang kaya di Jidoor menolak membantu rakyat yang lain. Bagi mereka, mengumpulkan uang sepenny adalah sangat sulit. Terlalu berharga uang satu penny untuk diberikan pada orang miskin.

Hari ini mereka kaya, tetapi belum tentu dengan hari esok. Kekayaan di negara ini tidak pernah terjamin. Raja yang serakah itu selalu merebutnya dengan kejam.

Altamyra ingin menyumbangkan uang yang dimilikinya pada mereka, tetapi ia tidak melakukannya. Altamyra tahu ia hanya akan menarik perhatian bila ia melakukannya.

Saat ini setiap orang sibuk mencari kekayaan sendiri untuk dapat membayar pajak. Semua tahu tidak membayar pajak berarti melawan Raja. Hukumannya adalah masuk penjara. Bahkan, bisa saja hukuman mati.

Situasi Vandella saat ini benar-benar kacau. Semua saling menekan dan saling bersaing dalam mengumpulkan uang. Tidak ada lagi yang peduli pada sesama mereka.

Altamyra mendesah panjang.

“Apakah ada yang salah, Paduka?” tanya Duane cemas.

“Kehidupan rakyat benar-benar parah,” jawab Altamyra, “Semuanya lebih buruk dari bayanganku. Rakyat ini benar-benar membutuhkan raja yang baik.”

“Saya menyarankan kita segera kembali ke Perenolde secepatnya, Paduka.”

“Bila engkau bermaksud mengatakan semakin cepat aku mengambil alih pemerintahan semakin baik, Nazer,” kata Altamyra, “Aku sependapat denganmu.”

Walaupun Altamyra telah berkata seperti itu, ia tetap memacu kudanya dengan lambat. Setiap kali memasuki daerah pemukiman, ia berjalan lambat. Tetapi, ia memacu kudanya dengan kencang di jalan antara dua kota.

Keempat Jenderal itu tampak senang mengawal Altamyra. Gadis itu tidak banyak menuntut seperti layaknya seorang Ratu. Ia lebih banyak mempelajari sekitarnya.

Mereka tiba di Perenolde dua hari lebih cepat dari perhitungan Altamyra.

Ketika memasuki Perenolde, Altamyra tidak melihat perbedaan kota ini dengan kota-kota lainnya. Tetapi, ketika ia semakin dalam berada di Perenolde, ia mulai melihat ciri ibukota. Gedung-gedung tinggi berjulang tetapi tidak dapat menyaingi istana megah yang menjulang ke langit.

Sepuluh mil di luar Perenolde, Altamyra dapat melihat megahnya Istana Azzereath. Dan, semakin dekat semakin indah Azzereath.

Sangat disayangkan oleh Altamyra di sekeliling istana megah ini terdapat kehidupan yang memprihatinkan. Istana ini berdiri angkuh menatap kehidupan di luar dirinya yang penuh penderitaan.

“Tak lama lagi semua akan berubah,” Altamyra meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah melihat sendiri penderitaan rakyatnya, Altamyra mengubah rencananya. Ia mengerti ia tidak dapat dengan mudah mengalihkan tahta pada orang lain seperti mainan. Ia harus memperbaiki kesalahan ayahnya. Walau ia membenci ayahnya, sebagai keturunannya ia merasa harus mewakili serigala itu meminta maaf.

Pintu gerbang istana yang menjulang tinggi tertutup rapat seperti tidak mau menerima kehadiran orang lain. Dua prajurit berdiri tegak menjaga pintu gerbang.

“Buka pintu!” perintah Jenderal Duane.

Kedua prajurit itu membuka pintu gerbang dan dengan penuh ingin tahu memperhatikan Altamyra yang dikawal keempat Jenderal terbaik Vandella.

Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Terima kasih.” Kemudian ia memacu kudanya memasuki halaman Istana yang luas.

Karena kedatangan Altamyra dua hari lebih cepat dari yang direncanakan, tidak ada pesta penyambutan untuknya. Altamyra tidak peduli akan hal itu.

Gadis itu menghentikan kudanya di tangga masuk.

Seumur hidup Altamyra tidak pernah membayangkan akan tinggal di bangunan setinggi dan semegah ini. Istana Azzereath lebih megah dari yang Altamyra bayangkan tetapi juga lebih dingin dari bayangan Altamyra.

Altamyra turun dari kudanya dan menapaki tangga menuju pintu masuk.

“Tahan!” dua prajurit menghadang jalan Altamyra dengan tombak mereka yang runcing. “Siapa kau? Mau apa masuk ke sini?”

Altamyra tersenyum. Mereka tidak mengetahui siapa dirinya.

“Apa yang kalian lakukan?” Jenderal Nazer memarahi mereka, “Mengapa kalian menghadang jalan Paduka?”

“Mereka tidak mengenaliku, Nazer,” Altamyra mengingatkan, “Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Azzereath.”

“Tapi mereka tidak berhak menghadang jalan Anda, Paduka.”

“Apakah kalian akan mengenaliku kalau aku tiba-tiba muncul tanpa memberitahu kalian siapa aku?”

“Tentu saja tidak, Paduka,” jawab Jenderal Hermit.

“Jadi,” kata Altamyra, “Kalian tidak boleh memarahi mereka.”

“Kami mengerti, Paduka,” sahut mereka.

“Ijinkan saya memperkenalkan diri pada Anda, Tuan-tuan,” kata Altamyra, “Nama saya Altamyra. Saya datang dari desa Marshwillow, Roma.”

Kedua prajurit itu terkejut mendengar nama ‘Altamyra’. mereka cepat-cepat berlutut dan berkata, “Maafkan kelancangan kami, Paduka. Kami patut dihukum.”

“Berdirilah. Jangan mudah mengatakan patut dihukum,” Altamyra menasehati, “Belum tentu setiap kesalahan adalah kesalahan kalian. Seperti kali ini, kalian sama sekali tidak bersalah. Kalian hanya tidak mengenaliku.”

“Terima kasih atas kebaikan Anda, Paduka.” Mereka pun berdiri.

“Aku menyerah,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu bagaimana lagi membuat kalian berhenti bersikap sekaku ini.”

“Sejujurnya, Paduka, Andalah yang harus merubah pandangan Anda,” kata Jenderal Werner tanpa rasa takut.

Keempat Jenderal itu telah mengenal watak Altamyra dalam perjalanan pulang ini. Mereka yang terus mengawal Altamyra tahu Altamyra tidak mudah marah. Gadis itu mengharapkan orang-orang tidak terlalu memujanya walau ia adalah seorang Ratu.

“Aku?”

“Anda adalah Ratu. Sudah sepantasnya kami menyanjung Anda,” jawab Hermit.

Altamyra mengeluh panjang dan melangkah masuk.

Tindakan pertama yang dilakukan Altamyra setelah ia berada di dalam Istana adalah melepas topinya. Altamyra merapikan rambutnya dengan tangannya.

“Benar-benar istana orang serakah,” gumam Altamyra.

Semua yang ada di dalam Istana bersinar cerah. Semuanya terbuat dari bahan-bahan terbaik. Tak satu pun yang tampak buruk. Semuanya bersinar angkuh.

“Selamat datang, Paduka.”

Altamyra menatap Ludwick dengan heran. “Bukankah engkau seharusnya menyusun laporan?”

“Saya telah menyuruh orang lain untuk mengerjakannya selama saya mengatur penyambutan Anda di sini.”

“Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi,” sambung Altamyra.

“Anda datang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?”

“Semua lancar. Tidak ada gangguan sedikit pun. Bagaimana dengan perjalananmu?”

“Ketika melewati Lasdorf, kami melihat beberapa orang mengawasi kami tetapi mereka membiarkan kami terus berlalu.”

“Tepat seperti harapanku,” sahut Altamyra, “Sekarang kita harus menyelesaikan tugas pertamaku.”

“Paduka!”

Altamyra tidak terkejut melihat Hannah berlari ke arahnya. Wanita tua itu menubruk dan memeluknya. Altamyra mengrenyit kesakitan merasakan kuatnya pelukan wanita gemuk itu. Ia merasa seperti akan diremukkan Hannah.

“Anda membuat saya cemas. Sudah dua bulan Anda berada di Lasdorf. Saya khawatir mereka mencelakakan Anda.”

“Sekarang aku ada di sini, bukan?”

“Ya, tapi Anda terus membuat saya cemas hari-hari terakhir ini. Saya takut setengah mati ketika Tuan Ludwick mengatakan Anda kembali dikawal empat Jenderal.”

“Jangan terlalu khawatir, Hannah. Aku baik-baik saja. Selama perjalananku, tidak ada yang menggangguku.”

“Anda harus beristirahat. Anda pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh ini.”

“Tidak, Hannah. Aku harus menyelesaikan sesuatu dulu.”

“Sesuatu apa?” Hannah tidak senang dibantah.

“Pengumuman kematian ayahku,” jawab Altamyra dengan tersenyum. Kemudian pada Ludwick ia berkata, “Aku melihat kita mempunyai gedung Parlemen tapi aku tak melihat orang-orangnya. Ke mana perginya mereka?”

“Mereka ada tetapi selama Raja Wolve berkuasa, mereka tidak berfungsi. Paduka Raja Wolve menghentikan semua kegiatan mereka. Paduka menolak semua bantahan terhadap perintah-perintah dan keputusan-keputusannya.”

“Aku ingin engkau memanggil mereka kembali, Ludwick. Buatkan janjiku dengan mereka untuk besok pada saat makan malam. Aku ingin atas nama Raja Wolve. Sebarkan pada para anggota dewan untuk hadir pada acara makan malam di Gedung Parlemen bersama Raja Wolve.”

“Baik, Paduka.”

“Aku menekankan untuk tidak menyebut namaku. Biarlah esok aku yang akan memberitahu mereka apa yang telah terjadi selama ini.”

“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Paduka?”

“Tidak, Ludwick. Aku tahu ayahku tidak pernah bersedia makan malam dengan bawahannya. Kalau ia tiba-tiba mengatakan akan makan malam dengan anggota dewan di Gedung Parlemen, aku yakin perhatian banyak orang akan terpancing. Akan banyak koran yang mencatat kejadian itu nanti dan aku tidak perlu membuang waktu untuk menyebarkan hal ini di seluruh Vandella.”

“Hamba mengerti, Paduka.”

“Saya tidak setuju!” bantah Hannah, “Anda baru tiba tetapi sudah akan bekerja. Kapan Anda beristirahat?”

“Hari ini sampai besok malam,” jawab Altamyra.

“Itu tidak cukup! Anda terlalu lelah.”

“Tolong jangan membantahku, Hannah. Aku harus segera mengumumkan kabar kematian ayahku. Semakin cepat semakin baik.”

“Tapi…”

Altamyra mengangkat tangannya menghentikan bicara Hannah. “Sebarkan sekarang juga, Ludwick.”

“Baik, Paduka.”

Altamyra menarik tangan Hannah dan berkata, “Tunjukkan padaku di mana tempat tidurku.” Melihat Hannah ingin berkata sesuatu, Altamyra mendahului, “Apakah engkau tidak ingin melayaniku?”

“Itu adalah hal yang paling saya inginkan di dunia ini.”

Altamyra tersenyum geli dan terus mengikuti langkah pelayan tuanya yang setia sekaligus ibu asuhnya itu.

2 comments:

  1. wiuh, mana sambungannya neh...>"<
    gua da baca ampe chp.6..
    chp.7~end kapan keluarnya...
    hoho.. penasaran abis dhe...^^""
    nice novel lor...

    ReplyDelete
  2. sambung lagi sambung lagi
    penasaran abis neh...^^""
    seru bacanya... nice plot...

    ReplyDelete