Sunday, March 4, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 5

“Beraninya kalian,” geram Altamyra murka.

Gadis itu menatap tajam setiap orang di depannya. Ia seperti akan menelan mereka semua dengan matanya.

Semua orang menunduk ketakutan. Tak seorang pun yang berani menatap Altamyra apalagi menentangnya.

“Siapa yang menyuruh kalian melanggar perintahku!”

Tak seorang pun yang berani membuka mulut.

Altamyra menyilangkan tangan di depan dadanya dan menatap tajam satu per satu prajurit di hadapannya. Ia menanti munculnya orang yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan ini.

Tak seorang pun luput dari tatapan murka Altamyra dan tak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya.

“Ma… maafkan hamba, Paduka,” kata Ludwick ketakutan, “Ham… hamba y…yang me…merintahkan mereka.”

“Beraninya engkau melanggar perintahku!” bentak Altamyra. “Aku memerintahkan kalian diam di tempat sampai aku datang!”

“Saya mengaku bersalah, Paduka,” Ludwick berlutut di hadapan Altamyra, “Hamba siap menerima hukuman.”

Altamyra menatap Ludwick dengan penuh kemurkaan.

“Sebelumnya saya ingin Anda mengetahui semua ini terjadi karena saya mengkhawatirkan keselamatan Anda, Paduka. Saya menanti di Thamasha seperti yang Anda perintahkan. Tetapi, Anda berada di sana lebih lama dari yang Anda janjikan. Saya khawatir mereka melukai Anda. Karena itu, saya meminta Rasputin menyiapkan pasukan untuk menyerang mereka.”

Altamyra menghela napasnya. Pandangannya menjadi lembut. Altamyra berlutut di depan Ludwick.

“Oh, Ludwick…” kata Altamyra lembut sambil memeluk pria tua itu, “Maafkan aku.”

Ludwick terkejut. “Pa… Paduka, Anda tidak pantas melakukan ini.”

Altamyra tersenyum selembut pandangannya. Ia menarik berdiri Ludwick lalu berkata, “Lupakan semua kepantasan itu.”

“Anda adalah Ratu kami dan kami adalah bawahan Anda.”

“Kata ‘Ratu’ itu hanya menunjukkan tugas, tidak lebih dari itu,” kata Altamyra tegas, “Ratu maupun Raja tetap saja seorang manusia.”

“Paduka…”

Altamyra mengangkat tangan menghentikan Ludwick.

“Maafkan aku,” Altamyra mengumumkan penyesalannya dengan ketegasan yang lembut, “Seharusnya aku tahu kalian mengkhawatirkan aku. Aku tidak pantas memarahi kalian.”

Kata-kata itu menegakkan kepala setiap orang.

“Aku mengakui kesalahanku dan aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” kata Altamyra, “Karena aku sudah tahu mengapa kalian melanggar perintahku, aku pun ingin kalian tahu mengapa aku marah-marah. Aku mengkhawatirkan kalian juga. Aku tidak ingin seorang pun di antara kalian mati hanya karena aku. Aku tahu bagaimana perasaan keluarga kalian bila kalian gugur karena aku. Cukup sekali saja aku mengorbankan nyawa orang.”

“Keluarga yang mereka tinggalkan telah kami urus, Paduka,” lapor Rasputin, “Mayat-mayat mereka juga telah kami kuburkan dengan layak.”

“Terima kasih, Rasputin.”

“Adalah tugas saya melayani Anda, Paduka,” Rasputin merendahkan diri.

“Kalian bisa bubar sekarang,” Altamyra menutup pertemuannya, “Karena aku sudah berada di sini, kita bisa kembali ke Perenolde. Kalau tidak ada halangan, kita kembali sore ini, kalian setuju?”

Para prajurit itu berbisik-bisik. Beberapa di antara mereka memberanikan diri berkata, “Setuju!” Segera prajurit yang lain mengikuti.

“Setuju!” teriak mereka serempak.

Altamyra tersenyum. “Berarti sudah diputuskan,” katanya, “Kalian bisa melakukan yang lain sampai saatnya tiba.”

Para prajurit bersikap tegap dan secara serempak memberi hormat pada Altamyra kemudian mereka bubar.

“Anda juga bisa beristirahat, Paduka.”

“Tidak, Ludwick. Banyak yang harus kukerjakan.”

“Anda akan membuat kami berada dalam kesulitan kalau Anda masih mengenakan gaun usang itu setibanya Anda di Istana.”

Teringat pelayan tuanya yang setia, Altamyra tertawa. “Aku yakin Hannah telah memberimu ancaman.”

“Anda tahu persis, Paduka.”

“Baiklah, Rasputin. Aku tidak akan membuat engkau mengalami kesulitan.”

Ludwick memanggil seorang prajurit. “Suruh Sylta mempersiapkan segala sesuatu untuk Paduka.”

Prajurit itu membungkuk lalu pergi.

“Mari, Paduka,” kata Ludwick, “Silakan mengikuti saya.”

Rasputin dan Ludwick mengawal Altamyra ke tenda besar yang ada di tengah-tengah kumpulan tenda itu.

Seorang wanita muda muncul dari dalam tenda untuk menyambut Altamyra.

“Selamat beristirahat, Paduka,” kata mereka bersamaan.

Altamyra tersenyum dan memasuki tenda.

“Dia mirip sekali dengan Paduka Raja Wolve.”

“Hanya dalam beberapa hal, Rasputin.”


-----0-----



Altamyra mendesah panjang.

Semuanya tepat seperti yang diduganya. Seperti dulu, mereka menjemputnya dengan segala sesuatu yang lengkap dan mewah. Kereta kuda emas, gaun-gaun indah serta pelayan-pelayan. Semua disiapkan khusus untuknya, Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella.

Siapa yang menyangka gadis miskin sepertinya tiba-tiba menjadi Ratu? Altamyra pun tidak pernah menginginkannya apalagi memimpikannya.

Hal ini memang mustahil. Gadis yang hidupnya selalu kekurangan tiba-tiba diangkat menjadi Ratu sebuah kerajaan besar. Tapi apa yang terjadi pada Altamyra adalah nyata. Sekarang Altamyra menjadi gadis kaya. Melebihi kekayaan setiap orang di kerajaan ini.

Keajaiban ini terjadi padanya karena darah biru yang mengalir padanya. Darah biru yang mengalir padanya sangat kental dan bercahaya.

Ibu maupun ayahnya bukan orang biasa. Mereka adalah Raja dan Ratu dari Kerajaan Vandella. Tapi selama bertahun-tahun mereka hidup terpisah.

Dari cerita ibunya, Altamyra tahu betapa kejamnya ayahnya. Bahkan, kepada putranya sendiri ia tega. Walaupun Allan, kakaknya masih tiga tahun, tetapi bila ia melakukan hal yang tak disukai Raja Wolve, ia mendapat pukulan tak peduli sekecil apa hal itu.

Raja Wolve ingin Allan bersikap sempurna sebagaimana layaknya seorang Putra Mahkota. Sempurna dalam tindakan maupun kata-kata. Tetapi, sempurna menurut caranya.

Ratu Reinny tidak berani bertindak apa-apa untuk melindungi putranya. Ia sendiri sering merasakan pukulan Raja yang ringan tangan itu.

Dari lubuk hatinya yang terdalam, Ratu Reinny membenci Raja. Kalau bukan karena dijodohkan orang tuanya, ia tidak akan menikahi Raja Wolve sekali pun ia adalah pria terakhir di dunia ini. Ratu tidak berani menolak juga tidak berani kabur. Ia bukan wanita penakut tetapi ia tidak berani melawan demi keselamatan keluarganya.

Bila ia melawan, Ratu tahu Raja akan menghancurkan keluarganya. Pria itu tidak akan segan-segan melakukan segala tindakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Ratu Reinny tahu suaminya adalah iblis terkejam dari antara para raja iblis.

Demi orang tuanya pula ia terus menahan keinginannya untuk meninggalkan Istana Azzereath. Setelah orang tuanya meninggal, Ratu semakin ingin pergi tetapi ia tidak melakukannya. Saat itu ia baru saja melahirkan Allan dan ia tidak tega meninggalkannya.

Banyak pengorbanan yang diberikan Ratu kepada keluarganya. Demi Allan, satu-satunya orang yang dicintainya setelah orang tuanya meninggal, Ratu bertahan di Istana dingin yang suram itu.

Bertahun-tahun kemudian Ratu melahirkan anak keduanya. Kali ini ia melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Setelah melihat sendiri apa yang terjadi pada Allan, Ratu yakin Raja juga tidak akan segan memukul anak perempuannya yang mungil.

Ratu dilanda kebimbangan antara meninggalkan Vandella untuk menyelamatkan Altamyra dan menetap di Istana untuk menjaga Allan. Ia sangat mencintai kedua anaknya dan tidak tega meninggalkan seorang pun di antara mereka.

Sekejam-kejamnya Raja Wolve, Ratu yakin ia takkan membunuh Putra Mahkotanya sendiri. Berpegang pada keyakinan itu, Ratu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Vandella selama-lamanya.

Dengan berat hati, Ratu meninggalkan Allan di malam-malam buta bersama Altamyra yang masih bayi dan pelayannya yang setia, Hannah.

Negara yang menjadi tujuan Ratu adalah Roma. Ratu tahu suaminya takkan berani menyerang kota suci Roma kecuali ia ingin dimusuhi Raja-raja Eropa. Di sana Raja Wolve tidak dapat menemukan mereka.

Pada tahun pertama pelarian mereka, mereka bisa hidup enak berkat perhiasan-perhiasan mahal Ratu. Walaupun begitu mereka tidak hidup bermewah-mewah. Asalkan mereka bisa makan, itu sudah cukup. Ratu tahu ia harus menghemat segala yang dimilikinya untuk putrinya yang masih kecil.

Berkat uang simpanan Ratu itulah Altamyra tumbuh menjadi gadis cantik yang selalu ceria. Hidupnya tidak bergelimangan kemewahan tetapi bergelimangan kebahagiaan. Altamyra terus tumbuh tanpa mengetahui siapa ayahnya dan siapa dirinya yang sebenarnya. Altamyra hanya tahu ia adalah anak desa.

Sering Altamyra menanyakan ayahnya tapi Ratu tidak mau memberitahu. Baik Ratu maupun Hannah merahasiakan hal itu dari Altamyra. Mereka hanya menjawab pertanyaan Altamyra dengan berkata, “Aku akan mengatakannya suatu saat nanti.”

Sering pula Altamyra melihat ibunya sedang melamun. Ia tampak sangat sedih merindukan seseorang.

Altamyra yang tidak tahu apa-apa sering bertanya, “Mengapa Mama sedih? Mama memikirkan Papa?”

Ratu selalu menjawab pertanyaan polos itu dengan tersenyum sedih.

Seiring dengan tumbuhnya Altamyra, pikiran gadis itu menjadi lebih dewasa. Altamyra pun mulai berpikir ayahnya meninggalkan ibunya hingga sekarang ibunya selalu merindukannya. Sejak itu Altamyra tidak pernah menanyakan ayahnya lagi. Sejak saat itu pula muncul kebenciannya pada ayah yang tak pernah dilihatnya.

Tahun demi tahun terus berganti. Tak terasa sudah sembilan tahun Ratu meninggalkan Istana. Tetapi, sejak mereka pergi hingga saat ini tidak pernah terdengar kabar Raja Wolve mencari mereka. Ratu sangat lega karenanya. Kehidupan yang tenang dapat terus dijalaninya. Kecuali mengkhawatirkan Allan, tidak ada lagi yang membuat Ratu cemas.

Natal tahun ke sembilan itu semua berubah. Ratu tiba-tiba jatuh sakit. Kehidupan yang penuh kerja keras membuat tubuhnya sakit-sakitan. Sebagai orang yang sejak lahir hidup dalam kemewahan, Ratu tidak terbiasa hidup sederhana bahkan serba kekurangan seperti ini.

Uang yang sengaja disimpan Ratu untuk masa depan Altamyra terpaksa digunakan untuk mengobati Ratu. Ratu tidak setuju menggunakan uang simpanannya itu tetapi Hannah tetap menggunakannya. Kata Hannah, uang bisa dicari tetapi nyawa tidak.

Altamyra yang tidak tahu menahu tentang uang simpanan ibunya, diam saja. Ia hanya bisa terus berdoa dan menjaga ibunya.

Baik Ratu maupun Hannah tidak ingin pendidikan Altamyra terhenti karena masalah ini. Mereka pun mendesak Altamyra agar tidak meninggalkan pelajarannya demi menjaga Ratu.

Sebagai anak yang tahu balas budi, Altamyra menurutinya. Ia tahu untuk bisa membesarkannya, ibunya telah bekerja keras. Semasa ibunya masih sehat dulu, hampir tiap saat Altamyra melihat ibunya dan Hannah menenun kain seperti orang-orang desa Marshwillow lainnya. Mereka menenun hingga larut untuk membiayai hidup mereka terutama Altamyra yang sedang tumbuh.

Ratu ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya. Ia ingin Altamyra tumbuh sehat seperti gadis lainnya.

Sejak saat itulah hidup mereka menjadi lebih sulit. Seluruh uang yang mereka miliki digunakan untuk mengobati Ratu. Tetapi, kesehatan Ratu terus memburuk.

Hannah, pelayan ibunya yang setia bekerja lebih keras untuk mengobati Ratu dan membesarkan Altamyra. Tidak lagi istirahat untuknya. Di saat mempunyai waktu luang, ia membantu para tetangga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia telah bekerja dengan sangat keras tetapi uang yang dihasilkannya tidak pernah cukup untuk hidup mereka.

Walaupun masih anak-anak, Altamyra mengetahui kesulitan yang dialami keluarganya. Di balik kesibukan belajarnya, ia sering membantu Hannah memintal dan menenun.

Altamyra juga tahu uang hasil kerja keras mereka tidak cukup untuk membeli semua kebutuhan mereka. Altamyra meminta Hannah menggunakan semua uang itu untuk menyembuhkan ibunya.

“Demi kesembuhan Mama, aku mau mengorbankan apa saja.”

Itulah yang selalu dikatakannya pada Hannah.

Hannah sendiri juga mau melakukan apa saja demi kesembuhan Ratu tetapi ia juga mempunyai kewajiban untuk membesarkan Altamyra.

Altamyra terus mendesak Hannah hingga wanita itu tidak mampu melawan keinginannya lagi.

Walaupun kesehatan Ratu terus memburuk, mereka tidak berhenti berusaha. Mereka terus menahan lapar untuk membeli obat bagi Ratu. Mereka terus berusaha memberikan makanan yang terbaik untuk Ratu.

Ratu tidak pernah tahu untuk dirinya, Hannah sering meminjam uang pada tetangga.

Penduduk desa Marshwillow tidak ada yang kaya, tetapi mereka tetap mau membantu. Ratu dan Hannah adalah orang asing di tempat itu tetapi mereka telah dianggap penduduk sebagai bagian dari desa Marshwillow. Demikian pula Altamyra yang tumbuh besar di sana.

Perjuangan Ratu menghadapi penyakitnya akhirnya berakhir pada suatu musim gugur yang dingin. Setelah selama dua tahun bergelut dengan penyakitnya, Ratu menghembuskan nafas terakhirnya di suatu pagi yang hujan lebat.

Seperti kehilangan anggota keluarga mereka, seluruh penduduk desa Marshwillow bersedih atas kepergian Ratu. Berita kematian Ratu yang tersebar cepat di desa kecil itu mengundang penduduk untuk membantu pemakaman Ratu.

Hingga ia mati, Ratu tidak pernah mengatakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Baik Altamyra maupun penduduk Marshwillow mengenal Ratu sebagai seorang wanita lembut yang bernama Reinny.

Setelah pemakaman ibunya, Altamyra baru mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu padanya, Ratu telah menulis surat wasiat dan menitipkannya pada Hannah. Surat itu hanya boleh diberikan pada Altamyra bila ia telah meninggal. Dalam surat itu, Ratu mengatakan segala sesuatu yang selama ini dirahasiakannya dari Altamyra.

Mulanya Altamyra tidak percaya ia adalah Putri Kerajaan. Setelah mendengar cerita Hannah, barulah ia percaya. Hal itu tidak membuatnya sombong, melainkan membuatnya makin rendah hati. Kebenciannya pada ayahnya yang sudah tumbuh kian menjadi-jadi.

Seperti ibunya, Altamyra tidak berkeinginan untuk kembali ke Vandella. Walaupun ingin bertemu Allan, Altamyra tetap bersikeras untuk tinggal di Marshwillow yang dicintainya.

Hannah tidak bisa berbuat apa-apa untuk memaksa Altamyra pulang. Altamyra adalah majikan dan Putri Kerajaan tanah airnya.

Walaupun tahu hidupnya akan lebih terjamin bila ia kembali pada ayahnya, Altamyra memilih tinggal di sisi pusara ibunya.

Altamyra tidak pernah merasa dirinya adalah seorang Putri. Ia adalah gadis desa. Ia dibesarkan sebagai seorang gadis desa yang hidupnya serba kesulitan, bukan sebagai Putri.

Setelah mengetahui rahasia itu, Altamyra mulai menduga ibunya sering melamun bukan memikirkan ayahnya tetapi memikirkan Allan yang berada dalam cengkeraman ayahnya. Altamyra tahu ibunya dengan sangat berat hati meninggalkan kakaknya dalam kekejian ayahnya. Altamyra juga tahu bagaimana tindakan ayahnya pada Allan hingga membuat ibunya terpaksa meninggalkan Allan untuk menyelamatkannya.

Kebencian yang mendalam pada ayah yang kejam, membuat Altamyra semakin ingin melupakan jati dirinya. Ia tak peduli apakah ia seorang putri atau bukan. Ia hanya tahu ia adalah gadis desa.

Waktu terus berjalan. Altamyra melupakan rahasia itu. Dalam pikiran maupun dalam tingkah lakunya, ia tidak pernah lagi mengingat maupun teringat akan siapa dirinya. Altamyra sudah benar-benar melupakan hal itu ketika Dewey, Menteri Luar Negeri Vandella muncul.

Saat itu Altamyra sedang menanti Hannah yang pergi berbelanja. Sambil menanti, ia menyibukkan diri dengan menyulam. Di tengah kesibukannya itulah tiba-tiba pintu diketuk orang.

“Tidak mungkin Hannah yang datang,” pikir Altamyra, “Ia tidak perlu mengetuk pintu kalau ingin masuk.”

Altamyra menuju pintu sambil bertanya-tanya siapa yang datang. Sejak ibunya dikubur, hampir tidak ada lagi penduduk Marshwillow yang mengunjungi mereka. Penduduk tahu dengan segala keterbatasan yang ada, mereka tidak dapat menjamu tamu. Penduduk tidak ingin merepotkan Hannah maupun Altamyra.

Altamyra terpana melihat seorang pria setengah baya berdiri di ambang pintu dengan bajunya yang indah mengkilat. Ia diapit dua pria lain yang lebih muda dan lebih sederhana pakaiannya.

Altamyra melihat mereka semua dari atas ke bawah. Pria yang di tengah mengenakan jas yang rapi sedang yang di tepi mengenakan baju prajurit dengan warna biru untuk atasannya dan putih untuk celananya.

Mereka membuat Altamyra bersikap waspada. Altamyra tidak tahu siapa mereka, tetapi mereka telah menimbulkan kecurigaannya.

“Anda mencari siapa, Tuan?”

“Saya Dewey, Menteri Luar Negeri Kerajaan Vandella. Saya datang untuk menjemput Yang Mulia Paduka Ratu Reinny dan Yang Mulia Tuan Puteri Altamyra.”

Buku-buku jari tangan Altamyra memutih mendengarnya. Gadis itu membusungkan dadanya dan menatap pria di depannya. “Mereka tidak ada di sini,” katanya tegas.

Walaupun Raja Wolve mengirim jemputan untuk mereka, Altamyra takkan mau kembali. Ibunya telah bersusah payah untuk dapat berada di sini. Dan, sebagai anak berbakti, Altamyra takkan membuat usaha ibunya menjadi sia-sia.

“Mata-mata kami memberitahu mereka berdua tinggal di sini,” kata Dewey keheranan.

“Sayang sekali, Tuan, mereka tidak ada di sini.”

“Ya, sayang sekali,” Dewey tampak sangat sedih, “Mungkin mereka sudah pindah atau mata-mata kami yang salah.”

“Mungkin saja,” Altamyra menyetujui.

“Terima kasih, Nona. Maaf kami telah menganggu Anda.”

Altamyra yakin mereka akan kembali ke Vandella dengan tangan kosong apabila saat itu Hannah tidak muncul.

Sejak ibunya masuk Istana, Hannah dan Dewey berkenalan. Hannah tidak mungkin melupakan Dewey. Dewey juga tidak mungkin melupakan pelayan ibunya itu.

“Apa kabar, Tuan Dewey?” sapa Hannah, “Lama kita tidak bertemu.”

“Hannah?” tanya Dewey tak percaya, “Engkau tinggal di sini?”

“Tentu saja,” jawab Hannah tanpa menyadari kesalahannya, “Sejak meninggalkan Vandella, aku tinggal di tempat ini.”

“Berarti Paduka Ratu dan Tuan Puteri ada di sini,” gumam Dewey. Tiba-tiba pria itu berbalik dan menatap Altamyra lekat-lekat.

Altamyra tetap bersikap tenang.

Dewey mencermati tiap lekuk wajah Altamyra. Semakin dilihat, semakin tampak kemiripannya dengan Ratu Reinny sewaktu ia masih muda. Hanya saja mata biru gadis ini lebih cerah dan rambutnya lebih bersinar cerah. Selain itu, ia benar-benar seperti gambaran diri Ratu di waktu muda.

Dewey memandang Hannah dengan penuh pertanyaan di matanya.

“Benar, ia adalah…” Hannah tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Matanya bertemu dengan wajah Altamyra yang menyuruhnya menutup mulut.

Sayangnya, Dewey sudah dapat menebak siapa gadis yang membukakan pintu itu.

Altamyra yang sudah menebak hal itu, segera menyingkir ke dalam rumah. Ia menyadari kemiripannya dengan ibunya. Tak perlu orang lain untuk mengatakan mereka mirip. Altamyra tak mau mendengar siapa dirinya yang sesungguhnya.

Dewey bingung melihat kepergian gadis itu.

Hannah merasa bersalah atas kejadian itu. “Silakan masuk, Tuan. Saya ingin mengetahui apa yang membuat Anda datang ke sini.”

Dewey memandangi keadaan di dalam rumah kecil itu. Ruangan-ruangannya sangat kecil dan hampir kosong. Tidak nampak sofa-sofa yang indah, lukisan-lukisan. Semuanya tidak mencerminkan gaya hidup keluarga kerajaan tetapi mencerminkan kehidupan orang miskin yang penuh penderitaan.

Dinding-dinding kayunya tampak lapuk dan di sana sini mulai tumbuh lumut. Atapnya lebih mengenaskan lagi. Atapnya tampak sangat lemah dan sewaktu-waktu siap runtuh.

Tak pernah disangka Dewey kehidupan Ratu dan Putri kerajaannya sedemikian buruknya. Mereka benar-benar melarat seperti layaknya orang miskin.

“Silakan duduk, Tuan,” kata Hannah, “Maaf tempat kami kotor.”

Dewey mendengar deritan kursi kayunya ketika ia duduk. Dewey melihat sekeliling seperti mencari seseorang. “Di mana Paduka Ratu?”

Hannah menunduk sedih. “Ia meninggal lima tahun lalu.”

“Oh,” itulah yang pertama kali terloncat dari mulut Dewey. “Aku turut berduka cita.”

“Terima kasih, Tuan.”

“Sejak itu engkau sendiri yang membesarkan Tuan Puteri?” Dewey tiba-tiba bertanya.

Hannah tersenyum. “Tepatnya tidak.” Melihat wajah heran Dewey, Hannah melanjutkan, “Nona tidak membiarkan dirinya merepotkan orang lain. Ia ikut berusaha untuk menghidupi keluarga kecil kami ini.”

Dewey terpekur menatap lantai kayu di kakinya.

“Apa yang membuat Anda datang?”

“Berita duka juga,” jawab Dewey.

“Berita duka?”

“Yang Mulia Paduka Raja Wolve telah meninggal.”

“Apa!?” Hannah terkejut, “Kapan itu terjadi?”

“Berbulan-bulan lalu. Kira-kira tujuh sampai delapan bulan lalu.”

“Oh…” gumam Hannah. “Aku sama sekali tidak menyangkanya.”

“Kami semua juga tidak pernah menduga Paduka pergi secepat ini. Sebulan sebelum beliau meninggal, ia sakit. Kami semua itu hanya sakit biasa. Tapi, siapa menduga Tuhan berkata lain.”

“Tentunya sekarang tahta kerajaan sedang kosong,” komentar Hannah tanpa pikir panjang. Tiba-tiba Hannah teringat akan Allan. Ia baru saja akan membetulkan kata-katanya ketika Dewey berkata,

“Karena itulah kami datang ke sini.”

Hannah keheranan. “Bukankah ada Pangeran Allan?”

“Sayang sekali Pangeran juga sudah meninggal.”

“Apa!?” Hannah terkejut. “Pangeran malang, ia masih terlalu muda untuk mati.”

“Ya, sayang sekali,” Dewey setuju.

“Saya khawatir Anda tidak berhasil, Tuan.”

“Maksudmu?”

“Nona… ehm… maksudku Tuan Puteri tidak mau kembali ke Vandella. Seperti ibunya, sedikit pun ia tidak ingin kembali ke Vandella. Ia membenci Raja Wolve.”

Dewey sedih mendengarnya. “Kau harus membantuku, Hannah. Hanya engkau yang paling dekat dengannya. Bujuklah dia.”

“Saya rasa percuma, Tuan,” kata Hannah, “Maaf saya tidak bisa membantu.”

“Engkau harus bisa membantuku.”

“Saya benar-benar tidak bisa, Tuan Dewey.”

“Kau harus.”

“Aku menolak!”

Dewey terkejut. Altamyra tiba-tiba muncul di ruangan itu. Gadis itu seperti sudah mendengar semuanya.

“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud mendengar pembicaraan kalian. Tetapi, rumah ini kecil dan di mana pun aku berada, aku dapat mendengar pembicaraan kalian.”

“Saya mohon kembalilah ke Vandella, Yang Mulia. Rakyat Vandella membutuhkan Anda.”

“Jangan memohon padaku. Aku takkan mengubah jawabanku,” kata Altamyra tegas.

“Rakyat Vandella sedang menderita, Yang Mulia. Saat ini mereka membutuhkan bantuan Anda. Hanya Anda yang bisa menyelamatkan mereka dari penderitaan ini.”

“Salahkan serigala itu!” Altamyra bosan dibujuk, “Salahkan kekejamannya hingga tega membunuh putra kandungnya sendiri.”

“Pangeran Allan meninggal bukan karena dibunuh Paduka. Ia yang membunuh dirinya sendiri,” kata Dewey, “Ia bunuh diri.”

“Allan bunuh diri karena serigala itu, bukan?”

Dewey terdiam.

“Jangan pernah berpikir aku tidak tahu apa-apa tentang kekejaman serigala itu. Aku tahu bagaimana ia memperlakukan Allan. Aku dapat merasakan kebencian Allan karena terus didesak untuk bersikap sempura. Serigala itu memaksa Allan bersikap sempurna seperti Pangeran kejam tapi Allan tidak sanggup.”

Dewey benar-benar tidak dapat membantah. Apa yang dikatakan Altamyra benar. Semua penghuni Istana tahu Pangeran Allan tertekan oleh keinginan dan kekejaman ayahnya hingga akhirnya ia memilih mati.

“Kembalilah ke Vandella. Katakan pada yang memerintahkanmu bahwa aku menolak untuk kembali."

“Tidak ada yang menyuruh kami, Yang Mulia.”

Altamyra tidak tertarik mendengarnya.

“Bukan Raja Wolve yang memerintahkan kalian untuk mencari kami?” tanya Hannah keheranan.

“Paduka Raja tidak pernah menyuruh kami,” jawab Dewey, “Bahkan, sejak Paduka Raja tahu ia tidak bisa sembuh, Paduka tidak menyuruh kami. Kami sendirilah yang memerintahkan diri kami sendiri untuk mencari Anda semua. Hingga Paduka meninggal, ia tidak tahu kami telah memulai pencarian ini.”

“Kau telah melihat sendiri kenyataannya, bukan? Ia tidak mau peduli pada kami. Ia tidak mengharapkan kami kembali.”

Lagi-lagi Dewey tidak bisa berkata apa-apa.

Hannah tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu kerasnya hati Altamyra bila gadis itu telah memutuskan sesuatu. Ia tidak punya hak untuk memerintah Altamyra sekali pun ia telah menjadi ibu gadis itu selama lima tahun terakhir ini.

“Saat ini Vandella sedang terjadi kekosongan tahta. Kami…”

“Siapa yang selama ini memegang pemerintahan?” potong Altamyra.

“Kami, para Menteri.”

“Kalau begitu kalian bisa terus mengatur Vandella tanpa aku.”

“Kami tidak bisa berbuat banyak tanpa seorang Raja, Yang Mulia. Di Vandella, rajalah yang berhak memutuskan segalanya.”

“Angkat saja Raja yang baru,” usul Altamyra.

“Kami…”

“Selain aku,” potong Altamyra.

Dewey tampak murung. “Tidak bisa, Yang Mulia.”

“Mengapa?” tanya Altamyra keheranan, “Tidak mungkin serigala itu tidak menunjuk pewarisnya yang baru setelah Allan meninggal.”

“Andaikan saja itu terjadi, Yang Mulia,” Dewey menyesal, “Hingga beliau meninggal, ia tidak pernah menunjuk penggantinya. Di Vandella ada isu yang tersebar Putri Prischa, anak tunggal keluarga Apaleah yang mempunyai hubungan dekat dengan Raja, akan naik tahta bila Paduka meninggal. Hal itu benar bila Anda tidak ada.”

“Bersikaplah seperti aku telah meninggal.”

“Itu adalah tradisi, Yang Mulia. Kami tidak berani menentangnya. Rakyat Vandella pasti memberontak bila kami melanggar tradisi ini. Karena itulah hingga hari ini kami belum mengumumkan kematian Paduka. Kami tidak ingin terjadi perebutan kekuasaan. Kami juga tidak ingin membuat pemberontak kerajaan melakukan kudeta.”

“Pemberontak?” Hannah tertarik pada cerita Dewey.

“Sebenarnya sejak dulu sudah ada gerakan pemberontakan terhadap Raja tapi gerakan itu baru kentara tak lama setelah kalian pergi. Pemimpin pemberontak itu telah menjadi pahlawan rakyat Vandella yang miskin dan menderita. Kami yakin demi pahlawan mereka itu, mereka sanggup mengorbankan apa saja terlebih setelah mengetahui Paduka telah meninggal. Kami menghindari hal itu. Kami tidak ingin terjadi perang antara pasukan kerajaan dengan rakyat.”

“Angkatlah sang pahlawan menjadi raja dan semua masalah selesai,” usul Altamyra, “Rakyat takkan marah karenanya.”

“Sudah kami jelaskan, Yang Mulia, tradisi membuat kami tidak bisa berbuat lain. Selama Anda masih ada, tidak ada yang berhak menduduki tahta kerajaan.”

“Apakah Anda tidak ingin pulang ke Vandella, Nona?” Hannah akhirnya ikut membujuk, “Walaupun Anda hanya tinggal sehari di Vandella, Anda tetap lahir di Vandella. Dalam diri Anda mengalir darah Raja Wolve. Saya yakin Ratu pun sebenarnya ingin kembali ke Vandella, tanah airnya.”

Altamyra menangkap maksud lain di balik pernyataan itu. Dengan lembut ia berkata, “Kembalilah ke Vandella bila engkau ingin, Hannah. Aku tetap tinggal di sini.”

“Saya telah berjanji pada Ratu untuk tidak meninggalkan Anda.”

“Kalau begitu aku memerintahkanmu untuk kembali ke Vandella.”

“Saya tidak dapat meninggalkan Anda, Nona. Bila Anda tinggal di sini, saya tidak mau kembali. Sekali pun Anda memaksa, saya tetap akan tinggal di sisi Anda untuk melayani Anda.”

“Kau harus, Hannah. Aku tahu engkau selalu merindukan keluargamu, kota tempat engkau dilahirkan. Engkau selalu merindukan Vandella.”

“Hannah benar, Paduka. Anda harus kembali ke Vandella. Hanya Anda yang bisa menjadi Raja kecuali Anda turun tahta dan menyerahkannya pada orang lain.”

Altamyra diam merenung kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku ikut kalian.”

Setelah mendapat keputusan akhir Altamyra, Dewey segera mengirim utusan untuk memberitahu para Menteri Vandella. Ia meminta mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk penobatan Altamyra.

Di sebuah desa kecil di tepi perbatasan Vandella, Ludwick, Menteri Dalam Negeri Vandella telah menantinya untuk upacara penobatan.

Upacara penobatan itu berlangsung sederhana. Uskup Vandella yang menobatkan Altamyra dengan Dewey dan Ludwick sebagai saksinya.

Saat itu yang ada di dalam benak Altamya adalah kembali ke Vandella untuk mengumumkan kematian ayahnya, menyatakan diri sebagai raja baru lalu turun tahta dan menyerahkannya pada Prischa. Terakhir, kembali ke Roma.

Altamyra sama sekali tidak punya niat untuk mengunjungi markas para pemberontak itu. Bahkan, ia tidak tahu akan mereka melalui tempat itu.

Saat akan melalui Lasdorf, kawasan pemberontak, pasukan pengawal Altamyra memperketat penjagaan. Kecurigaan Altamyra timbul dan ia memaksa kedua menteri itu mengatakan apa yang terjadi.

Hingga kini Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba memutuskan untuk mengunjungi benteng pemberontak itu.

Setelah mengetahui yang sebenarnya, Altamyra mengirim Dewey beserta Hannah kembali ke Istana Azzereath. Sementara itu Ludwick dimintanya untuk menantinya di Thamasha.

Mereka berdua tidak setuju pada rencananya. Tetapi, di Vandella titah Raja adalah titah yang tidak dapat dilawan. Altamyra meyakinkan mereka dengan menjelaskan rencananya.

Saat itu hampir bersamaan dengan kembalinya Prischa dari perjalanannya ke luar negeri. Altamyra memanfaatkan kesempatan itu.

Seorang prajurit diperintahkannya untuk menyebar isu itu. Beberapa hari kemudian Altamyra melewati sarang musuh. Sesuai dengan perhitungannya, para pemberontak itu menculiknya.

Satu-satunya yang salah dalam perhitungan Altamyra adalah waktu. Altamyra meminta Ludwick memberinya waktu satu bulan untuk mengetahui kehidupan pemberontak itu sebelum ia memulai pemerintahannya.

Ternyata waktu yang digunakan Altamyra lebih dari satu bulan bahkan hampir dua bulan.

Altamyra memang berniat memperpanjang masa tinggalnya di benteng itu dengan membuat mereka menduga ia adalah pelayan Prischa. Ia berharap perpanjangan waktu itu bisa membuat mereka mempercayainya dan mau bercerita banyak padanya. Tetapi, Altamyra tidak berniat membuat pasukannya khawatir.

No comments:

Post a Comment